PERTANYAAN :
Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Mohon maaf mau tanya, bagaimana pula dalil mantuq dan mafhumnya ? [Khaeratu Hamdilah].
Wa'alaikumussalam. Perbedaan lafadh niat antara wudhu dan shalat, kenapa sighatnya berbeda-beda. Titik beratnya adalah "Niat itu wajib, talaffudh bin niat hanya Sunnah". Niat harus muqtarinah bil fi'li, talaffudh tidak harus muqoronah (karena tujuannya untuk mendikte atau mengingatkan pada hati)
Jadi talaffudh niat wudhu dengan redaksi نويت itu sudah tepat, karena muqorinan bi awwal ghusli.
Sedangkan talaffudh niat sholat dengan redaksi أصلي juga sudah tepat, karena jika muqtarin bi awwal fi'li jelas tidak mungkin talaffudh niat bersamaan dengan takbiratul ikhram, maka talaffudh dianjurkan qubaila awwal fi'li tujuannya untuk mengingkatkan hati.
Perlu diketahui bahwa Fi'il Madhi itu punya 4 Zaman :
1. Zaman Madhi (zaman lampau/simple past tense ) seperti umumnya fiil madhi. Contoh : Nashoro, dhoroba, fa'ala.
2. Zaman Hal (zaman saat ini/present tense) seperti contoh : Bi'tu, Nawaitu, Qobiltu, tholaqtu, isytaroitu dll
3. Mustaqbal litholab (zaman akan datang dalam rangka berharap/future tense), contoh : ghofarohullah laka, hafidzohulloh, rohimahulloh, barokallahu laka wajama'a bainakuma fi khoir.
4. Berzaman istiqbal dan madhi, yaitu ketika jatuh setelah hamzah taswiah, misal sawaa-un alayya aqumta aw qo'adta...
Jadi untuk talafudz niat shalat bisa baca Nawaitu an usholliya bisa, langsung usholli bisa.
Jawabannya juga bisa mengkombinasikan dua fan ilmu yaitu fiqh dan balaghah :
1. Lafadz نويت berfaidah huduts dan bermakna madli atau tahqiq dan tidak berfaidah istimror sehingga qot'un niat setelah niatnya sah itu tidak mencegah sahnya wudlu' misal kalian berwudlu' sampai basuhan tangan namun kalian hendak membatalkannya maka hal itu tidak dapat membatalkan niat wudlu' kalian, sehingga kalian bisa melanjutkan wudlu' kalian dg niat melanjutkan wudlu' kalian tanpa haris mengulang niat dari awal,
Contoh lain : kalian berwudlu' lalu pada basuhan tangan murtad, maka murtad itu tidak bisa membatalkan wudlu' dan untuk melanjutkan wudlu'nya cukup masuk islam lagi dan tinggal melanjutkan wudlu'nya.
2. Lafadz أصلي bermakna huduts dan berfaedah istimror sehingga butuh keberlangsungan niat dari takbir hingga salam, jika di pertengahan sholat berniat menghentikan sholatnya maka secara tomatis sholatnya batal dan apabila ingin melanjutkannya maka harus mengulang niatnya lagi dari awal takbir.
Bagaimana dengan niat puasa yang juga memakai fi'il nawaitu, padahal kan juga tidak boleh putus?
Justru hal itu sama dengan niat wudlu'. Yakni kalau hanya niat membatalkan puasa takkan jadi batalnya puasa selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkannya. Semisal sudah niat puasa di waktu malam lalu di siang harinya ad niatmenghentikan puasanya maka, puasanya tetap bisa dilanjutkan dan sah-sah saja. Cuma berbeda dengan wudlu'dalam hal murtad, karena murtad adalah hal yg membatalkan puasa sedangkan murtad tidak membatalkan wudlu' hanya saja murtad menghalangi sahnya wudlu', yakni apabila di pertengahan wudlu'murtad maka bisa sah wudlu'nya diteruskan apabila masuk islam dulu lalu bisa dilanjutkan wudlu'nya.
Sebab keabsahan niat dalam ibadah syaratnya ialah islam. Semua sahnya ibadah mahdloh itu harus dengan niat, dan syarat sahnya niat harus islam, semisal ada orang kafir niat berpuasa, atau sholat, atau, wudlu' maka hukumnya niatnya tidak sah sebelum masuk islam. Pengecualian: sah niatnya wanita kafir kitabiyah mandi sebab suci dari haid dalam rangka diperbolehnya ia dijimak sama sang suami yang islam.
Jawaban lainnya, niat wudhu memakai fi'il madhi karena niat wudhu adalah niatnya itu sendiri. Sedangkan fungsi kebiasaan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) untuk "memperdengarkan" kepada hati atau "membantu" hati dalam berniat karena dalam kitab Al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa niat sholat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram dan merupakan bagian dari shalat (rukun shalat).
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbiratul ihram, dan yang menghalalkannya adalah salam.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi)
Jadi dengan sabda Rasulullah yang ARTINYA "yang menghalalkannya adalah salam" MAKNANYA batas yang menghalalkan untuk melakukan kesibukan di luar shalat adalah salam maka setelah salam boleh melakukan aktifitas apapun termasuk berdzikir atau berdoa apapun selama redaksi doa tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits.
Begitupula dengan sabda Rasulullah yang ARTINYA "mengharamkannya adalah takbiratul ihram" MAKNANYA batas yang mengharamkan untuk melakukan kesibukan di luar shalat adalah takbiratul ihram maka aktifitas atau ucapan apapun SEBELUM takbiratul ihram TIDAKLAH TERLARANG.
Para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat bahwa kebiasaan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bermanfaat membantu hati dalam berniat, seperti untuk menghilangkan gangguan hati (was-was).
Al-Imam Muhammad bin Abi al-‘Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan “Syafi’i Kecil” dalam kitab Nihayatul Muhtaj juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan sekaligus mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Begitupula ulama dari kalangan mazhab yang lain seperti :
– Mazhab Hanafi : Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan sholat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadzkan dengan lisan. Adapun melafadzkan niat dengan lisan sunah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. (al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66)
– Mazhab Maliki : Ulama Malikiyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan (al-Syarhu al-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305. al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520).
– Mazhab Hambali : Ulama Hanabilah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sholat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. (al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370).
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud melaksanakan sesuatu yang disertai dengan perbuatan. Letaknya dalam hati. Niat sholat disunnahkan melafadzkan menjelang Takbiratul Ihram dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan. (Hasyiyah al-Bajury I/149. Mughny al-Muhtaj I/148-150. 252-253. al-Muhadzab I/70 al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab III/243-252).
Jadi jelaslah bahwa kebiasaan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) untuk membantu hati dalam berniat karena di dalam melakukan niat shalat fardlu diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
– Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu mnyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
– Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
– Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal,
ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ
"Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah Ta'ala" saja sudah cukup.
Wallohu a'lam. [Anake Garwane Pake, Zon Jonggol,Ardian Habib, Huda Aly Eljaqoly, Tsabit Abi Fadhil II].
Ibarot :
- Jami'ul jawami' :
للماضي أَربع حالات أَيْضا أَحدهَا أَن يتَعَيَّن مَعْنَاهُ للمضي وَهُوَ الْغَالِب الثَّانِي أَن ينْصَرف إِلَى الْحَال وَذَلِكَ إِذْ قصد بِهِ الْإِنْشَاء كبعت واشتريت وَغَيرهمَا من أَلْفَاظ الْعُقُود إِذْ هُوَ عبارَة عَن إِيقَاع معنى بِلَفْظ يقارنه فِي الْوُجُود
الثَّالِث أَن ينْصَرف إِلَى الِاسْتِقْبَال وَذَلِكَ إِذا اقْتضى طلبا نَحْو غفر الله لَك وعزمت عَلَيْك إِلَّا فعلت أَو لما فعلت أَو وَعدا نَحْو {إِنَّا أعطيناك الْكَوْثَر} الْكَوْثَر 1 أَو عطف على مَا علم استقباله نَحْو {يقدم قومه يَوْم الْقِيَامَة فأوردهم النَّار} هود 98
{وَيَوْم ينْفخ فِي الصُّور فَفَزعَ} النَّمْل 87 أَو نفي ب لَا أَو إِن بعد قسم نَحْو {وَلَئِن زالتا إِن أمسكهما من أحد من بعده} فاطر 41 أَي مَا يمسكهما
(ردُوا فواللَّهِ لَا ذُدْناكُمُ أبدا ... )
الرَّابِع أَن يحْتَمل الِاسْتِقْبَال والمضي وَذَلِكَ إِذا وَقع بعد همزَة التَّسْوِيَة نَحْو سَوَاء عَليّ أَقمت أم قعدت إِذْ يحْتَمل أَن يُرَاد مَا كَانَ مِنْك من قيام أَو قعُود أَو مَا يكون من ذَلِك
الفقه الإسلامي وأدلته ج ١ ص ١٧٩ المكتبة الشاملة
والحاصل: إن كانت الصلاة إحدى الفرائض الخمس، يجب على المصلي ثلاث نيات: فعل الصلاة، والفرضية، والتعيين، فيقول: نويت أن أصلي فرض الظهر، أو نويت أداء فرض صلاة العصر، أو فرض صلاة المغرب، ينوي الصلاة لتتميز العبادة عن العادة، وينوي الظهر لتمتاز عن العصر، وينوي الفرض ليمتاز عن النفل.
التهذيب في فقه الإمام الشافعي ج ٢ ص ٧٣
أما كيفية النية: نظر: إن كانت الصلاة إحدى الفرائض الخمس، يجب عليه ثلاث نيات: فعل الصلاة، والفريضة، والتعيين؛ فيقول: نويت أن أصلي فرض الظهر، أو نويت أداء فرض صلاة العصر، أو شرعت فرض صلاة المغرب؛ ينوي الصلاة؛ لتمتاز العبادة عن العادة، وينوي الظهر؛ ليمتاز عن العصر، وينوي الفرض؛ ليمتاز عن النفل.
الفتاوي الفقهية الكبرى ج ١ ص ١٣٩
(وَسُئِلَ) - فَسَحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ - فِي أَنَّ الْمُصَلِّيَ يَقُولُ: أُصَلِّي فَرْضَ صَلَاةِ الظُّهْرِ أَوْ صَلَاةِ الظُّهْرِ، وَهَلْ فِي هَذَا خِلَافٌ وَمَا الصَّحِيحُ فِي ذَلِكَ؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ: فَرَّقَ بَعْضُهُمْ بَيْنَ فَرْضِ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَفَرْضِ الظُّهْرِ، فَقَالَ: إنَّ الْأُولَى صَحِيحَةٌ بِخِلَافِ الثَّانِيَةِ؛ لِأَنَّ الظُّهْرَ اسْمٌ لِلْوَقْتِ لَا لِلْعِبَادَةِ وَهُوَ فَرْقٌ ضَعِيفٌ، وَالْمُعْتَمَدُ الصِّحَّةُ فِي كُلٍّ مِنْهُمَا، وَمَا عُلِّلَ بِهِ مَمْنُوعٌ، وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
الفتاوي الفقهية الكبرى ج ١ ص ٢١٩
(وَسُئِلَ) - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ كَيْفِيَّةِ نِيَّةِ الصَّلَاةِ بِأَنَّهُ كَيْفَ يَقُولُ الْمُصَلِّي أُصَلِّي سُنَّةَ الْعِيدِ. وَكَذَا فِي الْوِتْرِ أُصَلِّي صَلَاةَ الْوِتْرِ وَكَذَا الضُّحَى أَصَلَّى صَلَاةَ الضُّحَى وَكَذَا سُنَّةُ صَلَاةِ الْكُسُوفِ وَكَيْفَ يَنْوِي صَلَاةَ الْجِنَازَة وَمَا أَحْسَنَ مَا يَقُولُهُ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ.
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ: إنَّ الْأَوْلَى فِي ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ سُنَّةُ صَلَاةِ الْعِيدِ أَوْ الْوِتْرِ أَوْ الضُّحَى أَوْ الْكُسُوفِ وَالْقَوْلُ بِأَنَّ الْأَوْلَى نِيَّةُ الْوِتْرِ ضَعِيفٌ وَيَجِبُ أَنْ يُعَيِّنَ أَنَّ الْعِيدَ الْأَكْبَرُ أَوْ الْأَصْغَرُ وَأَنَّ الْكُسُوفَ لِلشَّمْسِ أَوْ الْقَمَرِ وَكَيْفِيَّةُ صَلَاةِ الْجِنَازَة أُصَلِّي عَلَى هَذَا الْمَيِّتِ أَوْ عَلَى فُلَانٍ إنْ كَانَ غَائِبًا أَوْ عَلَى مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ الْإِمَامُ فَرْضَ كِفَايَةٍ مَأْمُومًا إنْ كَانَ فِي جَمَاعَةٍ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
شرح المقدمة الحضرمية المسمى بشرى الكريم ص ١٩٧ المكتبة الشاملة
(ونية الفرضية) ويجمع الثلاثة قولك: أصلي فرض الظهر، أو أصلي الظهر فرضاً، وبذلك يتميز الفرض عن النفل،
https://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/4501463533209753/?refid=18