PERTANYAAN :
Assalaamu alaikum wr wb. Seorang suami meminta izin kpd istrinya untuk berpoligami, tapi sang istri tidak menyetujuinya. Karena tidak diberi izin, suami malah berzinah. Pertanyaanya, apakah sang istri ikut mendapat dosa sebab perbuatan zinah suaminya ? [Santriwati Dumay].
JAWABAN :
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Sang istri tidak ikut mendapat dosa sebab perbuatan zina suaminya. Syarat poligami itu berbuat adil dan mampu menafkahi. Tidak ada ketentuan dapat ijin dulu dari istri.
قيود إباحة التعدد :اشترطت الشريعة لإباحة التعدد شرطين جوهريين هما:1 - توفير العدل بين الزوجات: أي العدل الذي يستطيعه الإنسان، ويقدر عليه، وهو التسوية بين الزوجات في النواحي المادية من نفقة وحسن معاشرة ومبيت
Jadi suami zina karena istri tidak mengijinkan suami nikah lagi itu tidak bisa jadi alibi.
Istri tidak menanggung dosa yg dilakukan oleh perbuatan suami, karena dosa ditanggung pribadi masing², kecuali bisa memikul dosa orang lain jika dia menjadi sebab atau perantara (wasilah) orang lain mengerjakan atau berbuat dosa, seperti contoh : memyebarkan konten pornografi yg bisa diakses / di downloads oleh siapa saja maka hal tsb dosanya ta'adi ( bisa beranak pinak ) :
مَنْ سَنَّ فِيْ الْاِسْلاِمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُمَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصِ مِنْ أوْزَارِهِمْ شَيْئٌ
“Barangsiapa memberikan contoh yang baik dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka, dan barangsiapa yang memberikan contoh jelek dalam Islam maka atasnya dosanya dan dosa orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa dosa mereka.", kalau contoh istri tadi beda konteks, juga sang suami yang lebih mengikuti hawa nafsu sendiri.
Terkait masalah poligami memang pelik, karena disatu sisi ada yg pro dan sisi yang lain ada yang kontra dengan model dasar yang bermacam², disini saya secara pribadi lebih setuju ke arah yang kontra karena ada dua alasan idza' dan keadilan dan juga mengikuti fatwa grend syeik al azhar ( entah alasan harus idzin atau tidak idzin)
ظلم للمرأة وللأبناء أيضاً
في حلقة الأمس من برنامجه، قال الطيب إن مسألة تعدد الزوجات تشهد ظلماً للمرأة وللأبناء في كثير من الأحيان، وهي من الأمور التي شهدت تشويهاً للفهم الصحيح للقرآن الكريم والسنة النبوية، مطالباً المسلمين بإعادة قراءة الآية التي وردت فيها مسألة تعدد الزوجات بشكل كامل، فالبعض يقرأ "مثنى وثلاث ورباع"، وهذا جزء من الآية، وليس الآية كاملة، فهناك ما قبلها وما بعدها. وتساءل الطيب: هل المسلم فعلاً حر في أن يتزوج ثانية وثالثة ورابعة على زوجته الأولى أم أن هذه الحرية مقيدة بقيود وشروط؟ وأكمل أن التعدد حق للزوج لكنه "حق مقيد" بحسب وصفه، قائلاً إننا "نستطيع أن نقول إنه رخصة، والرخصة تحتاج إلى سبب، فمثلاً الذي يقصر الصلاة رخصته مشروطة بالسفر، وإذا انتفى السبب بطلت الرخصة". وأكد شيخ الأزهر أن "التعدد مشروط بالعدل، وإذا لم يوجد العدل يحرم التعدد"، مضيفاً أن العدل ليس متروكاً للتجربة، بمعنى أن الشخص يتزوج بثانية فإذا عدل يستمر وإذا لم يعدل يطلق، إنما بمجرد الخوف من عدم العدل أو الظلم أو الضرر يحرم التعدد، فالقرآن يقول: "فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً".
Kalau menurut حلمى اسمر beliau menyatakan meminta izin / izin dari istri pertama itu tidak wajib maupun fardhu tapi sebagai husnu suluk ( bagusnya tingkah laku) karena meneladani sikap sayyidina ali ketika ingin memoligami putri nabi Muhammad saw dengan putri abu jahal ternyata nabipun melarangannya, baru setelah sayyidah fatimah wafat beliau menikah lagi dengan beberapa istri, cerita diatas mensiratkan bahwasanya sayyidina ali tidak menikah lagi kecuali setelah meminta / mendapatkan idzin, ket di bawah :
السؤال الذي طرأ لي بين يدي هذا التعديل هو: هل يجب على الزوج استئذان زوجته عند رغبته في الزواج بأخرى؟ هل يبيح الشرع أن يتضمن قانون الأحوال الشخصية اشتراط حصول الزوج الذي يريد التعدد على إذن الزوجة الأولى؟ جاء في الأثر إن سيدنا علي (رضي الله عنه) أراد أن يتزوج على فاطمة بنت رسول الله (صلى الله عليه وسلم) ، وكان علي قد رغب في الزواج من بنت أبي جهل ، فلم يرضَ النبي صلى الله عليه وسلم وبيّن النبي السبب وهو ألا يجتمع تحت رجل واحد بنت رسول الله وبنت أبي جهل عدو الله ، ولكن عندما توفيت السيدة فاطمة تزوج علي بأكثر من امرأة ، وجمع بينهن: لأن المبرر لم يعد قائما ، ومن هذه القصة نعلم أن عليا لم يقم بالزواج إلا بعد الاستئذان ، ويعلق العلماء على هذه الواقعة بقولهم إن هذا من باب حسن السلوك ، وليس واجبًا ، ولا فرضًا شرعيًا ، ولكن تأسيًا بعلي (رضي الله عنه) ومن مثل هذه الواقعة ندرك أنه يحسن للزوج أن يبين لزوجته وأن يخبرها بالأسباب: لتعينه على أن تستمر معه ، ولكن ليس حقًا لها ، ولا تملك منعه،.
Terkait poligami menurut ulama aswaja ( NU ) dalam menyikapinya, Perihal praktik poligami, para ulama berbeda pendapat setidaknya terbelah menjadi dua. Pertama, kalangan Syafiiyah dan Hanbaliyah yang tampak menutup pintu poligami karena rawan dengan ketidakadilan sehingga keduanya tidak menganjurkan praktik poligami. Sementara kalangan Hanafiyah menyatakan kemubahan praktik poligami dengan catatan calon pelakunya memastikan keadilan di antara sekian istrinya.
ذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَزِيدَ الرَّجُل فِي النِّكَاحِ عَلَى امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ ظَاهِرَةٍ ، إِنْ حَصَل بِهَا الإِعْفَافُ لِمَا فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْوَاحِدَةِ مِنَ التَّعَرُّضِ لِلْمُحَرَّمِ ، قَال اللَّهُ تَعَالَى وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ، وَقَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ يَمِيل إِلَى إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَدُ شِقَّيْهِ مَائِلٌ"... وَيَرَى الْحَنَفِيَّةُ إِبَاحَةَ تَعَدُّدِ الزَّوْجَاتِ إِلَى أَرْبَعٍ إِذَا أَمِنَ عَدَمَ الْجَوْرِ بَيْنَهُنَّ فَإِنْ لَمْ يَأْمَنِ اقْتَصَرَ عَلَى مَا يُمْكِنُهُ الْعَدْل بَيْنَهُنَّ ، فَإِنْ لَمْ يَأمَنْ اقْتَصَرَ عَلَى وَاحِدَةٍ لِقَولِه تَعَالَى فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Artinya, “Bagi kalangan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, seseorang tidak dianjurkan untuk berpoligami tanpa keperluan yang jelas (terlebih bila telah terjaga [dari zina] dengan seorang istri) karena praktik poligami berpotensi menjatuhkan seseorang pada yang haram (ketidakadilan). Allah berfirman, Kalian takkan mampu berbuat adil di antara para istrimu sekalipun kamu menginginkan sekali.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang memiliki dua istri, tetapi cenderung pada salah satunya, maka di hari Kiamat ia berjalan miring karena perutnya berat sebelah.’ ... Bagi kalangan Hanafiyah, praktik poligami hingga empat istri diperbolehkan dengan catatan aman dari kezaliman (ketidakadilan) terhadap salah satu dari istrinya. Kalau ia tidak dapat memastikan keadilannya, ia harus membatasi diri pada monogami berdasar firman Allah, ‘Jika kalian khawatir ketidakadilan, sebaiknya monogami,’” (Lihat Mausu’atul Fiqhiyyah, Kuwait, Wazaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, cetakan pertama, 2002 M/1423 H, juz 41, halaman 220).
Madzhab Syafi’i dengan jelas tidak menganjurkan praktik poligami. Bahkan Madzhab Syafi’i mempertegas sikapnya bahwa praktik poligami tidak diwajibkan sebagaimana kutipan Syekh M Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj berikut ini :
إنَّمَا لَمْ يَجِبْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ إذ الْوَاجِبُ لَا يَتَعَلَّقُ بِالِاسْتِطَابَةِ وَلِقَوْلِهِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ وَلَا يَجِبُ الْعَدَدُ بِالْإِجْمَاعِ
Artinya, “Nikah itu tidak wajib berdasarkan firman Allah (Surat An-Nisa ayat 3) ‘Nikahilah perempuan yang baik menurutmu.’ Pasalnya, kewajiban tidak berkaitan dengan sebuah pilihan yang baik. Nikah juga tidak wajib berdasarkan, ‘Dua, tiga, atau empat perempuan.’ Tidak ada kewajiban poligami berdasarkan ijma‘ ulama,” (Lihat Syekh M Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Fikr, tanpa keterangan tahun, juz 3, halaman 125).
Masalah yang diangkat pada kutipan di atas menyoal boleh atau tidaknya praktik poligami yang didasarkan pada keadilan dan ketidakadilan terkait jadwal kehadiran, nafkah finansial, atau kasih sayang terhadap anak-anak.
Syekh Wahbah Az-Zuhayli memandang bahwa praktik poligami bukan bangunan ideal rumah tangga Muslim. Menurutnya, bangunan ideal rumah tangga Muslim adalah monogami. Praktik poligami adalah sebuah pengecualian dalam praktik rumah tangga. Praktik ini bisa dilakukan dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus. Walhasil, hanya kondisi darurat yang membolehkan seseorang menempuh praktik poligami.
Baca juga dokumen 1225 : http://www.piss-ktb.com/2012/03/1225-ketentuan-diperbolehkannya.html
Wallohu a'lam. [Muh Jayus, JaMus KaliMosodo ].