PERTANYAAN :
Assalamu alaikum. Mau tanya ustadz : Apabila ada suami istri pd malam hari melakukan jimak terus pada saat mau sholat subuh si istri haid. Apakah istri tetap wajib mandi junub atau sekalian besok pas waktu suci ? [Ayla Zahra].
JAWABAN :
Wa'alaikumussalam. Bila sedang haid tidak boleh mandi junub/wudlu'. Jadi nunggu setelah suci kemudian dikumpulkan menjadi satu/mandi satu kali untuk junub atau haid. Jika tetap Mandi junub dalam keadaan haid maka mandi junubnya tidak sah.
فرع
إذا حاضت ثن أجتبت أو أجنيت ثم حاضت لم يصح غسلها عن الجنابة في حال الحيض لأنه لا فائدة فيه وفيه وجه ضعيف ذكره الكرسانيون انه يصح غسلها عن الجنابة
"CABANG : Apabila haid kemudian junub atau junub kemudian haid tidak sah mandi dari janabahnya karena tidak berfaedah. Satu pendapat dho'if yang dituturkan Khurasaniyyun (Ulama Khurasan) sah mandi dari janabahnya". [Al-Majmuu' Syarh al-Muhadzdzab II/150].
إذا أصابت المرأة جنابة ثم حاضت قبل أن تغتسل من الجنابة لم يكن عليها غسل الجنابة وهي حائض، لأنها إنما تغتسل فتطهر بالغسل وهي لا تطهر بالغسل من الجنابة وهي حائض، فإذا ذهب الحيض عنها أجزأها غسل واحد، وكذلك لو احتلمت وهي حائض أجزأها غسل واحد، لذلك كله ولم يكن عليها غسل، وإن كثر احتلامها حتى تطهر من الحيض فتغتسل غسلاً واحداً
"Apabila seorang wanita mengalami junub kemudian datang haidh sebelum mandi janabah maka dia tidak wajib mandi janabah sedangkan dia dalam keadaan haidh, karena dia mandi tujuannya adalah supaya suci, sedangkan wanita yang sedang haidh tidak akan suci dengan mandi karena junub. Maka apabila haidh sudah pergi cukup baginya mandi sekali. Demikian pula apabila mimpi basah sedangkan dia dalam keadaan haidh, cukup baginya mandi sekali untuk semuanya, tidak wajib atasnya mandi meskipun banyak mimpi basah sampai dia suci dari haidh kemudian mandi sekali". (Al-Umm 2/95).
إذَا كَانَ عَلَى الْحَائِضِ جَنَابَةٌ ، فَلَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تَغْتَسِلَ حَتَّى يَنْقَطِعَ حَيْضُهَا، نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ ، وَهُوَ قَوْلُ إِسْحَاقَ ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْغُسْلَ لَا يُفِيدُ شَيْئًا مِنْ الْأَحْكَامِ ، فَإِنْ اغْتَسَلَتْ لِلْجَنَابَةِ فِي زَمَنِ حَيْضِهَا ، صَحَّ غُسْلُهَا ، وَزَالَ حُكْمُ الْجَنَابَةِ، نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ ، وَقَالَ : تَزُولُ الْجَنَابَةَ ، وَالْحَيْضُ لَا يَزُولُ حَتَّى يَنْقَطِعَ الدَّمُ
"Apabila seorang wanita yang sedang haidh mengalami junub maka dia tidak wajib mandi sampai terhenti haidhnya, ini adalah nash Ahmad dan perkataan Ishaq, yang demikian karena mandinya tidak berfaidah (berpengaruh) dalam hukum, apabila dia mandi karena junub ketika haidh maka sah mandinya dan terangkatlah junubnya, ini yang dinashkan oleh Ahmad, beliau berkata: Terangkat junubnya, adapun haidh maka tidak terangkat sehingga terhenti darahnya ". (Al-Mughny 1/278).
Sedang dalam Madzhab Hanafiy dijelaskan :
وإذا أجنبت المرأة ثم أدركها الحيض فهي بالخيار إن شاءت اغتسلت؛ لأن فيه زيادة تنظيف وإزالة أحد الحدثين، وإن شاءت أخرت الاغتسال حتى تطهر؛ لأن الاغتسال للتطهير حتى تتمكن من أداء الصلاة، ألا ترى أن الجنب إذا أخر الاغتسال إلى وقت الصلاة لا يأثم، دل أن المقصود من الطهارة الصلاة، ومن لا يتمكن من الصلاة، فكان لها أن لا تغتسل.
"Dan apabila seorang wanita mengalami junub kemudian datang haidh maka dia diberi pilihan, bila dia mau silakan mandi, karena itu lebih bersih dan menghilangkan salah satu hadats, dan kalau mau maka silakan mengakhirkan mandi sampai suci dari haidh, karena mandi adalah bersuci untuk menunaikan ibadah shalat. Bukankan orang yang junub tidak berdosa apabila mengakhirkan mandi sampai masuk waktu shalat, ini menunjukkan bahwa maksud dari bersuci adalah untuk shalat. Dengan demikian barangsiapa yang belum bisa mengerjakan shalat maka boleh baginya untuk tidak mandi ". (Al-Muhiith Al-Burhany 1/79).
Wallahu A'lamu Bis Showaab. [Mujawwib : Abdul Qodir Shodiqi, Ismidar Abdurrahman As-Sanusi, Moh Showi].
LINK ASAL :
fb.com/groups/piss.ktb/2335943213095140/