Oleh : Tamam Elva's
Rowany
Bulan Ramadhan adalah bulan
termulia; bulan turunnya Al-Qur'an untuk pertama kali, bulan penuh ampunan,
rahmah serta ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala, bulan yang penuh dengan
momen-momen terkabulnya doa, di bulan ini terdapat lailatul qadar, yakni suatu
malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Bulan Ramadhan merupakan
kesempatan emas bagi umat Islam untuk memperbanyak pahala dengan melakukan
berbagai macam amal ibadah. Diantara ibadah yang mendapat penekanan khusus pada
bulan Ramadhan adalah qiyam Ramadhan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
"Barangsiapa melaksanakan
qiyam pada (malam) bulan Ramadhan karena meyakini keutamaannya dan karena
mencari pahala (bukan karena tujuan pamer atau sesamanya), maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lewat". (Muttafaq 'alaih).
Qiyam Ramadhan yang
dimaksud pada hadis di atas bisa dilaksanakan dengan shalat Tarawih atau ibadah
lainnya.(1)
Kontroversi Jumlah Rakaat
Shalat Tarawih
Perdebatan seputar jumlah
rakaat shalat tarawih bukanlah hal baru dalam kajian hukum Islam. Perdebatan itu
adalah perdebatan klasik dan telah ada sejak masa para ulama salaf. Imam Ishaq
bin Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang jumlah rakaat
shalat qiyam Ramadhan yang beliau kerjakan. Beliau menjawab: "Ada sekitar empat
puluh pendapat mengenai masalah ini." Imam al-'Aini menyebutkan sebelas pendapat
ulama seputar jumlah raka'at shalat Tarawih.(2)
Walaupun terjadi perbedaan
semacam itu, perlu diketahui, shalat Tarawih boleh untuk dilakukan hanya dua
rakaat saja atau berpuluh-puluh rakaat.(3) Syekh Ibnu Taimiyah
berkata : "Barangsiapa yang menduga bahwa sesungguhnya qiyam Ramadhan memiliki
bilangan tertentu yang ditentukan oleh Nabi shallallahu alihi wa sallam, tidak
boleh ditambah atau dikurangi, maka sungguh dia telah salah."(4) Para ulama hanya berbeda
pendapat dalam menentukan jumlah rakaat yang paling utama.(5) Kebanyakan ulama memilih
dua puluh rakaat.(6) Namun ada juga beberapa
pendapat yang memilih selain dua puluh, seperti sebelas (delapan rakaat Tarawih
dan tiga rakaat Witir) dan lain-lain.(7) Ibnu Taimiyah menganggap
semuanya baik dan boleh dikerjakan.(8)
Perbedaan ini muncul karena
di dalam hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi
shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal
dengan shalat Tarawih itu selama dua atau tiga malam saja dengan berjamaah di
masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu, tetapi beliau tidak
keluar. Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan sampai pada awal masa
Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, tidak ada yang melakukan shalat
Tarawih secara berjamaah dengan satu imam di masjid.(9)
Dalil
Tarawih 20 Rakaat
Mayoritas ulama berpendapat
bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh
rakaat.
Berikut ini adalah
dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat
tersebut.
1. Hadis
mauquf
وعن
ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت
مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا
النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي
الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ
جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى
وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ
هَذِهِ...
"Diriwayatkan dari Ibnu
Syihab, dari 'Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia
berkata: "Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar
bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok
yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang
lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata:
"Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam." Lalu Umar
berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka'ab. Pada kesempatan malam
yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku
menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya.
Umar berkata: "Ini adalah sebaik-baik bid'ah..." (HR. Bukhari).
Di dalam hadis yang lain
disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah
Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.
عَنْ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ
عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
"Diriwayatkan dari al-Sa'ib
bin Yazid radhiyallahu 'anhu. Dia berkata : "Mereka (para shahabat) melakukan
qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh
rakaat."
Hadis kedua ini
diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan
sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-'Aini, Imam
al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila'i,
Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)
Menurut disiplin ilmu
hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada
shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).
Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan
hukum (lahu hukmu al-marfu'). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah
rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan
pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal
al-ra'yi).(11)
2.
Ijma' para shahabat Nabi
Ketika Sayyidina Ubay bin
Ka'ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun
shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam?
Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina
Ubay bin Ka'ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin
al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para
shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal
pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna
fi Allah laumata laa'im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali
bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah
A'isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu 'anhum ajma'in) kalah
berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina
Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur'an ketika beliau
hendak membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma') para
shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi'in dan generasi setelahnya. Di
masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu
'anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh
rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan
shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah
seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus
pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak
ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan
melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di
agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan
fatwanya mengatakan : "Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka'ab
mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat.
Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka'ab
melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun
di antara mereka yang mengingkari..."(14)
Di samping kedua dalil yang
sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para
pendukung Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu
mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha'if, kedua dalil
di atas sudah lebih dari cukup.
Dalil
Tarawih 8 Rakaat
Sebagian ulama ada yang
berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang ekstrim,
yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi
delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat
Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima
rakaat.(15)
Berikut ini adalah beberapa
dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus
sanggahannya.
1.
Hadis Ubay bin Ka'ab
أخبرنا
أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي
، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى
النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء - يعني في
رمضان - قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ،
فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ،
ولم يقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia
berkata : "Ubay bin Ka'ab datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam
lalu berkata : "Wahai Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan,
maksudnya pada bulan Ramadhan." Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian
bertanya: "Apakah itu, wahai Ubay?" Ubay menjawab : "Orang-orang wanita di rumah
saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur'an. Mereka minta saya untuk
mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat,
kemudian saya shalat Witir." Jabir kemudian berkata : "Maka hal itu sepertinya
diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa."
(HR. Ibnu Hibban).
Hadis ini kualitasnya lemah
sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah.
Menurut Imam Ibnu Ma'in dan Imam Nasa'i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah
hadisnya. Bahkan Imam Nasa'i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah
matruk (hadisnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga
terdapat rawi bernama Ya'qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya'qub
al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).(16)
2.
Hadis Jabir
حدثنا
عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن
جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات
وأوتر.
Dari Jabir, ia berkata :
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan
Ramadhan delapan rakaat dan Witir." (HR. Thabarani).(17)
Hadis ini kualitasnya sama
dengan Hadis Ubay bin Ka'ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu).
karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan
Ya'qub al-Qummi.(18)
3.
Hadis Sayyidah A'isyah tentang shalat Witir
مَا
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ
وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
"Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain
bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat." (Muttafaq 'alaih).
Menurut kelompok pendukung
Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini adalah
delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Dari segi sanad, hadis ini
tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari,
Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq 'alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini
sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa
kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih
delapan rakaat :
a.
Pemotongan hadits
Kawan-kawan yang sering
menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya
secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di
atas. Bunyi hadis ini secara sempurna adalah sebagai berikut :
عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ
–رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى
إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ
وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ
وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا
رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ،
إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Dari Abi Salamah bin Abd
al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A'isyah radhiyallahu 'anha perihal
shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan
Ramadhan. A'isyah menjawab : "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak
pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari
sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik
dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A'isyah kemudian berkata :
"Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?" Beliau
menjawab : "Wahai A'isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku
tidak tidur."
Pemotongan hadis
boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim
dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan.
Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan
kesimpulan yang berbeda.(19) Pemotongan pada hadis di
atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara
utuh, konteks hadis ini sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan
shalat Tarawih, karena pada akhir hadis ini, A'isyah menanyakan shalat Witir
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.(20)
b.
Kesalahan dalam memahami maksud hadis
Dalam hadis di atas,
Sayyidah A'isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan
maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik
pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena
shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama
berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil
shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat
oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A'isyah radhiyallahu
'anha.
عن
عائشة - رضي الله عنها - : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من
الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».
Dari A'isyah radhiyallahu
'anha, ia berkata : "Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas
rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar." (HR.
Bukhari).(21)
c.
Pemenggalan Hadis
Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud
dari pada sebelas rakaat pada hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan
tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang
merupakan dalil untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat
Tarawih dan tiga rakaat Witir.(22)
Di sisi lain, jika kita
menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan
Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga
rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat
dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi mengatakan : "Diriwayatkan dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1
rakaat."(23) Apabila di selain bulan
Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat,
pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan
Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
d.
Inkonsisten dalam mengamalkan hadis
Dalam hadis di atas secara
jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan
shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan
yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat
pada hadis di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat
Witir, seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan
bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar
apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada bulan Ramadhan
saja.
e.
Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat Nabi
Pemenggalan hadis seperti
itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma') para shahabat radhiyallahu 'anhum
termasuk diantaranya Khulafa' al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua
puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa' al-Rasyidin. Dalam sebuah
hadis disebutkan :
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
"Ikutilah sunnahku dan
sunnah al-Khulafa' al-Rasyidin setelahku!" (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi,
Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).(24)
Dalam hadis yang lain
disebutkan :
اقْتَدُوا
بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
"Ikutilah orang-orang
setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!" (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan
lain-lain).(25)
Dalam hadis yang lain juga
disebutkan :
إن
الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
"Sesungguhnya Allah
menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar." (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim,
al-Tirmidzi dan lain-lain).(26)
f.
Kerancuan linguistik
Kata tarawih dalam bahasa
Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti
mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti
istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa
Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena
orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.(27)[i]
Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya,
minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat
Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat
Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini
sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.(28)
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas
sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih afdhal dibanding delapan
rakaat. Dengan dalil ijma' shahabat di dukung hadis mauquf berkualitas shahih
yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara
tidak ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat
atas shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha'if,
bahkan matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang disalah-pahami.
Namun perlu di ingat,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana
yang lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih
melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan
kelompok yang memilih melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya.
Apalagi sampai saling mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan
yang agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan
ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, justru dikotori dengan saling hina,
saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang
lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok
masyarakat yang memilih delapan rakaat saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua
kelompok ini untuk tidak pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga
bagi mereka antara persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois,
fanatik serta pembelaan mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa
toleransi antar umat beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada
persatuan saudara seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati
dan diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim?
Sebenarnya kalau mau
introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting yang harus mereka perhatikan
daripada mengurusi jumlah rakaat shalat Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan
berlomba-lomba untuk terburu-buru dalam melaksanakan shalat Tarawih serta
berbangga diri ketika shalat Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang
karena terlalu cepatnya shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan
sebagian kewajiban tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku', i'tidal dan
sujud tanpa thuma'ninah atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga
menggugurkan salah satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu.
Dengan begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga mereka
tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek (tuas kesel : Jawa).
Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan membanggakannya, sehingga
mereka tidak pernah mengakui kesalahannya.(29)
Dari itu, waspadalah dan
sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan
antara satu sama lain bi al-hikmah wa al-mau'idzah al-hasanah. Marilah kita
laksanakan shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita
laksanakan shalat dengan khusyu', khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun
serta penuh adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya
syetan tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada
Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan
orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka. WA ALLAH
A'LAM BI AL-SHAWAB.
Tarim, 5 Ramadhan 1431
H.
* Penulis adalah mahasiswa
tingkat III Fak. Syariah & Hukum Univ. Al-Ahgaff, Hadhramaut Yaman. Aktifis
PCI-NU Yaman dan Koordinator Dept. Pendidikan & Dakwah Persatuan Pelajar
Indonesia (PPI) Yaman 2009-2010 M. Wilayah Hadhramaut.
Catatan Kaki :
(1) Badrudin al-'Aini,
'Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-Arabi,
tt., XI/124. Ibnu Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari,
Cairo : Dar al-Rayyan li al-Turats, 1407 H., IV/296.
(2) Badrudin al-'Aini,
op.cit., XI/126-127. 'Ala'uddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al- Dimasyqi,
al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah min Fatawa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, Alexanderia
: Dar al-Iman, 2005 M, hal. 315-316. 'Ala'uddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman
al- Mardawi, al-Inshaf fi Ma'rifah al-Rajih min al-Khilaf, Beirut : Dar Ihya'
al-Turats al-Arabi, 1419 H, II/128.
(3) Menurut madzhab
Syafi'i, shalat Tarawih boleh dikerjakan mulai dari dua rakaat dan maksimalnya
adalah dua puluh rakaat. Lihat antara lain: Said bin Muhammad Ba'asyan, Busyra
al-Karim, Jeddah : Dar al-Minhaj, 1429 H/2008 M, hal. 316. Ibnu Hajar
al-Haitami, al-Manhaj al-Qawim, Mesir : al-Mathba'ah al-'Amirah al-Syarafiyah,
tt., II/469. periksa juga komentar al-Kurdi dan al-Tarmasi pada halaman yang
sama.
(4) Mulla Ali al-Qari,
Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, hal. 175. Abd. Qadir Isa Diyab,
al-Mizan al-'Adil li Tamyiz al-Haq min al-Bathil, Damaskus : Dar al-Taqwa, 1425
H/2005 M, hal. 247. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, al-Mausu'ah al-Yusufiyah,
Damaskus : Dar al-Taqwa, tt., hal. 634.
(5) Abd. Qadir Isa Diyab,
op.cit., hal. 246-248. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, loc.cit. Husain bin Ibrahim
al-Maghribi, Qurrah al-'Ain bi Fatawa Ulama' al-Haramain, Maktabah 'Arafat, tt.,
hal.
(6) Ibnu Abdil Bar
al-Andalusi, al-Istidzkar, Abu Dabi : Mu'assasah al-Nida', 1422 H, II/317-319.
Muhammad Mahfuzh al- Tarmasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, Mesir : al-Mathba'ah
al-'Amirah al-Syarafiyah, tt., II/465-467. Abd. Qadir 'Isa Diyab, op.cit., hal.
243-247.
(7) Muhammad Abd al-Rahman
al-Mubarokfuri, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jami' al-Tirmidzi, Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, tt., III/438-450.
(8) Ibnu Taimiyah, Majmu'
al-Fatawa, Editor : Anwar al-Baz dan Amir al-Jazzar, Dar al-Wafa', 1426 H/2005
M, XXIII/112-113. Mulla Ali al-Qari, loc.cit.
(9) KH. Ali Mustafa Yaqub,
Hadis-hadis Bermasalah, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007, hal. 148.
(10) Abd. Qadir Isa Diyab,
op.cit., hal. 242. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 632. KH. Ali
Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 148.
(11) Abdur Rahman
al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, Beirut : Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M, hal. 121. KH.
Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 149.
(12) KH. Ali Mustafa Yaqub,
loc.cit. menukil dari Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an al-Adzim, Riyadh : Dar 'Alam
al-Kutub, 1418/1998, I/571.
(13) KH. Ali Mustafa Yaqub,
op.cit., hal. 155. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 635.
(14) Ibnu Taimiyah,
loc.cit.
(15) KH. Ali Mustafa Yaqub,
op.cit., hal. 156.
(16) KH. Ali Mustafa Yaqub,
op.cit., hal. 139-140. menukil dari al-Dzahabi, Mizan al-I'tidal fi Naqd
al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Beirut : dar al-Fikr, 1382 H/1963 M,
III/311. Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 241.
(17) Abu al-Qasim Sulaiman
bin Ahmad al-Thabarani, al-Mu'jam al-Ausath, Editor : Thariq bin 'Awadh, Cairo :
Dar al-Haramain, 1415 H, IV/108.
(18) KH. Ali Mustafa Yaqub,
op.cit., hal. 140. Abd. Qadir Isa Diyab, loc.cit.
(19) Abdur Rahman
al-Suyuthi, op.cit., hal. 303.
(20) KH. Ali Mustafa Yaqub,
op.cit., hal. 143.
(21) Ibid.
(22) Ibid., hal.
146.
(23) Muhammad bin Isa
al-Tirmidzi, al-Jami' al-Shahih, Editor : Ahmad Muhammad Syakir dkk., Beirut :
Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, tt., II/319.
(24) Ibnu Hajar
al-Asqalani, al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi'i
al-Kabir.
(25) Abdur Rahman
al-Suyuthi, al-Jami' al-Shaghir. Isma'il bin Muhammad al-Ajluni, Kasyf al-Khafa'
wa Muzil al-Ilbas, Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, tt., I/160
(26) Abdur Rahman
al-Suyuthi, Jami' al-Ahadits. Isma'il bin Muhammad al-Ajluni, op.cit.,
I/223.
(27) Ibnu Mandzur, Lisan
al-'Arab, Beirut : Dar Sadir, tt., II/455. Muhammad Murtadha al-Zabidi, Taj
al-'Arus min Jawahir al-Qamus. Ahmad al-Fayyumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib
al-Syarh al-Kabir. Majma' al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu'jam al-Wasith, Cairo :
Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 1425 H/2004 M, hal. 380. Dr. Muhammad Rowa
Qal'ah Jie dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi, Mu'jam Lughah al-Fuqaha', Amman : Dar
al-Nafa'is, tt., I/127. Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, Editor : Abd al-Salam
Muhammad Harun, Ittihad al-Kitab al-'Arab, 1423 H/2002 M, II/378.
(28) Dr. Ali Gom'ah,
al-Bayan lima Yusyghil al-Adzhan, Mi'ah Fatwa li Radd Ahamm Syubah al-Kharij wa
Lamm Syaml al-Dakhil, Cairo : Dar al-Moqattham, 2009 M, hal. 272-273. KH. Ali
Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 137.
(29) Disarikan dari nasehat
Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad di dalam kitab beliau, Nasha'ih al-Diniyah wa
al-Washaya al-Imaniyah, hal. 175
LINK ASAL :
www.fb.com/groups/piss.ktb/807632219259588/
www.fb.com/notes/808069552549188