Bab VI
Shalat (Bagian 1)
Dalil kewajiban shalat
telah termaktub dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw. Di antara ayat-ayat
al-Qur’an yang mejelaskan tersebut adalah:
فَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَّوْقُوتًا
Artinya: “Maka Dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nisâ’ [04]:
103)
وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
Artinya: “Dan dirikanlah
shalat, sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar”. (QS
al-Ankabût [29]: 45).
Adapun dalil hadits
mengenai kewajiban shalat di antaranya adalah hadits yang terdapat dalam kitab
Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim:
فَرَّضَ
اللهُ على أُمَّتِى لَيْلَةَ الإِسْرَاءِ خَمْسِيْنَ صَلاَةً فَلَمْ أَزَلْ
أُرَاجِعُهُ وأَسْأَلهُُ ُالتَّخْفِيْفَ حَتّى جَعَلَهَا خَمْسًا فِىْ كُلِّ يَوْمٍ
ولَيْلَةٍ
Artinya: “Allah SWT pada
malam Isra’ mewajibkabkan atas umatku lima puluh shalat, kemudian aku
terus-menerus kembali kepada Allah dan memohon keringan sehingga Allah
menjadikannya menjadi lima shalat sehari semalam.”
Shalat fardhu yang wajib
dikerjakan oleh segenap umat Islam adalah shalat lima waktu. Yaitu, shalat
zhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh.
Syarat-syarat
Shalat
Adapun syarat yang harus
dipenuhi sebelum mengerjakan shalat adalah sebagai berikut:
1. Beragama Islam. Shalat
tidak sah dikerjakan oleh non muslim.
2. Suci dari hadas kecil
atau besar, kecuali jika tidak menemukan air dan debu.
3. Tempat shalat, tubuh dan
pakaiannya suci dari segala najis yang tidak di-ma’fû.
4. Sudah bâligh dan berakal
(mukallaf).
5. Mengetahui tata cara
shalat. Maksudnya, mengetahui bahwa shalat yang dikerjakan adalah fardhu dan
dapat membedakan atara yang rukun dan sunnat.
6. Mengetahui masuknya
waktu shalat.
7. Menghadap kiblat,
kecuali shalat syiddat al-khauf[1] dan shalat sunnat yang dilakukan di atas
kendaraan pada saat bepergian.
8. Menutup aurat.[2] Batas
aurat adalah antara pusar sampai lutut bagi orang laki-laki. Jadi, misalnya
memakai sarung maka gulungan sarung agar berada di atas pusar, sedangkan
ujungnya berada di bawah lutut. Ujung sarung sunnat berada di atas mata
kaki.
Sedangkan aurat bagi
perempuan adalah semua bagian tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Yang perlu
diperhatikan dalam pemakaian rukuh, wajah bagian pinggir juga harus ditutupi
termasuk juga dagu bagian bawah. Sebaiknya, menggunakan rukuh dengan model tidak
terpotong untuk menghindari terbukanya aurat pada saat takbir atau
rukû.
Rukun-rukun
Shalat
Rukun-rukun shalat
meliputi:
1.
Niat
Niat dilakukan dalam hati
bersamaan dengan takbîratul ihrâm. Waktu berniat adalah sejak mengucapkan
hamzahnya kaka Allah dalam takbir sampai akhir râ’nya kata akbar. Yang dimaksud
dengan ‘niat’ di sini adalah menggambarkan di dalam hati bentuk shalat secara
global disertai bermaksud melakukannya, menyatakan ke-fardhu-an dan menentukan
shalatnya (semisal zhuhur). Sedangkan yang dimaksud dengan “bersamaan” adalah
membersamakan gambaran hati tersebut dengan takbir[3].
Contoh lafal niat adalah
seperti berikut:
أُصَلِّى
فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لله
تَعَالَى.
Membaca lafal ini hukum
sunnat sebelum takbir. Sedangkan niat yang difardhukan adalah niat di dalam hati
bersamaan dengan takbir.
Berikut ini adalah
bacaan-bacaan niat shalat. Kata yang bergaris bawah adalah unsur wajib dari
niat:[4]
a. Lafadz Niat shalat
zhuhur:
اُصَلِّيْ
فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً
(مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى
Artinya: Saya melakukan
shalat fardhu zhuhur sebanyak empat rakaat dengan menghadap kiblat, pada
waktunya (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
b. Lafadz Niat shalat
ashar:
أُصَلِّى
فَرْضَ العَصْرِأَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً
(مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى.
Artinya: Saya melakukan
shalat fardhu ashar sebanyak empat rakaat dengan menghadap kiblat, pada waktunya
(menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
c. Lafadz Niat shalat
maghrib:
أُصَلِّى
فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعاَتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً
(مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى.
Artinya: Saya melakukan
shalat fardhu maghrib sebanyak tiga rakaat dengan menghadap kiblat, pada
waktunya (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
d. Lafadz Niat shalat
isya’:
أُصَلِّى
فَرْضَ العِشَاء ِأَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً
(مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى.
Artinya: Saya melakukan
shalat fardhu isya’ sebanyak empat rakaat dengan menghadap kiblat, pada waktunya
(menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
e. Lafadz Niat shalat
shubuh:
أُصَلِّى
فَرْضَ الصُّبْح رَكَعتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً
(مَأْمُوْمًا/إِمَامًا) لله تَعَالَى.
Artinya: Saya melakukan
shalat fardhu subuh sebanyak dua rakaat dengan menghadap kiblat, pada waktunya
(menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
Melengkapi niat shalat
dengan pernyataan “menghadap kiblat, ada’ atau qadha’, semata karena Allah dan
menentukan jumlah rakaat” hukumnya sunnat.
2.
Takbîratul ihrâm
Bacaan takbîratul ihrâm
adalah:
أللهُ
أَكْبَرْ
Dalam mengucapkan takbir,
orang yang shalat wajib membacanya dengan tepat dan benar.
Saat takbir sunnat
mengangkat kedua tangan. Bagi laki-laki dengan cara:
1) posisi tangan berada di
atas pundak;
2) ibu jari lurus dengan
daun telinga bagian bawah;
3) jari-jari agak
direnggangkan;
4) ujung jari-jari
diluruskan dengan daun telinga bagian atas dan condong ke arah
kiblat.
Bagi orang perempuan
praktek mengangkat tangannya sama dengan praktekya laki-laki, dan ada ulama yang
menyatakan (qîl) tangannya diangkat tidak terlalu tinggi kira-kira ujung
jari-jari lurus dengan bahu.
3.
Berdiri bagi orang yang mampu
Orang yang tidak mampu
berdiri, maka harus melakukan shalat dengan duduk. Orang yang tidak mampu shalat
dengan cara duduk, maka, harus melaksanakan shalat dengan cara tidur miring.
Bila dengan cara tidur miring masih tidak memungkinkan, maka harus melaksanakan
shalat dengan cara tidur terlentang. Jika masih tidak mampu melakukannya dengan
tidur terlentang, maka harus melakukan shalat isyarat dengan kelopak mata. Jika
masih tidak memungkinkan melakukannya dengan cara tersebut, maka harus
menjalankan rukun shalat dalam hati. Keterangan lebih lengkap dijelaskan dalam
bab Shalat Ma’dzûr.
4.
Membaca surat Fâtihah di setiap rakaat
Jika tidak mampu membaca
surat Fâtihah, karena baru masuk Islam misalnya, maka alternatifnya harus
membaca tujuh ayat lain yang jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah
huruf-huruf yang terdapat dalam surat Fâtihah. Jika tidak mampu membaca tujuh
ayat lain sama sekali, maka harus membaca tujuh macam dzikir atau doa dengan
jumlah huruf yang sekiranya tidak kurang dari jumlah hurufnya surat Fâtihah.
Jika tidak mampu membaca tujuh macam dzikir atau doa, maka harus berdiri (diam)
dalam waktu yang kira-kira cukup untuk membaca Fâtihah. Bagi orang yang hanya
mampu membaca sebagian dari surat Fâtihah, maka dia harus mengulang-ulanginya
sampai jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf yang terdapat dalam surat
Fâtihah.
Pembacaan surat Fâtihah,
harus sesuai dengan urutan ayat yang ada di dalam al-Qur’an. Selain itu, juga
harus berkesinambungan (muwâlat). Artinya, harus membaca berkesinambungan antara
satu kalimat dengan kalimat berikutnya, tidak dipisah dengan diam, atau membaca
dzikir yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Lain halnya jika dzikir pemisah
itu masih berhubungan dengan shalat, semisal membaca âmîn di pertengahan Fâtihah
karena mengamini bacaan Fâtihah imam.
Diam bisa mempengaruhi pada
kesinambungan (muwâlat) Fâtihah, apabila dilakukan dalam waktu yang cukup lama
tanpa ada udzur. Atau diam sebentar, tapi memang bertujuan untuk memutus bacaan.
Jika diamnya karena lupa bacaan Fâtihah atau tidak tahu bahwa muwâlat itu wajib,
maka hukumnya tidak apa-apa, baik waktu diamnya lama atau sebentar, sebab hal
itu dianggap udzur.
Pembacaan Fâtihah harus
lengkap, harus menyuarakan tasydîdnya yang jumlahnya ada 14, juga mengucapkan
huruf dengan benar (sesuai makhraj/tempat keluarnya huruf). Jangan sampai ada
salah satu huruf yang dihilangkan dari surat Fâtihah, atau mengubah bacaan
huruf sehingga menyebabkan maknanya tidak benar.
5. Rukû‘
disertai thuma’nînah.[5]
Rukû‘ dengan cara
membungkukkan tubuh, sampai kira-kira kedua tangan bisa meraih lutut. Sebelum
rukû‘ sunnat mengangkat tangan dan takbir terlebih dahulu.
Sedangkan cara rukû‘ yang
lebih sempurna bagi laki-laki adalah dengan:
1) membungkukkan tubuh
sampai kira-kira tulang belakang punggung (verterbrate) dan leher serta kepala
bisa lurus;
2) menegakkaan kedua lutut;
3) telapak tangan meraih
lutut;
4) jari-jari tangan
direnggangkan sedikit agar jari-jari tidak berpaling dari arah
kiblat.
Pada saat rukû‘ sunnat
membaca tasbîh di bawah ini sebanyak tiga kali:
سُبْحَانَ
رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ
Artinya: Maha suci Tuhanku
yang Maha Agung dan dengan memuji-Nya.
6.
I’tidâl disertai thuma’nînah.
Caranya dengan berdiri
tegak setelah bangun dari rukû‘. I’tidâl merupakan rukun qashîrah (pendek) yang
tidak boleh diperpanjang. Bahkan, jika memperlama i’tidâl bukan karena membaca
dzikir yang disyariatkan (bisa karena membaca dzikir yang tidak disyariatkan
atau karena diam) sehingga menyamai lamanya membaca Fâtihah, maka shalatnya
batal[6].
Pada saat i’tidâl tangan
sunnat dilepas lurus ke bawah dan tidak menggerak-gerakkannya. Sedangkan ketika
bangun dari rukû‘ untuk melakukan i’tidâl sunnat membaca:
سَمِعَ
اللهُ لِمَنْ حَمِدَه
Artinya: Allah Maha
Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya
Ketika posisi tubuh sudah
tegak (i’tidâl) maka sunnat membaca:
رَبَّنَا
لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّموَاتِ وَمِلْءُ الاَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئتَ مِنْ
شَيْئٍ بَعْدُ
Artinya: Ya Allah Tuhan
kami, bagi-Mu segala puji sepenuh isi langit dan bumi dan sepenuh barang yang
Engkau kehendaki setelah itu.
7. Sujud
dua kali disertai thuma’nînah.
Caranya, dengan meletakkan
tujuh anggota tubuh di atas tempat shalat, yaitu kening, kedua lutut, kedua
telapak tangan dan telapak jemari kedua kaki.
Adapun yang disunnatkan
dalam pelaksanaan sujud sebagai berikut:
1) meletakkan kedua lutut
ke tempat shalat terlebih dahulu dan merenggangkannya kira-kira satu jengkal;
kemudian
2) meletakkan kedua telapak
tangan lurus dengan pundak, sedangkan lengan diangkat (tidak ditempelkan ke
tempat shalat), dan merapatkan jemari tangan tanpa digenggam serta
menghadapkannya ke arah kiblat; kemudian
3) meletakkan dahi bersama
dengan meletakkan hidung, sedang mata tidak terpejam;
4) merenggangkan telapak
kaki kira-kira satu jengkal, menegakkan dan memperlihatkannya (tidak ditutupi)
serta menghadapkan punggung jemari ke arah kiblat[7].
Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi dalam melakukan sujud:
1.Pertama, menurunkan tubuh dengan
maksud melakukan sujud. Jadi, jika misalnya ia terjatuh dari i’tidâl karena
mengantuk tanpa ada maksud untuk melakukan sujud maka sujudnya tidak dianggap,
dan harus kembali ke i’tidâl.
2.Kedua, ketujuh anggota sujud
(dahi, dua telapak tangan, dua lutut, jari-jari kaki kiri dan kanan) diam secara
bersamaan saat melakukan sujud. Jadi, jika pada saat sujud salah satu telapak
tangan ada yang terangkat, dan ketika telapak tangan itu diletakkan, ada anggota
sujud lain yang diangkat, maka sujudnya tidak cukup.
3.Ketiga, meletakkan sebagian dahi
dengan keadaan terbuka. Jika pada sebagian dahi yang dibuat sujud itu terdapat
penghalang maka sujudnya tidak sah, kecuali bila penghalangnya berupa perban
yang menutupi seluruh permukaan dahi disebabkan terdapat luka sekiranya
berdampak negatif jika dilepaskan, maka sujudnya tetap sah.
4.Keempat, dahi harus sedikit
ditekankan ke tempat sujud. Ukuran tekanannya, kira-kira kalau misalnya
diletakkan kapas, maka kapas itu akan terpenyet.
5.Kelima, sujud dilakukan dalam
posisi menungging. Artinya posisi tubuh bagian bawah (pantat dan anggota tubuh
sekitarnya) lebih tinggi dari pada kepala, pundak dan kedua tangan. Jadi,
apabila terbalik (posisi kepala lebih tinggi atau sama dengan bagian bawah
tubuh), seperti sujud di tangga dan kepala berada di anak tangga yang atas, maka
sujudnya tidak sah, kecuali bila ada suatu hal yang mengharuskan
demikian.
6.Keenam, bersujud pada selain
barang yang dipakai atau dibawa oleh orang yang shalat yang bergerak dengan
gerakannya. Jadi, kalau misalnya ia bersujud di ujung sorban yang dipakainya,
maka sujudnya tidak sah.[8] Kecuali jika bersujud di ujung sorban yang panjang
dan tidak bergerak pada saat mushalli melakukan gerakan shalat, maka sujudnya
tetap sah.
Ketika sujud, sunnat
membaca tasbîh berikut ini sebanyak tiga kali:
سُبْحَانَ
رَبِّيَ الأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
Artinya: Maha Suci Tuhanku
Yang Maha Luhur dan dengan memuji-Nya.
8. Duduk
di antara dua sujud dengan disertai thuma’nînah.
Menurut qaul mu’tamad
(pendapat yang dapat dijadikan dasar), duduk di antara dua sujud termasuk rukun
pendek yang tidak boleh diperpanjang sampai melebihi lamanya bacaan minimal dari
tasyahhud.
Kedua telapak tangan ketika
duduk diletakkan di atas kedua paha sekiranya ujung jari-jari tangan lurus
dengan lutut dan semua jemarinya dirapatkan serta diluruskan ke arah
kiblat.
Saat duduk disunnatkan
membaca doa:
رَبِّ
اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَارْفَعْنِيْ وَارْزُقْنِيْ
وَاهْدِنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ عَنِّيْ
Artinya: Ya Tuhanku,
ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkan aku dari segala kekurangan, angkatlah
derajatku, berilah aku rizki, berilah aku petunjuk, berilah aku keselamatan, dan
berilah aku ampunan.
9. Duduk
tasyahhud akhîr dengan disertai thuma’nînah.
Posisi duduk yang
disunnatkan dalam tasyahhud akhir adalah duduk tawarruk. Yaitu duduk dengan
telapak kaki kanan ditegakkan dan jari-jarinya ditekuk, sedangkan telapak kaki
kiri ada di bawah tulang kering, sehingga pantat sebelah kiri menempel ke tempat
shalat. Posisi kedua tangan berada di atas paha, serta jari-jari tangan kanan
dalam keadaan menggenggam selain jari telunjuk, sedangkan ujung ibu jari
menyentuh pangkal jari telunjuk.
10.
Membaca bacaan tasyahhud akhîr.
Bacaan tasyahhud akhir
adalah sebagai berikut:
اَلتَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ
اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهدُ اَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ.
Artinya: Segala kehormatan,
keberkahan, shalawat dan kebaikan adalah milik Allah. Keselamatan, rahmat dan
berkah Allah mudah-mudahan tetap tercurahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad).
Keselamatan semoga tetap terlimpahkan kepada kami dan seluruh hamba Allah yang
shalih-shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi
bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
11.
Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw setelah membaca tasyahhud.
Dan disunnatkan membaca
shalawat yang paling sempurna yaitu shalawat Ibrahimiyah:
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ، كَمَا
صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ.
وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كََمَا
بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ
فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
Ya Allah, limpahkanlah
rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau
memberi rahmat kepada junjungan kami Nabi Ibrahim dan keluarganya. Limpahkanlah
barakah kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau
memberi barakah kepada junjungan kami Nabi Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh
alam semesta, Engkaulah Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia
Setelah membaca tasyahhud
dan shalawat disunnatkan membaca doa berikut:
اَللَّهُمَّ
اغْفِرْلِى مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا
أَسْرَفْتُ وَمَا اَنْتَ أَعْلَمًُ بِهِ مِنِّى. اَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَاَنْتَ
الْمُؤَخِّرُ لاَإِلَهَ إَلاَّ اَنْتَ. اَللَّهُمَّ إِنِّى اَعُوْذُبِكَ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ اَللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ
نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيْرًا كَبِيْرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ
فَاغْفِرْلِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِى اِنَّكَ اَنْتَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ.
Artinya: Ya Allah,
ampunilah dosa yang telah aku kerjakan dan yang akan aku kerjakan, dosa yang
tersembunyi, yang terang-terangan, yang berlebihan dan dosa yang Engkau lebih
mengetahui daripada aku. Engkaulah Tuhan Yang Mendahulukan dan Yang
Mengakhirkan. Tiada Tuhan selain Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari segala siksa kubur dan neraka dan dari fitnahnya hidup dan mati
serta fitnah Dajjal. Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri
dengan penganiayaan yang banyak dan besar. Tidak ada yang dapat mengampuni
dosa-dosa kecuali Engkau. Maka, ampunilah aku dengan pengampunan dari sisi-Mu
dan kasihanilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku
Berikut ini adalah bacaan
lengkap tasyahhud akhir:
اَلتَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ
اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهِدُ اَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
اَلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ
وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ. وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كََمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا
إِبْرَاهِيْمِ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ
اغْفِرْلِى مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا
أَسْرَفْتُ وَمَا اَنْتَ أَعْلَمًُ بِهِ مِنِّى. اَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَاَنْتَ
الْمُؤَخِّرُ لاَإِلَهَ إَلاَّ اَنْتَ. اَللَّهُمَّ إِنِّى اَعُوْذُبِكَ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ اَللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ
نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيْرًا كَبِيْرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ
فَاغْفِرْلِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِى اِنَّكَ اَنْتَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِيْنِكَ
12.
Membaca salam yang pertama.
Paling sedikitnya salam
adalah
َالسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ
satu kali. Sedangkan paling
sempurnanya salam adalah
َالسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
dua kali.
13.
Tartîb atau mengerjakan rukun-rukun shalat sesuai dengan urutannya.
============
Dari buku : Shalat itu
Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)
Diterbitkan oleh Pustaka
SIDOGIRI
Pondok Pesantren Sidogiri.
Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur
PO. Box 22 Pasuruan 67101.
Telp. 0343 420444 Fax. 0343 428751
============
FOOTNOTE
[1] Shalat syiddat al-khauf
adalah shalat pada saat sangat panik, seperti saat perang, datang banjir,
kebakaran, rumah roboh, ada ular dst. Dalam keadaan seperti ini, seseorang boleh
melakukan shalat sebisanya, dengan lari, menunggang, tanpa menghadap kiblat, dan
lain sebagainya.
[2] Kalau memang tidak
menemukan pakaian sama sekali, maka boleh shalat telanjang dengan tetap
menyempurnakan segala rukunnya.
[3] Imam Al-Ghazali dan
Imam al-Haramain mengistilahkan hal ini dengan Istihdhâr Urfi dan Muqaranah
Urfiyah yang dianggap cukup. (I’anat ath-Thâlibîn, Nihayat al-Zain
dll.)
[4] Begitu pula dalam niat
shalat tidak diwajibkan memakai bahasa Arab. Bisa dengan Indonesia, Jawa, dan
lainnya, asalkan memenuhi rukun niat..
[5] Thuma’nînah adalah diam
sebentar, tanpa ada gerakan anggota tubuh sama sekali. Tujuan tuma’ninah adalah
untuk memisah antara dua rukun..
[6] Lihat Hasyiyah I’anah
Al-Thlmibin. Juz I hlm 174
[7] Ibid hlm 190-192.
[8] Lihat Fath al-‘Allâm
hlm.271-275 dan Nihayat az-Zain hlm 150.