Thahârah
(Bersuci)
Dalam ajaran Islam sebelum
mengerjakan beberapa ibadah, terutama shalat, disyaratkan bersuci terlebih
dahulu. Hal ini disebabkan karena Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa
membersihkan diri, baik lahir maupun batin. Kebersihan sangat erat kaitannya
dengan ibadah teragung dalam Islam, yaitu shalat. Shalat merupakan dialog rohani
dengan Tuhan. Oleh karena itu, kesucian merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi sebelum seseorang memasuki dialog rohani yang agung
tersebut.
Pengertian
Thahârah
Thahârah secara harfiah
artinya adalah bersih atau suci dari segala kotoran. Tapi sebagai istilah syara’
thahârah adalah mengerjakan sesuatu yang menyebabkan seseorang diperbolehkan
untuk mengerjakan shalat seperti menghilangkan hadas dan najis. Dapat
disimpulkan, suci diartikan dalam dua arah: suci secara dzahir (kongkrit),
sebagaimana suci dari najis dan kotoran, juga suci secara ma’nawi (abstrak),
sebagaimana suci dari hadas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
لَّمَسْجِدٌ
أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ
رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُطَّهِّرِينَ
Artinya: “…sesungguh-nya
mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah
lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang
ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bersih.” (QS al-Taubah [09]: 108).
Allah juga
berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: “Sesungguhnya
Allah senang kepada orang-orang yang banyak bertaubat dan senang (pula) kepada
orang-orang yang bersih” (QS al-Baqarah [02]: 222)
Dalam sebuah hadits
disebutkan, suci adalah kunci shalat.
مِفْتَاحُ
الصَّلاَةِ الطُّهُورُ
Artinya: “Kunci shalat
adalah suci.”
Pengertian
Najis dan Klasifikasinya
Najis adalah setiap benda
yang haram untuk dimakan secara mutlak (kecuali dalam keadaan terpaksa) bukan
karena menjijikan. Najis ada tiga macam: najis mughallazhah (berat), najis
mutawassithah (sedang) dan najis mukhaffafah (ringan).
1. Najis
Mughallazhah
Najis mughallazhah adalah
najis berat. Yang masuk pada najis jenis ini adalah anjing, babi dan binatang
yang lahir dari keduanya (perkawinan silang antara anjing dan babi), atau
keturunan silang dengan hewan lain yang suci. Cara menyucikan najis mughallazhah
adalah membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satu basuhannya
dicampur dengan debu yang suci. Bisa pula dengan lumpur atau pasir yang
mengandung debu.
Benda dan sifat najis harus
sudah hilang pada saat basuhan pertama. Jika tidak, maka harus diulang-ulang
sampai hilang, baru dilanjutkan dengan basuhan kedua, ketiga dan seterusnya
sampai ketujuh. Jadi, yang dianggap sebagai basuhan pertama adalah basuhan yang
menghilangkan benda dan sifat dari najis mughallazhah. Jika masih belum hilang,
maka belum bisa dianggap satu basuhan. Campuran debu bisa diletakkan dalam
basuhan yang mana saja. Tapi yang lebih utama pada saat basuhan pertama. Jika
air yang digunakan adalah air keruh dengan debu, semisal air banjir, maka sudah
dianggap cukup tanpa harus mencampurnya dengan debu.
2. Najis
Mutawassithah
Najis mutawassithah adalah
najis tingkat sedang. Najis jenis ini ada lima belas macam:
1. Setiap benda cair yang
memabukkan.[1]
2. Air kencing, selain
kencing bayi laki-laki di bawah dua tahun yang belum makan apa-apa selain air
susu ibu.
3. Madzi, yaitu cairan
berwarna putih agak pekat yang keluar dari kemaluan. Cairan madzi biasanya
keluar ketika syahwat sebelum memuncak (ejakulasi)
4. Wadi, yaitu cairan
putih, keruh dan kental yang keluar dari kemaluan. Wadi biasanya keluar setelah
kencing ketika ditahan, atau di saat membawa benda berat.
5. Tinja atau kotoran
manusia.
6. Kotoran hewan, baik yang
bisa dimakan dagingnya atau tidak.
7. Air luka yang berubah
baunya.
8. Nanah, baik kental atau
cair.
9. Darah, baik darah
manusia atau lainnya, selain hati dan limpa.
10. Air empedu.
11. Muntahan, yakni benda
yang keluar dari perut ketika muntah.
12. Kunyahan hewan yang
dikeluarkan dari perutnya.
13. Air susu hewan yang
tidak bisa dimakan dagingnya. Sedangkan air susu manusia dihukumi suci kecuali
jika keluar dari anak perempuan yang belum mencapai umur baligh (9 tahun), maka
dihukumi najis.[2]
14. Semua bagian tubuh dari
bangkai, kecuali bangkai belalang, ikan dan jenazah manusia. Yang dimaksud
bangkai dalam istilah fikih adalah hewan yang mati tanpa melalui sembelihan
secara syara’ seperti mati sendiri, terjepit, ditabrak kendaraan atau
lainnya.
15. Organ hewan yang
dipotong/terpotong ketika masih hidup (kecuali bulu atau rambut hewan yang boleh
dimakan dagingnya).
Najis mutawassithah
tersebut ada dua macam, yaitu najis hukmiyah dan najis ainiyah. Najis hukmiyah
adalah najis yang mana benda, rasa, bau dan warnanya sudah hilang atau tidak
tertangkap oleh indera kita. Cara menyucikan najis hukmiyah cukup dengan
mengalirkan air pada bagian yang terkena najis.
Sedangkan najis ainiyah
adalah najis yang salah satu dari benda, rasa, bau dan warnanya masih ada atau
tertangkap oleh indera. Cara menyucikannya adalah dengan membasuh najis tersebut
sampai benda dan sifat-sifatnya hilang.
Jika najis ainiyah berada
di tengah-tengah lantai misalnya, maka ada cara yang lebih praktis untuk
menyucikannya, yaitu dengan dijadikan najis hukmiyah terlebih dahulu
(dihilangkan benda, bau, rasa dan warnanya dengan digosok menggunakan kain basah
misalnya, kemudian tempat najisnya dikeringkan). Setelah itu cukup mengalirkan
air ke tempat yang tadinya basah. Cara ini bisa digunakan agar tidak usah
mengepel lantai seluruhnya.
3. Najis
Mukhaffafah
Najis mukhaffafah adalah
najis yang ringan. Yang masuk dalam kategori mukhaffafah hanyalah kencing bayi
laki-laki yang belum makan apa-apa selain air susu ibu dan umurnya belum
mencapai dua tahun. Adapun kencing bayi perempuan tidak masuk dalam kategori
mukhaffafah, melainkan mutawassithah.
Cara menyucikan najis
mukhaffafah cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis, setelah
menghilangkan benda dan sifat-sifat najisnya (basahnya air kencing) terlebih
dahulu.
Bahan
untuk Meyucikan
Benda yang dapat menyucikan
ada dua macam, yaitu air dan debu. Fungsi air untuk menyucikan telah ditegaskan
dalam al-Qur’an:
وَأَنزَلْنَا
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Artinya: “Kami (Allah)
turunkan dari langit berupa air sebagai bersuci” (QS al-Furqân [25]:
48)
Mengenai fungsi debu,
Rasulullah Muhammad saw bersabda.:
جُعِلَتْ
لَنَا الأَرْضَ مَسْجِدًا وَتُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا
Artinya: “Telah dijadikan
untuk kita bumi sebagai masjid (tempat shalat), dan debunya UNTUK bersuci.” (HR.
Muslim)[3]
Air bisa digunakan untuk
menyucikan najis juga hadas. Sedangkan debu hanya bisa digunakan untuk tayamum
dan campuran air ketika membasuh najis mughallazhah.
Selain air dan debu
sebetulnya, masih ada dua proses penyucian najis yang disebutkan oleh ulama,
yaitu takhallul dan dabghu. Takhallul adalah perubahan khamer (arak) menjadi
cuka, juga darah kijang menjadi minyak misik. Sedangkan dabghu adalah penyamakan
kulit bangkai. Penyamakan dilakukan dengan cara menghilangkan bagian-bagian
selain kulit yang membuatnya busuk (seperti sisa daging dan lain sebagainya)
dengan menggunakan benda yang terasa sepat/kelat, seperti kulit delima, dan lain
sebagainya.
Macam-macam
Air
Ditinjau dari segi kegunaan
sebagai sarana bersuci (thahârah), air dibagi menjadi empat macam:
1. Air suci yang bisa
menyucikan dan tidak makruh digunakan
Yang bisa masuk dalam
kategori ini adalah tujuh macam air yang keluar dari perut bumi atau yang turun
dari langit (air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air es atau
salju, dan air embun.).[4] Tujuh macam air di atas hukumnya suci, bisa
menyucikan dan tidak makruh digunakan, asal tidak termasuk dalam 3 kategori air
yang akan diterangkan berikutnya.
2. Air suci yang tidak bisa
menyucikan
Yang masuk dalam kategori
ini adalah:
a) Air musta’mal, yaitu air
yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis. Air ini hanya bisa
digunakan untuk kebutuhan selain bersuci, seperti minum, memasak dan lain
sebagainya. Maka dari itu, seumpama melakukan wudhu dan airnya kurang dari dua
kullah maka diharapkan menggunakan alat ciduk, tidak mengambil air secara
langsung. Hal itu untuk menjaga kemurnian air.
b) Air buah-buahan atau
tumbuh-tumbuhan semacam air kelapa, dan air semangka.
c) Air mutlak yang
tercampur benda suci yang larut, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan
mencolok pada sifat air. Contohnya, air teh atau air yang tercampur oleh sabun
sampai terjadi perubahan mencolok sehingga ada perubahan nama dari air saja
menjadi air teh. Jika perubahannya hanya sedikit maka tetap bisa
menyucikan.
Tidak masuk dalam kategori
ini:
1) air yang berubah karena
terlalu lama diam;
2) air yang berubah
sifatnya karena tertular oleh benda yang mendampinginya, misalnya air yang
berbau busuk karena di dekat air itu ada bangkai;
3) air yang berubah
disebabkan benda yang terendam di dalam air itu asal benda itu tidak larut dan
bisa dibedakan dari airnya dengan mata telanjang, misalnya air yang berubah
busuk baunya karena direndami kayu,
4) air yang berubah karena
tercampur benda yang memang lazim bersinggungan dengan air, semisal debu, dan
lumut.
Empat kategori ini masih
tetap bisa menyucikan meskipun terjadi perubahan mencolok pada bau, warna,
maupun rasa dari air itu.
3. Air suci dan dapat
menyucikan namun makruh digunakan.
Air ini makruh digunakan
karena ada efek negatif, yaitu air yang panas karena terkena sinar matahari dan
wadahnya terbuat dari bahan yang dicetak dengan menggunakan api, seperti besi
dan sejenisnya.[5] Tidak termasuk dalam kategori ini, wadah yang terbuat dari
emas dan perak. Begitu juga makruh, menggunakan air yang terlalu panas dan
terlalu dingin. Hukum makruh tersebut tidak berlaku jika airnya sudah
dingin.
4. Air najis
Yang dimaksud di sini
adalah air yang terkena najis. Air bisa menjadi najis karena dua kemungkinan:
1) jika airnya banyak
(mencapai dua qullah) lalu terkena najis, maka air tersebut menjadi najis
apabila terjadi perubahan pada salah satu sifatnya (bau, rasa dan warna). Bila
tidak terjadi perubahan sama sekali maka tetap suci;
2) jika airnya sedikit,
kemudian terkena najis, maka air tersebut menjadi najis, baik terjadi perubahan
sifat atau tidak.
Air bisa disebut sedikit
apabila tidak mencapai dua qullah. Mengenai ukuran dua qullah ulama masih beda
pendapat. Menurut Imam Nawawi dua qullah = 174,580 liter (ukuran wadah bersegi
empat = 55,9 cm3); menurut Imam Rafi’i =
176,245 liter (ukuran wadah bersegi empat = 56,1 cm3) [6]
============
Dari buku : Shalat itu
Indah dan Mudah (Buku Tuntunan Shalat)
Diterbitkan oleh Pustaka
SIDOGIRI
Pondok Pesantren Sidogiri.
Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur
PO. Box 22 Pasuruan 67101.
Telp. 0343 420444 Fax. 0343 428751
============
FOOTNOTE
[1] Sedangkan benda tidak
cair yang tidak memabukkan dihukumi suci tapi tetap haram dikonsumsi.
[2] Lihat Syarh at-Tanbîh
hlm. 84
[3] Lihat Faidh al-Qadîr
juz 3 hlm. 459.
[4] Dalam kitab-kitab
fikih, air jenis ini biasa disebut dengan “air muthlaq”, yakni air suci yang
tidak memiliki qayyid permanen (embel-embel/batasan yang mengikat), juga tidak
tercampur oleh benda lain sehingga dapat mengubah nama atau status air
tersebut.
Maksud dari qayyid permanen
yang bisa menghilangkan ke-muthlaq-an air di sini adalah nama tambahan yang
tidak bisa terlepas, seperti air kelapa atau air mawar. Kata “kelapa” atau
“mawar” merupakan embel-embel yang tidak akan terlepas meskipun air itu dipindah
dari satu tempat ke tempat lain.
Bila embel-embel itu bisa
lepas maka tidak mempengaruhi ke-mutlaq-an dari air, misalnya air laut, air
hujan, air sumur, dst. Tambahan kata “laut” disebabkan karena memiliki ikatan
dengan tempat, yaitu laut. Jika airnya dipindah maka namanya juga akan berubah
menjadi air kendi, air gelas dan lain sebagainya. Qayyid “laut” juga akan hilang
ketika air tersebut dipindah ke jeding sehingga menjadi “air jeding”. Ketika
dimasukkan ke dalam kendi maka menjadi “air kendi”. Maka hukum dari air tersebut
tetap termasuk air muthlaq yang suci dan menyucikan.
[5] Sebenarnya, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makruhnya menggunakan air yang
panas akibat sinar matahari. Imam Nawawi menyatakan bahwa air tersebut tidak
makruh digunakan.
[6] Lihat Kaifiah dan
Hikmah Shalat vesi Kitab Salaf hlm. 09.