PERTANYAAN
:
Ada yang tahu, agama yang
tidak percaya takdir, itu agama apa ? [Fhatia
Puspa Pradini].
JAWABAN
:
Yang tidak percaya takdir
adalah aliran sesat qodariyah. Firqah-Firqah Dalam Masalah Qadla Dan Qadar
:
Dalam masalah Qadla dan
Qadar umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Kelompok pertama disebut dengan
golongan Jabriyyah, kedua disebut dengan golongan Qadariyyah, dan ketiga adalah
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Golongan pertama dan golongan ke dua adalah golongan
sesat, dan hanya golongan ke tiga yang selamat. Kelompok pertama, yaitu golongan
Jabriyyah, berkeyakinan bahwa para hamba itu dipaksa (Majbûr) dalam segala
perbuatannya, mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba sama sekali tidak memiliki
usaha atau ikhtiar (al-Kasab) dalam perbuatannya tersebut.
Bagi kaum Jabriyyah,
manusia laksana sehelai bulu atau kapas yang terbang ditiup angin, ia mengarah
ke manapun angin tersebut membawanya.
Keyakinan sesat kaum
Jabariyyah ini bertentangan dengan firman Allah :
:وَمَاتَشَآءُونَ
إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (التكوير: 29)“
Dan kalian tidaklah
berkehendak kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam”. (QS.
at-Takwir: 29).
Ayat ini memberikan
penjelasan kepada kita bahwa manusia diberi kehendak (al-Masyî-ah) oleh Allah,
hanya saja kehendak hamba tersebut dibawah kehendak Allah. Pemahaman ayat ini
berbeda dengan keyakinan kaum Jabriyyah yang sama sekali menafikan Masyi’ah dari
hamba.
Bahkan dalam ayat lain
secara tegas dinyatakan bahwa manusia memiliki usaha dan ikhtiar (al-Kasb),
yaitu dalam firman Allah
:لَهَا
مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ (البقرة: 286)“
Bagi setiap jiwa -balasan
kebaikan- dari segala apa yang telah ia usahakan – dari amal baik-, dan atas
setiap jiwa -balasan keburukan- dari segala apa yang ia usahakan -dari amal
buruk-”. (QS. al-Baqarah: 286).
Kebalikan dari golongan
Jabriyyah adalah golongan Qadariyyah.
Kaum ini memiliki keyakinan
bahwa manusia memiliki sifat Qadar (menentukan) dalam melakukan segala amal
perbuatannya tanpa adanya kehendak dari Allah terhadap perbuatan-perbuatan
tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan-perbuatan
manusia, tetapi manusia sendiri yang menciptakan perbuatan-perbuatannya
tersebut.
Terhadap golongan
Qadariyyah yang berkeyakinan seperti ini kita tidak boleh ragu sedikitpun untuk
mengkafirkannya, mereka bukan orang-orang Islam. Karenanya, para ulama kita
sepakat mengkafirkan kaum Qadariyyah yang berkeyakinan semacam ini.
Kaum Qadariyyah yang
berkeyakinan seperti itu telah menyekutukan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya,
karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah, di samping itu
mereka juga telah menjadikan Allah lemah (‘Âjiz), karena dalam keyakinan mereka
Allah tidak menciptakan segala perbuatan hamba-hamba-Nya.
Padahal di dalam al-Qur’an
Allah berfirman
:قُلِ
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ (الرعد:
16)“Katakan (Wahai
Muhammad), Allah adalah yang menciptakan segala sesuatu”. (QS. ar-Ra’ad: 16).
Mustahil Allah tidak kuasa
atau lemah untuk menciptakan segala perbuatan hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya
Allah yang menciptakan segala benda, dari mulai benda paling kecil bentuknya,
yaitu adz-Dzarrah, hingga benda yang paling besar, yaitu arsy, termasuk tubuh
manusia yang notabene sebagai benda juga ciptaan Allah. Artinya, bila Allah
sebagai Pencipta segala benda tersebut, maka demikian pula Allah sebagai
Pencipta bagi segala sifat dan segala perbuatan dari benda-benda tersebut.
Sangat tidak logis jika dikatakan adanya suatu benda yang diciptakan oleh Allah,
tapi kemudian benda itu sendiri yang menciptakan sifat-sifat dan segala
perbuatannya. Karena itu Imam al-Bukhari telah menuliskan satu kitab berjudul
“Khalq Af’âl al-‘Ibâd”, berisi penjelasan bahwa segala perbuatan manusia adalah
ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia itu sendiri.
Dengan demikian menjadi
sangat jelas bagi kita kesesatan dan kekufuran kaum Qadariyyah, karena mereka
menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka telah menjadikan Allah
setara dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri; sama-sama menciptakan. Mereka tidak
hanya menetapkan adanya satu sekutu bagi Allah tapi mereka menetapkan banyak
sekutu bagi-Nya, karena dalam keyakinan mereka bahwa setiap manusia adalah
pencipta bagi segala perbuatannya masing-masing, sebagimana Allah adalah
Pencipta bagi tubuh-tubuh semua manusia tersebut. Na’ûdzu Billâh.
Golongan ke tiga, yaitu
Ahlussunnah Wal Jama’ah, adalah golongan yang selamat. Keyakinan golongan ini
adalah keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam dari masa
ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dan inilah keyakinan yang telah diwariskan
oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Mereka menetapkan bahwa tidak ada
pencipta selain Allah.
Hanya Allah yang
menciptakan semua makhluk, dari mulai dzat atau benda yang paling kecil hingga
benda yang paling besar, dan Allah pula yang menciptakan segala sifat dan segala
perbuatan dari benda-benda tersebut.
Perbuatan manusia terbagi
kepada dua bagian;
1.Pertama, Af’âl
Ikhtiyâriyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi dengan inisiatif, usaha,
kesadaran, dan dengan ikhtiar dari manusia itu sendiri, seperti makan, minum,
berjalan, dan lain-lain.
2.Kedua; Af’âl
Idlthirâriyyah, yaitu segala perbuatan manusia yang terjadi di luar usaha, dan
di luar ikhtiar manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah dalam
tubuh, dan lain sebagainya.
Dalam keyakinan
Ahlussunnah; seluruh perbuatan manusia, baik Af’âl Ikhtiyâriyyah, maupun Af’âl
Idlthirâriyyah adalah ciptaan Allah.
Kesesatan Faham Mu’tazilah
Yang Menetapkan Bahwa Manusia Sebagai Pencipta Bagi PerbuatannyaUlama
Ahlussunnah telah menetapkan bahwa kaum Mu’tazilah yang berkeyakinan manusia
menciptakan perbuatannya sendiri telah keluar dari Islam. Karena dengan demikian
mereka telah menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah.
Pengertian “menciptakan”
dalam hal ini ialah: “Mengadakan dari tidak ada menjadi ada” (al-Ibrâz Min
al-‘Adam Ilâ al-Wujûd). Keyakinan Mu’tazilah semacam ini menyalahi banyak
teks-teks syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah.
Dalam al-Qur’an di antaranya firman Allah
:هَلْ
مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ (فاطر: 3)
“Adakah pencipta selain
Allah?!” (QS. Fathir: 3).
Ayat ini bukan untuk
menanyakan atau menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Tapi
“pertanyaan” dalam ayat ini di sini disebut dengan Istifhâm Inkâri; artinya
untuk mengingkari adanya pencipta kepada selain Allah dan untuk menetapkan bahwa
yang menciptakan itu hanya Allah saja.
Dalam ayat lain Allah
berfirman
:قُلِ
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ (الرعد:
16)“Katakan (wahai
Muhammad), Allah adalah Pencipta segala sesuatu” (QS. ar-Ra’d: 16).“
Segala sesuatu” yang
dimaksud dalam ayat ini mencakup secara mutlak segala apapun selain Allah,
termasuk dalam hal ini tubuh manusia dan segala sifat yang ada padanya, dan juga
termasuk segala perbuatannya. Jika tubuh manusia kita yakini sebagai ciptaan
Allah, maka demikian pula sifat-sifat yang ada pada tubuh tersebut; seperti
gerak, diam, melihat, mendengar, makan, minum, berjalan dan lain sebagainya,
sudah tentu itu semua juga harus kita yakini sebagai ciptaan Allah. Selain dua
ayat ini masih banyak ayat lainnya menyebutkan dengan sangat jelas bahwa Allah
Pencipta segala sesuatu.
Kaum Mu’tazilah atau kaum
Qadariyyah yang kita sebutkan di atas adalah kaum yang digambarkan oleh
Rasulullah dalam haditsnya sebagai kaum Majusi dari umatnya ini. Dalam sebuah
hadits masyhur Rasulullah bersabda :
:القَدَرِيّةُ
مَجُوْسُ هذِهِ الأمّةِ (رواه أبو داود)
“Kaum Qadariyyah adalah
kaum Majusi-nya umat ini” (HR. Abu Dawud).
Kaum Mu’tazilah adalah kaum
yang ditentang keras oleh sahabat Abdullah ibn Umar, dan para sahabat terkemuka
lainnya, juga oleh para ulama pasca sahabat. Sahabat Abdullah ibn Abbas berkata:
“Perkataan kaum Qadariyyah adalah kekufuran”.
Sahabat Ali ibn Abi Thalib
suatu ketika berkata kepada seorang yang berfaham Qadariyyah: “Jika engkau
kembali kepada keyakinan tersebut maka akan saya penggal kepalamu!”. Demikian
pula al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib sangat kuat menentang faham Qadariyyah ini.
Lalu Abdullah ibn
al-Mubarak, salah seorang imam mujtahid, telah memerangi faham Tsaur ibn Yazid
dan Amr ibn Ubaid; yang keduanya adalah pemuka Mu’tazilah. Bahkan cucu Ali ibn
Abi Thalib, yaitu al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Hanafiyyah, telah menulis
beberapa risalah sebagai bantahan terhadap kaum Mu’tazilah tersebut. Demikian
pula Imam al-Hasan al-Bashri, al-Khalîfah ar-Râsyid Imam al-Mujtahid Umar ibn
Abd al-Aziz, dan Imam Malik ibn Anas telah mengkafirkan kaum
Qadariyyah.
Bahkan telah diriwayatkan
oleh Abu Bakar ibn al-‘Arabi dan Badruddin az-Zarkasyi dalam Syarh Jama’
al-Jawâmi’ bahwa suatu ketika Imam Malik ditanya tentang hukum pernikahan
seorang yang berfaham Mu’tazilah, lalu Imam Malik menjawab dengan ayat
al-Qur’an
:وَلَعَبْدٌ
مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ (البقرة:
221)“Seorang hamba sahaya
yang mukmin benar-benar lebih baik dari pada seorang yang musyrik”. (QS.
al-Baqarah: 221).
Demikian pula Imam Abu
Manshur al-Maturidi telah mengkafirkan kaum Qadariyyah. Hal yang sama juga
dikemukan oleh Imam Abu Manshur Abd al-Qahir al-Baghdadi (w 429 H); salah
seorang imam terkemuka di kalangan ulama Asy’ariyyah, guru dari al-Hâfizh
al-Bayhaqi, dalam Kitâb Ushûl ad-Dîn, hlm. 337, hlm. 341, hlm. 342, dan hlm.
343, menuliskan: “Seluruh para sahabat kami telah sepakat di atas mengkafirkan
Mu’tazilah”.
Pernyataan beliau “Seluruh
para sahabat kami” yang dimaksud adalah para ulama terkemuka dari kaum
Asy’ariyyah Syafi’iyyah, karena Abu Manshur al-Baghdadi adalah seorang imam
terkemuka di kalangan Ahlussunnah madzhab asy-Syafi’i. Beliau sangat dikenal di
antara para ulama ahli teologi, ahli fiqih, maupun ahli sejarah, terlebih di
antara para ulama yang menulis tentang firqah-firqah dalam Islam beliau adalah
rujukannya, karena beliau yang telah menuslis kitab fenomenal tentang
firqah-firqah dalam Islam yang berjudul al-Farq Bayn al-Firaq.
Kemudian al-Hâfizh Imam
Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn Bi Syarh
Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, j. 2, hlm. 135, menuliskan: “Para ulama yang berada di
seberang sungai Jaihun (ulama Maturidiyyah Hanafiyyah yang berada di Bilâd Mâ
Warâ’ an-Nahr) tidak pernah berhenti mengkafirkan kaum Mu’tazilah (yang
berkeyakinan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri)”.Di antara ulama
lainnya yang telah mangkafirkan faham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa manusia
menciptakan perbuatannya sendiri adalah; Syaikh al-Islâm Imam al-Bulqini dan
Imam al-Mutawalli dalam kitab al-Ghunyah; keduanya adalah ulama terkemuka pada
tingkatan Ash-hâb al-Wujûh dalam madzhab asy-Syafi’i, satu level di bawah
tingkatan Mujtahid Mutlaq. Di antara ulama lainnya; Imam Abu al-Hasan Syist ibn
Ibrahim al-Maliki, Imam ibn at-Tilimsani al-Maliki dalam kitab Syarh Luma’
al-Adillah, dan masih banyak lagi.
(Lebih luas tentang
bantahan terhadap kaum Qadariyyah baca Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ‘Alâ Man
Khâlaf al-Qur’ân karya al-Hâfizh al-Habasyi, j. 1, hlm. 31-63). [Timur
Lenk].
LINK DISKUSI :
www.fb.com/groups/piss.ktb/608864302469715/