Hukum Terkait Daimul
Hadats
Wanita yang mengalami
pendarahan selain haid dan nifas, darahnya dihukumi istihadhah. Darah
istihadhah sama dengan air kencing. Orang yang mengalaminya, dalam segala aspek
hukum, sama dengan orang yang mengalami selalu kencing / beser (cêrcêr, jw).
Orang yang sedemikian ini disebut da’imul
hadats (orang
yang selalu berhadas). Sehingga tetap wajib salat dan puasa. Bahkan boleh
disetubuhi, meskipun darahnya sedang mengalir.
Da’imul
hadats yang
hendak salat fardlu, wudlunya wajib dilaksanakan setelah masuknya waktu salat.
Setiap akan bersesuci (wudlu/tayamum), wajib membersihkan kemaluannya dengan
air atau istinja’ dengan benda padat dsb. Lalu menyumbat lubang kemaluannya
dengan sejenis kapas yang suci.
Bila setelah disumbat
hadasnya (darah/kencing) masih merembes keluar, ia wajib memakai pembalut dan
bercelana dalam yang kuat. Untuk pria hal ini dilakukan dengan cara membalut
kepala penis lalu mengikatnya.
Semua ini dilakukan bila
memang ;
1.Tidak membahayakan diri;
misalnya menimbulkan rasa sakit atau panas dengan terhentinya aliran darah. Bila
hal itu dirasa membahayakan / menyakitkan, maka boleh tidak melakukan
penyumbatan atau pembalutan.
2.Tidak berpuasa. Bagi mereka
yang berpuasa tidak boleh melakukan penyumbatan. Sebab bisa membatalkan puasa.
Kalau hadasnya masih
merembes keluar karena darah/kencingnya sangat kuat –bukan karena kurang kuat
dalam membalut–, tidak menjadi masalah. Artinya salatnya sah, karena wudlunya
tidak batal. Berbeda halnya jika hadas tersebut merembes karena kurang kuat
dalam membalut.
Ketika menyumbat tidak
boleh ada bagian kain/kapas penyumbat yang keluar, atau berada pada
vagina/penis bagian luar. Meskipun sedikit. Sebab bila ada penyumbat yang keluar
ke vagina/penis luar –walaupun hanya sehelai benang-, maka salatnya tidak sah.
Sebab dianggap membawa barang najis. Yang dimaksud vagina bagian luar adalah
daerah yang tampak ketika sedang jongkok buang air.
Semua hal di atas (membasuh
kelamin, menyumbat sampai dengan salat) harus dilaksanakan setelah masuknya
waktu dan tidak boleh lamban. Bila setelah wudlu, ia tidak langsung salat, maka
wudlunya batal. Kecuali jika kelambanannya tersebut untuk kemaslahatan salat,
misalnya untuk menutup aurat, menunggu adzan /iqamah, mencari arah qiblat atau
menunggu jamaah.
Perlu diketahui bahwa,
wudlu bagi orang yang selalu berhadas (termasuk mustahadhah) hukumnya sama
dengan orang bertayammum. Dalam artian, niat wudlunya sama dengan niat
tayammum. Tidak boleh niat wudlu sebagaimana biasa. Contoh niat wudlu bagi
mustahadhah adalah; a) niat wudlu agar diperbolehkan salat Ashar, b) niat
wudlu agar diperbolehkan membaca al-Qur’an, atau lainnya. Satu kali wudlu yang
diniatkan untuk salat fardlu hanya dapat dipakai untuk satu kali salat fardlu
dan beberapa salat atau ibadah sunnat, sampai dengan keluarnya waktu salat. Jadi
misalkan wudlunya untuk salat Zuhur, maka setelah melakukan salat Zuhur ia
boleh melaksanakan ibadah-ibadah sunnah yang lain –tanpa mengulangi wudlunya–
sampai keluarnya waktu Zuhur. Setelah itu wudlunya dianggap batal.
Da’imul
hadats yang
setelah wudlu hadasnya (darah/kencing) berhenti cukup lama (cukup untuk salat
dan wudlu), maka wudlunya batal. Demikian juga sebaliknya, wudlu yang
dilaksanakan saat darahnya berhenti (lama) tersebut batal dengan keluarnya
darah.
Mustahadhah yang memiliki
kebiasaan kadang-kadang darahnya bersih (yang lama) dan kadang-kadang keluar,
wajib melaksanakan salat dan wudlu pada saat masa bersih. Kecuali bila khawatir
kehabisan waktu salat. Maka wajib wudlu dan salat pada saat darahnya mengalir,
tanpa menunggu masa bersih. Mustahadhah yang jika melaksanakan shalat berdiri
darahnya lebih deras daripada saat duduk, maka harus shalat dengan duduk.
Wallah
a’lam.
[ Dikutip dari Buku :
DAN
MEREKA BERTANYA KEPADAMU TENTANG HAID,
Penulis : Nur
Hasyim S. Anam
]