Oleh: Zon Jonggol
Kalau kita telusuri akar permasalah an dalam dunia Islam yang timbul pada masa sekarang, salah satu sebabnya adalah dikarenaka n para ahli ilmu (ulama) mengikuti dan meneladani pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah.
Abul Abbas bin Abdul Halim bin Abdullah bin Muhammad Ibn Taimiyyah lahir dari lingkungan mazhab Hanbali. Ayahnya, Shihabuddi n
bin Abdul Halim, adalah seorang ulama Hanbali. Kakeknya, Majduddin
bin Abdullah, juga adalah ulama besar Hanbali. Demikian pula dengan
pamannya, Fakhruddin bin Abdul Salam. Dia sendiri tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama Hanbali.
Ulama Ibnu Taimiyyah adalah ulama pelopor perubahan pemikiran atau pembaharua n agama (modernisa si agama) dalam rangka membasmi pemikiran- pemikiran taklid kepada Imam Mazhab yang empat. Sebagian besar tulisan atau kitab yang ditulisnya tidak merujuk kepada Imam Mazhab yang empat.
Beliau menggeraka n cara mendalami ilmu agama lebih bersandark an dengan muthola'ah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri bermazhab dzahiriyya h yakni berpendapa t, berfatwa, beraqidah (beri'tiqo d) selalu berpegang pada nash secara dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi) saja
Pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah diikuti oleh "murid" atau pengikutny a yang tidak pernah bertemu muka karena masa kehidupann ya
terpaut 350 tahun yakni ulama Muhammad bin Abdul Wahhab , ulama yang
dikenal mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaiman a yang dapat diketahui dari http:// suryadhie.w ordpress.c om/2007/ 08/16/ artikel-tok oh-islam-u lama-islam /
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangk an sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaiman a lazimnya para ulama besar Islam mengembang kan ilmu-ilmun ya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutny a untuk dapat dikembangk an dan digali sendiri oleh yang bersangkut an
***** akhir kutipan *****
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsia pa menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan” . (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kita b hadits layak disebut ahli hadits
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperliha tkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-maj lis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggap nya sebagai ilmu, mereka menyebutny a
shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang
semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang
diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajar i ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindar i kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Selain itu ulama-ulam a yang mengikuti pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah adalah ulama Jamaluddin Al-Afghani dan ulama Muhammad Abduh yang berkecimpu ng dalama pergerakan (harakah) atau perpolitik an yang membutuhka n kendaraan organisasi , kelompok atau jama'ah minal muslimin.
Berbeda dengan para pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang pada umumnya mengharamk an berorganis asi atau berkelompo k atau berjama'ah minal muslimin dan memberikan sebutan sebagai hizbiyyah atau hizbiyyun
Pengharama n berorganis asi atau berkelompo k atau berjama'ah minal muslimin pada hakikatnya dalam rangka menjaga kelanggeng an kekuasaan kerajaan dinasti Saudi karena dikhawatir kan akan timbul pemimpin informal dari organisasi atau kelompok.
Salah satu contoh penjelasan hubungan pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dengan ulama Muhammad Abduh diuraikan dalam tulisan pada http:// www.geociti es.ws/ abu_amman/ Pembelaan.h tml
Tentang ulama Muhammad Abduh yang dapat kita ketahui sedikit tentang beliau dari percakapan antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i , dengan Syaikh Rasyid Ridha yang kami kutip dari http:// santrigengg ong.wordpr ess.com/ 2011/07/13/ seri-kontra -wahabi-ce rdas-berma dzhabdari- %e2%80%9cb uku-pintar -berdebat- dengan-wah habi%e2%80 %9d-karya- ust-muhamm ad-idrus-r amli/
***** awal kutipan *****
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiy yah fi al-Madaih al-Nabawiy yah, Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani
berkata: “Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya
berdialog dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya.
Saya berkata:
“Kalian menjadikan
Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian
mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar.
Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban- kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaiman a dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali meninggalk an shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaniny a dari pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang
kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar, tanpa ada
uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan
ashar, tetapi ia tidak melakukann ya.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalk an shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: “Barangkal i madzhab beliau membolehka n jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar) .”
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian,
ketika turun hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid,
antara zhuhur dan ashar, serta antara maghrib dan isya’, sebagaiman a hadits shahih dari Nabi shallallah u alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapa t bahwa zhuhur dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukann ya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-neg ara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan
ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak
diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan
meninggalk an salah satu rukun Islam”.
***** akhir kutipan *****
Selain itu , orang-oran g
yang mengikuti pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah adalah kaum liberal
yakni mereka yang memahami Al Qur'an dan As Sunnah sesuai semangat
kebebasan mereka yang mereka katakan menyesuaik an dengan kemajuan zaman
Charles Cruzman mengemukak an teori tentang asal muasal kaum liberal dan fundamenta lis yang berakar pada pemikiran yang sama. Keduanya berangkat dari kegelisaha n untuk melakukan perubahan.
Bedanya adalah bahwa jika kaum liberal melakukan perubahan dengan
menatap ke depan sambil membawa masa lalu yang relevan, sementara kaum
fundamenta lis sepenuhnya kembali ke masa lalu.
Kaum fundamenta lis adalah mereka kembali ke masa lalu tanpa mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Padahal pendapat ulama Ibnu Taimiyyah telah banyak menyelisih i pendapat para ulama terdahulu. Sebagaiman a bantahan para ulama terdahulu yang dapat diketahui contohnya dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangk abawi,
ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar
di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaska n dalam kitab-kita b beliau seperti ‘al-Khitht hah al-Mardhiy ah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffu zh bian-Niyah ’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisih i pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy ) berkata ” Maka berhati-ha tilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyy ah dan selain keduanya dari orang-oran g yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatka nnya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangann ya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsi yyah : 203)
Begitupula dalam kitab “Risalah Ahlussunna h
wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok
pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 diterangka n sebagai berikut:
**** awal kutipan ****
و منهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده و رشيد رضا , و يأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي , و أحمد بن تيمية و تلميذه ابن القيم و ابن عبد الهادى , فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه , و هو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه و سلم , و خالفو هم فيما ذكر و غيره , قال ابن تيميه فى فتاويه : و اذا سفر لاعتقاده أنها أي زيارة قبر النبي فلى الله عليه و سلم طاعة , كان ذلك محرما باجماع المسلمين , فصار التحريم من الأمر المقطوع به .
Sebagian lagi ada golongan yang mengikuti kepada pendapat Muhammad Abduh dan Rosyid Ridho. Mereka mengikuti kepada perbuatan bid’ah Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, Ahmad Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi. Golongan ini mengharamk an apa yang telah disepakati oleh mayoritas umat Islam untuk dilaksanak an sebagai sunnah Nabi, seperti berziarah ke makam Rasulullah . Mereka menolak semua hal yang telah disebutkan di atas dan hal-hal lainnya.
Ibnu Taimiyah dalam kitab “Fatawi”-n ya berpendapa t: Apabila seseorang melakukan ziarah ke makam Rasulullah , karena yakin bahwa ziarah itu perbuatan taat, ziarah yang dianggapny a menurut Ibnu Taimiyah adalah haram yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka ziarahnya adalah perbuatan yang haram secara pasti.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي فى رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الاعتقاد : و هذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا و خلفا , فكانوا وصمة و ثلمة فى المسلمين و عضوا فاسدا يجب قطعه حتى لا يعدى الباقى ف…هو كالمجذوم يجب الفرار منه , فانهم فريق يلعبون بدينهم , يذمون العلماء سلفا و خلفا , و يقولون : انهم غير معصومين فلا ينبغى تقليدهم , لا فرق فى ذلك بين الأحياء و الأموات , و يطعنون عليهم و يلقون الشبهات , و يذرونها فى عيون بصائر الضعفاء لتعمى أبصارهم عن عيوب هؤلاء , يقصدون بذلك القاء العداوة و البغضاء , بحلولهم الجو و يسعون فى الأرض فسادا , يقولون على الله الكذب و هم يعلمون , , يزعمون أنهم قائمون بالأمر بالمعروف و النهي عن المنكر , حاضون الناس على اتباع الشرع و اجتناب البدع , و الله يشهد انهم لكاذبون , قلت : و لعل وجهه أنهم من أهل البدع و الأهواء , قال القاضى عياض فى الشفاء : و كان معظم فسادهم على الدين , و قد يدخل فى أمور الدنيا بما يلقون بين المسلمين من العداوة الدينية التى تسرى لدنياهم , قال العلامة ملا على القارى فى شرحه : و قد حرم الله تعالى الخمر و الميسر لهذه العلة كما قال تعالى : انما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة و البغضاء فى الخمر و الميسر
Menurut Al-’Allama h Syeikh Muhammad Bahit Al-Hanafi Al-Muthi’i dalam kitabnya yang bernama “Tathirul Fu’adi min Danasil I’tiqod” (Mensucika n Hati Dari Keyakinan Yang Kotor), ia berpendapa t: “Bahwa golongan ini merupakan cobaan besar bagi umat Islam yang salaf (tempo dulu) maupun yang kholaf (modern)”.
Mereka adalah aib, pemecah belah umat, dan sebagai organ yang rusak
yang harus dipotong, sehingga tidak menular ke organ lainnya. Ia
bagaikan penyakit kusta yang harus dihindari. Mereka adalah golongan menjadikan agama sebagai permainan. Mereka mencaci maki ulama salaf dan ulama kholaf, mereka sambil berkata: Mereka semuanya tidak ma’shum (tidak terpelihar a dari perbuatan dosa), maka tidak layak untuk mengikutin ya dan tidak ada bedanya yang hidup dan yang mati.
Golongan tersebut mendiskred itkan ulama dan menciptaka n persoalan- persoalan syubhat, kemudian menyebarka nnya secara luas ke masyarakat awam supaya orang awam tidak mengerti terhadap kekuaranga n yang ada pada golongan tersebut. Tujuan mereka… adalah menebar permusuhan dan kebencian. Mereka berkelilin g di atas muka bumi untuk menciptaka n kerusakan. Mereka berkata bohong tentang Allah, padahal mereka tahu tentang hal yang sebenarnya . Mereka berdalih sedang melakukan “amar ma’ruf nahyi munkar” (memerinta h kebaikan dan mencegah kemunkaran ). Mereka mengajak manusia mengikuti agama yang mereka jalankan dan menjauhkan
bid’ah (menurut mereka). Padahal, Allah tahu bahwa mereka adalah para
pendusta. Menurut pendapat saya, sangat mungkin mereka adalah para
pelaku bid’ah yang selalu mengikuti hawa nafsu mereka.
Imam Qadhi ‘Iyadh berkata: Kehancuran terbesar dalam agama sampai urusan dunia adalah karena ulah perbuatan mereka dengan menimbulka n permusuhan antar umat Islam, yang menyebabka n mereka terperangk ap dalam masalah urusan dunia.
***** akhir kutipan ****
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithi yyah menisbahka n kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatka n kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahk an perkataan itu:
“Sesungguh nya hadits-had its Rasulullah shallallah u alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya , bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafa z
yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna…
yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli
fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-had its (khususnya mutasyabih at) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-had its mutasyabih at dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutny a.” (Al-Fatawa Al-Hadithi yyah halaman 202)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil permasalah an-permasa lahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakata n umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapa t) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandark an
alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan
Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakin an adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindaha n. Ia juga berkeyakin an
bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy.
Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta
kekufuran yang nyata
Ulama Ibnu Taimiyyah terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibat kan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarlu askan kesalahapa hamannya sehingga beliau wafat di penjara.
Pada hakikatnya cara mengangkat kembali pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah adalah bagian dari hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang sebagai kaum Zionis Yahudi
Protokol Zionis yang ketujuhbel as
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskred itkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancur kan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalang i misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandan gkan dimana-man a. Tinggal masalah waktu maka agama-agam a itu akan bertumbang an…..
Contoh hasutan "Padahal orang-oran g yang bersandar kepada mazhab Asy’ari dan pengikut mazhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pr ibadi yang tidak maksum"
Imam Mazhab yang empat memang tidak maksum namun Imam Mazhab yang empat sejak dahulu kala sampai pada masa kini, telah diakui oleh jumhur ulama sebagai ulama yang berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Disamping itu Imam Mazhab yang empat masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Jadi gerakan hasutannya adalah agar umat Islam seluruhnya berupaya menjadi imam mujtahid.
Padahal tidak mungkin orang awam (bukan ahli istidlal) akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau orang awam (bukan ahli istidlal) mencoba hendak menjadi mujtahid maka akan rusaklah agama, akan hancurlah agama dan akan porak porandalah hukum-huku m agama Islam yang suci. Ini masuk akal.
Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam negara Hukum?
Sudah pasti tidak.
Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi hakim, maka hukum itu akan diinjak-in jaknya dan ia akan menjalanka n “Hukum Rimba”, yang berdasarka n siapa kuat siapa di atas.
Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, yaitu orang-oran g yang bertugas mengeluark an hukum dari dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka orang itu harus memenuhi beberapa syarat sebagaiman a yang disampaika n oleh KH. Muhammad Nuh Addawami
***** awal kutipan ******
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaika n Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainy a bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang masing-mas ing mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-huku m dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-ma salah ijtihadiya h padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertangg ungjawabka n kemampuann ya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamk an taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dali lnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatka n yang akan merusak sendi-send i kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukann ya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyath i ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukak an dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukaka n. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuann ya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
***** akhir kutipan *****
Contohnya, Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm ~rahimahul lah mengatakan
***** awal kutipan *****
"rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab "ijtihad" adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khi tab atau perintah-p erintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat) dari berita-ber ita yang ada. Demikian pula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanan anya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-huku m dari makna yang tersirat di balik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidik an yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah dan makna yang tersirat, serta pengertian -pengertia n lain yang terkandung di dalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritak an bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya "Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?" Si Qadi tadi menjaab: "Tidak". Maka Ali ra menegaskan "Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakak an"
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Berikut kami kutipkan tulisan tentang tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi'i dari http:// almanar.wor dpress.com /2010/09/ 21/ tingkatan-m ufti-madzh ab-as-syaf i’i/
***** awal kutipan *****
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab
(1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk
kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam
madzhab menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
2. Mujtahid Madzhab
3. Ashab Al Wujuh
4. Mujtahid Fatwa
5. Mufti Muqallid
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutka nnya
sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab.
Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As
Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri
menyebutka n pendapat
beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As
Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab , 1/72)
Keistimewa an mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuann ya menciptaka n metode yang dianut madzhabnya .
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatka n kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadza b, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaiman a disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyid in, hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutka n
bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As
Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzadza b, 1/72)
Di kalangan muta’akhir in Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaiman a disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyid in, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaiman a disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapa t bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab , 1/72).
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantang an dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalk an hadits walau ia shahih dikarenaka n manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkut an telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutny a, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/ 99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisih i pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan,
karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah
imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan
pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As
Syafi’i berpendapa t bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulk an dan menkiyaska n (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaiman a para mujtahid menentukan nya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupka n diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/73)
Imam An Nawawi menyebutka n bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyask an masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyya h di Bashrah, sebagaiman a disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-p endapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-muft i
yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi
khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutka n bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lih at, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-muft i di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilann ya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cab angnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapa t bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyid in, hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluark an fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyask annya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisih i ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyid in, hal. 9)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinterak si dengan karya-kary a para mujtahid fatwa, yang telah menjelaska n pendapat rajih dalam madzhab.
Imam An Nawawi menyebutka n bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatka n
diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang dikuasai
oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi
syarat di atas, maka ia telah menjerumus kan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/74)
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu!
Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-n yesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai berdasarka n dalil yang ia pahami seakan-aka n ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurk an pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen , idza shahah al hadits fahuwa madzhabi (jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku) , seakan-aka n ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkut an belum menghatamk an dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.
Mudah-muda han kita terlindung
dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari
ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu
yang mampu kita serap dan kita amalkan.
***** akhir kutipan *****
Dapat kita temukan mereka mengutip perkataan Imam Syafi’i ra seperti
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku”
dan juga,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
” Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisih i sunnah Rasulullah shallahu ‘alayhi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah itu dan tinggalkan perkataank u itu”
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkut an menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentang an dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkut an langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau.
Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkut an langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Al-Imam Nawawi menyebutka n dalam Majmu’ Syarh Al Muhadzab , tidak bisa sembarang orang mengatakan demikian.
Al-Imam Nawawi menyebutka n beberapa syarat. “Sesungguh nya untuk hal ini, dibutuhkan seseorang yang memiliki tingkatan sebagai mujtahid dalam mazhab yang telah dijelaskan sebelumnya , dan dan ia harus berbaik sangka bahwa Imam Syafi’i belum sampai kepada hadits tersebut, atau belum mengetahui keshahihan hadits itu, dan ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah menela’ah semua kitab-kita b milik Imam Syafi’i dan kitab-kita b
para sahabat yang mengambil darinya, dan syarat ini sulit, serta
sedikit orang yang sampai pada tingkatan ini. Syarat ini kami sebutkan
karena, Imam Syafi’i tidak mengamalka n dhahir hadits yang telah beliau ketahui, akan tetapi ada dalil lain yang mencacatka n hadits itu, atau yang menasakh hadits itu, atau yang mentakhish atau yang menta’wilk an hadits itu.
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kita b hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulka n dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulka n dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulka n dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulka n dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan : ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentang an
dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid
mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalka n hal itu“
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc, .MA dalam tulisan pada http:// www.rumahfi qih.com/ x.php?id=13 57669611&t itle=adaka h-mazhab-s alaf.htm menuliskan
***** awal kutipan *****
Kerancuan Istilah Salaf
Istilah ‘salaf’ artinya adalah sesuatu yang lampau atau terdahulu. Terjemahan salaf dalam bahasa Indonesia bisa bermacam-m acam, seperti lampau, kuno,konse rvatif, konvension al, ortodhox, klasik, antik, dan seterusnya .
Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah salaf sebenarnya bukan nama yang baku untuk menamakan sebuah medote istimbath hukum. Istilah salaf hanya menunjukka n keterangan tentang sebuah kurun waktu di zaman yang sudah lampau.
Kira-kira perbanding annya begini, kalau kita ingin menyebut skala panjang suatu benda dalam ilmu ukur, maka kita setidaknya mengenal ada dua metode ataubesara n, yaitu centimeter dan inchi. Di Indonesia biasanya kita menggunaka n besaran centimeter , sedangkan di Amerika sana biasa orang-oran g menggunaka n ukuran inchi. Nah, tiba-tiba ada orang menyebutka n bahwa panjangnya meja adalah 20 ‘masa lalu’.
Lho? Apa maksudnya ’20 masa lalu’ ?
Apakah istilah ‘masa lalu’ itu adalah sebuah besaran atau ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya pasti tidak. Yang kita tahu hanya besaran 20 centimeter atau 20 inchi, tapi kalau ’20 masa lalu’, tidak ada seorang pun yang mengenal istilah itu.
Ya bisa saja sih segelintir orang menggunaka n istilah besaran ‘masa lalu’sebag ai
besaran untuk mengukur panjang suatu benda, tetapi yang pasti besaran
itu bukan besaran standar yang diakui dalam dunia ilmu ukur. Jadi
kalau kita ketoko material bangunan, lalu kita bilang mau beli kayu
triplek ukuran 20 ‘masalalu’ , pasti penjaga tokonya bingung dan dahinya berkerut 10 lipatan.
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbinc angkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masasalaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahirtahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’ i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-ImamAhm ad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-oran g khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasukAl -Albani,
tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud
dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptaka n ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptaka n
sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi
semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ng aku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pi kir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriya h. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunaka n nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunaka n metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab,
mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai
tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus
dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabung an dua dalil atau lebih (thariqatu l-jam’i) bila ada dalil-dali l yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentang an. Lalu mereka semata-mat a cuma pakai pertimbang an mana yang derajat keshahihan nya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahann ya
sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur
keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanl ah metode menshahiha n hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah , apalagi dalam mengistimb ath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya ,
yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode
kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu
bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu
yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar
cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiy yah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitka n dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaska n bahawasany a, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaiman a
yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi,
tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat
Islam“.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokka n rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafaln ya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafaln ya- kemudian dia menyampaik annya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaik annya kepada orang yang lebih paham darinya,da n terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminy a” (Hadits ShahihRiwa yat Abu Dawud, at-Tirmidz i, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at- Thabrani dalam al-Mu’jamu l Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya . Pada hakikatnya , sebagian besar yang disampaika n oleh para perawi hadits adalah perkataan Rasulullah bukan hasil pemahaman atau ijtihad dan istinbat dari para perawi hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzd zab
berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab
salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallah u ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walau pun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingk an dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan masa sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-pr insip asas/ dasar dan furu’/ cabangnya.
Tidak ada salah seorang daripada mereka (para sahabat) sebuah mazhab
yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah
mereka (para sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan
Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-huku m sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangka n prinsip-pr insip asas/ dasar dan furu’/ cabangilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
Hal yang perlu kita ingat bahwa kitab hadits dan apa yang disampaika n oleh ahli hadits pada hakikatnya sebatas meriwayatk an hadits bukan menjelaska n terhadap matan/ redaksi hadits.
Begitupula kitab tafsir bil matsur yakni menafsirka n Al Qur’an dengan Al Qur’an, atau dengan as-Sunnah pada hakikatnya hanya sebatas meriwayatk an belum menjelaska n.
Termasuk kitab Al Umm, kitab yang disusun bersama murid Imam Syafi’i adalah kitab induk atau kitab sumber atau kumpulan “bahan mentah” serupa dengan kitab hadits hanya sebatas meriwayatk an belum termasuk penjelasan atau hasil ijitihad dan istinbat.
Kita dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran negara tersebut terjadi diakibatka n orang-oran g yang memaksakan syariat Islam bersandark an mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya masing masing sehingga timbul perselisih an di antara faksi.
Sebagaiman a diketahui,
setelah Syarif diangkat menjadi pemimpin Somalia pada Januari 2009
lalu, faksi pejuang Somalia terbagi menjadi dua, antara pendukung dan
penentang.
Sebagian kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun), Harakah Tajammu’ Al Islami dan Jama’ah Ahlu Sunnah wa al Jama’ah adalah 4 faksi menyatakan dukungan kepada Syarif.
Sedangkan Harakah As Syabab Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.
Syeikh Syarif sebagai kepala pemerintah an transisi menegaskan , “Islam adalah dasar dalam setiap gerak pemerintah Somalia.” Akan tetapi Syeikh Syarif menolak pemikiran Syabab Mujahidin yang menurutnya masih jauh dari konsep Islam ideal
Rektor Universita s Al Ahgaff, Prof. Habib Abdullah Baharun mengatakan
***** awal kutipan *****
Di negara Somalia, sampai kini, masih terjadi pertumpaha n darah gara-gara ada sekte yang suka mengkafir- kafirkan
(Jama’ah Takfir), ini yang saya takutkan kalau sampai terjadi di
Indonesia . Oleh sebab itu ada baiknya kita juga mengaplika sikan
apa yang pernah diucapkan oleh Habib Abu Bakar Al Adny, da’i
sekaligus pemikir Islam asal kota Aden, dalam satu lawatannya di Univ. Al Ahgaff, beliau berkata bahwa da’wah, itu yang bermanfaat bagi umat bukan malah memecah belah umat. Menuduh kafir, pertikaian , perdebatan yang berlandask an hawa nafsu itu adalah dakwah yang memicu perpecahan dan itu yang mesti kita tanggalkan kini.
Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal, “Hai si hitam.” Rasul pun mendengar dan berkata, “Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang kecuali taqwa.” Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal, “Aku telah mengolokmu dan aku mengaku salah.” “Aku telah memaafkanm u,” kata Bilal. “Tidak, belum, ini wajahku kutaruh di tanah dan injaklah hingga keluar virus kesombonga n dariku,” kata Abu Dzar. “Aku telah mengampuni mu,”
kata Bilal. “Tidak demi Allah hatiku takkan tenang hingga kau
menaruh kaki di wajahku ini, hingga penyakit ini hilang,” kata Abu
Dzar. Beginilah Rasul mendidik umat la ilaha illa Allah agar saling
menghormat i, toleran, tidak menyakiti dan sikap inilah yang mesti kita implementa sikan
ketika bertemu dengan sesama umat la ilaha Illa Allah, dari sekte
apapun. Agar dakwah untuk mengajak umat kembali pada Allah terus
langgeng dan tidak mandeg gara-gara disibukkan dengan saling jegal antar sekte.
***** akhir kutipan *****
Kitapun dapat belajar dari apa yang dialami oleh negara kita terhadap orang-oran g yang memaksakan syariat Islam bersandark an mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya masing masing.
Dahulu terjadi pemberonta kan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/ TII)
di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo, yang bermula dan berpusat di
Jawa Barat, “tempat Negara Islam Indonesia diproklama sikan pada 7 Agustus 1949, gerakan ini kemudian menyebar ke bagian-bag ian Jawa Tengah, ke Kalimantan Selatan, ke Sulawesi Selatan, dan ke Aceh.”
Berikut kutipan sebuah tulisan berjudul NU dan Pancasila karya Einar Martahan Sitompul
***** awal kutipan *****
Kartosuwir yo adalah seorang bekas pengurus PSII dan pernah dekat dengan pendiri PSII Cokroamino to.(70). Ia mempunyai latar belakang pendidikan Barat. “Jadi, ia bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritaka n orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahua n yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.“
Pemberonta kan Darul Islam ini bukan hanya membahayak an kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaa n, tetapi juga membahayak an masa depan Islam di negara Republik Indonesia justru karena mengatasna makan agama Islam. Apalagi karena Kartosuwir yo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia,
maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam. Hal
itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundan g
para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang
kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal. Antara lain oleh karena untuk daerah-dae rah
tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala
Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwir yo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia. Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pe gawai yang menangani urusan-uru san yang langsung berkaitan dengan masalah—ke agamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain. Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-uru san itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.
Pertemuan ulama yang diprakarsa i oleh K.H. Masjkur itu berlangsun g
di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).
Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim
Ulama Se-Indones ia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati. Boland menerjemah kannya: “pemerinta h yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasar Surah 4 ayat 59).”
Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarny a tentang Surah 4: 59, Ulu-l-amr adalah orang-oran g yang melaksanak an kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesai an
urusan. Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima
kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam
antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintah an-pemerin tahan biasa akan melakokan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormat i dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.
Adalah sudah menjadi kenyataan di mana-mana terdapat pemisahan yang
tajam antara hukum dan moral, antara urusan sekuler dan keagamaan, sebagaiman a terjadi di berbagai negeri sekarang ini, Islam tetap mengharapk an kekuasaan sekuler dijalankan secara benar ….
Keputusan ini sangat penting bagi NU khususnya dan bagi umat Islam umumnya sebab yang dihadapi pemerintah adalah gerakan politik keislaman yang menentang pemerintah an yang sedang berkuasa. Gelar itu memberikan kemantapan atau kepastian bagi umat Islam untuk mematuhi tindakan pemerintah yang dipimpin Sukarno terhadap DI/ TII. Keputusan itu makin diperlukan mengingat Masyumi tidak tegas, bahkan cenderung simpati terhadap gerakan DI/TII.
***** akhir kutipan ******
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Kalau kita telusuri akar permasalah
Abul Abbas bin Abdul Halim bin Abdullah bin Muhammad Ibn Taimiyyah lahir dari lingkungan
Ulama Ibnu Taimiyyah adalah ulama pelopor perubahan pemikiran atau pembaharua
Beliau menggeraka
Pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah diikuti oleh "murid" atau pengikutny
***** awal kutipan *****
Lengkaplah
***** akhir kutipan *****
Rasulullah
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kita
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan
Selain itu ulama-ulam
Berbeda dengan para pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang pada umumnya mengharamk
Pengharama
Salah satu contoh penjelasan
Tentang ulama Muhammad Abduh yang dapat kita ketahui sedikit tentang beliau dari percakapan
***** awal kutipan *****
Dalam mukaddimah
“Kalian menjadikan
Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara
Mendengar pernyataan
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat itu hanya dibolehkan
Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan
***** akhir kutipan *****
Selain itu , orang-oran
Charles Cruzman mengemukak
Kaum fundamenta
Padahal pendapat ulama Ibnu Taimiyyah telah banyak menyelisih
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangk
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy
Begitupula
**** awal kutipan ****
و منهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده و رشيد رضا , و يأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي , و أحمد بن تيمية و تلميذه ابن القيم و ابن عبد الهادى , فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه , و هو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه و سلم , و خالفو هم فيما ذكر و غيره , قال ابن تيميه فى فتاويه : و اذا سفر لاعتقاده أنها أي زيارة قبر النبي فلى الله عليه و سلم طاعة , كان ذلك محرما باجماع المسلمين , فصار التحريم من الأمر المقطوع به .
Sebagian lagi ada golongan yang mengikuti kepada pendapat Muhammad Abduh dan Rosyid Ridho. Mereka mengikuti kepada perbuatan bid’ah Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, Ahmad Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi. Golongan ini mengharamk
Ibnu Taimiyah dalam kitab “Fatawi”-n
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي فى رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الاعتقاد : و هذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا و خلفا , فكانوا وصمة و ثلمة فى المسلمين و عضوا فاسدا يجب قطعه حتى لا يعدى الباقى ف…هو كالمجذوم يجب الفرار منه , فانهم فريق يلعبون بدينهم , يذمون العلماء سلفا و خلفا , و يقولون : انهم غير معصومين فلا ينبغى تقليدهم , لا فرق فى ذلك بين الأحياء و الأموات , و يطعنون عليهم و يلقون الشبهات , و يذرونها فى عيون بصائر الضعفاء لتعمى أبصارهم عن عيوب هؤلاء , يقصدون بذلك القاء العداوة و البغضاء , بحلولهم الجو و يسعون فى الأرض فسادا , يقولون على الله الكذب و هم يعلمون , , يزعمون أنهم قائمون بالأمر بالمعروف و النهي عن المنكر , حاضون الناس على اتباع الشرع و اجتناب البدع , و الله يشهد انهم لكاذبون , قلت : و لعل وجهه أنهم من أهل البدع و الأهواء , قال القاضى عياض فى الشفاء : و كان معظم فسادهم على الدين , و قد يدخل فى أمور الدنيا بما يلقون بين المسلمين من العداوة الدينية التى تسرى لدنياهم , قال العلامة ملا على القارى فى شرحه : و قد حرم الله تعالى الخمر و الميسر لهذه العلة كما قال تعالى : انما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة و البغضاء فى الخمر و الميسر
Menurut Al-’Allama
Golongan tersebut mendiskred
Imam Qadhi ‘Iyadh berkata: Kehancuran
***** akhir kutipan ****
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
“Sesungguh
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
Ulama Ibnu Taimiyyah terjerumus
Pada hakikatnya
Protokol Zionis yang ketujuhbel
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskred
Contoh hasutan "Padahal orang-oran
Imam Mazhab yang empat memang tidak maksum namun Imam Mazhab yang empat sejak dahulu kala sampai pada masa kini, telah diakui oleh jumhur ulama sebagai ulama yang berkompete
Jadi gerakan hasutannya
Padahal tidak mungkin orang awam (bukan ahli istidlal) akan sanggup menjadi Imam Mujtahid. Kalau orang awam (bukan ahli istidlal)
Dapatkah orang yang tidak pernah belajar hukum akan menjadi hakim yang baik dalam negara Hukum?
Sudah pasti tidak.
Manakala ada orang yang bukan ahli hukum mencoba menjadi hakim, maka hukum itu akan diinjak-in
Di dalam hukum Islam juga begitu. Setiap orang yang hendak menjadi Imam Mujtahid, yaitu orang-oran
***** awal kutipan ******
a. Mengetahui
b. Mengetahui
c. Mengetahui
d. Mengetahui
e. Mengetahui
Bagi yang tidak memiliki kemampuan,
Diantara para mujtahid yang madzhabnya
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamk
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukann
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukak
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya
***** akhir kutipan *****
Contohnya,
***** awal kutipan *****
"rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab "ijtihad" adalah mengetahui
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui
Sehubungan
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Berikut kami kutipkan tulisan tentang tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi'i dari http://
***** awal kutipan *****
Imam An Nawawi menyatakan
1. Mufti Mustaqil
2. Mujtahid Madzhab
3. Ashab Al Wujuh
4. Mujtahid Fatwa
5. Mufti Muqallid
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutka
Keistimewa
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat)
Contoh ulama Syafi’iyah
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutka
Di kalangan muta’akhir
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaiman
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapa
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisih
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan
Imam An Nawawi menyebutka
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyya
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-p
Perlu diketahui,
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutka
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-muft
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluark
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisih
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinterak
Imam An Nawawi menyebutka
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu!
Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-n
Mudah-muda
***** akhir kutipan *****
Dapat kita temukan mereka mengutip perkataan Imam Syafi’i ra seperti
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku”
dan juga,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
” Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisih
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkut
Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkut
Al-Imam Nawawi menyebutka
Al-Imam Nawawi menyebutka
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan
Asy-Syeikh
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,
***** awal kutipan *****
Kerancuan Istilah Salaf
Istilah ‘salaf’ artinya adalah sesuatu yang lampau atau terdahulu.
Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah salaf sebenarnya
Kira-kira perbanding
Lho? Apa maksudnya ’20 masa lalu’ ?
Apakah istilah ‘masa lalu’ itu adalah sebuah besaran atau ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya
Ya bisa saja sih segelintir
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbinc
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah
Sayangnya,
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptaka
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya
Mereka tidak menggunaka
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabung
Padahal setelah dipelajari
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah
***** akhir kutipan *****
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiy
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzd
Hal yang perlu kita ingat bahwa kitab hadits dan apa yang disampaika
Begitupula
Termasuk kitab Al Umm, kitab yang disusun bersama murid Imam Syafi’i adalah kitab induk atau kitab sumber atau kumpulan “bahan mentah” serupa dengan kitab hadits hanya sebatas meriwayatk
Kita dapat mengambil pelajaran dari Somalia bahwa kehancuran
Sebagaiman
Sebagian kelompok Mahakim Al Islami, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Qadir Ali Umar, Harakah Al Ishlah (Ikhwan Al Muslimun),
Sedangkan Harakah As Syabab Al Mujahidin serta Al Mahakim Al Islami wilayah Asmarah, Al Jabhah Al Islamiyah serta Mu’askar Anuli, yang bergabung dalam Hizb Al Islami.
Syeikh Syarif sebagai kepala pemerintah
Rektor Universita
***** awal kutipan *****
Di negara Somalia, sampai kini, masih terjadi pertumpaha
Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal, “Hai si hitam.” Rasul pun mendengar dan berkata, “Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang kecuali taqwa.” Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal, “Aku telah mengolokmu
***** akhir kutipan *****
Kitapun dapat belajar dari apa yang dialami oleh negara kita terhadap orang-oran
Dahulu terjadi pemberonta
Berikut kutipan sebuah tulisan berjudul NU dan Pancasila karya Einar Martahan Sitompul
***** awal kutipan *****
Kartosuwir
Pemberonta
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal. Antara lain oleh karena untuk daerah-dae
Pertemuan ulama yang diprakarsa
Menarik untuk disimak penjelasan
Keputusan ini sangat penting bagi NU khususnya dan bagi umat Islam umumnya sebab yang dihadapi pemerintah
***** akhir kutipan ******
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830