oleh Timur
Lenk
BEBERAPA KONSENSUS (IJMA')
ULAMA AHLUSSUNNAH
1.
Konsensus Para Sahabat dan Imam :
“Allah Ada Tanpa Tempat”.
Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat
madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian
Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat
dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita
hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan
lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat
akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang
menyalahinya.
1. Al-Imam ‘Ali ibn Abi
Thalib (w 40 H) berkata:
كَانَ
اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ
“Allah ada tanpa permulaan
dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap
sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh
al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
Beliau juga
berkata:
إنّ
اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا
لِذَاتِهِ
“Sesungguhnya Allah
menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan
kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh
al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
2. Seorang tabi’in yang
agung, Al-Imam Zainal-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94
H) berkata:
أنْتَ
اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ
“Engkau wahai Allah yang
tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam
Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).
Juga berkata:
أنْتَ
اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا
“Engkau wahai Allah yang
maha suci dari segala bentuk dan ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla
az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h.
380).
3. Al-Imam Ja’far as-Shadiq
ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H)
berkata:
مَنْ
زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ
لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ
مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا (أىْ
مَخْلُوْقًا)
“Barang siapa berkeyakinan
bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu
maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu
maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia
terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-”
(Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h.
6).
4. Al-Imam al-Mujtahid Abu
Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka,
perintis madzhab Hanafi, berkata:
وَاللهُ
تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ
بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.
“Allah ta’ala di akhirat
kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga
dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya,
bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan
Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga,
tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)”
(Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali
al-Qari, h. 136-137).
Juga berkata:
قُلْتُ:
أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ
مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن
وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah
engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa
permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada
tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu
apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath karya
Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid
al-Kautsari, h. 20).
Juga berkata:
وَنُقِرّ
بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ
يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ
وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ
عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ
مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ
الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Dan kita mengimani adanya
ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an-
dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut da tidak
bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan
lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada
sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan
berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk
dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di
manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat
al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad
Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam
Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Perkataan Imam Abu Hanifah
ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum
Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyyah
sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada
mereka: Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat
dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah
seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari
para ulama tabi’in, dan para ulama tabi’in tersebut telah mengambil pelajaran
dari para sahabat Rasulullah.
Adapun ungkapan Imam Abu
Hanifah yang menyebutkan bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata “Aku
tidak mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi!?”, demikian pula
beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu
arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”, hal ini karena kedua ungkapan
tersebut menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu
Hanifah mengkafirkan orang yang mengatakan demikian. Karena setiap yang
membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga
baharu. Maksud ungkapan Imam Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang
disalahpahami oleh orang-orang Musyabbihah bahwa Allah berada di atas langit
atau di atas ‘arsy. Justru sebaliknya, maksud ungkapan beliau ialah bahwa Allah
ada tanpa tempat dan tanpa arah, sebagaimana dalam ungkapan-ungkapan beliau
sendiri yang telah kita tulis di atas.
Maksud dua ungkapan Imam
Abu Hanifah di atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam
kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang
mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman
bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki
tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al
Akbar, h. 198).
Pernyataan Imam al-‘Izz ibn
‘Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla ‘Ali al-Qari. Ia berkata:
“Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ‘ibn ‘Abdissalam adalah orang yang paling
paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah tersebut. Karenanya kita
wajib membenarkan apa yang telah beliau nyatakan” (Lihat Mulla ‘Ali al-Qari
dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 198).
5. Al-Imam al-Mujtahid
Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w 204 H), perintis madzhab Syafi’i, dalam salah
satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar,
menuliskan:
(فصل)
وَاعْلَمُوْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْلُ عَلَيْهِ هُوَ أنّ
اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ عَلَى صِفَةِ
الأزَلِيّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ
التَّغَيُّرُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّلُ فِي صِفَاتِهِ، وَلأنّ مَنْ لَهُ
مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ
مَحْدُوْدًا، وَالْمَحْدُوْدُ مَخْلُوْقٌ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا
كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك
لاَ يَتِمّ إلاّ بالْمُبَاشَرَةِ والاتّصَالِ والانْفِصَال.
“Ketahuilah bahwa Allah
tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan
tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang
azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada
hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad
asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki
arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan.
Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci
dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak.
Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan,
menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan
terpisah-pisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan
berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah
adalah sesuatu yang mustahil” (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar,
h. 13).
Pada bagian lain dalam
kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i
menuliskan sebagai berikut:
فَإنْ
قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى)،
يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ
الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي
العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ
فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ
يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي
تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ
زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ
وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ.
“Jika dikatakan bukankah
Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini
termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat
yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi
dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya
atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini
ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang
semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang
telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku
atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan
segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan
demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” (al-Kaukab
al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
6. Al-Imam al-Mujtahid Abu
‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang
Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah.
Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini
as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:
وَمَا
اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ
الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ
وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.
“Apa yang tersebar di
kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa
beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal
tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn
Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144).
2.
Pernyataan Para Imam Muhaddits dan Ulama Tentang Kekufuran Orang Yang Menetapkan
Tempat Bagi Allah
Berikut ini adalah adalah
pernyataan para ulama Ahlussunnah dalam menetapkan kekufuran orang yang
berkeyakinan bahwa Allah berada pada tempat dan arah, seperti mereka yang
menetapkan arah atas bagi-Nya, atau bahwa Dia berada di langit, atau berada di
atas arsy, atau mereka yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat.
Berikut nama ulama Ahlussunnah dengan pernyataan mereka di dalam karyanya
masing-masing yang kita sebutkan di sini hanya sebagian kecil saja.
• Al-Imâm al-Mujtahid Abu
Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi (w 150 H), atau yang lebih dikenal sebagai
Imam Hanafi Imam agung perintis madzhab Hanafi, dalam salah satu karyanya
berjudul al-Fiqh al-Absath menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada
di langit telah menjadi kafir. Al-Imâm Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut :
“Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah ia berada di
langit atau berada di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula
telah menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy, dan saya
tidak tahu apakah arsy berada di langit atau berada di bumi?!” (al-Fiqh
al-Absath, h. 12 (Lihat dalam kumpulan risalah al-Imâm Abu Hanifah yang
di-tahqiq oleh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari).
• Pernyataan al-Imâm Abu
Hanifah di atas lalu dijelaskan oleh al-Imâm asy-Syaikh al-Izz ibn Abd as-Salam
(w 660 H) dalam karyanya berjudul Hall ar-Rumuz sekaligus disepakatinya bahwa
orang yang berkata demikian itu telah menjadi kafir, adalah karena orang
tersebut telah menetapkan tempat bagi Allah. Al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam
menuliskan : “Hal itu menjadikan dia kafir karena perkataan demikian memberikan
pemahaman bahwa Allah memiliki tempat, dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah
memiliki tempat maka dia adalah seorang Musyabbih (Seorang kafir yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh asy-Syaikh Mulla Ali
al-Qari dalam kitab Syrah al-Fiqh al-Akbar, h. 198).
• Pemahaman pernyataan
al-Imâm Abu Hanifah di atas sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imâm al-Izz ibn
Abd as-Salam telah dikutip pula oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari’ (w 1014 H)
dalam karyanya Syarh al-Fiqh al-Akbar sekaligus disetujuinya. Tentang hal ini
beliau menuliskan sebagai berikut : “Tidak diragukan lagi kebenaran apa yang
telah dinyatakan oleh al-Izz Ibn Abd as-Salam --dalam memahami maksud perkataan
al-Imâm Abu Hanifah--, beliau adalah ulama terkemuka dan sangat terpercaya.
Dengan demikian wajib berpegang teguh dengan apa yang telah beliau nyatakan ini”
(Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198).
• Al-Imâm al-Hâfizh
al-Faqîh Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam risalah akidahnya; al-‘Aqidah
ath-Thahawiyyah, yang sangat terkenal sebagai risalah akidah Ahlussunnah Wal
Jama’ah, menuliskan sebagai berikut : “Barangsiapa mensifati Allah dengan satu
sifat saja dari sifat-sifat manusia maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat
matan al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah).
• Salah seorang sufi
terkemuka, al-‘Arif Billah al-Imâm Abu al-Qasim al-Qusyairi (w 465 H) dalam
karya fenomenalnya berjudul ar-Risalah al-Qusyairiyyah menuliskan sebagai
berikut : “Aku telah mendengar al-Imâm Abu Bakr ibn Furak berkata: Aku telah
mendengar Abu Utsman al-Maghribi berkata: Dahulu aku pernah berkeyakinan sedikit
tentang adanya arah bagi Allah, namun ketika aku masuk ke kota Baghdad keyakinan
itu telah hilang dari hatiku. Lalu aku menulis surat kepada teman-temanku yang
berada di Mekah, aku katakan kepada mereka bahwa aku sekarang telah
memperbaharui Islamku” (ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 5).
• Teolog terkemuka di
kalangan Ahlussunnah al-Imâm Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi
al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan sebagai berikut
: “Allah telah menafikan keserupaan antara Dia sendiri dengan segala apapun dari
makhluk-Nya. Dengan demikian pendapat yang menetapkan adanya tempat bagi Allah
adalah pendapat yang telah menentang ayat muhkam; yaitu firman-Nya: “Laysa
Kamitslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Ayat ini sangat jelas pemaknaannya dan
tidak dimungkinkan memiliki pemahaman lain (takwil). Dan barangsiapa menentang
ayat-ayat al-Qur’an maka ia telah menjadi kafir. Semoga Allah memelihara kita
dari kekufuran” (Tabshirah al-Adillah Fi Ushuliddin, j. 1, h. 169).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah
Zainuddin Ibn Nujaim al-Hanafi (w 970 H) dalam karyanya berjudul al-Bahr
ar-Ra-iq Syarh Kanz ad-Daqa-iq berkata : “Seseorang menjadi kafir karena
berkeyakinan adanya tempat bagi Allah. Adapun jika ia berkata “Allah Fi
as-Sama’” untuk tujuan meriwayatkan apa yang secara zhahir terdapat dalam
beberapa hadits maka ia tidak kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan
menetapkan tempat bagi Allah maka ia telah menjadi kafir” (al-Bahr ar-Ra-iq
Syarh Kanz ad-Daqa-iq, j. 5, h. 129).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah
Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang
lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhaj
al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut :
“Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al-Imâm
asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al-Imâm Ahmad dan al-Imâm Abu Hanifah bahwa mereka
semua sepakat mengatakan bahwa orang yang menetapkan arah bagi Allah dan
mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir.
Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian”
(al-Minhaj al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224).
• Dalam kitab Syarh al-Fiqh
al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari menuliskan
sebagai berikut: “Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan
kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan
penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti
arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka
orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h.
215).
Masih dalam kitab yang
sama, Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut : “Barangsiapa
berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya
maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata
semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa
Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu,
atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar
keyakinan iman yang ada pada dirinya” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h.
271-272).
Dalam kitab karya beliau
lainnya berjudul Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, Syaikh Ali Mulla
al-Qari’ menuliskan sebagai berikut : “Bahkan mereka semua --ulama Salaf-- dan
ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah
maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh
al-Iraqi. Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang telah
menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah,
al-Imâm Malik, al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Baqillani”
(Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, j. 3, h. 300).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah
Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam karyanya berjudul Isyarat
al-Maram Min ‘Ibarat al-Imâm, sebuah kitab akidah dalam menjelaskan
perkataan-perkataan al-Imâm Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut : “Beliau
(al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah
Allah berada di langit atau berada di bumi maka orang ini telah menjadi kafir”.
Hal ini karena orang yang berkata demikian telah menetapkan tempat dan arah bagi
Allah. Dan setiap sesuatu yang memiliki tempat dan arah maka secara pasti ia
adalah sesuatu yang baharu --yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada
tempat dan arah tersebut--. Pernyataan semacam itu jelas merupakan cacian bagi
Allah. Beliau (al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Demikian pula menjadi kafir orang
yang berkata: “Allah berada di atas arsy, namun saya tidak tahu arsy, apakah
berada di langit atau berada di bumi”. Hal ini karena orang tersebut telah
menetapkan adanya tempat bagi Allah, menetapkan arah, juga menetapkan sesuatu
yang nyata-nyata sebagai kekurangan bagi Allah, terlebih orang yang mengatakan
bahwa Allah berada di arah atas, atau menfikan keagungan-Nya, atau menafikan
Dzat Allah yang suci dari arah dan tempat, atau mengatakan bahwa Allah
menyerupai makhluk-Nya. Dalam hal ini terdapat beberapa poin penting:
Pertama: Orang yang
berkeyakinan bahwa Allah adalah bentuk yang memiliki arah maka orang ini sama
saja dengan mengingkari segala sesuatu yang ada kecuali segala sesuatu tersebut
dapat diisyarat -dengan arah- secara indrawi. Dengan demikian orang ini sama
saja dengan mengingkari Dzat Allah yang maha suci dari menyerupai makhluk-Nya.
Oleh karena itu orang semacam ini secara pasti adalah seorang yang telah kafir.
Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di
atas.
Kedua: Pengkafiran terhadap
orang yang menetapkan adanya keserupaan dan tempat bagi Allah. Inilah yang
diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas, dan ini
berlaku umum. -Artimya yang menetapkan keserupaan dan tempat apapun bagi Allah
maka ia telah menjadi kafir-. Dan ini pula yang telah dipilih oleh al-Imâm
al-Asy’ari, sebagaimana dalam kitab an-Nawzdir ia (al-Imâm al-Asy’ari) berkata:
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah benda maka orang ini tidak mengenal
Tuhannya dan ia telah kafir kepada-Nya”. Sebagaimana hal ini juga dijelaskan
dalam kitab Syarh al-Irsyad karya Abu al-Qasim al-Anshari” (Isyarat al-Maram Min
‘Ibarat al-Imâm, h. 200).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah
Abd al-Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam karyanya berjudul Fath
ar-Rabbani Wa al-Faydl ar-Rahmani menuliskan sebagai berikut : “Kufur dalam
tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian. Segala macam bentuk kekufuran
kembali kepada tiga macam kufur ini, yaitu at-Tasybîh (menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya), at-Ta’thil (menafikan Allah atau sifat-sifat-Nya), dan at-Takdzib
(mendustakan). Adapun at-Tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah menyerupai
makhluk-Nya, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang
duduk di atas arsy, atau yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam
pengertian anggota badan, atau bahwa Allah berbentuk seperti si fulan atau
memiliki sifat seperti sifat-sifat si fulan, atau bahwa Allah adalah sinar yang
dapat dibayangkan dalam akal, atau bahwa Allah berada di langit, atau barada
pada semua arah yang enam atau pada suatu tempat atau arah tertentu dari
arah-arah tersebut, atau bahwa Allah berada pada semua tempat, atau bahwa Dia
memenuhi langit dan bumi, atau bahwa Allah berada di dalam suatu benda atau
dalam seluruh benda, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatau dengan suatu benda
atau semua benda, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Allah,
semua keyakinan semacam ini adalah keyakinan kufur. Penyebab utamanya adalah
karena kebodohan terhadap kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atasnya”
(al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124).
• Asy-Syaikh al-‘Allâmah
Muhammad ibn Illaisy al-Maliki (w 1299 H) dalam menjelaskan perkara-perkara yang
dapat menjatuhkan seseorang di dalam kekufuran menuliskan sebagai berikut :
“Contohnya seperti orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda atau
berkayakinan bahwa Allah berada pada arah. Karena pernyataan semacam ini sama
saja dengan menetapkan kebaharuan bagi Allah, dan menjadikan-Nya membutuhkan
kepada yang menjadikan-Nya dalam kebaharuan tersebut” (Minah al-Jalil Syarh
Mukhtashar Khalil, j. 9, h. 206).
• Al-‘Allâmah al-Muhaddits
al-Faqîh asy-Syaikh Abu al-Mahasin Muhammad al-Qawuqji ath-Tharabulsi al-Hanafi
(w 1305 H) dalam risalah akidah berjudul al-I’timad Fi al-I’tiqad menuliskan
sebagai berikut: “Barangsiapa berkata : “Saya tidak tahu apakah Allah berada di
langit atau berada di bumi”; maka orang ini telah menjadi kafir. -Ini karena ia
telah menetapkan tempat bagi Allah pada salah satu dari keduanya-” (al-I’timad
Fi al-I’tiqad, h. 5).
• Dalam kitab al-Fatawa
al-Hindiyyah, sebuah kitab yang memuat berbagai fatwa dari para ulama
Ahlussunnah terkemuka di daratan India, tertulis sebagai berikut : “Seseorang
menjadi kafir karena menetapkan tempat bagi Allah. Jika ia berkata Allah Fi
as-Sama’ untuk tujuan meriwayatkan lafazh zhahir dari beberapa berita (hadits)
yang datang maka ia tidak menjadi kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk
tujuan menetapkan bahwa Allah berada di langit maka orang ini menjadi kafir”
(al-Fatawa al-Hindiyyah, j. 2, h. 259).
• Asy-Syaikh Mahmud ibn
Muhammad ibn Ahmad Khaththab as-Subki al-Mishri (w 1352 H) dalam kitab karyanya
berjudul Ithaf al-Ka-inat Bi Bayan Madzhab as-Salaf Wa al-Khalaf Fi
al-Mutasyâbihât, menuliskan sebagai berikut : “Telah berkata kepadaku sebagian
orang yang menginginkan penjelasan tentang dasar-dasar akidah agama dan ingin
berpijak di atas para ulama Salaf dan ulama Khalaf dalam memahami teks-teks
Mutasyâbihât, mereka berkata: Bagaimana pendapat para ulama terkemuka tentang
hukum orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada arah, atau bahwa Dia duduk
satu tempat tertentu di atas arsy, lalu ia berkata: Ini adalah akidah salaf,
kita harus berpegang teguh dengan keyakinan ini. Ia juga berkata: Barangsiapa
tidak berkeyakinan Allah di atas arsy maka ia telah menjadi kafir. Ia mengambil
dalil untuk itu dengan firman Allah: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” (QS.
Thaha: 5) dan firman-Nya: “A-amintum Man Fi as-Sama’ (QS. al-Mulk: 16). Orang
yang berkeyakinan semacam ini benar atau batil? Dan jika keyakinannya tersebut
batil, apakah seluruh amalannya juga batil, seperti shalat, puasa, dan lain
sebagainya dari segala amalan-amalan keagamaan? Apakah pula menjadi tertolak
pasangannya (suami atau istrinya)? Apakah jika ia mati dalam keyakinannya ini
dan tidak bertaubat dari padanya, ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan
tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin? Kemudian seorang yang membenarkan
keyakinan orang semacam itu, apakah ia juga telah menjadi kafir?
Jawaban yang aku tuliskan
adalah sebagai berikut: Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para
sahabatnya. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan batil, dan hukum orang yang
berkeyakinan demikian adalah kafir, sebagaimana hal ini telah menjadi Ijma’
(konsensus) ulama terkemuka. Dalil akal di atas itu adalah bahwa Allah maha
Qadim; tidak memiliki permulaan, ada sebelum segala makhluk, dan bahwa Allah
tidak menyerupai segala makhluk yang baharu tersebut (Mukhalafah Li
al-Hawadits). Dan dalil tekstual di atas itu adalah firman Allah: “Laisa
Kamitaslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Dengan demikian orang yang berkayakinan
bahwa Allah berada pada suatu tempat, atau menempel dengannya, atau menempel
dengan sesuatu dari makhluk-Nya seperti arsy, al-kursy, langit, bumi dan lainnya
maka orang semacam ini secara pasti telah menjadi kafir. Dan seluruh amalannya
menjadi sia-sia, baik dari shalat, puasa, haji dan lainnya. Demikian pula
pasangannya (suami atau istrinya) menjadi tertolak. Ia wajib segera bertaubat
dengan masuk Islam kembali -dan melepaskan keyakinannnya tersebut-. Jika ia mati
dalam keyakinannya ini maka ia tidak boleh dimandikan, tidak dishalatkan, dan
tidak dimakamkan dipemakaman kaum muslimin. Termasuk menjadi kafir dalam hal ini
adalah orang yang membenarkan keyakinan tersebut. -Semoga Allah memelihara kita
dari pada itu semua-. Adapun pernyataannya bahwa setiap orang wajib berkeyakinan
semacam ini, dan bahwa siapapun yang tidak berkeyakinan demikian adalah sebagai
seorang kafir, maka itu adalah kedustaan belaka, dan sesungguhnya justru
penyataannya yang merupakan kekufuran” (Ithaf al-Ka’inat, h. 3-4).
• Al-Muhaddits al-‘Allâmah
asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari (w 1371 H), Wakil perkumpulan para ulama
Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki menuliskan: “Perkataan yang
menetapkan bahwa Allah berada pada tempat dan arah adalah perkataan kufur. Ini
sebagaimana dinyatakan oleh para Imam madzhab yang empat, seperti yang telah
disebutkan oleh al-Iraqi (dari para Imam madzhab tersebut) dalam kitab Syarh
al-Misykat yang telah ditulis oleh asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari” (Maqalat
al-Kautsari, h. 321).
3.
Aqidah Ulama Indonesia Allah Ada Tanpa Tempat
Ummat Islam Indonesia
berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang
akidah dan Madzhab Syafi’i dalam hukum fiqih. Berikut ini penegasan beberapa
ulama Indonesia tentang akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah:
1. Syekh Muhammad Nawawi
bin Umar al Bantani (W.1314 H/1897).
Beliau menyatakan dalam
Tafsirnya, at-Tafsir al Munir li Ma’alim at-Tanzil, jilid I, hlm.282 ketika
menafsirkan ayat 54 surat al A’raf (7):
ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Sebagai berikut:
"وَالْوَاجِبُ
عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ
وَالْجِهَةِ...".
“Dan kita wajib meyakini
secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci dari tempat dan arah….”
2. Mufti Betawi Sayyid
Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al ‘Alawi.
Beliau banyak mengarang
buku-buku berbahasa Melayu yang hingga sekarang menjadi buku ajar di kalangan
masyarakat betawi yang menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti buku
beliau Sifat Dua Puluh. Dalam karya beliau “az-Zahr al Basim fi Athwar Abi al
Qasim”, hal.30, beliau mengatakan: “…Tuhan yang maha suci dari pada jihah
(arah)…”.
3. Syekh Muhammad Shaleh
ibnu Umar as-Samaraniy
Beliau yang dikenal dengan
sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang (W. 1321 H/sekitar tahun 1901). Beliau
berkata dalam terjemah kitab al Hikam (dalam bahasa jawa), hlm.105, sebagai
berikut : “…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna”
Maknanya:”…dan (Allah Maha
Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”.
4. K.H.Muhammad Hasyim
Asy’ari, Jombang, Jawa Timur
Beliau adalah pendiri
organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ (W. 7 Ramadlan 1366 H/25
Juni 1947). Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul:
“at-Tanbihat al Wajibat” sebagai berikut:
"وَأَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ
الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ...".
Maknanya: “Dan aku bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada
sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk (berjisim), arah, zaman atau masa
dan tempat…”.
5. K.H.Muhammad Hasan al
Genggongi al Kraksani, Probolinggo (W. 1955),
Beliau adalah Pendiri
Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam
risalahnya (Aqidah at-Tauhid), hlm.3 sebagai berikut:
وُجُوْدُ
رَبِّيْ اللهِ أَوَّلُ الصِّفَاتْ بِلاَ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَجِهَاتْ فَإِنَّهُ
قَدْ كَـانَ قَبْلَ الأَزْمِـنَةْ وَسَائِرِ الْجِهَاتِ ثُمَّ
الأَمْكِنَةْ
“Adanya Tuhanku Allah
adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat dan (enam) arah. Karena
Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat”.
6. K.H.Raden Asnawi,
Kampung Bandan-Kudus (W. 26 Desember 1959).
Beliau menyatakan dalam
risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”, hlm.18, sebagai
berikut : “…Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda
(yakni sesuatu yang mengikut pada benda atau ‘aradl), Karenanya Dia tidak
membutuhkan tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap
bagi-Nya sifat Qiyamuhu bi nafsihi” (terjemahan dari bahasa jawa).
7. K.H. Siradjuddin Abbas
(W. 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H).
Beliau mengatakan dalam
buku “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan”, hal. 25: “…karena Tuhan itu tidak
bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan mempunyai
tempat duduk, serupa manusia”.
8. K.H. Djauhari Zawawi,
Kencong, Jember (W.1415 H/20 Juli 1994),
Beliau adalah Pendiri
Pondok Pesantren as-Sunniyah, Kencong, Jember, Jawa Timur. Beliau menyatakan
dalam risalahnya yang berbahasa Jawa, sebagai berikut: “…lan mboten di wengku
dining panggenan...”, maknanya: “…Dan (Allah) tidak diliputi oleh tempat…”
(Lihat Risalah: Tauhid al-‘Arif fi Ilmi at-Tauhid, hlm.3).
9. K.H. Choer Affandi
(W.1996),
Beliau adalah pendiri P.P.
Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau menyatakan dalam
risalahnya dengan bahasa Sunda yang berjudul “Pengajaran ‘Aqaid al Iman”, hal.
6-7 yang maknanya: ”(Sifat wajib) yang kelima bagi Allah adalah Qiyamuhu
binafsihi – Allah ada dengan Dzat-Nya, Tidak membutuhkan tempat – Dan juga tidak
membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Dalil yang menunjukkan atas sifat
Qiyamuhu binafsihi, seandainya Allah membutuhkan tempat –Niscaya Allah merupakan
sifat benda (‘aradl), Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil –Dan
seandainya Allah membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Niscaya Allah ta’ala
(bersifat) baru - Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil (bagi
Allah)”.
4.
Pernyataan Para Ulama Tentang Kesesatan Akidah Hulul Dan Wahdah
al-Wujud
Dalam tinjauan Al-Imâm
al-Hafiszh as-Suyuthi, keyakinan hulûl, ittihâd atau wahdah al-wujûd secara
hitoris awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan
menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa
dan ibunya; Maryam sekaligus. Hulûl dan wahdah al-wujûd ini sama sekali bukan
berasal dari ajaran Islam. Bila kemudian ada beberapa orang yang mengaku sufi
meyakini dua akidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi gadungan.
Para ulama, baik ulama Salaf maupun Khalaf dan kaum sufi sejati dan hingga
sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua akidah tersebut. (as-Suyuthi,
al-Hâwî…, j. 2, h. 130, Pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani
dalam teori hulûl dan Ittihâd lihat as-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, h.
178-183).
Al-Imâm al-Hafizh
Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulûl atau wahdah
al-wujûd jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani. Karena bila dalam
keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus
(yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam keyakinan hulûl dan
wahdah al-wujûd Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu
dengan setiap komponen dari alam ini.
Demikian pula dalam
penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas secara
gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini
kaum Nasrani bahwa al-lâhût (Tuhan) menyatu dengan al-nâsût (makhluk), yang
kemudian diadopsi oleh faham hulûl dan ittihâd adalah kesesatan dan kekufuran
(as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130). Di antara karya al-Ghazali yang cukup
komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulûl dan ittihâd adalah
al-Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-Asnâ Fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ.
Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham kaum sufi gadungan.
Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihyâ ‘Ulumiddîn.
Imam al-Haramain dalam
kitab al-Irsyâd juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihâd berasal dari kaum
Nasrani. Kaum Nasrani berpendapat bahwa ittihâd hanya terjadi hanya pada nabi
Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulûl dan ittihâd
ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagain dari mereka menyatakan bahwa
yang menyatu dengan tubuh nabi Isa adalah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat
lainnya mengatakan bahwa dzat tuhan menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh nabi
Isa laksana air yang bercampur dengan susu. Selain ini ada pendapat-pendapat
mereka lainnya. Semua pendapat mereka tersebut secara garis besar memiliki
pemahaman yang sama, yaitu pengertian kesatuan (hulûl dan ittihâd). Dan semua
faham-faham tersebut diyakini secara pasti oleh para ulama Islam sebagai
kesesatan. (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, mengutip dari Imam al-Haramain
dalam al-Irsyâd).
Imam al-Fakh ar-Razi dalam
kitab al-Mahshal Fî Ushûliddîn, menuliskan sebagai berikut : “Sang Pencipta
(Allah) tidak menyatu dengan lain-Nya. Karena bila ada sesuatu bersatu dengan
sesuatu yang lain maka berarti sesuatu tersebut menjadi dua, bukan lagi satu.
Lalu jika keduanya tidak ada atau menjadi hilang (ma’dûm) maka keduanya berarti
tidak bersatu. Demikian pula bila salah satunya tidak ada (ma’dûm) dan satu
lainnya ada (maujûd) maka berarti keduanya tidak bersatu, karena yang ma’dûm
tidak mungkin bersatu dengan yang maujûd” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130,
mengutip dari al-Fakh ar-Razi dalam al-Mahshal Fi Ushul al-Dîn).
Al-Qâdlî ‘Iyadl dalam kitab
al-Syifâ menyatakan bahwa seluruh orang Islam telah sepakat dalam meyakini
kesesatan akidah hulûl dan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah menyatu
dengan tubuh manusia. Keyakinan-keyakinan semacam ini, dalam tinjauan al-Qâdlî
‘Iyadl tidak lain hanya datang dari orang-orang sufi gadungan, kaum Bathiniyyah,
Qaramithah, dan kaum Nasrani (Al-Qâdli ‘Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h. 236). Dalam
kitab tersebut al-Qâdlî ‘Iyadl menuliskan : “Seorang yang menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, maka dia tidak
mengenal Allah (kafir) seperti orang-orang Yahudi. Demikian pula telah menjadi
kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya
(hulûl), atau bahwa Allah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain
seperti keyakinan kaum Nasrani” (Al-Qâdli ‘Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h.
236).
Imam Taqiyyuddin Abu Bakr
al-Hishni dalam Kifâyah al-Akhyâr mengatakan bahwa kekufuran seorang yang
berkeyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd lebih buruk dari pada kekufuran
orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Kaum Yahudi menyekutukan Allah
dengan mengatakan bahwa ‘Uzair sebagai anak-Nya. Kaum Nasrani menyekutukan Allah
dengan mengatakan bahwa Isa dan Maryam sebagai tuhan anak dan tuhan Ibu; yang
oleh mereka disebut dengan doktrin trinitas. Sementara pengikut akidah hulûl dan
wahdah al-wujûd meyakini bahwa Allah menyatu dengan dzat-dzat makhluk-Nya.
Artinya dibanding Yahudi dan Nasrani, pemeluk akidah hulûl dan wahdah al-wujûd
memiliki lebih banyak tuhan; tidak hanya satu atau dua saja, karena mereka
menganggap bahwa setiap komponen dari alam ini merupakan bagian dari Dzat Allah,
Na’udzu Billâh. Imam al-Hishni menyatakan bahwa siapapun yang memiliki kemampuan
dan kekuatan untuk memerangi akidah hulûl dan akidah wahdah al-wujûd maka ia
memiliki kewajiban untuk mengingkarinya dan menjauhkan orang-orang Islam dari
kesesatan-kesesatan dua akidah tersebut (Lihat al-Hushni, Kifâyah al-Akhyar…, j.
1, h. 198).
Imam Ahmad ar-Rifa’i,
perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, di antara wasiat yang disampaikan kepada para
muridnya berkata : “Majelis kita ini suatu saat akan berakhir, maka yang hadir
di sini hendaklah menyampaikan kepada yang tidak hadir bahwa barang siapa yang
membuat bid’ah di jalan ini, merintis sesuatu yang baru yang menyalahi ajaran
agama, berkata-kata dengan wahdah al-wujûd, berdusta dengan keangkuhannya kepada
para makhluk Allah, sengaja berkata-kata syathahât, melucu dengan
kalimat-kalimat tidak dipahaminya yang dikutip dari kaum sufi, merasa senang
dengan kedustaannya, berkhalwat dengan perempuan asing tanpa hajat yang
dibenarkan syari’at, tertuju pandangannya kepada kehormatan kaum muslimin dan
harta-harta mereka, membuat permusuhan antara para wali Allah, membenci orang
muslim tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, menolong orang yang zhalim,
menghinakan orang yang dizhalimi, mendustakan orang yang jujur, membenarkan
orang yang dusta, berprilaku dan berkata-kata seperti orang-orang yang bodoh,
maka saya terbebas dari orang semacam ini di dunia dan di akhirat (lihat Sawâd
al-‘Ainain Fî Manâqib Abî al-‘Alamain karya al-Imam as-Suyuthi).
Al-Qâdlî Abu al-Hasan
al-Mawardi mengatakan bahwa seorang yang berpendapat hulûl dan ittihâd bukan
seorang muslim yang beriman dengan syari’at Allah. Seorang yang berkeyakinan
hulûl ini tidak akan memberikan manfa’at pada dirinya sekalipun ia berkoar
membicakaran akidah tanzih. Karena seorang yang mengaku Ahl at-Tanzîh namun ia
meyakini akidah hulûl atau ittihâd adalah seorang mulhid (kafir). Dalam tinjauan
al-Mâwardi, bukan suatu yang logis bila seseorang mengaku ahli tauhid sementara
itu ia berkeyakinan bahwa Allah menyatu pada raga manusia. Sama halnya
pengertian bersatu di sini antara sifat-sifat tuhan dengan sifat-sifat manusia,
atau dalam pengartian melebur antara dua dzat; Dzat Allah dengan dzat
makhluk-Nya. Karena bila demikian maka berarti tuhan memiliki bagian-bagian,
permulaan dan penghabisan, serta memiliki sifat-sifat makhluk lainnya
(as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 132).
Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam
kutipannya dari kitab Mi’yâr al-Murîdîn, berkata : “Ketahuilah bahwa asal
kemunculan kelompok sesat dari orang-orang yang berkeyakinan ittihâd dan hulûl
adalah akibat dari kedangkalan pemahaman mereka terhadap pokok-pokok keyakinan
(al-Ushûl) dan cabang-cabangnya (al-furû’). Dalam pada ini telah banyak atsar
yang membicarakan untuk menghindari seorang ahli ibadah (‘Âbid) yang bodoh.
Seorang yang tidak berilmu tidak akan mendapatkan apapun dari apa yang ia
perbuatnya, dan orang semacam ini tidak akan berguna untuk melakukan sulûk”
(as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 133).
Seorang sufi kenamaan, Imam
Sahl ibn ‘Abdullah at-Tustari, berkata : “Dalil atas kesesatan faham kasatuan
(ittihâd) antara manusia dengan Tuhan adalah karena bersatunya dua dzat itu
sesuatu yang mustahil. Dua dzat manusia saja, misalkan, tidak mungkin dapat
disatukan karena adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Terlebih lagi
antara manusia dengan Tuhan, sangat mustahil. Karena itu keyakinan ittihâd
adalah sesuatu yang batil dan mustahil, ia tertolak secara syara’ juga secara
logika. Oleh karenanya kesesatan akidah ini telah disepakati oleh para nabi,
para wali, kaum sufi, para ulama dan seluruh orang Islam. Keyakinan ittihâd ini
sama sekali bukan keyakinan kaum sufi. Keyakinan ia datang dari mereka yang
tidak memahami urusan agama dengan benar, yaitu mereka yang menyerupakan dirinya
dengan kaum Nasrani yang meyakini bahwa al-nasut (nabi Isa) menyatu dengan
al-lahut (Tuhan)” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 134).
Dalam tinjauan Imam
al-Ghazali, dasar keyakinan hulûl dan ittihâd adalah sesuatu yang tidak logis.
Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah sesuatu yang
mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan antara dzat
dengan sifat. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan
memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan
pada makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara
makna jelas berbeda. Sifat al-Hayât (hidup), misalkan, walaupun dinisbatkan
kepada Allah dan juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut
berbeda. Sifat hayat pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging,
makanan, minuman dan lainnya. Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada
manusia.
Imam al-Ghazali menuliskan
bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan sifat-sifat yang ada pada
dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian bukan berarti bila ia telah
sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Hal ini
sangat mustahil dengan melihat kepada beberapa alasan berikut;
Pertama; Mustahil
sifat-sifat Allah yang Qadîm (tidak bermula) berpindah kepada dzat manusia yang
hâdits (Baru), sebagaimana halnya mustahil seorang hamba menjadi Tuhan karena
perbedaan sifat-sifat dia dengan Tuhan-nya.
Kedua; Sebagaimana halnya
bahwa sifat-sifat Allah mustahil berpindah kepada hamba-Nya, demikian pula
mustahil dzat Allah menyatu dengan dzat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian maka
pengertian bahwa seorang manusia telah sampai pada sifat-sifat sempurna adalah
dalam pengertian kesempurnaan sifat-sifat manusia itu sendiri. Bukan dalam
pengertian bahwa manusia tersebut memiliki sifat-sifat Allah atau bahwa dzat
Allah menyatu dengan manusia tersebut (hulûl dan ittihâd) .
Al-’Ârif Billâh al-‘Allâmah
Abu al-Huda ash-Shayyadi dalam kitab al-Kaukab al-Durri berkata : “Barang siapa
berkata: “Saya adalah Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang wujud di alam ini
kecuali Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang ada kecuali Allah”, atau berkata:
“Segala sesuatu ini adalah Allah”, atau semacam ungkapan-ungkapan tersebut, jika
orang ini berakal, dan dalam keadaan sadar (shâhî), serta dalam keadaan mukallaf
maka ia telah menjadi kafir. Tentang kekufuran orang semacam ini tidak ada
perbedaan pendapat di antara orang-orang Islam. Keyakinan tersebut telah
jelas-jelas menyalahi al-Qur’an. Karena dengan meyakini bahwa segala sesuatu
adalah Allah berarti ia telah menafikan perbedaan antara Pencipta (Khâliq) dan
makhluk, menafikan perbedaan antara rasul dan umatnya yang menjadi obyek dakwah,
serta menafikan perbedaan surga dan neraka. Keyakinan semacam ini jelas lebih
buruk dari mereka yang berkeyakinan hulûl dan ittihâd. Dasar mereka yang
berakidah hulûl atau ittihâd meyakini bahwa Allah meyatu dengan nabi Isa.
Sementara yang berkeyakinan segala sesuatu adalah Allah, berarti ia menuhankan
segala sesuatu dari makhluk Allah ini, termasuk makhluk-makhluk yang najis dan
yang menjijikan. Sebagian mereka yang berkeyakinan buruk ini bahkan
berkata:
(قيل)
وَمَا اْلكَلْبُ وَالْخِنْزِيْرُ إلاّ إلَهُنَا # وَمَا اللهُ إلاّ رَاهِبٌ فِي
كَنِيْسَةٍ
“Tidaklah anjing dan babi
kecuali sebagai tuhan kita, sementara Allah tidak lain adalah rahib yang ada di
gereja”.
Ini jelas merupakan
kekufuran yang sangat mengerikan dan membuat merinding tubuh mereka yang takut
kepada Allah. Adapun jika seorang yang berkata-kata semacam demikian itu dalam
keadaan hilang akal dan hilang perasaannya (jadzab) sehingga ia berada di luar
kesadarannya maka ia tidak menjadi kafir. Karena bila demikian maka berarti ia
telah keluar dari ikatan taklif, dan dengan begitu ia tidak dikenakan hukuman.
Namun demikian orang semacam itu mutlak tidak boleh diikuti. Tidak diragukan
bahwa kata-kata semacam di atas menyebabkan murka Allah dan rasul-Nya.
Ketahuilah bahwa kaum Yang Haq adalah mereka yang tidak melenceng sedikitpun,
baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, dari ketentuan syari’at. Cukuplah
bagi seseorang untuk memegang teguh syari’at, dan cukuplah Rasulullah sebagai
pembawa syari’at adalah sebaik-baiknya Imam dan teladan yang harus diikuti”
(Lihat al-Shayyadi, al-Kaukab al-Durry Fi Syarh Bait al-Quthb al-Kabir, h.
11-12).
Dalam al-Luma’, as-Sarraj
membuat satu sub judul dengan nama “Bâb Fî Dzikr Ghalath al-Hululiyyah” (Bab
dalam menjelaskan kesesatan kaum Hululiyyah). Beliau menjelaskan bahwa
orang-orang yang berakidah hulûl adalah orang yang tidak memahami bahwa
sebenarnya sesuatu dapat dikatakan bersatu dengan sesuatu yang lain maka
mestilah keduanya sama-sama satu jenis. Padahal Allah tidak menyerupai suatu
apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya.
Kesesatan kaum hulûl ini sangat jelas, mereka tidak membedakan antara
sifat-sifat al-Haq (Allah) dengan sifat al-Khalq (makhluk). Bagaimana mungkin
Dzat Allah menyatu dengan hati atau raga manusia?! Yang menyatu dengan hati dan
menetap di dalamnya adalah keimanan kepada-Nya, menyakini kebenaran-Nya,
mentauhidkan-Nya dan ma’rifah kepada-Nya. Sesungguhnya hati itu adalah makhluk,
maka bagaimana mungkin Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya akan bersatu dengan hati
manusia yang notabene makhluk-Nya sendiri?! Allah maha Suci dari pada itu semua
(as-Sarraj, al-Luma’…, h. 541-542).
Dari pernyataan para ulama
sufi di atas tentang akidah hulûl dan wahdah al-wujûd dapat kita tarik
kesimpulan bahwa kedua akidah ini sama sekali bukan merupakan dasar akidah kaum
sufi.
Penutup : Sama sesatnya
dengan orang-orang berkayakinan hulul atau wahdah al-wujud adalah orang-orang
yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit atau bertempat di atas arsy,
karena bila demikian maka berarti Dia berada pada makhluk-Nya sendiri, Au'dzu
Billah.
Hindari dan waspadai
keyakinan Wahhabi yang mengatakan Allah bertempat di langit, pada saat yang sama
mereka juga mengatakan di arsy, di dua tempat heh!!! Yang mengherankan: Mereka
yakin bahwa arsy dan langit makhluk Allah, tapi mereka mengatakan bahwa Allah
bertempat pada keduanya, di mana akal mereka!!!!!! Hasbunallah.......
Ingat, Akidah Rasulullah,
salaf saleh, dan mayoritas ummat Islam; kaum Ahlussunnah Wal Jama'ah: ALLAH ADA
TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.
Wa Shallallahu Ala
Sayyidina Muhammad, Wa al-Hamdu Lillah Rabb al-Alamin...
5.
Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl
Ada sebuah hadits yang
dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm
al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing. Redaksi hadits
riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: (Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât,
Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât
al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl
Wa al-Ijâbah Fîh.)
“Telah mengkabarkan kepada
kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan
Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
يَنْـزِلُ
رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ
يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن
يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ (رواه البخاري)
Hadîts an-Nuzûl ini tidak
boleh dipahami dalam makna zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari
arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat
yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah. Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh
Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
“Hadist ini termasuk
hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur
di kalangan ulama;
Pertama: Madzhab mayoritas
ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam (teolog),
yaitu dengan mengimaninya
bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan
Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna
yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam
memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan
bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu
tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh
sifat-sifat makhluk.
Kedua: Madzhab mayoritas
ahli Kalam (kaum teolog) dan beberapa golongan dari para ulama Salaf,
di antaranya sebagaimana
telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan
takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan
ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab
kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang
nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah
turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa
rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan:
“Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud
adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja
itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Kedua; takwil hadits dalam
makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan
mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya,
waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta
kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).
Dengan demikian pendapat
kaum Musyabbihah jelas batil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan
pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam
Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat
kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi;
yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian
menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan
perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat
Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa
Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga
akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat
menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi mereka.
Seorang ahli tafsir
terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa
al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang
yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts
an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan
sebagai berikut:
“Pendapat yang paling baik
dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat
an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah
bersabda:
إنّ
اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ
مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ
يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى
”Sesungguhnya Allah
mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah
memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia
akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah
orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh
Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan
tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan
hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang
mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa
Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat
tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang
menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”,
dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat
an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar
dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
“Kaum yang menetapkan
adanya arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi
mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para
ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah
bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl
ini terdapat beberapa pendapat ulama” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Kemudian al-Hâfizh Ibn
Hajar menuliskan:
“Abu Bakar ibn Furak
meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf
awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya
disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits
riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy,
bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ
اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل:
هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه
”Sesungguhnya Allah
mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam
tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang
yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini
dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi
sabda Rasulullah:
يُنَادِ
مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ
”…maka Malaikat penyeru
berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah
al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini
menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Al-Imâm Badruddin ibn
Jama’ah dalam kitab Idlâh al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl menuliskan
sebagai berikut:
“Ketahuilah, bahwa tidak
boleh memaknai an-nuzûl dalam hadits ini dalam pengertian pindah dari satu
tempat ke tempat lain, karena beberapa alasan berikut;
Pertama: Turun dari satu
tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat benda-benda dan
segala sesuatu yang baharu. Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga
perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan
Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi
Allah.
Ke Dua: Jika Hadîts
an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti
pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan
pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan
sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus
terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut
turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal
itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit dunia
dan arsy. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang
berakal sehat.
Ke Tiga: Pendapat yang
menyebutkan bahwa Allah bertempat di atas arsy dan memenuhinya, bagaimana
mungkin cukup bagi-Nya untuk bertempat di langit dunia, padahal luasnya langit
dibanding arsy tidak ubahnya seperti sebesar kerikil dibanding lapangan yang
luas. Dalam hal ini pendapat sesat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan;
Pertama: Bahwa langit dunia setiap saat berubah menjadi besar dan luas hingga
mencukupi Allah. Kedua: Atau bahwa Dzat Allah setiap saat menjadi kecil agar
tertampung oleh langit dunia tersebut. Tentunya, kita menafikan dua keadaan yang
mustahil tersebut dari Allah.
Dengan demikian setiap ayat
dan hadits mutasyâbihât yang zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan
antara Allah dengan makhluk-Nya harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan
keagungan Allah. Atau jika tidak memberlakukan takwil maka harus diyakini
kesucian Allah dari segala sifat-sifat makhluk-Nya” (Idlâh al-Dalîl, h.
164).
KESIMPULAN
Allah bukan benda, dan Dia
tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang terlintas dalam benak
manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat
oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang
menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak membutuhkan kepada
keduanya.
PENUTUP
Ikutilah Apa Yang Diyakini
Mayoritas Umat Islam..!! Di akhir zaman ini banyak berkembang faham-faham yang
terkadang satu sama lainnya saling menyesatkan. Ironisnya, klaim sesat
seringkali dilontarkan oleh mereka yang sama sekali tidak mengetahui ilmu agama.
Lebih parah lagi, klaim sesat seringkali mereka dilontarkan kepada mayoritas
umat Islam yang notabene kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Padahal ajaran yang
diyakini mayoritas umat Islam ini telah mapan dan telah turun-temurun antar
generasi ke generasi dengan mata rantai (Sanad) yang bersambung kepada
Rasulullah. Persoalan-persoalan yang seringkali mereka angkat sangat beragam,
dari mulai perkara-perkara pokok dalam masalah akidah (Ushuliyyah), hingga
masalah-masalah cabang hukum agama (Furu’iyyah). Praktek Peringatan Maulid Nabi,
Tahlil, Ziarah Kubur, Tawassul dan Tabarruk adalah di antara contoh beberapa
masalah yang seringkali “diserang” oleh mereka.
Pada dasarnya mereka yang
seringkali mengklaim kelompok di luar mereka sebagai kelompok sesat adalah
“orang-orang bingung’, “orang-orang yang tidak memiliki pijakan”, dan sama
sekali tidak paham terhadap cara beragama mereka sendiri. Seringkali dalm
propagandanya mereka berkata: “Kita harus kembali kepada al-Qur’an dan Hadits”,
atau berkata: “Madzhab saya adalah al-Qur’an dan Sunnah”, padahal mereka sama
sekali tidak memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Bagaimana mungkin
mereka akan dapat memahami kandungan al-Qur’an dan hadits sementara tidak
sedikit dari mereka yang membaca tulisan Arab saja sangat “belepotan”. Bahkan
seringkali untuk memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi mereka hanya
bersandar kepada terjemahan-terjemahan belaka. Sama sekali mereka tidak paham
siapa seorang mujtahid, dan apa syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid.
Namun demikian mereka memposisikan diri laksana seorang ahli ijtihad.
Hasbunallah.