Abu
Hudzaifah meriwayatk
Penguasa
Romawi mengatakan ;
“Kami mengingink an
untuk mengirimka n
kepadamu seorang
delegasi kami yang akan menyampaik an
kepadamu hal-hal yang berkaitan dengan
perdamaian dan
mengajakmu kepada keadilan”.
“Jika
engkau sudi menerimany a,
semoga yang demikian baik untukmu dan baik untuk kami,
tetapi jika engkau menolak, maka kami tidak melihat sesuatu kecuali
keburukan
bagimu”, ucap penguasa Romawi.
Mendengar
permintaan tersebut, Abu
Ubaidah bin Jarrah barkata; “Kirimkan siapa pun yang
engkau inginkan”.
Setelah
ada kesepakata n
tersebut, beberapa waktu kemudian, penguasa Romawi mengirimka n
utusan seorang laki-laki yang berpostur tubuh tinggi dan berwarna kulit
kemerah-me rahan yang alami.
Setelah
utusan tersebut sampai pada perkemahan pasukan muslimin, ia tidak mengetahui
yang mana diantara orang-oran g
yang sedang berkumpul tersebut, gubernur kaum
muslimin yang bernama Abu Ubaidah bin Jarrah. Ia juga tidak mengetahui apakah
Abu Ubaidah ada dalam kumpulan tersebut atau pun tidak. Ia juga tidak
melihat
sebuah tempat duduk khusus bagi seorang pemimpin sebagaiman a tempat duduk
pemimpin-p emimpin yang lain
yang pernah ia ketahui.
Karena
ingin segera mengetahui
di mana guberbur Syam yang bernama Abu Ubaidah bin
Jarrah, utusan tersebut berkata; “Wahai orang-oran g arab, di mana pemimpin
kalian?”.
Mendapat
pertanyaan demikian,
sebagian dari kaum muslimin menjawab; “Itu dia pemimpin
kami (sambil menunjuk ke sebuah arah)”.
Mendapat
petunjuk tentang keberadaan
pemimpin kaum muslimin, utusan tersebut segera
menoleh kepada arah yang ditunjukka n
kepadanya, dan disana
ternyata terdapat
Abu Ubaidah bin Jarrah yang saat itu sedang duduk di atas tanah. Beliau
ketika
itu sedang memegang rumput basah untuk memberi makan kuda miliknya. Di
tangan
beliau yang lain terdapat beberapa anak panah yang belilau letakkan di
depannya.
Melihat
keadaan Abu Ubaidah bin Jarrah demikian, utusan tersebut berkata;
“Apakah
engkau benar pemimpin mereka?”.
“Benar”,
jawab Abu Ubaidah bin Jarrah.
“Kenapa
engkau duduk di atas tanah?”, tanya utusan tersebut.
Mendapat
pertanyaan demikian,
gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah menjawab; “Apakah engkau
mengira, jika engkau duduk di atas bantal atau dibawahmu terdapat
permadani,
hal tersebut menjadikan mu
mendapat tempat duduk yang serupa kelak di sisi Allah?,
atau malah akan menjauhkan mu
dari kebaikan?? !”.
Gubernur
Syam Abu Ubaidah bin Jarrah melanjutka n; “Sesungguh nya Allah Ta’ala tidak malu
terhadap sebuah kebenaran,
oleh karena itu aku akan berkata jujur kepadamu.
Sebenarnya aku tidak
memiliki apapun kecuali pedangku ini, kuda, juga senjataku
ini. Kemaren aku memiliki sebuah keperluan untuk memenuhi kebutuhank u, karena
aku tidak memiliki apa-apa, maka aku berhutang kepada saudaraku ini
(yang
dimaksudka n oleh beliau pada
saat itu adalah sahabat Mu’adz bin Jabal)”.
Abu
Ubaidah bin Jarrah melanjutka n;
“Seandainy a saja aku
memiliki permadani ataupun
bantal, maka aku tetap tidak akan duduk di atasnya, tetapi aku akan
mendudukka n
di atas bantal dan permadani tersebut, saudaraku muslim yang aku tidak
tau,
jangan-jan gan ia memiliki
kedudukan yang lebih baik dariku di sisi Allah Azza
wa Jall di bumi ini”.
“Kami
adalah hamba-hamb a
Allah, sama-sama berjalan di atas bumi juga duduk di
atasnya, kami makan dan tidur di atasnya, dan yang demikian itu tidak
ada yang
mengurangi sedikitpun derajat kami di sisi Allah, tetapi
yang demikian malah akan
menjadi sebab bertambahn ya
pahala kami dan juga ketinggian
derajat kami di
sisi-Nya. Kesinilah, dan
sampaikan keperluan yang membuatmu datang ke sini”.
Riyadl an-Nadzroh fi Manaqibil
Asyrah
Kang As'ad, Jogja: 06/04/2013
Riyadl an-Nadzroh
Kang As'ad, Jogja: 06/04/2013