Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang
pemahaman) yang
dilancarka n oleh kaum
Zionis Yahudi sehingga mereka kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah
lebih bersandark an
dengan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) yang
umumnya memahami dengan makna dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat dari sudut arti bahasa
(lughot) dan istilah (terminolo gi)
saja.
Mereka adalah produk atau hasil pengajaran ulama yang dipaksakan oleh kerajaan dinasti Saudi yang
merupakan sekutu dari Zionis Amerika untuk mengikuti pola pemahaman
atau ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang mendalami ilmu agama
secara otodidak (shahafi) sebagaiman a
yang dapat kita ketahui dari tulisan pada http:// suryadhie.w ordpress.c om/2007/ 08/16/ artikel-tok oh-islam-u lama-islam /
***** awal kutipan *****
Lengkaplah
sudah ilmu yang diperlukan
oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangk an sendiri melalui metode otodidak
(belajar sendiri) sebagaiman a
lazimnya para ulama besar Islam mengembang kan ilmu-ilmun ya. Di mana bimbingan guru hanyalah
sebagai modal dasar yang selanjutny a untuk dapat dikembangk an dan digali sendiri oleh yang
bersangkut an
***** akhir kutipan *****
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab membuat kitab atau tulisan
yang pada umumnya berisikan pendapat berdasarka n akal pikirannya sendiri , sedikit sekali merujuk kepada
pendapat para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam
Mazhab yang empat.
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam bersabda, “Barangsia pa
menguraika n Al
Qur’an dengan akal pikirannya
sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan” . (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kita b hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil
ilmu melalui kitab saja tanpa memperliha tkannya kepada ulama dan tanpa
berjumpa dalam majlis-maj lis
ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak
menganggap nya sebagai
ilmu, mereka menyebutny a
shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang
semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajar i ilmu dari
kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia
melenceng dari kebenaran.
Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah
untuk menghindar i
kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Al-Hafidz adz-Dzahab i
berkata: “al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i: “Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia,
yang saling dipelajari
oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan
dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” Riwayat ini juga dikutip
oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza’i.
Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan
terjadi kesalahan,
apalagi dimasa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka
kalimat-ka limat
menjadi rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika
mempelajar i ilmu dari
para guru”
Mereka merasa atau mengaku mengikuti manhaj Salaf atau mazhab Salaf.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: Semoga
Allah mengelokka n rupa
orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafaln ya-dalam lafadz riwayat lain: lalu
dia memahami dan menghafaln ya-
kemudian dia menyampaik annya
kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama
menyampaik annya kepada
orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa
ilmu agama tidak memahaminy a”
(Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidz i, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban, at-Thabran i dalam al-Mu’jamu l Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang
sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya . Pada hakikatnya , sebagian besar yang disampaika n oleh para perawi hadits adalah
perkataan Rasulullah bukan
pemahaman dari para perawi hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzd zab berkata “dan tidak boleh bagi
orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang daripada imam-imam di
kalangan para Sahabat radhiallah u
‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal, walaupun mereka
lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingk an dengan (ulama’) selepas mereka; hal
ini karena mereka tidak meluangkan
masa sepenuhnya
untuk mengarang (menyusun)
ilmu dan meletakkan
prinsip-pr insip asas/ dasar dan furu’/ cabangnya. Tidak ada salah seorang
daripada mereka (para sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan
diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para
sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan
kemudian melakukan usaha meletakkan
hukum-huku m sebelum
berlakunya perkara
tersebut; dan bangkit menerangka n
prinsip-pr insip asas/ dasar dan furu’/ cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam)
Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
Penamaan mazhab tidak dinisbatka n kepada nama suatu generasi melainkan
kepada nama ulama yang melakukan upaya pemahaman (ijtihad) dan
penetapan hukum perkara (istinbat) serta diakui berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiy yah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah
diterbitka n dalam
bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaska n bahawasany a, “istilah salaf itu bukanlah suatu
mazhab dalam Islam, sebagaiman a
yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi,
tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat
Islam“.
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc, .MA
menyampaik an dalam tulisan
pada http:// www.rumahfi qih.com/ x.php?id=13 57669611&t itle=adaka h-mazhab-s alaf.htm
***** awal kutipan *****
Kerancuan Istilah Salaf
Istilah 'salaf' artinya adalah sesuatu yang lampau atau
terdahulu. Terjemahan salaf dalam bahasa Indonesia bisa
bermacam-m acam,
seperti lampau, kuno, konservati f,
konvension al,
ortodhox, klasik, antik, dan seterusnya .
Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah
salaf sebenarnya
bukan nama yang baku untuk menamakan sebuah medote istimbath hukum.
Istilah salaf hanya menunjukka n
keterangan tentang sebuah
kurun waktu di zaman yang sudah lampau.
Kira-kira perbanding annya
begini, kalau kita ingin menyebut skala panjang suatu benda dalam
ilmu ukur, maka kita setidaknya
mengenal ada dua metode atau besaran, yaitu centimeter dan inchi. Di Indonesia biasanya kita
menggunaka n besaran
centimeter , sedangkan
di Amerika sana biasa orang-oran g
menggunaka n ukuran
inchi. Nah, tiba-tiba ada orang menyebutka n bahwa panjangnya meja adalah 20 'masa lalu'.
Lho? Apa maksudnya '20 masa lalu' ?
Apakah istilah 'masa lalu' itu adalah sebuah besaran atau
ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya pasti tidak. Yang kita tahu hanya
besaran 20 centimeter atau
20 inchi, tapi kalau '20 masa lalu', tidak ada seorang pun yang
mengenal istilah itu.
Ya bisa saja sih segelintir orang menggunaka n istilah besaran 'masa lalu' sebagai
besaran untuk mengukur panjang suatu benda, tetapi yang pasti besaran
itu bukan besaran standar yang diakui dalam dunia ilmu ukur. Jadi
kalau kita ke toko material bangunan, lalu kita bilang mau beli kayu
triplek ukuran 20 'masa lalu', pasti penjaga tokonya bingung dan
dahinya berkerut 10 lipatan.
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbinc angkan
bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu
hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun
setelah Rasulullah SAW
wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik
lahir tahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi' i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad
bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan
salaf, barangkali dia
perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang
dibuangnya itu ternyata
lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real
salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau
dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena
mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz,
Utsaimin dan Al-Albani,
mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-oran g khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya,
Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk
Al-Albani, tak satu
pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan
manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa
mudahnya, mereka tidak pernah menciptaka n ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin
fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis
file word, tetapi mereka tidak menciptaka n sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa,
mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj
apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya
kalau kita perhatikan
metodologi istimbath
mereka yang mengaku-ng aku
sebagai salaf, sebenarnya
metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pi kir, metode istimbah yang mereka pakai
itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriya h. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan
menggunaka n nash
secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunaka n
metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas,
mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak
kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah
dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru
turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabung an dua dalil atau lebih (thariqatu l-jam'i) bila ada dalil-dali l yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak
bertentang an. Lalu
mereka semata-mat a
cuma pakai pertimbang an
mana yang derajat keshahihan nya
menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih
pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari
lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahann ya sangat fatal. Cuma apa boleh buat,
karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak
shahih. Maka digunakanl ah
metode menshahiha n hadits
yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah , apalagi dalam mengistimb ath hukumnya. Semua terjadi karena
belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya , yang namanya ulama itu, belajar dulu yang
banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul
agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah
ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua
orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Mereka salah menjadikan
ulama panutan. Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dikabarkan dalam mengggali Al Qur’an dan As
Sunnah tidak mau belajar ilmu fiqih sebagaiman a informasi yang disampaika n oleh ulama madzhab Hanbali, al-Imam
Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya
al-Suhub al-Wabilah
‘ala Dharaih al-Hanabil ah
ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi,
sebagai berikut:
عَبْدُ الْوَهَّاب ِ
بْنُ سُلَيْمَان َ
التَّمِيْم ِيُّ
النَّجْدِي ُّ وَهُوَ
وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَة ِ
الَّتِيْ انْتَشَرَش َرَرُهَا
فِي اْلأَفَاقِ
لَكِنْ بَيْنَهُمَ ا
تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا
لَمْ يَتَظَاهَر ْ
بِالدَّعْو َةِ إِلاَّ
بَعْدَمَوْ تِ وَالِدِهِ
وَأَخْبَرَ نِيْ
بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ
عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ عَمَّنْ عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْو َهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا
عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ لَمْ يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالْفِقْه ِكَأَسْلاَ فِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرّ َسُ فِيْه أَنَّهُ يَحْدُثُ مِنْهُ
أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ
الشَّرِّ فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ
(ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah
pembawa dakwah Wahhabiyah ,
yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi
antara keduanya terdapat perbedaan.
Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-ter angan berdakwah kecuali setelah
meninggaln ya sang
ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginform asikan kepadaku, dari orang yang
semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka
kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para
pendahulu dan orang-oran g
di daerahnya. Sang
ayah selalu berfirasat
tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu
berkata kepada masyarakat ,
“Hati-hati , kalian
akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah
benar-bena r terjadi.”
(Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabil ah, hal. 275)
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mendalami ilmu agama mengikuti
pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah. Pendalaman nya pun bersandark an mutholaah (menelaah) kitab yang dihasilkan oleh ulama Ibnu Taimiyyah secara
otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupan mereka terpaut
350 tahun lebih
Jumhur ulama telah menyampaik an bahwa jika memahami Al Qur’an dan As
Sunnah dengan belajar sendiri secara otodidak (shahafi) melalui cara
muthola’ah (menelaah
kitab) dan memahaminy a
dengan akal pikiran sendiri yang umumnya dengan makna dzahir,
kemungkina n besar akan
berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak
sesuai dengan apa yang disampaika n
oleh lisannya Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam dan ibadah yang kehilangan
ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihill ah
Bikholqihi ,
penyerupaa n Allah dengan
makhluq Nya
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan
al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati
Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang
dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal
kekufuran” .
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat
Ibn ‘Arabi” mengatakan
“Ia (ayat-ayat
mutasyabih at) memiliki
makna-makn a khusus
yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain
dan istiwa sebagaiman a
makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,
bertempat) , ia kafir
(kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil
Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal
dapat kita ketahui bahwa
- Barangsiap a
mengi’tiqa dkan
(meyakinka n) bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaiman a jisim-jisi m lainnya (sebagaima na tangan lainnya), maka orang tersebut
hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiap a
mengi’tiqa dkan
(meyakinka n) bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan
jisim-jisi m lainnya
(tidak serupa dengan tangan makhlukNya ), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau
orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhn ya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa
sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah
ta’ala dengan sifat-sifa t
benda dan anggota-an ggota
badan adalah mereka yang mengingkar i Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan
dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-oran g kafir
(kufur dalam i'tiqod)”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir
karena pengingkar an.
Mereka mengingkar i
Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.”
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah Abul
Faraj Abdurrahma n bin
Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan
Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubah
at-tasybih bi-akaffi
at-tanzih contoh terjemahan nya
pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2012/12/ dafu-syubah -imam-ibn- al-jauzi.p df untuk menjelaska n kesalahpah aman tiga ulama Hambali yakni
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdad i al-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad
al-Baghdad i
al-Hanbali , dikenal
dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali .
Lahir tahun 380 H, wafat 458 H
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghuni al-Hanbali , wafat 527 H
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifa t Allah secara indrawi, misalkan mereka
mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادم على صورته ”, lalu mereka
menetapkan adanya
“Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahka n “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah,
dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking , jari jempol, dada, paha, dua betis,
dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah
mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat
disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara
indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakka n– mereka mengelabui orang-oran g awam dengan berkata: “Itu semua
tidak seperti yang dibayangka n
dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifa t Allah mereka memahaminy a secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifa t Allah sama persis dengan tatacara
yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik
dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghirauk an teks-teks yang secara jelas
menyebutka n bahwa
sifat-sifa t tersebut
tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak
pernah mau melepaskan
makna sifat-sifa t
tersebut dari tanda-tand a
kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas
dengan hanya mengatakan
“Sifat Fi’il” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithi yyah
menisbahka n kepada
Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatka n kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
dalam kitab tersebut lalu mensyarahk an perkataan itu:
“Sesungguh nya
hadits-had its
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam sama seperti
Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus
begitu juga sebaliknya ,
bahkan ada juga yang mengandung
nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafa z yang dzahirnya membawa kepada tasybih
seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya
melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang
sekedar mengetahui apa
yang dzahir daripada hadits-had its
(khususnya
mutasyabih at) sehingga
akhirnya dia (yang hanya faham hadits-had its mutasyabih at dengan makna dzahir) pun sesat
seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini
seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutny a.” (Al-Fatawa Al-Hadithi yyah halaman 202)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami
dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil
permasalah an-permasa lahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi
kesepakata n umat
Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapa t) bahwa alam itu bersifat dahulu
dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah
menyandark an alam
dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah
secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga
berkeyakin an adanya
jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindaha n. Ia juga berkeyakin an bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak
lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan
buruk ini serta kekufuran yang nyata
Ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan ulama Muhammad bin
Abdul Wahhab terjerumus
kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibat kan beliau diadili oleh para qodhi dan
para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu
Taimiyyah tidak menyebarlu askan
kesalahapa hamannya sehingga
beliau wafat di penjara.
Mereka tampaknya terpengaru h
i'tiqod atau aqidah kaum Yahudi.
“Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah , berkata: “Wahai Muhammad,
sesungguhn ya Allah di
hari kiamat akan memegang seluruh lapisan langit dengan satu jari,
seluruh lapisan bumi dengan satu jari, gunung-gun ung dan pepohonan dengan satu jari”.
Dalam satu riwayat mengatakan :
“Air dan tanah dengan satu jari, kemudian Allah menggeraka n itu semua”. Maka Rasulullah tertawa, lalu bersabda dengan membaca
firmanNya yang artinya "Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah
dengan sebenar keagungan- Nya”.
(QS Az Zumar [39]:67)
Ibn Al Jawzi menjelaska n
bahwa “Tertawany a
Rasulullah dalam
hadits di atas sebagai bukti pengingkar an beliau terhadap pendeta (Yahudi)
tersebut, dan sesungguhn ya
kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupak an Allah dengan makhluk-Ny a (Musyabbih ah). Lalu turunnya firman Allah: “وما
قدروا الله حق قدره” ("Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan
sebenar keagungan- Nya”
(QS Az Zumar [39]:67) ) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkar i mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri'tiqod
(berkeyaki nan) dengan makna
dzahir maka "jari Allah" berada disetiap hati manusa
Dari 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallah u 'alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhn ya hati
semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah
Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu
wa Ta'ala akan memalingka n
hati manusia menurut kehendak-N ya.
(HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , "Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah
kekuasaan Allah. Ketika diungkapka n
“بين أصبعين”, artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha
berkehenda k untuk
“membolak- balik” hati setiap
manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu
Salamah meceritaka n
bahwa Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa
sallam memperbany ak
dalam do'anya: ALLAHUMMAA
MUQALLIBAL QULUB
TSABIT QALBI 'ALA DINIK (Ya Allah, yang membolak balikkan hati,
tetapkanla h hatiku di
atas agamamu). Ia berkata; saya berkata; "Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?"
beliau menjawab: "Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak
keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari
Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehenda k, Ia akan meluruskan nya, dan jika Allah berkehenda k, Ia akan menyesatka nnya. Maka kami memohon kepada Allah;
'Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah
kami diberi petunjuk.'
Dan kami memohon kepada-Nya
supaya memberikan
kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhn ya dia adalah Maha Pemberi'." (HR Ahmad No 25364)
Oleh karenanya jika telah terjadi perselisih an karena perbedaan pemahaman atau
pendapat, Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam memerintah kan kaum
muslim untuk kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah dengan mengikuti
mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam bersabda: “Sesungguh nya
Allah tidak menghimpun
ummatku diatas kesesatan.
Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiap a yang menyelewen gkan (menyempal ), maka ia menyelewen g (menyempal ) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahull ah dalam Fathul Bari XII/ 37 menukil perkataan Imam Thabari
rahimahullah yang menyatakan :
“Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam bersabda “Sesungguh nya
umatku tidak akan bersepakat
pada kesesatan. Oleh
karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisih an maka ikutilah as-sawad al a’zham
(mayoritas kaum muslim).”
(HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu
Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah
hadits Shohih)
Ibnu Mas’ud radhiallah uanhu
mewasiatka n yang
artinya: ”Al-Jama’a h
adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri”
Maksudnya tetaplah mengikuti Al-Jamaah atau as-sawad al a’zham
(mayoritas kaum
muslim) walaupun tinggal seorang diri di suatu tempat yang terpisah.
Hindarilah firqoh
atau sekte yakni orang-oran g
yang mengikuti pemahaman seorang ulama yang telah keluar (kharaja)
dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatka n kepada orang yang bertanya kepadanya
ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena
Allah tidak akan mengumpulk an
umat Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai
imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-k elompok maka janganlah mengikuti
salah satu firqah/ sekte.
Hindarilah semua
firqah/ sekte itu jika
kalian mampu untuk menghindar i
terjatuh ke dalam keburukan” .
Mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) mengikuti
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dengan mengikuti para
ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-ora ng yang terdahulu lagi yang
pertama-ta ma (masuk
Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-oran g yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediaka n bagi
mereka surga-surg a
yang mengalir sungai-sun gai
di dalamnya selama-lam anya.
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-oran g yang diridhoi oleh Allah Azza wa
Jalla adalah orang-oran g
yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-oran g yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling
awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.
Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang
empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang
empat patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah
sepakat dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang
berkompete nsi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih
bertemu dengan Salafush Sholeh. Imam Mazhab yang empat adalah para
ulama yang sholeh dari kalangan “orang-ora ng yang membawa hadits” yakni
membawanya dari
Salafush Sholeh yang meriwayatk an
dan mengikuti sunnah Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah ) atau mengikuti Salafush Sholeh maka
kita menemui dan bertalaqqi
(mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-ora ng yang membawa hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-ora ng yang membawa hadits” adalah para ulama
yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang
empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambu ngan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam
Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu
riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaik an
***** awal kutipan *****
Di masa hidup Rasulullah
Shallallah u ‘Alaihi
Wasallam menerima risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam tersebut relatif
mudah, tidak sulit sesulit pada masa setelah wafatnya, apalagi
setelah inqiradh para Sahabatnya .
Di masa Rasulullah
Shallallah u ‘Alaihi
Wasallam masih hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya tinggal bertanya kepadanya
dan mengikuti langsung apa-apa yang dikatakan, dikerjakan dan direstuiny a.
Sedangkan pada masa setelah wafat beliau Shallallah u ‘Alaihi Wasallam terutama setelah
inqiradh para Sahabatnya
apalagi dalam masalah baru seiring dengan perkembang an zaman, kesulitan menerima risalah
itu amat terasa sulit sekali, sehingga para penerimany a memerlukan kecermatan yang kuat dalam memahami al-Quran dan
as-Sunnah,
berijtihad dan
beristinba th yang
akurat menurut metoda yang dapat dipertangg ungjawabka n keabsahann ya menurut ukuran prinsip-pr insip risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam itu sendiri dengan
logika yang benar, berbekal perbendaha raan ilmu yang cukup jumlah dan
jenisnya, berlandask an
mental (akhlaq) dan niat semata-mat a mencari kebenaran yang diridhai Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Hal semacam itu diperlukan karena keadaan kalam Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan kalam Rasulillah
Shallallah u ‘Alaihi
Wasallam itu adalah kalam yang balaghah sesuai dengan muqtadhal hal
dan muqtadhal maqam, keadaan lafadz-laf adznya beraneka ragam, ada lafadz nash,
ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz
muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang
muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada
pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya .
Oleh karena itu bagi setiap sang penerima risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah
wafat beliau Shallallah u
‘Alaihi Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya radhiallah u anhum memerlukan :
a. Mengetahui
dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena al-quran dan as-sunnah
diturunkan Allah dan
disampaika n
Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab
yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang
perlu diketahui dan dikuasainy a
bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu,
sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang
beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang masing-mas ing mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui
dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui
yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud,
mengetahui yang
mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan
mengetahui para rawi
as-Sunnah.
e. Mengetahui
ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari
al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-huku m dari
al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-ma salah ijtihadiya h padahal dia ingin menerima risalah
Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan
kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang
dapat dipertangg ungjawabka n kemampuann ya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamk an
taqlid dan mewajibkan
ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai
mengetahui dalil-dali lnya terhadap orang awam (yang bukan
ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatka n yang akan merusak sendi-send i kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan
tidak memajukann ya.
(lihat Hasyiyah ad-Dimyath i
‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukak an dalilnya maka dia sama saja dengan
si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang
dikemukaka n. Dalam
artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima
pendapat orang tanpa mengetahui
dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah
ushuliyyin adalah
seorang ahli istidlal (mujtahid)
yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal
dengan segala kemampuann ya
mengetahui dalil pendapat
orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa
dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak
termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti
ijtihad mujtahid yang lain
***** akhir kutipan *****
Mufti golongan Mujtahid Madzhab yang relevan bagi mereka
perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taqlid, baik kepada beliau
maupun kepada para imam lainnya, sebagaiman a disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi
Syarh Al Muhadzdzab , 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah
level Mujtahid Madzhab, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapa t bahwa pelarangan taqlid dari para imam tidak bersifat
mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab , 1/72).
Jadi bermazhab adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang
tidak lagi bertemu dengan Rasulullah
maupun Salafush Sholeh.
Memang Al Qur’an adalah kitab dalam “bahasa arab yang jelas”
(QS Asy Syu’ara’ [26]: 195). namun pemahaman yang dalam haruslah
dilakukan oleh orang-oran g
yang berkompete n (ahlinya).
Allah ta’ala berfirman yang artinya
“Kitab yang dijelaskan
ayat-ayatn ya, yakni
bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui ” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyala h
kepada orang yang mempunyai pengetahua n jika kamu tidak mengetahui .” [QS. an-Nahl : 43]
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhka n seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallah u alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kal i tidak akan mendapat petunjuk kalau
Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhn ya telah datang rasul-rasu l Tuhan kami, membawa kebenaran“ . (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang ,
penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in
adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para
Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam
Mazhab yang empat
Suatu ketika Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam mengadu kepada Tuhan: “Aku akan meninggalk an dunia ini, Aku akan meninggalk an umatku. Siapakah yang akan
menuntun mereka setelahku?
Bagaimana nasib mereka sesudahku? ”
Allah ta’ala lalu menurunkan firman-Nya :
walaqad atainaaka sab’an mina almatsaani i wal qur’aana al’azhiima
“Kami telah mengarunia kanmu
Assab’ul-m atsani dan
al-Qur’an yang agung.” (QS Al Hijr [15]:87)
Assab’ul-m atsani
dan al-Qur’an, dua
pegangan yang menyelamat kan
kita dari kesesatan,
dua perkara yang telah membuat Rasulullah shallallah u alaihi wasallam tenang meninggalk an umat.
Al Qur’an kita telah mengetahui nya lalu apakah yang dimaksud dengan
Assab’ul-m atsani ?
“Sab’an minal-mats ani”
terdiri dari tiga kata; Sab’an, Min dan al-Matsani . Sab’an berarti tujuh. Min berarti
dari. Sementara al-Matsani
adalah bentuk jama’ dari Matsna yang artinya dua-dua. Dengan
demikian maka Matsani berarti empat-empa t (berkelomp ok-kelompo k, setiap kelompok terdiri dari empat).
Dalam sebuah hadits Rasul menyebutka n bahwa Assab’ul-m atsani itu adalah surat Fatihah. Itu
benar, namun yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwasanya Assab’ul-m atsani (tujuh kelompok) itu telah
diisyaratk an oleh
salah satu ayat dalam surat Fatihah, tepatnya pada firman-Nya yang artinya “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan
orang-oran g yang Engkau
karuniai nikmat“. (QS Al Fatihah [1]:6-7)
Mereka itulah Assba’ul-m atsani,
sebagaiman a firman
Allah yang artinya, “Orang-ora ng
yang dikaruniai
nikmat oleh Allah adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-oran g shalih, mereka itulah sebaik-bai k teman“. (QS An Nisaa [4]: 69)
Mereka itulah Assab’ul-m atsani
yakni orang-oran g
yang telah dikaruniai
nikmat oleh Allah ta’ala sehingga berada pada jalan yang lurus dan
menjadi seorang penunjuk yang patut untuk diikuti dalam memahami
kitab petunjuk (Al Qur’an) sehingga menyelamat kan kita dari kesesatan serta
menghantar kan kita
mencapai kebahagian dunia
dan akhirat
Imam Mazhab yang empat adalah termasuk Assab’ul-m atsani yang menghantar kan kepada kebahagiaa n dunia dan akhirat.
Para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu
Rasulullah adalah termasuk
para penunjuk.
Para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan
cucu Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam pada umumnya memiliki ketersambu ngan dengan lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam melalui dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaika n melalui lisan maupun praktek yang
diterima dari orang tua-orang tua mereka terdahulu tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu atau sanad guru. Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang
sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang
sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat
atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambu ngan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam
Mazhab yang empat
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait,
keturunan cucu Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam lebih terjaga kemutawati ran
sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulam a terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan
ceritakanl ah (apa yang
kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa
yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-si aplah menempati tempat duduknya di neraka”
(HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaik an apa yang kita baca dan pahami sendiri dari
kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh
menyampaik an satu
ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan
disampaika n secara
turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidz i).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulam a yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Pada hakikatnya
Al Qur’an dan Hadits disampaika n
tidak dalam bentuk tulisan namun disampaika n melalui lisan ke lisan para ulama yang
sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian
integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekk an sejak zaman baginda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Setiap menerima
wahyu, beliau langsung menyampaik an
dan memerintah kan
para sahabat untuk menghafalk annya.
Sebelum memerintah kan
untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirka n dan menjelaska n kandungan dari setiap ayat yang baru
diwahyukan .
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam untuk menghafalk an Al-Qur’an bukan hanya karena
kemuliaan, keagungan
dan kedalaman kandungann ya,
tapi juga untuk menjaga otentisita s Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga
kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an
tetap terjaga orisinalit asnya.
Kaitan antara hafalan dan otentisita s Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan
bahwa pada prinsipnya ,
Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan
sebutan. Proses turun-(pew ahyuan)-ny a maupun penyampaia n, pengajaran dan periwayata n-(transmi si)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan
hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan
“membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri
qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah
hafalan, atau apa yang sebelumnya
telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan
atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya,
istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits
(Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan
perawi sebelumnya pada
setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollalla hu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari
segi bahasa, maka penggunaan nya
sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan : “Isnad dari sudut bahasa terambil
dari fi’il “asnada” (yaitu menyandark an) seperti dalam perkataan mereka: Saya
sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandark an sandaran, yang mana ia diangkatka n kepada yang berkata. Maka menyandark an perkataan berarti mengangkat kan perkataan (mengembal ikan perkataan kepada orang yang
berkata dengan perkataan tersebut)“ .
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu
kebanggaan Islam dan umat.
Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari
distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak
dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahul lah
mengatakan “tiada ilmu
tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau
pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikan nya (sanad
ilmu)”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan
orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir
QS.Al-Kahf i 60) ;
“Barangsia pa tidak
memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi
niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad ilmu atau
sanad gurunya adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak
menyelisih i
pendapat gurunya dan guru-gurun ya
terdahulu serta berakhlak baik
Asy-Syeikh
as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaik an bahwa “maksud dari pengijazah an sanad itu adalah agar kamu
menghafazh bukan
sekadar untuk meriwayatk an
tetapi juga untuk meneladani
orang yang kamu mengambil sanad daripadany a, dan orang yang kamu ambil sanadnya
itu juga meneladani
orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadany a dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam. Dengan demikian,
keterjagaa n
al-Qur’an itu benar-bena r
sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan “
Kesimpulan nya
jika seorang ulama menyampaik an
sesuatu berdasarka n
Al Qur’an dan Hadits namun apa yang disampaika nnya berbeda dengan apa yang disampaika n oleh para ulama yang sholeh yang
mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat maka ulama tersebut
sanad ilmu atau sanad gurunya terputus pada akal pikirannya sendiri sehingga apa yang disampaika nnya adalah paham baru atau ajaran
baru, bukan ajaran yang disampaika n
oleh lisannya Nabi Muhammad Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
(as-sawadu l a’zham)
salah satunya dikarenaka n
salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya “Dan jika kamu
menuruti kebanyakan
orang-oran g yang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatka nmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaa n
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS
Al An’aam [6]:116)
Yang dimaksud “menuruti kebanyakan orang-oran g yang di muka bumi” adalah menuruti
kaum musyrik. Hal ini dapat kita ketahui dengan memperhati kan ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut.
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
(as-sawadu l a’zham)
karena mereka merasa sebagai yang dimaksud dengan Al Ghuroba atau
orang-oran g yang asing
sebagaiman a hadits berikut
Telah menceritak an
kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan
al-Fazari, Ibnu Abbad
berkata, telah menceritak an
kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari
Abu Hurairah dia berkata, “Rasululla h shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam
muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing,
maka beruntungl ah
orang-oran g yang
terasing.” (HR Muslim 208)
Ghuroba atau "orang-ora ng
yang terasing" dalam hadits tersebut bukanlah mereka yang mengasingk an diri dari para ulama yang sholeh
atau mereka yang menyempal dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham)
Hal yang dimaksud dengan ghuroba adalah semakin sedikit kaum muslim
yang sholeh diantara mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam besabda “Orang yang asing, orang-oran g yang berbuat kebajikan ketika
manusia rusak atau orang-oran g
shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisih inya lebih banyak dari yang
mentaatiny a”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguh nya Islam itu pada mulanya datang
dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya
datang. Maka berbahagia lah
bagi orang-oran g yang
asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah , siapakah orang-oran g yang asing itu ?”. Beliau bersabda,
“Mereka yang memperbaik i
dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Pada akhir zaman salah satu tandanya adalah semakin sulit ditemukan
muslim yang sholeh
Dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy (isteri Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam), beliau berkata:”
(Pada suatu hari) Rasulullah
Shallallah u ‘Alaihi
wa Sallam masuk ke dalam rumahnya dengan keadaan cemas sambil
bersabda, “La ilaha illallah, celaka (binasa) bangsa Arab dari
kejahatan (malapetak a)
yang sudah hampir menimpa mereka. Pada hari ini telah terbuka bagian
dinding Ya’juj dan Ma’juj seperti ini”, dan Baginda menemukan ujung
ibu jari dengan ujung jari yang sebelahnya (jari telunjuk) yang dengan itu
mengisyara tkan seperti
bulatan. Saya (Zainab binti Jahsy) lalu bertanya, Ya Rasulullah ! Apakah kami akan binasa, sedangkan
di kalangan kami masih ada orang-oran g yang shaleh?” Lalu Nabi Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Ya, jikalau
kejahatan sudah terlalu banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
(as-sawadu l a’zham)
karena beranggapa n mayoritas
kaum muslim telah rusak.
Telah menceritak an
kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritak an kepada kami Hammad bin Salamah dari
Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata;
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian
juga diriwayatk an
dari jalur lainnya, Dan telah menceritak an kepada kami Yahya bin Yahya dia
berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari
Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila
ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari
mereka. (HR Muslim 4755)
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
(as-sawadu l a’zham)
karena menuhankan pendapat
(kaum) mereka sendiri (istibdad bir ro’yi) sehingga merasa (kaum)
mereka pasti masuk surga
Sayyidina Umar ra menasehatk an “Yang paling aku khawatirka n dari kalian adalah bangga terhadap
pendapatny a sendiri.
Ketahuilah orang yang
mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang
yang mengatakan bahwa
dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
(as-sawad al a’zham) merasa atau mengaku mengikuti pemahaman Salaful
Ummah atau Salafush Sholeh namun pada kenyataany a mereka tidak bertemu dengan Salafush
Sholeh untuk mendapatka n
pemahaman Salafush Sholeh.
Pada hakikatnya
apa yang dikatakan oleh mereka sebagai "pemahaman Salafush Sholeh" adalah ketika
mereka membaca hadits, tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut
Tabi’in, Tabi’in dan Sahabat. Inilah yang mereka katakan bahwa
mereka telah mengetahui
pemahaman Salafush Sholeh. Bukankah itu pemahaman mereka sendiri
terhadap hadits tersebut.
Mereka berijtihad
dengan pendapatny a
terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits
tersebut, pada hakikatnya
adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang
hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari
kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka
sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka
pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atasnamaka n kepada Salafush Sholeh. Jika hasil
ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush
Sholeh.
Rasulullah
telah bersabda bahwa jika telah bermuncula n fitnah atau perselisih an karena perbedaan pendapat maka hijrahlah
ke Yaman, bumi para Wali Allah.
Diriwayatk an
dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar
al-Ghifari , Nabi
shallallah u alaihi
wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri
Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan ’
Diriwayatk an
oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari , Nabi shallallah u alaihi wasallam bersabda, ‘Dua
pertiga keberkahan
dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari
dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhn ya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatk an hadits dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah
kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat
kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangk an pahala yang banyak’
Telah menceritak an
kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritak an kepada kami Husain bin Al Hasan
berkata, telah menceritak an
kepada kami Ibnu 'Aun dari Nafi' dari Ibnu 'Umar berkata, Beliau
berdoa: Ya Allah, berkatilah
kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami. Ibnu 'Umar
berkata, Para sahabat berkata, Juga untuk negeri Najed kami. Beliau
kembali berdoa: Ya Allah, berkatilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman
kami. Para sahabat berkata lagi, Juga untuk negeri Najed kami. Ibnu
'Umar berkata, Beliau lalu berdoa: Disanalah akan terjadi bencana dan
fitnah, dan di sana akan muncul tanduk setan (HR Bukhari 979)
Dari Ibnu Umar ia mendengar Rasulullah Shallallah u ‘alaihi wa Salam bersabda sementara
beliau menghadap timur: “Ingat, sesungguhn ya fitnah itu disini, sesungguhn ya fitnah itu disini dari arah terbitnya
tanduk setan.” (HR Muslim 5167)
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam menetapkan
miqot bagi penduduk negeri Yaman di Yalamlam sebelah tenggara kota
Makkah/ Madinah sesuai
arah dari negeri Yaman, sedangkan penduduk negeri Najed di Qarnul
Manazil sebelah timur dari kota Makkah/ Madinah sesuai arah dari negeri Najed.
Begitupula penduduk
Iraq miqot di Dzat Irq, Timur Laut Makkah/ Madinah sesuai arah dari negeri Iraq.
Telah menceritak an
kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Ammar Al Maushulli yang
berkata telah menceritak an
kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin ‘Ali dari Al Mu’afiy dari Aflah
bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul
Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir di Juhfah, bagi penduduk Iraq di
Dzatu ‘Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan bagi penduduk Yaman di
Yalamlam [Shahih Sunan Nasa’i no 2656]
Telah menceritak an
kepada kami Qutaibah telah menceritak an kepada kami Hammad dari ‘Amru dari
Thawus dari Ibnu ‘Abbas radliallah u
‘anhuma berkata: Bahwa Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul
Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Yaman di
Yalamlam dan bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil. Itulah ketentuan
masing-mas ing bagi
setiap penduduk negeri-neg eri
tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-neg eri tersebut bila datang melewati
tempat-tem pat tersebut
dan berniat untuk hajji dan ‘umrah. Sedangkan bagi orang-oran g selain itu, maka mereka memulai
dari tempat tinggalnya
(keluarga) dan
begitulah ketentuann ya
sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiy ah) dari (rumah mereka) di Makkah. (HR
Bukhari 1431)
Abu Musa al-Asy’ari
meriwayatk an dari
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda , ‘Allah
akan mendatangk an
suatu kaum yang dicintai-N ya
dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallah u alaihi wasallam : mereka adalah
kaummu Ya Abu Musa, orang-oran g
Yaman’.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-oran g yang beriman, barang siapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangk an suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiN ya,
yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap
keras terhadap orang-oran g
kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan- Nya kepada siapa yang dikehendak i-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian -Nya), lagi Maha Mengetahui .” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Dari Jabir, Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka
adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu Jarir meriwayatk an,
ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, beliau berkata,
‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-oran g
Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh
bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya
wahai Rasulullah ’.
Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu
Musa al-Asy’ari ’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalan i telah meriwayatk an suatu hadits dalam kitabnya berjudul
Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu
Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan
merekalah sebaik-bai knya
manusia di muka bumi’
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatk an hadits dari Salmah bin Nufail,
‘Sesungguh nya aku
menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke
negeri Yaman”. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatk an hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah ,
berkata Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam, ‘Sebaik-ba iknya
lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa
yang mencintai orang-oran g
Yaman berarti telah mencintaik u,
siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku ”
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam telah menyampaik an
bahwa ahlul Yaman adalah orang-oran g yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain
bashiroh) dann banyak dikaruniak an
hikmah (pemahaman
yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaiman a Ulil Albab
Telah menceritak an
kepada kami Abul Yaman Telah mengabarka n kepada kami Syu’aib Telah menceritak an kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj
dari Abu Hurairah radliallah u
‘anhu dari Nabi shallallah u
‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman,
mereka adalah orang-oran g
yang berperasaa n dan
hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang
Yaman.” (HR Bukhari 4039)
Dan telah menceritak an
kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritak an kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu
Ibrahim bin Sa’d- telah menceritak an
kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu
Hurairah berkata; “Rasululla h
shallallah u ‘alaihi
wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum
yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada
pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Apa yang diikuti oleh ahlul yaman dapat kita telusuri melalui
para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah .
Silahkan telusurila h
melalui apa yang disampaika n
oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahma n Al Attos dan yang setingkat
dengannya, sampai ke
Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddi n, kemudian Al Imam Al Aidrus dan
Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang
setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih
Almuqoddam Muhammad
bin Ali Ba’alawi Syaikhutth oriqoh
dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa
bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al
Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di
Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus
Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari
(bermazhab Imam
Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak
atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulam a tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang
adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi
kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawati ran sanad serta kemurnian agama dan
aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi
pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan
India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan
wayang mengenalka n
kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang
dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika
seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar . Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari
asas keyakinann ya yang
berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830