Salah satu pokok permasalah an dalam dunia Islam adalah orang-oran g yang kembali kepada Al Qur'an dan As
Sunnah dengan akal pikiran masing-mas ing secara otodidak (shahafi)
bersandark an
muthola'ah (menelaah
kitab) dan umumnya dengan metodologi "terjemahk an saja" yakni memahami dengan makna
dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat dari sudut arti bahasa (lughot)
dan istilah (terminolo gi)
saja.
Kalaupun mereka berguru maka para gurunya pun mengambil ilmu
dengan akal pikiran masing-mas ing
secara otodidak (shahafi) bersandark an muthola'ah (menelaah kitab) dan umumnya dengan
metodologi "terjemahk an saja" yakni memahami dengan makna
dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat dari sudut arti bahasa (lughot)
dan istilah (terminolo gi)
saja.
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam bersabda, “Barangsia pa
menguraika n Al Qur’an
dengan akal pikirannya
sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan” . (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kita b hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu
melalui kitab saja tanpa memperliha tkannya
kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-maj lis ulama, maka ia telah mengarah pada
distorsi. Para ulama tidak menganggap nya sebagai ilmu, mereka menyebutny a shahafi atau otodidak, bukan orang
alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif
(lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang
artinya adalah seseorang mempelajar i
ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama,
maka ia melenceng dari kebenaran.
Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah
untuk menghindar i
kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Mereka mengatakan
bahwa mereka mengikuti pemahaman Salaful Ummah atau Salafush Sholeh
namun pada kenyataann ya
kita tidak bertemu dengan Salafush Sholeh sehingga mendapatka n pemahaman Salafush Sholeh.
Pada zaman sekarang ini yang tertinggal adalah lafaz atau nash Al Qur'an dan
Hadits ataupun perkataan Salafush Sholeh dalam bahasa Arab yang
memahaminy a dibutuhkan kompetensi seperti ilmu tata bahasa (grammar) seperti
ilmu alat , nahwu, sharaf, balaghah dan lain lain
Para ulama yang sholeh terdahulu kita pada umumnya selalu
menekankan penguasaan ilmu alat seperti nahwu, sharaf,
balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebelum mendalami atau "kembali
kepada" Al Qur'an dan As Sunnah. Salah satu contoh kitab yang cukup
populer adalah kitab matan nahwu-shar af Nadzom Alfiah Ibnu Malik http:// nahwusharaf .wordpress .com/ terjemah-al fiyah-ibnu -malik/
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam telah mencirikan
mereka yang menyebabka n
perselisih an karena
perbedaan pemahaman yakni ulama bangsa Arab yang hanya berkemampu an berbahasa Arab saja atau “terjemahk an saja”, sebagaiman a dalam sabdanya yang artinya
“Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan
bahasa kita (bahasa Arab)“. Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda
perintahka n kepada
kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?” Nabi menjawab;
“Hendaklah kamu
selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!” Aku bertanya; “kalau
tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana? ” Nabi menjawab; “hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok- kelompok) itu, sekalipun kau gigit
akar-akar pohon hingga kematian merenggutm u kamu harus tetap seperti itu” (HR Bukhari
6557, HR Muslim 3434)
Berkata Ibnu Hajar rahimahull ah dalam Fathul Bari XIII/ 36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti
kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka
adalah bangsa Arab”.
Ulama banga Arab tersebut tentu mengerti bahasa Arab namun
mereka tidak memperhati kan
bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah dan disampaika n Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab
yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu
diketahui dan dikuasainy a
bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu,
sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaik an
***** awal kutipan *****
Di masa hidup Rasulullah
Shallallah u ‘Alaihi
Wasallam menerima risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam tersebut relatif
mudah, tidak sulit sesulit pada masa setelah wafatnya, apalagi setelah
inqiradh para Sahabatnya .
Di masa Rasulullah
Shallallah u ‘Alaihi
Wasallam masih hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya tinggal bertanya kepadanya dan
mengikuti langsung apa-apa yang dikatakan, dikerjakan dan direstuiny a.
Sedangkan pada masa setelah wafat beliau Shallallah u ‘Alaihi Wasallam terutama setelah
inqiradh para Sahabatnya
apalagi dalam masalah baru seiring dengan perkembang an zaman, kesulitan menerima risalah itu
amat terasa sulit sekali, sehingga para penerimany a memerlukan kecermatan yang kuat dalam memahami al-Quran dan
as-Sunnah, berijtihad dan beristinba th yang akurat menurut metoda yang
dapat dipertangg ungjawabka n keabsahann ya menurut ukuran prinsip-pr insip risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam itu sendiri dengan
logika yang benar, berbekal perbendaha raan ilmu yang cukup jumlah dan
jenisnya, berlandask an
mental (akhlaq) dan niat semata-mat a mencari kebenaran yang diridhai Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Hal semacam itu diperlukan
karena keadaan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalam Rasulillah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam itu adalah kalam yang
balaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam, keadaan
lafadz-laf adznya
beraneka ragam, ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal,
ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus,
ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah
selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya .
Oleh karena itu bagi setiap sang penerima risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah
wafat beliau Shallallah u
‘Alaihi Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya radhiallah u anhum memerlukan :
a. Mengetahui
dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena al-quran dan as-sunnah
diturunkan Allah dan
disampaika n Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab
yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu
diketahui dan dikuasainy a
bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu,
sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang
beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang masing-mas ing mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui
dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui
yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud,
mengetahui yang
mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan
mengetahui para rawi
as-Sunnah.
e. Mengetahui
ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari
al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-huku m dari
al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-ma salah ijtihadiya h padahal dia ingin menerima risalah
Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan
kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang
dapat dipertangg ungjawabka n kemampuann ya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamk an
taqlid dan mewajibkan
ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai
mengetahui dalil-dali lnya terhadap orang awam (yang bukan
ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatka n yang akan merusak sendi-send i kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan
tidak memajukann ya.
(lihat Hasyiyah ad-Dimyath i
‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukak an dalilnya maka dia sama saja dengan
si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang
dikemukaka n. Dalam
artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima
pendapat orang tanpa mengetahui
dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah
ushuliyyin adalah
seorang ahli istidlal (mujtahid)
yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal
dengan segala kemampuann ya
mengetahui dalil pendapat
orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa
dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak
termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti
ijtihad mujtahid yang lain
***** akhir kutipan *****
Mufti golongan Mujtahid Madzhab yang relevan bagi mereka
perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taqlid, baik kepada beliau
maupun kepada para imam lainnya, sebagaiman a disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi
Syarh Al Muhadzdzab , 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah
level Mujtahid Madzhab, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapa t bahwa pelarangan taqlid dari para imam tidak bersifat
mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab , 1/72).
Jadi bermazhab adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang
tidak lagi bertemu dengan Rasulullah
maupun Salafush Sholeh.
Akibat kesalahpah aman
mereka dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah , secara tidak disadari
oleh mereka atau secara tidak langsung dapat memfitnah Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Contoh hadits yang disalahpah ami oleh mereka.
Telah menceritak an
kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Amru an-Naqid keduanya
berkata, telah menceritak an
kepada kami Hasyim bin al-Qasim telah menceritak an kepada kami Syaiban dari Hilal bin
Abi Humaid dari Urwah bin az-Zubair dari Aisyah radhiyalla hu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallah u’alaihiwa sallam bersabda dalam sakitnya yang
menyebabka n beliau
tidak bisa bangkit lagi, ‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang
menjadikan kuburan para
nabi mereka sebagai masjid’ (HR Muslim 823)
Mereka secara tidak disadari atau secara tidak langsung dapat
memfitnah Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam disebabkan
mereka berpemaham an
bahwa Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam telah melarang kuburan sebagai masjid dalam arti melarang
kuburan sebagai tempat beribadah seperti sholat atau membaca Al Qur'an
Kesalahpah aman
mereka diakibatka n
mereka memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan akal pikiran
masing-mas ing secara
otodidak (shahafi) bersandark an
muthola'ah (menelaah
kitab) dan umumnya dengan metodologi "terjemahk an saja" yakni memahami dengan makna
dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat dari sudut arti bahasa (lughot)
dan istilah (terminolo gi)
saja.
Makna dzahir atau makna harfiah atau makna dari apa yang
tertulis (tersurat) atau
makna literal atau makna leksikal yakni makna dasar yang terdapat
pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa
kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau kalimat.
Mereka tidak memperhati kan
makna bathin atau makna dibalik yang tertulis (tersirat) atau makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata
yang terbentuk karena penggunaan
kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa,
seperti afiksasi, pembentuka n
kata majemuk, penggunaan
atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain. Contohnya makna majaz
(kiasan)
Hadits tersebut menguraika n tentang laknat Allah ta’ala terhadap
kaum Yahudi dan Nashrani maka kata masjid tidak dapat dimaknai sebagai
tempat sholat bagi kaum muslim namun kata masjid dikembalik an kepada asal katanya yakni sajada yang
artinya tempat sujud.
Jadi kalimat larangan “jangan menjadikan kuburan sebagai masjid” adalah makna majaz
(kiasan) artinya adalah “larangan menyembah kuburan"
Jikalau larangan “jangan menjadikan kuburan sebagai masjid” dipahami dengan
makna dzahir , tentu mustahil seukuran kuburan dijadikan masjid.
Jikalau dipahami sebagai larangan "jangan menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah"
Tidak masalah kalau di sisi kuburan beribadah kepada Allah Azza wa
Jalla. Yang terlarang adalah beribadah kepada kuburan alias menyembah
kuburan.
Mereka melarang sholat atau melarang membaca Al Qur’an di sisi
kuburan maka mereka secara tidak disadari atau secara tidak langsung
telah melarang Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam yang melaksanak an
sholat jenazah di sisi kuburan dan tentunya membaca Al Fatihah yang
termasuk bacaan Al Qur’an.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَ ا
أَبُو مُعَاوِيَة َ
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الشَّيْبَا نِيِّ
عَنْ الشَّعْبِي ِّ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَاتَ إِنْسَانٌ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ
فَمَاتَ بِاللَّيْل ِ
فَدَفَنُوه ُ لَيْلًا
فَلَمَّا أَصْبَحَ أَخْبَرُوه ُ
فَقَالَ مَا مَنَعَكُمْ
أَنْ تُعْلِمُون ِي
قَالُوا كَانَ اللَّيْلُ فَكَرِهْنَ ا
وَكَانَتْ ظُلْمَةٌ أَنْ نَشُقَّ عَلَيْكَ فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى
عَلَيْهِ
Telah menceritak an
kepada kami Muhammad telah mengabarka n kepada kami Abu Mu’awiyah dari Abu
Ishaq Asy-Syaiba niy
dari Asy-Sya’bi y dari
Ibnu ‘Abbas radliallah u
‘anhuma berkata: Bila ada orang yang meninggal dunia biasanya
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam melayatnya . Suatu hari ada seorang yang
meninggal dunia di malam hari kemudian dikuburkan malam itu juga. Keesokan paginya
orang-oran g memberitah u Beliau. Maka Beliau bersabda:
Mengapa kalian tidak memberi tahu aku? Mereka menjawab: Kejadianny a malam hari, kami khawatir
memberatka n anda. Maka
kemudian Beliau mendatangi
kuburan orang itu lalu mengerjaka n
shalat untuknya. (HR Bukhari 1170)
حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِي مَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا
زَائِدَةُ حَدَّثَنَا
أَبُو إِسْحَاقَ الشَّيْبَا نِيُّ
عَنْ عَامِرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَتَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرًا فَقَالُوا
هَذَا دُفِنَ أَوْ دُفِنَتْ الْبَارِحَ ةَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا فَصَفَّنَا
خَلْفَهُ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا
Telah menceritak an
kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritak an kepada kami Yahya bin Abu Bukair
telah menceritak an
kepada kami Za’idah telah menceritak an kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaiba niy dari ‘Amir dari Ibnu ‘Abbas
radliallah u ‘anhuma
berkata; Nabi Shallallah u’alaihiwa sallam mendatangi kuburan. Mereka berkata; Ini
dikebumika n kemarin.
Berkata, Ibnu ‘Abbas radliallah u
‘anhuma: Maka Beliau membariska n
kami di belakang Beliau kemudian mengerjaka n shalat untuknya. (HR Bukhari 1241)
Begitupula
diriwayatk an Umar ra
mengetahui bahwa Anas
ra sholat di atas kuburan sehingga beliau menginjak kuburan. Lalu Umar
berkata, “Al-qabr, al-qabr! (Kuburan, Kuburan!)” maka Anas ra melangkah (menghinda ri menginjak dalam batas kuburan),
lalu meneruskan
shalatnya. [Lihat Fathul
Bari libni Hajar I:524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379].
Dalam kitab al-Muwatha ’,
Imam Malik ra menyebutka n
sebuah riwayat tentang perbedaan pendapat para sahabat Nabi
shallallah u alaihi
wasallam mengenai tempat penguburan jasad Nabi Shallallah u alaihi wasallam.
Sebagian sahabat berkata, “Beliau kita kubur di sisi mimbar
saja”. Para sahabat lainnya berkata, “dikubur di Baqi’ saja”. Lalu
Sayyidinaa Abu Bakar
ash-Shiddi q r.a
datang dan berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Seorang nabi
tidaklah dikubur kecuali di tempatnya meninggal dunia”.
Lalu digalilah kuburan di tempat beliau meninggal dunia itu”.
Tentulah para Sahabat Nabi tidak akan mengusulka n agar Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dimakamkan di sisi mimbar kalau mengetahui terlarang sholat di dekat atau di
area perkuburan .
Posisi mimbar tentu merupakan bagian dari masjid. Namun, dalam riwayat
di atas, tidak ada seorang pun dari Sahabat Nabi shallallah u alaihi wasallam yang mengingkar i usulan itu.
Hanya saja usulan itu tidak diambil oleh Sayyidinaa Abu Bakar r.a karena mengikuti
perintah Nabi shallallah u
alaihi wasallam agar dikubur ditempat beliau meninggal dunia. Maka,
beliau pun dikubur di kamar Sayyidah ‘Aisyah r.a yang melekat pada
masjid yang digunakan sebagai tempat shalat oleh orang-oran g muslim. Kondisi ini sama dengan
kondisi kuburan-ku buran
para wali dan orang-oran g
shaleh yang ada di dalam masjid-mas jid
pada zaman ini.
Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku
di mana Rasulullah dikubur
di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua
adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya
tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu
kepada ‘Umar”. (HR Ahmad).
Begitupula
dengan dengan dikuburkan nya
Sayyidinaa Abu Bakar
Radiyallah u'anhu dan
Sayyidinaa Umar
Radiyallah u'anhu di
tempat yang sama dengan Nabi Shallallah u alaihi wasallam yaitu kamar Sayyidah
‘Aisyah Radiyallah u'anha
yang masih dia gunakan untuk tinggal, duduk, lalu lalang dan
melakukan shalat-sha lat
fardhu dan sunnah serta membaca Al Qur'an. Dengan demikian, hukum
kebolehan ini merupakan ijmak para Sahabat radhiyalla hu’anhum.
Mereka tidak merujuk kepada pendapat para ulama yang sholeh yang
mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Mari kita simak perkataan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam
Mazhab yang empat contohnya Imam Nawawi berkata
قَالَ الشَّافِعِ يُّ
رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَب ُّ
أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن
عِنْدهُ كانَ حَسناً
“Imam asy-Syafi’ i
rahimahull ah berkata :
“disunnahk an agar
membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka
mengkhatam kan
al-Qur’an disisi quburnya maka itu bagus” (Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ;
Dalilul Falihin [6/ 426]
li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i
(Syarah Mukhtashar
Muzanni) [3/ 26] lil-Imam
al-Mawardi dan lainnya.
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan
“aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan
dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam
al-Muhaddi ts
al-Baihaqi .)
Imam Ahmad semula mengingkar inya karena atsar tentang hal itu tidak sampai
kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’
قال الحافظ بعد تحريجه بسنده إلى البيهقى قال حدثنا أبو عبدالله
الحافظ قال حدثنا ابو العباس بن يعقوب قال حدثنا العباس بن محمد قال سألت
يحي بن معين عن القرأءة عند القبر فقال حدثنى مبشر بن أسماعيل الحلبي عن
عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه قال لبنيه إذا أنا مت فضعونى فى قبرى
وقولوا بسم الله وعلى سنه رسول الله وسنوا على التراب سنا ثم إقرأوا عند
رأسى أول سوره البقرة وخاتمتها فإنى رأيت إبن عمر يستحب ذلك ,قال الحافظ
بعد تخريجه هذا موقوف حسن أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى
موسى الحداد وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه
حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر
بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر
بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد
الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة
البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل
فليقرأ. اه
al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrij nya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi , ia berkata ; telah menceritak an kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz, ia berkata telah menceritak an kepada kami Abul ‘Abbas bin Ya’qub,
ia berkata, telah menceritak an
kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada
Yahya bin Mu’in tentang pembacaan al-Qur’an disamping qubur, maka ia
berkata ; telah menceritak an
kepadaku Mubasysyir
bin Isma’il al-Halabi dari ‘Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya,
ia berkata kepada putranya, apabila aku telah wafat, letakkanla h aku didalam kuburku, dan katakanlah oleh kalian “Bismillah wa ‘alaa Sunnati Rasulillah ”, kemudian gusurkan tanah diatasku
dengan perlahan, selanjutny a
bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah al-Baqarah dan mengkhatam kannya, karena sesungguhn ya aku melihat Ibnu ‘Umar menganjurk an hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu
Hajar) berkata setelah mentakhrij nya,
hadits ini mauquf yang hasan, Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrij nya dan ia juga mentakhrij nya dari Abu Musa al-Haddad sedangkan
ia orang yang sangat jujur. Ia berkata : kami shalat jenazah bersama
bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamann ya duduklah seorang laki-laki buta yang
membaca al-Qur’an disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ;
“hei apa ini, sungguh membaca al-Qur’an disamping qubur adalah
bid’ah”. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada
Ahmad : “wahai Abu Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad berkata :
tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya ?”,
Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhn ya ia telah menceritak an kepadaku dari Abdur Rahman bin
al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatam kannya disamping kuburnya, dan ia
berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka
Ahmad berkata kepada laki-laki itu “lanjutkan lah bacaaanmu” .
Abdul Haq berkata : telah diriwayatk an bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyall ahu ‘anhumaa- memerintah kan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang
meriwayatk an demikian
adalah al-Mu’alla bin
Abdurrahma n
Mereka tetap keukeuh (bersikuku h) bahwa terlarang sholat atau membaca Al
Qur'an di sisi kuburan.
Mereka mengingatk an
bahwa Imam Syafi'i tidak maksum dan mereka mengutip perkatan Imam
Syafi'i ~rahimahul lah
seperti
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku”
dan juga,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة
رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
” Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisih i sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, maka
berkatalah dengan
sunnah Rasulullah
itu dan tinggalkan
perkataank u itu”
Mereka katakan bahwa Imam Syafi'i dan pengikutny a telah menyelisih i sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dengan
menyampaik an hadits yang
shahih seperti
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam bersabda , "Janganlah
kalian jadikan rumah-ruma h
kalian sebagai kuburan, sesungguhn ya
syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al
Baqarah.” (HR Muslim)
Mereka mengatakan
bahwa "Di sini Nabi melarang rumah dijadikan kuburan dan menyuruh
membaca Al Baqarah agar syetan keluar. Terkandung faidah di dalamnya bahwa kuburan itu
tidak boleh membaca Al Qur'an karena bila boleh membaca Al Qur'an di
kuburan niscaya Nabi tidak akan menyamakan rumah dengan kuburan. Oleh karena itu
untuk membedakan nya
Nabi menyuruh membaca Qur'an di rumah agar rumah kita tidak seperti
kuburan. Jadi kesimpulan nya:
bid'ah baca Al Qur'an di kuburan"
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
bersabda "Jadikanlah
shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti
kuburan” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim no. 777).
Mereka mengatakan
bahwa "hadits tersebut menunjukka n
bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat dan juga bukan tempat untuk
membaca Al Qur’an. Amalan yang disebutkan ini merupakan amalan khusus di masjid
dan di rumah. Yang hendaknya dilakukan ketika ziarah kubur adalah
memberi salam kepada penghuniny a
dan mendoakan kebaikan pada mereka"
Mereka memang menemukan hadits shahih namun pemahaman mereka
terhadap hadits tersebut belum tentu shahih atau belum tentu benar.
Apakah mereka menyangka bahwa Imam Syafi'i belum pernah
mengetahui hadits tersebut
yang menurut pemahaman mereka sebagai larangan beribadah di sisi
kuburan seperti sholat atau membaca Al Qur'an ?
Padahal mereka hanya berpegang pada kitab hadits yang telah
dibukukan. Sedangkan
jumlah hadits yang telah terbukukan
hanyalah sebagian kecil dari jumlah hadits yang dihafal Al-Hafidz
(minimal 100.000). Apalagi jumlah hadits yang dihafal Al-Hujjah
(minimal 300.000). Sedangkan Imam Mazhab yang empat mengumpulk an hadits langsung dari dari para
perawi hadits, jumlahnya jauh lebih besar dari jumlah hadits yang
dihafal Al-Hujjah.
Belum pernah ada ulama yang mengatakak an bahwa Imam Syafi'i telah menyelisih i sunnah Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan
Imam Syfi'i yang mereka kutip di atas. Sehingga, jika yang bersangkut an menemukan sebuah hadits shahih yang
menurut pemahaman mereka bertentang an
dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkut an langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar,
karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab
beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang
bersangkut an langsung
mengklaim, bahwa ini
adalah mazhab Syafi’i.
Al-Imam Nawawi menyebutka n
dalam Majmu’ Syarh Al Muhadzab , tidak bisa sembarang orang mengatakan demikian.
Al-Imam Nawawi menyebutka n
beberapa syarat. “Sesungguh nya
untuk hal ini, dibutuhkan
seseorang yang memiliki tingkatan sebagai mujtahid dalam mazhab yang
telah dijelaskan
sebelumnya , dan dan ia
harus berbaik sangka bahwa Imam Syafi’i belum sampai kepada hadits
tersebut, atau belum mengetahui
keshahihan hadits
itu, dan ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah menela’ah
semua kitab-kita b
milik Imam Syafi’i dan kitab-kita b
para sahabat yang mengambil darinya, dan syarat ini sulit, serta
sedikit orang yang sampai pada tingkatan ini. Syarat ini kami sebutkan
karena, Imam Syafi’i tidak mengamalka n dhahir hadits yang telah beliau
ketahui, akan tetapi ada dalil lain yang mencacatka n hadits itu, atau yang menasakh hadits
itu, atau yang mentakhish
atau yang menta’wilk an
hadits itu.
Pernah ada seorang bermazhab Syafi’i, Abu Walid Musa bin Abi
Jarud mengatakan :”
Hadits tentang berbukanya
orang yang membekam maupun yang dibekam shahih, maka aku mengatakan bahwa Syafi’i telah mengatakan : “Orang yang berbekam dan dibekam
telah berbuka (batal)”. Maka para ulama Syafi’i mengkritik pendapat itu, karena Imam Syafi’I
sendiri mengatahui
bahwa hadits itu shahih, akan tetapi beliau meninggalk annya, karena beliau memiliki hujjah bahwa
hadits itu mansukh.
Asy-Syeikh
Abu Amru mengatakan :
”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentang an dengan mazhab beliau, jika engkau
sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu,
maka silahkan mengamalka n
hal itu“
Sabda Rasulullah
yang artinya “Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan“
adalah kalimat majaz (kiasan) yang maksudnya adalah “jangan rumah
kalian sepi dari sholat maupun membaca Al Qur’an” . Jadi kedua
hadits tersebut tidak ada kaitannya dengan kuburan dalam makna dzahir
namun kuburan dalam makna majaz yang artinya sepi.
Mereka pada akhirnya mengingkar i kitab Ar Ruh yang ditulis oleh ulama Ibnu
Qoyyim Al Jauziah , murid dari ulama Ibnu Taimiyyah , para ulama panutan
mereka sendiri. Silahkan baca kutipan Ar Ruh pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2012/12/ ar-ruh.jpg yang menjelaska n bahwa dahulu kala memang ada kebiasaan
sedekah bacaan Al Qur’an kepada ahli kubur.
Marilah kita simak pendapat para ulama terdahulu.
Imam Baidhowi dalam kitab Syarh Az-Zarqani atas Muwaththo’ imam Malik berkata :
قال البيضاوي : لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لشأنهم
ويجعلونها قبلة ويتوجهون في الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانا لعنهم الله ،
ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه ، أما من اتخذ مسجدا بجوار صالح أو
صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر من آثار عبادته إليه لا
التعظيم له والتوجه فلا حرج عليه ، ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد
الحرام عند الحطيم ، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته .
والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى
Imam Baidhawi berkata : “ Ketika konon orang-oran g Yahudi bersujud pada kuburan para
nabi, karena pengagunga n
terhadap para nabi. Dan menjadikan nya
arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan tsb, maka mereka
telah menjadikan nya
sebagai sesembahan ,
maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim mencontohn ya.
Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi orang shalih atau sholat
di perkuburan nya
dengan tujuan menghadirk an
ruhnya dan mendapatka n
bekas dari ibadahnya,
bukan karena pengagunga n
dan arah qiblat, maka tidaklah mengapa. Tidakkah engkau melihat tempat
pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil haram kemudian hathim ??
Kemudian masjidl haram tersebut merupaan tempat sholat yang sangat
dianjurkan untuk melakukan
sholat di dalamnya.
Pelarangan
sholat di perkuburan
adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “
(Kitab syarh Az-Zarqani
bab Fadhailul Madinah)
Imam Baidhawi membolehka n
menjadikan masjid di
samping makam orang sholeh atau sholat dipemakama n orang sholeh dengan tujuan meminta
kepada Allah agar menghadirk an
ruh orang sholeh tersebut dan dengan tujuan mendapatka n bekas dari ibadahnya, bukan dengan tujuan pengagunga n terhadap makam tersebut atau bukan
dengan tujuan menjadikan nya
arah qiblat.
Dan beliau menghukumi
makruh sholat di pemakaman yang ada bongkaran kuburnya karena
dikhawatir kan ada
najis, jika tidak ada bongkarann ya
maka hukumnya boleh, tidak makruh.
Menurut imam Baidhawi larangan yang bersifat makruh tanzih
tersebut, bukan karena kaitannya dengan kuburan, namun kaitannya dengan
masalah kenajisan tempatnya.
Beliau memperjela snya
dengan kalimat :
لما فيها من النجاسة
Huruf lam dalam kalimat tersebut berfaedah lit ta’lil
(menjelasa kan sebab).
Arti kalimat itu adalah karena pada pekuburan yang tergali terdapat
najis. Sehingga menyebabka n
sholatnya tidak sah, apabila tidak tergali dan tidak ada najis, maka
sholatnya sah dan tidak makruh.
Oleh karenanya imam Ibnu Abdil Barr, menolak dan menyalahka n pendapat kelompok orang yang
berdalil engan hadits pelaknatan
di atas untuk melarang atau memakruhka n sholat di pekuburan atau menghadap
pekuburan. Beliau berkata :
وقد زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة
وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك حُجة
“Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukka n atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah
ke maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini “.
Karena hadits di atas bukan menyinggun g masalah sholat dipekubura n. Namun tentang orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat peribadata n alias menyembah kuburan.
Imam Az-Zarqani
dalam kitab Syarh Muwaththo’ nya
berkata ketika mengomenta ri
makna MASAJID dalam hadits Qootallahu berikut :
( اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد ) أي اتخذوها جهة قبلتهم مع اعتقادهم
الباطل ، وأن اتخاذها مساجد لازم لاتخاذ المساجد عليها كعكسه ، وقدم
اليهود لابتدائهم بالاتخاذ وتبعهم النصارى فاليهود أظلم
“ (Mereka menjadikan
kuburan para nabi sebagai masjid /
tempat sujud) yang dimaksud adalah mereka menjadikan kuburan para nabi
sebagai arah qiblat mereka dengan aqidah mereka yang bathil. Dan
menjadikan kuburan
para nabi sebagai masjid melazimkan
untuk menjadikan
masjid (tempat sujud) di atas kuburan seperti sebaliknya . Dalam hadits di dahulukan orang
Yahudi karena mereka lah yang memulai menjadikan kuburan sbgai masjid kemudian diikuti oleh
orang nashoro, maka orang yahudi lebih sesat “.
Kemudian setelah itu beliau menukil ucapan imam Baidhawi
tersebut. Dan setelahnya
beliau berkomenta r :
لكن خبر الشيخين كراهة بناء المساجد على القبور مطلقا ، أي : قبور
المسلمين خشية أن يعبد المقبور فيها بقرينة خبر : " اللهم لا تجعل قبري
وثنا يعبد " فيحمل كلام البيضاوي على ما إذا لم يخف ذلك
.
“ Akan tetapi Hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim tersebut
menunjukka n KEMAKRUHAN membangun masjid di atas kuburan
secara muthlaq, yaitu kuburan kaum muslimin karena ditakutkan penyembaha n pada orang yang dikubur, dengan bukti
hadits “ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah. Maka ucapan imam
Baidhawi tersebut diarahkan jika tidak khawatir terjadinya penyembaha n pada orang yang disembah “.
Imam Ath-Thibiy
dalam kitab Mirqah al-Mafatih
syarh Misykah al-Mashobi h
berkata :
: قال الطيبي : كأنه - عليه السلام - عرف أنه مرتحل ، وخاف من الناس أن
يعظموا قبره كما فعل اليهود والنصارى ، فعرض بلعنهم كيلا يعملوا معه ذلك ،
فقال : ( لعن الله اليهود والنصارى ) : وقوله : ( اتخذوا قبور أنبيائهم
مساجد ) : سبب لعنهم إما لأنهم كانوا يسجدون لقبور أنبيائهم تعظيما لهم ،
وذلك هو الشرك الجلي ، وإما لأنهم كانوا يتخذون الصلاة لله تعالى في [ ص:
601 ] مدافن الأنبياء ، والسجود على مقابرهم ، والتوجه إلى قبورهم حالة
الصلاة ; نظرا منهم بذلك إلى عبادة الله والمبالغة في تعظيم الأنبياء ،
وذلك هو الشرك الخفي لتضمنه ما يرجع إلى تعظيم مخلوق فيما لم يؤذن له ،
فنهى النبي - صلى الله عليه وسلم - أمته عن ذلك لمشابهة ذلك الفعل سنة
اليهود ، أو لتضمنه الشرك الخفي ، كذا قاله بعض الشراح من أئمتنا ، ويؤيده
ما جاء في رواية : ( يحذر ما صنعوا )
Ath-Thibiy
berkata “ Seakan-aka n
Nabi Shallallah u
alaihi wasallam mengetahui
bahwa beliau akan meninggal dan khawatir ada beberapa umaatnya yang
mengagungi kuburan
beliau seperti apa yang diperbuat oleh orang Yahudi dan Nashara. Maka
Nabi mngucapkan kata
laknat, agar umatnya tidak melakukan itu pada kuburan Nabi Shallallah u alaihi wasallam sehingga Nabi
Shallallah u alaihi
wasallam bersabda ; “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro “
dan sabda Nabi Shallallah u
alaihi wasallam “ Mereka telah menjadikan kuburan para Nabi sebagai tempat sujud
mereka.
Sebab adanya pelaknatan ,
adakalanya mereka
konon sujud pada kuburan para nabi sebagai bentuk pengagunga n pada nabi mereka, dan inilah bentuk
kesyirikan yang
nyata. Dan adakalanya
mereka menjadikan
sholat pada kuburan para Nabi, sujud pada kuburan mereka dan menghadap
kuburan mereka saat sholat, karena mengingat ibadah pada Allah dengan
hal semacam itu dan berlebihan
di dalam mengagungi
para nabi, dan hal ini merupakan bentuk kesyirikan yang samar, karena mengandung pada apa yang kembali akan pengangung an makhluk yang tidak ditoleran ileh
syare’at.
Maka Nabi Shallallah u
alaihi wasallam melarang umatnya dari melakukan hal itu karena
menyerupai nya pada
kebiasaan orang Yahudi. Atau mengandung syrirk yang samar sebagaiman a dikatakan oleh sebagian pensyarah
hadits dari para imam kita. Yang menguatkan hal ini adalah kalimat riawayat
berikut “ Nabi Shallallah u
alaihi wasallam memberi peringatan
agar tidak melakukan apa yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashoro
“.
As-Syaikh As-Sanadi dalam kitabnya Hasyiah As- Sanadi
berkomenta r tentang maksud
hadits di atas sebagai berikut :
ومراده بذلك أن يحذر أمته أن يصنعوا بقبره ما صنع اليهود والنصارى
بقبور أنبيائهم من اتخاذهم تلك القبور مساجد إما بالسجود إليها تعظيمًا أو
بجعلها قبلة يتوجهون في الصلاة نحوها، قيل : ومجرد اتخاذ مسجد في جوار
صالح تبركًا غير ممنوع
“ Yang dimaksud hadits tersebut adalah bahwasanya Nabi Shallallah u alaihi wasallam memperinga tkan umatnya agar tidak berbuat dengan
makam beliau sebagaiman a
orang Yahudi dan Nashoro berbuat terhadap makam para nabi mereka
berupa menjadikan
kuburan sebagai tempat sujud. Baik sujud pada kuburan dengan rasa
ta’dzhim atau menjadikan nya
sebagai qiblat yang ia menghadap padanya diwaktu sembahyang atau semisalnya . Ada yang berpendapa t bahwa seamata-ma ta menjadikan masjid di samping makam orang sholeh
dengan tujuan mendapat keberkahan ,
maka tidaklah dilarang “ (Hasyiah As-Sanadi juz 2 hal/ 41)
Dari komentar para ulama di atas dapat kita tangkap bahwa
illat, manath, motif atau sebab pelaknatan Nabi Shallallah u alaihi wasallam kepada orang yahudi
dan nashoro adalah wujudnya penyembaha n pada kuburan, mereka menjadikan kuburan sebagai tempat sujud, mereka
menjadikan kuburan
sebagai sesembahan
sehingga ini merupakan bentuk kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Adapun umat Islam, maka tak pernah sekalipun ada sejarahnya umat Islam menyembah kubur. Umat
Islam membina kubur hanya untuk memuliakan ahlul qubur (terlebih kubur orang yang
sholeh), menjaga kubur daripada hilang terhapus zaman, dan memudahkan para peziarah untuk berziarah, dalam menemukan kubur di tengah-ten gah ribuan kubur lainnya, juga sebagai
tempat berteduh para peziarah agar dapat mengenang dan menghayati dengan tenang orang yang ada di dalam
kubur beserta amal serta segala jasa dan kebaikanny a.
Sedangkan kaum muslim yang berdoa kepada Allah ta’ala dengan
bertawassu l pada ahli
kubur yang dekat dengan Allah ta’ala, mereka berdoa dan beribadah
kepada Allah bukan meminta kepada ahli kubur atau menyembah kuburan.
Kaum muslim yang berdoa kepada Allah ta’ala dengan bertawassu l pada ahli kubur yang dekat dengan
Allah ta’ala, mereka sangat paham dan yakin bahwa yang mengabulka n doa mereka hanyalah Allah Azza wa
Jalla bukan ahli kubur yang mereka tawassulka n.
Silahkan menyaksika n
video yang menjelaska n
tawassul, ziarah kubur dan apa yang dimaksud dengan hadits tentang
larangan menjadikan kuburan
sebagai masjid pada http:// www.youtube .com/ watch?v=lDX ulIV6q4k
Silahkan baca studi kasus para peziarah kubur pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/10/07/ studi-kasus -ziarah/ tidak ada satupun yang menyembah
kuburan.
Dari contoh studi kasus ziarah kubur tersebut, dapat kita
ketahui bahwa cara bertawassu l
dengan ahli kubur, pada umumnya bertawassu l dengan amal sholeh berupa bacaan
ayat suci Al Qur’an yang dihadiahka n
kepada ahli kubur kemudian dilanjutka n dengan permohonan peziarah kepada Allah Azza wa Jalla.
Pada umumnya mengawalin ya
dengan menghadiah kan
Al Fatihah kepada manusia yang paling mulia Nabi Sayyidina Muhammad
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dengan mengawalin ya seperti “Ila Hadrotin Nabiyyil
musthofa Muhammadin
shollallah u ‘alahi wassalam
wa’ala ali sayyidina Muhammad wa’ala alihi wa shohbihi wa atbaihi
ajmain” Al Fatihah
Sebagaiman a yang
telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2013/02/06/ pengertian- tawassul/ bahwa pengertian tawassul adalah salah satu metode
berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pint u untuk menghadap Allah Subhanahu wa ta’ala
Kalau tidak boleh menjadikan kekasih Allah atau hambaNya yang telah
meraih maqom (derajat) di sisiNya sebagai washilah dalam berdoa
kepada Allah ta'ala maka kita tidak boleh pula menjadikan Multazam, Raudoh, Hijr Ismail sebagai
washilah dalam berdoa kepada Allah ta'ala
Andaikan mereka mau mendalami tauhid tingkat lanjut seperti
alam ghaib atau alam selain yang ditempati oleh jasad kita maka mereka
akan mengetahui dan
mencari pintu-pint u atau
misykat untuk menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Orang-oran g
yang sibuk dengan teori tentang tauhid adalah orang yang belum
menjadikan ilmu
sebagai amal atau pengalaman
dalam memperjala nkan
diri hingga sampai (wushul) kepada Allah atau meraih maqom (derajat)
disisiNya sehingga menyaksika n
Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Orang-oran g
yang sibuk dengan teori tentang tauhid adalah ibarat orang yang sibuk
membicarak an mobilnya
namun tidak memperjala nkan
mobilnya menuju ketujuanny a
Orang yang bertauhid adalah orang yang tidak menyembah kepada selain
Allah.
Orang yang bertauhid adalah orang yang meninggalk an segala perkara yang dapat melupakann ya dari mengingat Allah
Orang yang bertauhid adalah orang yang menjalanka n segala apa yang telah diwajibkan Nya (disyariat kanNya) yakni menjalanka n segala kewajibanN ya dan menjauhi segala laranganNy a setelah itu melakukan segala amal
kebaikan yakni bersikap dan berbuat yang mendekatka n diri kepada Allah
Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda “Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatka n diri kepada-Ku dengan sesuatu yang
lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (ibadah mahdhah),
jika hamba-Ku terus menerus mendekatka n diri kepadaKu dengan amal kebaikan (ibadah
ghairu mahdah) maka Aku mencintai dia” . (HR Bukhari 6021)
Dalam perkara syariat (fiqih) kita tinggal mengikuti apa yang
telah disampaika n
oleh Imam Mazhab yang empat. Tidak perlu kita membuang-b uang waktu untuk mengulangi apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat.
"Perbedaan adalah
rahmat" adalah perbedaan di antara ahli istidlal atau perbedaan di
antara Imam Mazhab yang empat. Sedangkan perbedaan di antara bukan ahli
istidlal adalah kesalahpah aman
semata yang dapat menyesatka n
orang banyak.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mat a dikarenaka n terbentuk setelah adanya furu’
(cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash dan
berdasarka n kompetensi mereka sebagai Imam Mujtahid Mutlak
untuk ditetapkan hukum
perkaranya (istinbat) .
Perkara syariat yang harus kita lakukan dari mulai bangun
tidur sampai tidur kembali, sepanjang tahun telah dikumpulka n oleh Imam Mazhab yang empat dari
para perawi hadits kemudian menganalis a, menetapkan hukum perkara (istinbat) dan menyampaik an dalam kitab fiqih untuk diikuti oleh kaum
muslim.
Jadi mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) dalam perkara syariat
mengikuti apa yang telah dikerjakan
dan dihasilkan oleh
Imam Mazhab yang empat.Tuga s
kita agar amal ibadah kita sampai kepada Allah. Jangan sholat cuma
sampai di sajadah, sedekahnya
cuma sampai ke tangan penerima, haji cuma sampai di Mekah, kurban
cuma sampai di mulut yang memakan, jenggot menutupi mata hati.
Tugas kita selanjutny a
adalah bagaimana mencapai muslim yang ihsan (muslim yang berakhlaku l karimah) dengan memperjala nkan diri untuk sampai (wushul) kepada
Allah atau meraih maqom (derajat) disisiNya atau dekat denganNya
sehingga dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaiman a
wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarja na UIN Syarif Hidayatull ah Jakarta) yang selengkapn ya dapat ditemukan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/09/24/ komunitas-s piritual-k ota/ , beliau mengatakan bahwa untuk dapat melihat Allah dengan
hati sebagaiman a
kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli,
mengosongk an diri dari
segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut
Tahalli, harus benar-bena r
mengisi kebaikan, berikutnya
adalah Tajalli, benar-bena r
mengetahui rahasia
Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestas i dari rahasia-ra hasia yang diperlihat kan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi
sudah ditunjukka n oleh
Allah kepada yang ia kehendaki.
Para ulama tasawuf yang menceritak an pengalaman mereka dalam mengikuti perjalanan diri Rasulullah shallallah u alaihi wasallam agar sampai (wushul)
kepada Allah ta'ala sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya sehinga
menyaksika n Allah
ta'ala dengan hatinya (ain bashiroh). Tentu pengalaman mereka dapat berbeda dan bersifat
pribadi serta tergantung
ke-ridho-a n Allah Azza wa
Jalla.
Tujuan beragama adalah untuk mencapai muslim yang ihsan atau
muslim yang berakhlaku l
karimah
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallam bersabda “Sesungguh nya
aku diutus (Allah) untuk menyempurn akan
Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS
Al-Qalam:4 )
“Sesungguh nya
telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatanga n)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:2 1)
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab,
‘Kamu takut (khasyyah)
kepada Allah seakan-aka n
kamu melihat-Ny a
(bermakrif at), maka
jika kamu tidak melihat-Ny a
(bermakrif at) maka
sesungguhn ya Dia
melihatmu. ” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguh nya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamb a-Nya, hanyalah
ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin
diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksika n Allah dengan hatinya (ain
bashiroh), setiap akan
bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan
sesuatu yang dibenciNya
, menghindar i
perbuatan maksiat, menghindar i
perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentukl ah muslim yang berakhlaku l karimah atau muslim yang sholeh
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolonga n Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang
ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatann ya ketika taat kepada Allah ta’ala,
pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan
Perbuatan, dan ia jadi
merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan
terhalang (terhijab)
dari memandang gerak dan perbuatann ya
sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahann ya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurn akannya, ia telah tenggelam dalam
anugerahNy a.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap
kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi
hati sehingga terhalang (terhijab)
dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan barangsiap a
yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al
Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena sesungguhn ya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )
“Pada hari itu tidak berguna lagi harta dan anak-anak, kecuali yang kembali kepada Allah
dengan hati yang lurus.” (QS. Asy-Syu’ar aa: 88)
Muslim yang menyaksika n
Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifa t adalah muslim yang selalu meyakini
kehadiranN ya, selalu sadar
dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahi d untuk
menunjukka n sesuatu
yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga
seakan-aka n pemilik
hati tersebut senantiasa
melihat dan menyaksika n-Nya,
sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia
adalah seorang syahid (penyaksi) ”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallah u alaihi wasallam berkata: “Seutama-u tama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksik an) bahwa Allah selalu bersamanya , di mana pun ia berada“
Rasulullah
shallallah u alaihi
wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana
Anda melihat-Ny a?” tanyanya
kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan
pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya:
“Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah
melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Ny a?” dia menjawab: “Tidak dilihat
dengan mata yang memandang,
tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai
kemuliaanN ya, sehingga
tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah
menjelma dalam kesempurna an,
keindahan dan keagunganN ya,
sehingga nyatalah bukti kebesaranN ya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan,
bagaimana Engkau tersembuny i
padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib,
padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang
memberikan petunjuk
dan kepadaNya kami mohon pertolonga n“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaik an, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan
qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurka n hijab-hija b antara diri mereka dengan DiriNya.
Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-send i putus dan segala milik menjadi lepas,
tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan
gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi
benar. Jika sudah benar sempurnala h
semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala
perbudakan duniawi
kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara
total dan senantiasa terus
demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830