PERTANYAAN
:
Assalamu alaykum, pak ustad
ane mau tanya pembahasaan tentang syafaat di al-quran itu seperti apa dan di
surat apa ajjah ? [Muhammadfatih
BahijAsyhab AyyasyAzzam].
JAWABAN
:
Wa'alaykumsalam, coba anda
simak Q.S Al~imran ayat 31. Arti syafaat ialah bantuan atau pertolongan.
Sementara, secara sosiologis, syafaat diartikan dengan sebuah pertolongan yang
diberikan seseorang kepada orang lain yang mengharapkan pertolongannya; usaha
dalam memberikan suatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan suatu mudarat
(bahaya) kepada orang lain. Akan tetapi jika syafaat itu dinisbatkan kepada
Allah maka kata itu bermakna sebuah pengampunan yang diberikan
oleh-Nya.1
Hal ini sesuai dengan ayat
yang artinya: ’Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan
memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa memberi syafaat yang
buruk, niscaya ia akan memikul beban (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas
sesuatu (QS 4:85). Begitu pula dalam hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Musya
al-Asy’ari, dikatakan, ketika Nabi Saw kedatangan seorang yang punya hajat
(kepentingan), beliau berkata pada sahabat:”Berilah syafaat (pertolongan) supaya
kamu mendapat pahala dan Allah Swt. akan memutuskan melalui lisan Nabi-Nya apa
yang dia kehendaki.
Dalam khazanah keilmuan
Islam, istilah syafaat terkenal di kalangan ahli kalam (teolog). Disiplin ilmu
teologi mengartikan syafaat ialah sebuah pertolongan Nabi Muhamad Saw. terhadap
umatnya -pada hari kiamat- untuk membebaskan atau memberi keringanan atas
hukuman Allah Swt.
Kapasitas rasio tidak mampu
memprediksi secara tepat dan benar dengan peristiwa yang belum terjadi, apalagi
yang berkaitan hal-hal metafisik. Itu harus disadarinya karena keterbatasan dan
kemampuan rasio manusia hanya pada sesuatu yang tampak mata. Namun, atas jasa
wahyu, manusia menjadi tahu akan planing (rencana) Allah pada hari kiamat.
Seumpama pemberian syafaat di hari itu Tanpa bantuan wahyu, kesulitan-kalau
tidak diakatan mustahil-manusia akan mengetahuinya. Diakui memang Nabi Muhamad
yang membawa kabar itu, tapi substansinya dari Allah Swt.,wa mâ yanthiqu ’an
al-hawâ in huwa illâ wahyun yûhâ. Karenanya, kebodohan dan keterbatasan akal,
bukan alasan untuk menyangkal berita-berita yang dibawa Nabi. Dari sini pula,
ketika antara wahyu dan filsafat (alam pikiran) bertolak belakang, tentu yang
diutamakan ialah wahyu. Dalam ranah ini, meski akal tidak mampu memberi
informasi tentang syafaat, tapi karena Nabi Muhamad sebagai utusan Tuhan, dengan
perintah-Nya telah menyampaikan berita itu maka yang logis justru menjadikan
wahyu sebagai suatu keniscayaan.2
Ibnu Arabi menuturkan bahwa
pemberi syafaat pertama adalah Nabi Muhamad Saw. Dalam arti, sebelum Nabi
berkenan memberi safaat maka jangan harap akan ada orang lain yang sanggup
memberi syafaat. Pernyataan itu bertendensi pada hadits yang meriwayatkan bahwa,
RasuluLLah ialah pemberi syafaat pertama kali dan pasti akan
diterima.3
Kemudian megenai landasan
syafaat, termasuk sangat lumayan banyak. Seumpama peringatan dalam Al-Quran yang
dengan tegas menuturkan:
ولسوف
يعطيك ربك فترضى
’’Dan Tuhanmu akan
memberimu, kemudian kamu menerimanya’’
Di lain tempat, dalam surat
Thaha ayat 109, Allah mengukuhkan berita syafaat Demikian bunyi
ayatnya:
يومئذ
لا تنفع الشفاعة إلا من أذن له الرحمن ورضي له قولا
’’Pada hari itu (hari
kiamat) tidak berguna syafaat, kecuali (syafaatnya) seorang yang telah diizinkan
Allah Sang Maha Pemurah, dan diridhai perkataannya’’
Pun juga, diperkuat dengan
tendensi hadits-hadits Nabi. Dalam ’Ihya Ulum al-Din’ seumpama, al-Ghazali
(hujjah al-Islam) mengutip hadits yang diriwayakan sahabat Umar bin ’Ash, bahwa
pada suatu hari ketika Nabi membaca doanya Nabi Ibrahim dan Nabi Isa, setelah
selesai dengan tiba-tiba air mata beliau menetes, sembari menyebut: “Umatku
(bagaimana nasib) umatku!”. Karena Allah Swt mengetahui, maka langsung respon
dengan mengutus Jibril untuk menemui Muhamad Saw. Perintah itu, Allah Swt.
berkeinginan Jibril menanyakan kepada Muhamad, apa faktornya dia menangis sedih.
Tapi ketika Jibril menanyakannya, Nabi malah membalas: ’’Allah yang lebih tahu
segalanya’’. Setelah Jibril kembali, Allah kemudian berfirman:’’ Wahai Jibril,
pergi dan temui Muhamad!. Sampaikan kalau Aku akan menerima kehadiran umatnya
dan tidak akan berbuat jahat kepada umatnya.4
lebih detil lagi, hadits
yang diriwayatkan Abu Harairah. Menurutnya, pada saat kiamat tiba -ketika
manusia sudah tidak kuat menahan derita, resah dan susah- mereka saling tengok,
saling bertanya antara satu dengan yang lain, masing-masing penasaran dengan
yang lain; apa juga merasakan kesusahan, mereka mencari-cari seorang penolong.
Di tengah kebingungan, mereka mendengar bahwa sang penolongnya ialah Adam.
Langsung mereka mencari dan menemuinya. Mereka mengadu: “wahai tuan! Engkau
adalah bapaknya semua manusia, bahkan para malaikat disuruh bersujud kepada
engkau, kami mohon mintakan syafaat untuk kami kepada Allah”. Tapi sama saja, ia
juga sedang menyesali pebuatannya karena sewaktu dilarang makan buah khuldi ia
tidak mengindahkan. Adam hanya menunjukkan menemui nabi Nuh. Kemudian menemui
Nuh. Ia-pun sama tidak dapat membantunya, karena menyaksikan Tuhan sedang marah
(ghadhab) tidak seperti biasanya. Disamping itu, nabi Nuh merasa bersalah atas
kegagalan menyampaikan dakwah yang diamanatkan oleh Allah Swt. Padahal, diakui
ia seorang rasul yang dinobatkan banyak bersyukurnya. [ AKIDAH KAUM SARUNGAN,
Lirboyo ]. (Sbutirdebu
Dan Bijipasir, Alif Jum'an Azend).
------------------
1 Syeh Islam Ibrahim bin
Muhamad al-Baijuri, Tuhfah al-Murid, al-Hidayah Surabaya, hlm.116
2 Syeh Islam Ibrahim bin
Muhamad al-Baijuri, Tuhfah al-Murid, al-Hidayah Surabaya, hlm.1163 Ibid
4 Ihya Ulum al-Din, juz:IV, hlm. 510
Link Asal :
www.fb.com/groups/piss.ktb/483574694998677/