PENGANTAR
Oral seks adalah aktivitas
seksual yang menjadikan alat kelamin lelaki dan wanita sebagai obyek. Baik itu
dengan cara mencium, mengecup, menjilat, mengulum, atau mempermainkan alat
kelamin pasangannya. Baik dilakukan sebagai aktivitas pemanasan (foreplay)
sebelum bersetubuh maupun sebagai sarana seks tersendiri untuk mencapai
orgasme.
Dalam istilah kontemporer,
oral seks dibahasakan dengan
الجنس
الفموي/الجنس الشفوي/الجماع الفموي
Seksual / الجنس
Oral seks berupa dua macam,
yakni aktivitas menjilat kelamin wanita oleh lelaki (Cunnilingus) dan aktivitas
menghisap kelamin lelaki oleh wanita (Fellatio).
Mengenai Cunnilingus (oral
seks pada kelamin wanita) disebutkan secara sharih keterangan kebolehannya oleh
sejumlah ulama:
- Zainuddin
al-Malaibari:
(
تتمة ) يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها
"Boleh bagi suami menikmati
semua jenis aktivitas seks dari istrinya selain pada lingkaran duburnya,
meskipun dilakukan dengan menghisap klitorisnya" (Fathul Mu'in,
3/340).
- Al-Bahuthi:
قال
القاضي يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع
"Qadhi Ibnu Muflih berkata:
Boleh mencium kelamin isterinya sebelum bersetubuh" (Kasysyaful Qana',
5/17).
- Al-Haththab:
وقد
روي عن مالك أنه قال لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع وزاد في رواية ويلحسه
بلسانه
"Disebutkan riwayat dari
Imam Malik bahwasanya beliau berkata: Tidak apa-apa melihat kemaluan saat
bersetubuh. Ditambahkan dalam riwayat lain: Serta menjilat kemaluan tersebut
dengan lidahnya." (Mawahib al-Jalil, 5/23).
- Al-Qurthubi:
وقد
قال أصبغ من علمائنا : يجوز له أن يلحسه بلسانه
"Ashbagh salah satu ulama
[malikiyah] kami berkata: Boleh baginya [suami] menjilatnya [kemaluan istrinya]
dengan lidahnya." (Tafsir Al-Qurthubi, 12/232).
Sedangkan mengenai Fellatio
(oral seks pada kelamin lelaki) disebutkan secara mafhum dari dhabith umum
kebolehan semua aktivitas seksual serta pendekatan-pendekatan tekstual dalam
beragam literatur klasik:
- Dalam Fathul Mu'in
tentang dhabith umum tamaththu':
(
تتمة ) يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها
"Boleh bagi suami menikmati
semua jenis aktivitas seks dari istrinya selain pada lingkaran duburnya,
meskipun dilakukan dengan menghisap klitorisnya" (Fathul Mu'in,
3/340)
Mahallu syahid: 'menikmati
semua jenis aktivitas seks dari istrinya.'
- Dalam Tafsir ath-Thabari
tentang obyek umum tamaththtu' dzakar:
حدثنا
تميم قال، أخبرنا إسحاق، عن شريك، عن ليث قال: تذاكرنا عند مجاهد الرجل يلاعب
امرأته وهي حائض، قال: اطعن بذكرك حيث شئت فيما بين الفخذين والأليتين والسرة، ما
لم يكن في الدبر أو الحيض.
"Telah menceritakan kepada
kami Tamim, telah mengkhabarkan kepada kami Ishaq, dari Syarik, dari Laits
berkata: Kami di sisi Mujahid membicarakan tentang seorang lelaki yang mencumbu
istrinya saat Haid. Mujahid berkata; "Tusukkan alat kelaminmu di manapun yang
engkau kehendaki; di antara dua paha, dua pantat, dan pusar. Selama tidak di
anus atau saat datang haidh." (Tasfir ath-Thabari, 4/380)
Mahallu syahid: 'Tusukkan
alat kelaminmu di manapun yang engkau kehendaki.'
- Dalam Hasyiyah ad-Dasuqi
tentang hukum asal mubahnya tubuh istri selama tidak ada ketentuan khusus
nash:
قَوْلُهُ
( فَيَجُوزُ التَّمَتُّعُ بِظَاهِرِهِ ) أَيْ وَلَوْ بِوَضْعِ الذَّكَرِ عليه
وَالْمُرَادُ بِظَاهِرِهِ فَمُهُ من خَارِجٍ وما ذَكَرَهُ الشَّارِحُ من جَوَازِ
التَّمَتُّعِ بِظَاهِرِ الدُّبُرِ هو الذي ذَكَرَهُ الْبُرْزُلِيُّ قَائِلًا
وَوَجْهُهُ عِنْدِي أَنَّهُ كَسَائِرِ جَسَدِ الْمَرْأَةِ وَجَمِيعُهُ مُبَاحٌ إذْ
لم يَرِدْ ما يَخُصُّ بَعْضُهُ عن بَعْضٍ بِخِلَافِ بَاطِنِهِ اه
"[Diperbolehkan mencumbui
pada luar dubur] yakni walau dengan menaruh kemaluan di atasnya. Yang dimaksud
dengan luar dubur yaitu mulut dubur dari arah luar tubuh. Pendapat Pensyarah
tentang kebolehan mencumbui luar dubur adalah sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Burzuli, dia berkata: 'Konsepnya, menurutku, bagian luar dubur adalah
sebagaimana keseluruhan bagian tubuh wanita, kesemua tubuh wanita diperbolehkan
mengingat tidak dijumpai ketentuan khusus nash pada bagian tubuh wanita
tertentu, berbeda dengan bagian dalam dubur.' Demikian perkataan al-Burzuli. "
(Hasyiyah ad-Dasuqi, 2/216)
Mahallu syahid: 'Kesemua
tubuh wanita diperbolehkan mengingat tidak dijumpai ketentuan khusus nash pada
bagian tubuh wanita tertentu'.
- Dalam al-Inshaf tentang
mencium dzakar:
الثانية:
ليس لها استدخال ذكر زوجها وهو نائم بلا إذنه ولها لمسه وتقبيله بشهوة
"Tidak berhak bagi istri
memasukkan alat kelamin suaminya tanpa seijinnya sementara suami dalam keadaan
tidur, namun istri boleh merabanya dan menciumnya dengan syahwat" (al-Inshaf,
8/27)
- Dalam al-Mughni li Ibni
Qudamah tentang kesunahan foreplay:
وقد
روي عن عمر بن عبد العزيز عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال :لا تواقعها إلا
وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتاك لكيلا تسبقها بالفراغ
"Diriwayatkan dari Umar bin
Abdul Aziz, dari Nabi SAW bahwasanya beliau berkata: Janganlah engkau
menyetubuhinya kecuali dia telah bangkit syahwatnya sebagaimana dirimu, agar
engkau tidak mendahuluinya dalam klimaks." (al-Mughni li Ibnu Qudamah,
8/136)
PERBANDINGAN
Berangkat dari kaidah umum
para ulama klasik, selanjutnya oral seks dibahas juga oleh sejumlah ulama
kontemporer:
- Ali Jum'ah, Mufti
Mesir:
السؤال
سألني أحدهم عن الحكم الشرعي عن مسألة مص، أو لعق الرجل لفرج المرأة، أو العكس -
أجلكم الله - هل هو حرام؟
الجواب
يجوز لكل من الزوجين الاستمتاع من الآخر بكل شئ ما خلا الدبر والحيضة للأحاديث
الواردة، انظر ما رواه البخاري (302)، ومسلم (293) وفي الحيض نص قرآني انظر سورة
البقرة الآية (222).
"Pertanyaan: Seseorang bertanya
kepadaku tentang masalah menghisap, atau menelannya lelaki terhadap alat kelamin
wanita atau sebaliknya -semoga Allah mengagungkanmu- apakah hal itu
diharamkan?
Jawaban: Diperbolehkan bagi
suami-istri untuk mencumbui satu sama lain dengan apapun selain pada dubur serta
dalam keadaan haidh, berlandaskan sejumlah hadits, lihatlah riwayat Bukhari no.
302, riwayat Muslim no. 293, dan al-Baqarah ayat 222."
- Said Ramadhan al-Buthi,
Mufti Suriah:
ما
المحرَّمات في الاستمتاع الجنسي بين الزوجين؟
العلاقات
الجنسية واسعة النطاق ، ولم يحرم إلا أمورًا ضيقة ، وفي هذه النظرة التوسعية دعوة
لكل من الرجل والمرأة للاكتفاء بالمعاشرة المباحة ، وترك كل علاقة محرمة
،
والمحرم
في العلاقة الجنسية بين الزوجين هو الجماع وقت الحيض ، والجماع في الدبر ، وكل
استمتاع ثبت ضرره ،لأنه لا ضرر ولا ضرار، وماسوى ذلك فيرجع للعرف وللزوجين على أنه
لا يجب إكراه أحد الزوجين للآخر في فعل شيء
إن
الحقَّ المتبادل بين الزوجين ليس خصوص (الجماع) بل عموم ما سمّاه القرآن
(الاستمتاع)، وهذا يعني أن لكلٍّ من الزوجين أن يذهب في الاستمتاع بزوجه المذهب
الذي يريد، من جماع وغيره.ولا يستثنى من ذلك إلا ثلاثة أمور:
1ـ
الجماع أيام الطَّمث..
2ـ
الجماع في الدبر، أي الإيلاج في الشرج..
3ـ
المداعبات التي ثبت أنها تضرُّ أحد الزوجين أو كليهما، بشهادة أصحاب الاختصاص أي
الأطباء.
أما
ما وراء هذه الأمور الثلاثة المحرَّمة، فباقٍ على أصل الإباحة
الشرعية...
"Apakah yang diharamkan
dari percumbuan seksual di antara suami-istri ?
Hubungan seksual luas untuk
dibicarakan. Tidak diharamkan kecuali pada beberapa hal saja. Dan dalam bahasan
yang luas ini terkandung ajakan bagi suami-istri untuk mencukupkan diri pada
pergaulan yang mubah serta meninggalkan hubungan yang diharamkan. Yang
diharamkan dari hubungan seksual antara suami-istri yaitu bersetubuh di saat
haidh, bersetubuh pada dubur, serta setiap percumbuan yang menimbulkan dampak
buruk, sebab ada kaidah 'la dharara wa la dhirar'. Selain yang telah disebutkan
maka dikembalikan hukumnya pada 'urf dan suami-istri, mempertimbangkan bahwa
tidak diwajibkan untuk memaksa pasangannya melakukan hal itu."
"Sesungguhnyalah, hak
bersama antara suami-istri tidak sebatas pada konteks bersetubuh melainkan
terlaku umum pada apa yang dibahasakan al-Qur'an dengan itimta' (percumbuan).
Begitulah, yakni tiap suami-istri berhak memilih percumbuan dengan pasangannya
dengan pilihan apapun yang ia kehendaki. Dalam konteks persetubuhan ataupun
lainnya. Tidak ada pengecualian dalam hal ini selain pada tiga
perkara:
1. Bersetubuh saat
haidh.2. Bersetubuh pada dubur, yakni penetrasi pada anus.
3. Aktivitas percumbuan yang menimbulkan dampak buruk bagi salah satu atau keduanya, lewat persaksian pakar di bidangnya (dokter).
Sedangkan selain tiga hal
yang diharamkan tersebut maka statusnya tetap pada hukum asal kebolehan
syariat."
JAWABAN-JAWABAN
Menengok pada dinamika
opini ilmiah masa kini tentang oral seks, maka terdapat sejumlah pendapat
berseberangan yang masih perlu ditinjau ulang. Berikut akan disajikan sejumlah
wacana tersebut beserta jawabannya:
Wacana
pertama, oral
seks adalah tradisi Romawi Kuno dan India kuno. Dengan demikian terjadi
tasyabbuh bil kuffar yang diharamkan.
Jawaban : Tidak semua tasyabbuh
itu haram. Ibnu Hajar al-'Asqalani menggarisbawahi bahwa tasyabbuh yang
diharamkan adalah selain tasyabbuh dalam urusan kebaikan. Sementara oral seks
adalah bagian dari pemanasan seksual yang dianjurkan.
- Dalam Fathul
Bari:
وقال
الشيخ أبو محمد بن أبي جمرة نفع الله به ما ملخصه ظاهر اللفظ الزجر عن التشبه في كل
شيء لكن عرف من الأدلة الأخرى أن المراد التشبه في الزي وبعض الصفات والحركات
ونحوها لا التشبه في أمور الخير
"Syekh Abu Muhammad bin Abi
Hamzah -semoga Allah memberi kemanfaatan padanya- berkata: Kesimpulan dari
dzahir teks nash adalah larangan menyerupai pada setiap sesuatu (dari orang
kafir). Akan tetapi dalil-dalil lainnya menunjukkan yang dimaksud menyerupai
adalah menyerupai dalam atribut, sebagian sifat-sifat, perilaku, dan semacamnya.
Bukan menyerupai dalam urusan kebaikan." (Fathul Bari, 13/333)
- Dalam al-Mughni li Ibni
Qudamah:
وقد
روي عن عمر بن عبد العزيز عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال :لا تواقعها إلا
وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتاك لكيلا تسبقها بالفراغ
"Diriwayatkan dari Umar bin
Abdul Aziz, dari Nabi SAW bahwasanya beliau berkata: Janganlah engkau
menyetubuhinya kecuali dia telah bangkit syahwatnya sebagaimana dirimu, agar
engkau tidak mendahuluinya dalam klimaks." (al-Mughni li Ibnu Qudamah,
8/136
Selain itu pengambilan
contoh tradisi era Romawi dan India Kuno juga tidak tepat dikategorikan
tasyabbuh. Sebab oral seks umum dijumpai saat ini sehingga menjadi tidak identik
dengan peradaban tertentu. Tasyabbuh yang hilang ciri khasnya tidak lagi
dinamakan tasyabbuh.
- Dalam Hasyiyah
asy-Syarqawi:
(قوله
والمترجلات) اى المتشبهات بالرجال فى أقوالهن وأحوالهن كلبس الطرابيس إلا إن غلب
عرف بلبس ذلك للرجال والنساء كما هو حاصل الآن بمصرى فهو جائز لهن
"[Bertingkah kelelakian]
yakni sikap menyerupai dengan lelaki dalam ucapan dan keadaan, seperti memakai
topi tarbus, kecuali bila penggunaannya sudah merata oleh lelaki dan perempuan
sebagaimana yang terjadi di Mesir sekarang maka boleh bagi wanita memakainya."
(Hasyiyah asy-Syarqawi, 2/430)
Wacana
kedua, mulut
istri bukanlah tempat yang diperintahkan Allah kepada suami untuk memasukkan
kemaluannya.
Jawaban: Klarifikasi atas wacana
tersebut bisa diketahui dari telaah dalil yang dijadikan acuan.
Dalil yang dimaksud berasal
dari QS. Al-Baqarah ayat 222:
فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
"Apabila mereka telah suci,
maka datangilah (setubuhilah) mereka itu pada sisi/dari sisi yang diperintahkan
Allah kepadamu"
1.
Telaah pertama: lafazh fa-tuhunna.
Disebutkan dalam Tafsir
al-Jalalain (1/47), Tafsir Munir (1/76), Audhah at-Tafsir (69/44), Aysar
at-Tafsir (1/205) dan beragam kitab tafsir lainnya bahwa yang dikehendaki dengan
ityan pada fa-tuhunna adalah jima' (bersetubuh). Jima', baik sebagai denotatif
ataupun konotatif dari nikah, didefinisikan dengan:
النكاح
إيلاج ذكر في فرج ليصير بذلك كالشيء الواحد وقال الراغب أصل النكاح العقد ثم استعير
للجماع ومحال أن يكون في الأصل للجماع ثم استعير للعقد لأن أسماء الجماع كلها
كنايات
"Nikah adalah membenamkan
dzakar ke dalam farji sehingga seolah-olah menjadi satu kesatuan. Ar-Raghib
berkata: Asal pemakaian kata nikah adalah untuk akadnya, lalu dipakai sebagai
kiasan dari jima'. Mustahil dikatakan nikah adalah asal dari jima' yang
seterusnya dikiaskan pada akadnya, sebab semua nama-nama jima' adalah kiasan."
(At-Tauqif 'ala Muhimmat at-Ta'arif, 1/710)
Dengan demikian diketahui
bahwa maksud kelamin wanita sebagai tempat yang diperintahkan Allah pada suami
untuk memasukkan kemaluannya adalah dalam konteks jima' (bersetubuh) bukan
bercumbu (istimta').
2.
Telaah kedua: lafazh min haitsu
Wacana kedua itu
mengartikan 'min haitsu amarakumullah' sebagai 'fi haitsu amarakumullah'
sehingga maknanya: Maka datangilah (setubuhilah) mereka itu pada sisi (dari
tempat) yang diperintahkan Allah kepadamu. Tafsiran semacam itu boleh saja,
dengan catatan dalam konteks jima' sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
meski sebenarnya ada empat pendapat berbeda tentang tafsir lafazh 'min
haitsu':
قوله
تعالى: مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ الله فيه اربعة أقوال.
أحدها:
أن معناه من قبل الطهر لا مِنْ قِبَلِ الْحَيْضِ، قاله ابن عباس، وأبو رزين،
وقتادة، والسدي في آخرين.
والثاني:
أن معناه: فأتوهن من حيث أمركم الله أن: لا تقربوهن فيه، وهو محل الحيض، قاله
مجاهد، وقال من نصر هذا القول: إنما قال: أَمَرَكُمُ الله, والمعنى نهاكم لأن النهي
أمر بترك المنهي عنه، و من بمعنى في كقوله تعالى يَـٰۤأَيـُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوۤا إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ, الجمعة: 9.
والثالث:
فأتوهن من قبل التزويج الحلال لا من قبل الفجور، قاله ابن الحنفية.
والرابع:
أن معناه فاتوهن من الجهات التي يحل أن تقرب فيها المرأة، ولا تقربوهن من حيث لا
ينبغي مثل أن كن صائمات، أو معتكفات، أو محرمات، وهذا قول الزجاج، وابن
كيسان
"Firman Allah: Min haitsu
amarakumullah, terdapat empat pendapat mengenai ayat ini :
1.Pertama, maknanya adalah
dari sisi ketika suci bukan dari sisi ketika haidh, ini pendapat Ibnu 'Abbas,
Abu Razin, Qatadah, dan as-Sudi dari generasi terakhir salaf.
2.Kedua, bahwasanya maknanya
adalah: datangilah di sisi (tempat) yang diperintahkan Allah, bahwasanya
janganlah mendekatinya pada tempat itu, yakni tempat darah haidh. Ini pendapat
Mujahid. Dikuatkan oleh pernyataan: teks ayat 'amarakumullah' adalah satu konsep
dengan larangan kebalikannya, sebab larangan sama juga dengan perintah untuk
meninggalkan yang dilarang. Sedangkan 'min' bermakna 'fi' sebagaimana dalam ayat
'Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat di hari Jum'at'
(min yaumil jumu'at, pen).
3.Ketiga, datangilah dari
sisi pernikahan yang halal bukan dari sisi yang tercela. Ini pendapat Abu
Hanifah.
4.Keempat, bahwasanya
maknanya adalah datangilah dari sisi yang dihalalkan untuk mendekati wanita, dan
jangan dekati dari sisi yang tidak seharusnya, seperti ketika pereempuan itu
berpuasa, i'tikaf, ataupu beribadah ihram. Ini pendapat az-Zujaj dan Ibnu
Kaisan." (Zad al-Masir, 1/223)
Wacana
ketiga, oral
seks tidak menghasilkan anak dan tidak sesuai dengan maksud penciptaan
syahwat.
Jawaban
: Oral seks
adalah bagian dari percumbuan (istimta') bukan persetubuhan (jima'). Bahkan pada
persetubuhan sekalipun menghasilkan anak tidak disepakati menjadi syarat wajib
hubungan suami istri. Antara lain mengambil i'tibar dari kebolehan 'azl
(mengeluarkan sperma di luar organ kelamin wanita) yang mana berkonsekuensi
persetubuhan yang tidak menghasilkan anak. Disebutkan dalam hadits:
كُنَّا
نَعْزِل عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ
ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا
"Kami melakukan 'azl di
masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu hal itu sampai pada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau tidak melarang kami." (HR.
Muslim)
وَلَا
يَحْرُمُ فِي الزَّوْجَةِ عَلَى الْمَذْهَبِ سَوَاءٌ الْحُرَّةُ وَالْأَمَةُ
بِالْإِذْنِ وَغَيْرِهِ
"Azl tidak diharamkan
menurut qaul madzhab, baik pada perempuan merdeka ataupun hamba sahaya, baik
dengan seijinnya maupun tidak." (Hasyiyah al-Bujairimi 'ala al-Khatib,
14/278)
Wacana
keempat : Oral
seks menyerupai perilaku hewan, dimana tasyabbuh dengan tingkah hewan diharamkan
sesuai keterangan beberapa hadits.
Jawaban : Koreksi atas wacana
tersebut datang dari dua sisi.
Koreksi
pertama,
dalil-dalil tasyabbuh dengan hewan tersebut dijumpai dalam konteks shalat, tidak
dijumpai qiyas ulama dalam kondisi lainnya.
Dalil-dalil yang dimaksud
antara lain:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ
الْكَلْبِ
"Dari Anas bin Malik dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seimbangkanlah kalian dalam sujud,
dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana
anjing membentangkan tangannya." (H.R.Bukhari-Muslim)
عَنْ
جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا
أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ اسْكُنُوا فِي الصَّلَاةِ
"Dari Jabir bin Samurah
berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menemui kami dan
bersabda: Mengapa aku melihat kalian mengangkat tangan kalian, seakan-akan ia
adalah ekor kuda yang gelisah. Tenanglah kalian di dalam shalat." (HR.
Muslim)
عَنْ
عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَلِيُّ لَا
تُقْعِ إِقْعَاءَ الْكَلْبِ
"Dari Ali berkata, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Hai Ali, janganlah duduk seperti duduknya
anjing (dalam shalat)." (HR. Ibnu Majah)
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوَطِّنَ الرَّجُلُ
الْمَكَانَ فِى الْمَسْجِدِ كَمَا يُوَطِّنُ الْبَعِيرُ.
Dari Abdurrahman bin Syibli
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang (sujud dengan cepat)
seperti burung gagak mematuk dan (menghamparkan lengan ketika sujud) seperti
binatang buas yang sedang membentangkan kakinya dan melarang seseorang mengambil
lokasi khusus di masjid (untuk ibadahnya) sebagaimana unta menempati tempat
berderumnya (berlutut turun dengan kedua kaki depan atau keempat kakinya, pen)."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasai, Baihaqi, dan Ibnu Abi
Syaibah)
Komentar Ibnu Daqiq al-'Ied
dan Ibnu Hajar al-'Asqalani tentang hadits tersebut:
وقال
ابن دقيق العيد هو ذكر الحكم مقرونا بعلته لأن التشبيه بالأشياء الخسيسة يناسب تركه
في الصلاة ذكره السيوطي قال ابن حجر فيكره ذلك لقبح الهيئة المنافية للخشوع والأدب
إلا لمن أطال السجود حتى شق عليه اعتماد كفيه فله وضع ساعديه على ركبتيه
"Ibnu Daqiq al-'Ied
berkata: hadits itu berisi tentang penuturan hukum beserta alasannya. Sebab
penyerupaan dengan sesuatu yang rendah bersesuaian untuk ditinggalkan dalam
shalat, diungkapkan juga oleh as-Suyuthi. Ibnu Hajar berkomentar bahwa hal itu
dimakruhkan sebab merupakan tingkah yang buruk yang meniadakan sifat khusu' dan
adab, kecuali pada orang yang panjang sujudnya sehingga kepayahan menyangga
dengan kedua telapak tangannya, maka dia boleh meletakkan kedua lengannya pada
kedua lututnya". (Mirqat al-Mafatih syarh Misykat al-Mashabih,
3/425).
Koreksi
kedua,
bersetubuh dengan gaya belakang (doggy style) diperbolehkan oleh syariat meski
nyata tasyabbuh dengan banyak hewan.
- Dalam tradisi kaum
Anshar
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَال إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا
كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ
مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ
فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ
أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَأْتُوا النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ
وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ
الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ
قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا مُنْكَرًا وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ
مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ
الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَذَهَبَ
يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ وَقَالَتْ إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى
عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا
فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى
شِئْتُمْ } أَيْ مُقْبِلَاتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ
مَوْضِعَ الْوَلَدِ
"Dari Ibnu Abbas berkata,
sesungguhnya Ibnu Umar -semoga Allah mengampuninya- dia telah khilaf,
sesungguhnya terdapat sebuah pemukiman Anshar yang merupakan para penyembah
berhala, hidup bersama pemukiman Yahudi yang merupakan ahli kitab. Mereka
memandang orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Maka
mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang Yahudi. Di antaranya adalah
para ahli kitab tidak menggauli isterinya kecuali dengan cara miring berhadapan
di mana hal tersebut dipandang lebih menjaga rasa malu seorang
wanita.
Kaum Anshar mengambil
tradisi tersebut sementara kaum Quraisy menggauli isteri mereka dengan cara yang
ditentang (oleh kaum Anshar). Kaum Quraisy bersenang-senang dengan isterinya
baik dengan model menghadap, membelakangi, serta terlentang. Kemudian tatkala
orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah seorang di antara mereka menikahi
wanita anshar. Kemudian dia menggaulinya dengan cara Quraisy itu. Wanita anshar
tersebut mengingkarinya dan berkata: Sesungguhnya kami hanya didatangi dengan
cara miring berhadapan, lakukan hal itu jika tidak jauhilah aku! Akhirnya
tersebarlah permasalahan mereka berdua dan sampai kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Lantas Allah 'azza wajalla menurunkan ayat: Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.
Yakni dalam keadaan
menghadap, membelakangi, serta terlentang, pada tempat lahirnya anak (farji)."
(HR. Abu Dawud)
- Dalam perilaku
Umar
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا
الَّذِي أَهْلَكَكَ قَالَ حَوَّلْتُ رَحْلِيَ الْبَارِحَةَ قَالَ فَلَمْ يَرُدَّ
عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ الْآيَةَ {
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ } أَقْبِلْ
وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ
"Dari Ibnu Abbas berkata,
Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu
berkata: Wahai Rasulullah aku telah binasa. Beliau bertanya: Apa yang
membinasakanmu? Umar menjawab: Aku membalik tungganganku (istriku) tadi malam.
Ibnu Abbas berkata: Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Ibnu Abbas
melanjutkan: Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini: Istri-istrimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Lalu beliau mengatakan):
"Bagaimana saja kamu kehendaki, baik dari depan atau belakang tapi hindarilah
dubur dan wanita haidh." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Thabarani, dan Abu
Ya'la)
Wacana
kelima, oral
seks adalah hal menjijikkan, menyalahi fitrah, tidak beradab, serta mulut yang
dipakai untuk berdzikir dan membaca al-Qur'an tidak layak berinteraksi dengan
kemaluan sehingga patut diharamkan.
Jawaban : Argumen tersebut adalah
perasaan subyektif manusia yang tidak bisa semata-mata dijadikan dalil. Sifatnya
relatif dan bisa berbeda-beda tiap manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam enggan menyantap dhab (sejenis reptil arab) sementara Khalid bin Walid
memakannya. Gaya persetubuhan dari belakang tadinya dipandang hina oleh kaum
wanita Anshar dan Umar namun syariat memperbolehkannya.
Alasan mulut sebagai tempat
berdzikir sehingga tidak layak berinteraksi dengan farji juga tidak cukup
dijadikan illat. Mata berguna untuk membaca al-Qur'an namun boleh untuk melihat
farji. Tangan yang dipakai untuk bersedekah juga tidak dilarang untuk menyentuh
farji.
Wacana
keenam, oral
seks menimbulkan resiko bermacam penyakit seperti kanker mulut, penyakit kulit,
jamur pada kelamin wanita, kanker tenggorokan,hepatitis A/B/C, syphilis, AIDS,
dll. Dengan demikian oral seks berimbas pada madharat. Madharat berimbas pada
hukum haram.
Jawaban
: Resiko
penyakit pada oral seks adalah informasi medis, bukan bukti medis.
Penjelasannya, informasi
medis dan bukti medis diistilahkan oleh KH. Arwani Faishal ketika mengomentari
madharat rokok. Diungkapkan olehnya bahwa hasil penelitian medis sekarang sangat
detail dalam menemukan sekecil apa pun tentang kemudharatan yang kemudian
terkesan menjadi lebih besar. Banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan
halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi.
Tangan yang tidak dicuci
menurut informasi medis rentan resiko penyakit Flu Singapura, Hepatitis A,
Shigellosis (bakteri diare), dan Giardiasis (parasit usus). Sementara dari bukti
medis belum diketahui berita masyarakat yang jatuh sakit karena makan tidak cuci
tangan.
Dalam bahasa fiqih, dharar
yang belum tahaqquq (belum sampai pada taraf bukti medis) tidak akan berimbas
pada hukum haram.
Ditegaskan oleh Ibnu Hajar
al-Haitami:
فَهُمْ
مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم
يَحْرُمْ
"Para ulama sepakat bahwa
bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak
demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225).
Perlu diketahui bahwa
analisa istinbath hukum dari bahan konsumsi yang madharat setidaknya diproses
lewat lima
tahapan.
Metodologi ini disarikan dari fatwa Ibnu Hajar ketika menjelaskan golongan
tumbuhan yang madharat.
1.Tahapan pertama, tahaqquq
dharar. Yakni hukum dharar mulai digali ketika sifat dhararnya tahaqquq. Bila
tidak tahaqquq maka tidak haram, dan bila terbukti tahaqquq maka boleh melangkah
ke tahap kedua.
2.Tahapan kedua, qath'i
dharurat dharar. Yakni menelusuri apakah dharar itu bersifat qath'i darurat
lewat pembuktian riset dari orang dengan reputasi adil yang dijamin stabil
dihukumi dharar dari masa ke masa. Hal ini mustahil mengingat hasil riset
pernyataan madharat tidak ada jaminan untuk tidak berubah di kemudian hari,
sehingga melangkah ke tahap ketiga.
3.Tahapan ketiga, khabar
mutawatir tentang dharar. Yakni menelusuri apakah ada khabar mutawatir tentang
madharat tersebut dari golongan yang reputasi adil. Bila ada maka dijadikan
pegangan, namun bila timbul dua khabar mutawatir saling bertentangan maka
melangkah ke tahap keempat.
4.Tahapan keempat, memadukan
khabar mutawatir dharar yang bertentangan. Yakni bila dua khabar itu bisa
dipadukan maka wajib dipadukan sesuai kaidah ushul, dilakukan dengan mengarahkan
khabar adanya dharar pada sebagian kondisi serta khabar tidak adanya dharar pada
sebagian kondisi yang lain.
5.Tahapan kelima, tarjih
khabar dharar. Yakni bila khabar mutawatir itu tidak bisa dipadukan maka kedua
khabar berubah statusnya menjadi hukum zhanni. Dalam perspektif dalil zhanni
maka boleh mentarjih satu dari dua khabar bertentangan yang dianggap lebih
dipercaya, memilih suatu pendapat tersendiri dari orang yang dipercaya (ketika
tidak ada pertentangan khabar), atau lewat pembuktian pada diri sendiri atas
madharat tersebut.
Berikut sejumlah kutipan
ta'bir terpisah dari fatwa Ibnu Hajar untuk dijadikan acuan:
Ta'bir tahapan
pertama:
فَوَرَاءَ
ذلك نَظَرٌ آخَرُ وهو أَنَّ ما يَخْتَلِفُ كَذَلِكَ هل النَّظَرُ فيه إلَى
عَوَارِضِهِ اللَّاحِقَةِ له فَيَحْرُمُ على من ضَرَّهُ دُونَ من لم يَضُرَّهُ أو
إلَى ذَاتِهِ فَإِنْ كان مُضِرًّا لِذَاتِهِ حَرُمَ مُطْلَقًا وَإِلَّا لم يَحْرُمْ
مُطْلَقًا
"Di balik semua
pentafshilan itu ada sebuah pertimbangan, yakni pada dampak yang berlainan
seperti itu, yang dijadikan pertimbangan nanti apakah karena faktor luar yang
dijumpai pada benda itu sehingga diharamkan bagi yang terkena madharat saja dan
bukan bagi lainnya, atau bisa karena faktor esensi benda itu, bila secara
alamiah berbahaya maka diharamkan sedang bila tidak berbahaya maka tidak
diharamkan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)
فَهُمْ
مُتَّفِقُونَ على أَنَّهُ إنْ تَحَقَّقَ فيه ضَرَرٌ حَرُمَ وَإِلَّا لم
يَحْرُمْ
"Para ulama sepakat bahwa
bila madharat telah terbukti nyata keberadaannya maka diharamkan, bila tidak
demikian maka tidak haram." (Fatawa al-Kubra, 4/225)
Ta'bir tahapan
kedua:
وَبِالضَّرُورَةِ
الْقَطْعِيَّةِ الْعِلْمُ بِحَقِيقَةِ هذا النَّبَاتِ مُتَعَسِّرٌ لِأَنَّهُ لَا
طَرِيقَ إلَى الْعِلْمِ بها إلَّا خَبَرُ الصَّادِقِ وهو ما يَئِسَ منه إلَى أَنْ
يَنْزِلَ عِيسَى على نَبِيِّنَا وَعَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ
وَالْمُرْسَلِينَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَأَزْكَى السَّلَامِ أو التَّجْرِبَةُ
وَهِيَ مُعْتَذِرَةٌ -إلى أن قال-
ثُمَّ
قُلْت له لَا بُدَّ أَنْ تَسْتَنِدَ إلَى حُجَّةٍ لم يَقَعْ فيها تَعَارُضٌ وَلَا
نِزَاعٌ وَهِيَ التَّجْرِبَةُ فقال لَا يُمْكِنُنِي لِأَنَّ التَّجْرِبَةَ
تَسْتَدْعِي مِزَاجًا وَزَمَانًا وَمَكَانًا مُعْتَدِلَاتٍ وَعَدَالَةَ
الْمُجَرِّبِ لِأَنَّهُ يُخْبِرُ عَمَّا يَجِدَهُ من ذلك النَّبَاتِ فَلَا بُدَّ من
عَدَالَتِهِ حتى يُقْبَلَ إخْبَارُهُ وَذَلِكَ كُلُّهُ مُتَعَذِّرٌ في هذه
الْأَقَالِيمِ لِأَنَّهَا غَيْرُ مُعْتَدِلَةٍ
"Sulit mengetahui hakekat
dari tumbuhan ini secara hukum dharurat qath'i. Sebab tidak ada jalan untuk
sampai pada taraf tahu kecuali dengan khabar dari seorang yang shadiq, yaitu
seseorang yang mampu hidup dari masa ia hidup sampai masa turunnya Nabi Isa
kelak -'ala nabiyyina wa 'alaihi wa 'ala sairil anbiyai wal mursalin afdhalush
shalat wa azkas salam- ataupun dengan percobaan (riset).
Aku katakan padanya: Hal
itu wajib disandarkan pada hujjah yang tidak mengenal pertentangan dan
perselisihan. Dia berkata: Itu mustahil bagiku, sebab riset percobaan selalu
bergejolak seiring waktu dan tempat yang bersesuaian, juga dikarenakan syarat
adilnya pelaku riset mengingat dia yang mengkhabarkan penemuan dari tumbuhan
itu, sehingga wajib diketahui sifat adilnya agar khabarnya bisa diterima. Semua
hal itu mustahil di masa sekarang sebab hasil riset tidaklah stabil" (Fatawa
al-Kubra, 4/224).
Ta'bir tahapan
ketiga:
فَنَتَجَ
من هذا كُلِّهِ أَنَّهُ لَا طَرِيقَ لنا إلَى الْعِلْمِ بِحَقِيقَتِهِ إلَّا
مُجَرَّدُ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ من مُتَعَاطِيهِ بِمَا يَجِدُونَهُ
منه
"Bisa disimpulkan dari
semua hal tadi (kemustahilan khabar shadiq dan riset) bahwa tidak ada jalan lain
mencapai taraf benar-benar tahu selain dengan khabar mutawatir semata dari
penemuan orang-orang yang terlibat dengannya." (Fatawa al-Kubra,
4/224).
Ta'bir tahapan
keempat:
ولم
يَتِمَّ لِمَا عَلِمْت مِمَّا أَشَرْت إلَيْهِ من الْخِلَافِ فيه وَالِاخْتِلَافِ
إذْ الْقَائِلُونَ بِالْحِلِّ نَاقِلُونَ عن عَدَدٍ مُتَوَاتِرٍ أَنَّهُ لَا ضَرَرَ
فيه بِوَجْهٍ وَالْقَائِلُونَ بِالْحُرْمَةِ نَاقِلُونَ عن عَدَدِ التَّوَاتُرِ
أَنَّ فيه آفَاتٍ وَمَفَاسِدَ
وَغَلَبَ
على الظَّنِّ أَنَّ سَبَبَ ذلك الِاخْتِلَافِ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ تَأْثِيرُهُ
وَعَدَمُ تَأْثِيرِهِ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ بِغَلَبَةِ أَحَدِ الْأَخْلَاطِ
وَالطَّبَائِعِ الْأَرْبَعِ عليها وَأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ التَّوْفِيقُ بين هذه
الْأَخْبَارِ الْمُتَنَاقِضَةِ مع عَدَالَةِ قَائِلِهَا وَبَعْدَ كَذِبِهِمْ إلَّا
بِأَنْ يُفْرَضَ أَنَّهُ يُؤَثِّرُ في بَعْضِ الْأَبَدَانِ دُونَ بَعْض
وقد
أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا بِمَا قَدَّمْتُهُ فَتَعَيَّنَ الْمَصِيرُ إلَيْهِ
وَأَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الطِّبَاعِ إذْ الْقَاعِدَةُ الْأُصُولِيَّةُ
أَنَّهُ مَتَى أَمْكَنَ الْجَمْعُ لَا يُعْدَلُ إلَى التَّعَارُضِ
"Hujjah dengan khabar
mutawatir tidak sempurna diterima sebab dijumpainya khilaf yang telah aku
isyaratkan. Kaum yang berkata halal mengutip khabar dari golongan mutawatir
bahwa tumbuhan itu tidak madharat, sementara kaum lainnya berkata haram sembari
mengutip juga khabar dari golongan mutawatir tentang bahaya dan dampak
buruknya.
Timbul dugaan kuat bahwa
perbedaan pendapat itu bermuara dari bahwasanya berdampak atau tidaknya
tergantung dari perbedaan watak seseorang yang dipengaruhi oleh dominasi salah
satu dari empat elemen tubuh. Tidak dimungkinkan perpaduan pendapat di antara
khabar yang bertentangan ini di mana pembawa kabar telah dianggap adil kemudian
dianggap berdusta, kecuali dengan membuat ketentuan bahwa efek tumbuhan tersebut
berdampak buruk bagi sebagian orang dan tidak bagi lainnya.
Telah dimungkinkan
memadukan dua khabar tadi dengan metode yang kujelaskan, maka kembalilah
berpegang pada metode tadi. Dampak buruk itu bisa berbeda tergantung tabiat
orangnya, sebab memandang juga kaidah ushul ketika mungkin untuk dipadukan maka
tidak boleh beralih pada pertentangan." (Fatawa al-Kubra, 4/224)
Ta'bir tahapan
kelima:
وَلَيْسَ
هذا أَمْرًا قَطْعِيًّا كما عَلِمْت لِتَطَرُّقِ التُّهَمِ وَالْكَذِبِ إلَى بَعْضِ
الْمُخْبِرِينَ عنه بِضَرَرٍ أو عَدَمِهِ وَتَوَاتُرِ الْخَبَرِ في جَانِبٍ
مُعَارِضٍ بِتَوَاتُرِهِ في جَانِبٍ آخَرَ بِخِلَافِهِ فَسَقَطَ النَّظَرُ فيه إلَى
الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ وَوَجَبَ النَّظَرُ فيه إلَى أَنَّهُ تَعَارَضَ فيه
أَخْبَارٌ ظَنِّيَّةُ الصِّدْقِ وَالْكَذِبِ
وَعَلَى
فَرْضِ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الْجَمْعُ بِذَلِكَ لِمَا مَرَّ أَنَّ بَعْضَ
الْمُخْبِرِينَ سَلَبَ الضَّرَرَ عن هذا النَّبَاتِ سَلْبًا كُلِّيًّا وَبَعْضُهُمْ
أَثْبَتَهُ له إثْبَاتًا كُلِّيًّا فَيَجِبُ الْإِمْعَانُ في تَرْجِيحِ أَحَدِ
الْمُخْبِرِينَ بِدَلَائِلَ وَأَمَارَاتٍ بِحَسَبِ اسْتِعْدَادِ الْمُسْتَدِلِّ
وَتَضَلُّعِهِ من الْعُلُومِ السَّمْعِيَّةِ وَالنَّظَرِيَّةِ الشَّرْعِيَّةِ
وَالْإِلَهِيَّةِ وَهَذَا شَأْنُ كل حَادِثَةٍ لم يَسْبِقْ فيها كَلَامُ
الْمُتَقَدِّمِينَ
"Hal ini bukan lagi hukum
qath'i sebab ada dugaan sifat tercela dan dusta pada sebagian pembawa khabar
dharar atau tidaknya tanaman itu, juga sebab munculnya khabar mutawatir di sisi
yang berseberangan dengan khabar mutawatir lainnya. Maka tidak berlaku lagi
pertimbangan akan khabar mutawatir, yang menjadi ketentuan sekarang adalah
pertimbangan akan adanya pertentangan beberapa khabar zhanni yang mungkin benar
dan salah.
Dengan berpijak pada
ketentuan tidak dimungkinkannya memadukan khabar tersebut, sebab sebagian
kalangan menolak dharar pada tanaman itu sepenuhnya dan sebagian lagi
menetapkannya, maka wajib teliti dalam mentarjih salah satu khabar dengan
mengacu pada sejumlah dalil dan pertanda tertentu, di mana hal itu tergantung
pada kualitas gagasan pendapat orang dijadikan dalil serta kematangan dan
analisis ilmu syariatnya. Ini adalah konteks yang berlaku pada setiap perkara
kontemporer yang tidak dijumpai pendapat ulama mutaqaddimin mengenainya."
(Fatawa al-Kubra, 4/225).
والذي
يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام ، كما يحرم
العسل على المحرور والطين لمن يضره ، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً ، كما
إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب
لها
"Pendapat yang jelas,
bahwasanya jika didapati padanya dampak yang diharamkan bagi orang yang terkena
dampak buruk tersebut pada pikiran atau tubuhnya maka dihukumi haram.
Sebagaimana haramnya madu bagi orang yang sakit demam dan haramnya lumpur bagi
yang terkena dampak madharatnya. Kadang dijumpai hal yang membuatnya mubah
bahkan sunah, sebagaimana ketika dipergunakan untuk berobat berdasarkan
keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa itu bisa diminum untuk
dijadikan obat." (Bughyatul Mustarsyidin: 552).
Lihat keterangan
selengkapnya di Fatawa Kubra al-Fiqhiyyah bab al-asyribat wa al-mukhaddirat
(minuman dan bahan konsumsi memabukkan) untuk mendapatkan gambaran lebih
utuh.
Wacana
ketujuh, oral
seks bisa membuat madzi tertelan sementara madzi najis dan haram
dimakan.
Jawaban
: Analogi yang
paling dekat dengan masalah ini adalah pada oral seks Cunnilingus. Sebagaimana
dijelaskan di atas, telah disebutkan dalam Fathul Mu'in, Kasysyaful Qana',
Mawahibul Jalil, dan beragam kitab lainnya bahwa oral seks kelamin wanita
diperbolehkan meskipun sama-sama beresiko menelan madzi. Boleh jadi hal itu
karena sifat keluarnya madzi tidak pasti, di samping bisa dimuntahkan. Antara
lain mengambil i'tibar dari kesucian dzakar dari rembasan farji (ruthubah farji)
dikarenakan sifat keluarnya ruthubah yang tidak bisa dipastikan kapan keluar
dari kelamin wanita.
أَمَّا
الرُّطُوبَةُ الْخَارِجَةُ مِنْ الْبَاطِنِ فَنَجِسَةٌ مُطْلَقًا وَإِنَّمَا
قُلْنَا بِطَهَارَةِ ذَكَرِ الْمُجَامِعِ وَنَحْوِهِ ؛ لِأَنَّا لَا نَقْطَعُ
بِخُرُوجِهَا
"Sedangkan rembasan yang
keluar dari dalam farji maka mutlak najis, sedangkan mengenai pendapat kami
tentang sucinya dzakar orang yang bersetubuh dan sebagainya maka hal itu
dikarenakan kami tidak bisa memastikan keluarnya rembasan farji itu." (Syarhul
Bahjah al-Wardiyyah, 1/149)
Wacana
kedelapan,
oral seks makruh ketika terjadi inzal (keluar mani) disamping faktor
menjijikkannya.
Jawaban
: Wacana ini
cukup bagus. Posibilitas makruh dari sisi inzal, yakni dari tinjauan hukum 'azl,
bisa dipahami. Namun tambahan 'illat jijik yang dikombinasi dengan tiadanya nash
sharih bukan merupakan illat yang kuat sebagaimana dijelaskan
sebelumnya.
Pernyataan ini dilontarkan
oleh salah seorang tokoh Mesir dengan kutipan ucapannya:
أما
إذا كان القصد منه الإنزال فهذا الذي يمكن أن يكون فيه شيء من الكراهة، ولا أستطيع
أن أقول الحرمة لأنه لا يوجد دليل على التحريم القاطع، فهذا ليس موضع قذر مثل
الدبر، ولم يجئ فيه نص معين إنما هذا شيء يستقذره الإنسان
"Adapun ketika oral seks
ditujukan sebagai inzal maka dimungkinkan hukum makruhnya. Aku tidak mampu
mengatakan haram sebab tidak ada dalil yang menegaskan keharamannya, oral seks
juga bukan pada tempat yang kotor seperti dubur, tidak ditemukan nash spesifik
tentang oral seks hanya saja ini termasuk perkara yang dianggap jijik oleh
manusia."
PENUTUP
Oral seks secara dzatiahnya
dihukumi mubah, mengingat tidak ada ketentuan khusus nash tentang hal itu
sehingga dikembalikan pada hukum mubahnya.
Namun oral seks dilihat
dari amrun 'aridh (faktor eksternal) bisa menjadi makruh ketika :
- Dilakukan dengan mata
terbuka, sebab ada pendapat yang masyhur tentang makruhnya melihat farji
(kelamin lelaki dan wanita).
(
وَلِلزَّوْجِ ) وَالسَّيِّدِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ ( النَّظَرُ إلَى كُلِّ
بَدَنِهَا ) أَيْ الزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوكَةِ الَّتِي تَحِلُّ وَعَكْسُهُ ،
وَإِنْ مَنَعَهَا كَمَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ ، وَإِنْ بَحَثَ الزَّرْكَشِيُّ
مَنْعَهَا إذَا مَنَعَهَا وَلَوْ الْفَرْجَ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَلَوْ
حَالَةَ الْجِمَاعِ
"[Boleh bagi suami] juga
bagi majikan hamba sahaya di masa hidupnya [melihat setiap badan wanita]
istrinya dan sahayanya yang mana dihalalkan serta diperbolehkan juga sebaliknya,
meskipun suami/majikan itu tidak berkenan [auratnya dilihat oleh wanita, pen]
sebagaimana penjelasan general para ulama, meskipun imam az-Zarkasyi membahas
tentang larangannya ketika pihak lelaki tidak memperkenankan, meskipun melihat
pada farji namun disertai hukum makruh meskpun saat bersetubuh." (Tuhfatul
Muhtaj, 29/281).
- Dilakukan sampai inzal
(keluar mani), sebab akan terhukumi sebagaimana 'azl yang juga masyhur hukum
makruhnya.
ويكره
بنحو يدها كتمكينها من العبث بذكره حتى ينزل لأنه في معنى العزل
"Dimakruhkan istimna dengan
tangan istrinya, sebagaimana dimakruhkan memperkenankan istrinya bermain-main
dengan dzakarnya sampai keluar mani, sebab hal disamakan konteksnya dengan
'azl." (Fathul Mu'in, 4/143).
Seyogyanyalah setiap
aktivitas yang berkaitan dengan alat kelamin untuk dibasuh setelahnya ketika hal
itu dilakukan sampai terjadinya orgasme (inzal), baik pada mulut ataupun alat
kelamin itu sendiri, sebagai sikap kehati-hatian atas peluang keluarnya madzi
yang mengiringi mani.
فَلْيَغْسِلْ
ما أَصَابَهُ منه وَإِنْ لم نَحْكُمْ بِنَجَاسَتِهِ احْتِيَاطًا رِعَايَةً
لِلْغَالِبِ الذي ذَكَرَهُ من سَبْقِ الْمَذْيِ النَّجِسِ لِلْمَنِيِّ الذي
يَعْقُبُهُ
"Maka basuhlah apa yang
bersentuhan dengan dzakar meskipun ketika kita tidak menghukuminya najis,
sebagai sikap hati-hati dan bentuk antisipasi atas umumnya peristiwa yang telah
dituturkan mengenai madzi yang keluar mendahului mani." (Fatawa Kubra, 1/42).
Wallahu subhanahu wata'ala a'lam. [Oleh :
Umam Zein].
Link Asal :
www.fb.com/groups/piss.ktb/488262947863185/