>> Jalil Abdul
Prolog
Penghapusa n Khilafah Turki Utsmani pada 3 Maret 1924, yang sekaligus menandai berakhirny a dominasi Islam dalam pentas politik global selama lebih dari 13 abad sejak era Khulafa’ Arrasyidie n, dan meroketnya hegemoni Barat atas dunia Islam, menegaskan keberadaan umat Islam mulai saat itu telah terpuruk ke dasar degradasi peradaban. Realitas keterpuruk an umat Islam dalam kancah politik, ekonomi, militer, budaya, dan bayang-bay ang kemajuan Barat dalam sains dan teknologi yang menyudutka n umat Islam, serta “penjajaha n modern” yang dilancarka n Barat terhadap dunia Islam, disinyalir kuat menjadi faktor terpenting yang membangkit kan eskalasi “kerinduan ” umat Islam akan kejayaan yang pernah dimilikiny a di masa silam itu.
Eskalasi “kerinduan ” seperti ini, membangkit kan sugesti (ghirah) keagamaan umat Islam untuk melakukan serangkaia n koreksi atas faktor-fak tor penyebab kemunduran tragis yang dialaminya , kemudian melakukan improvisas i dan ijtihad-ij tihad sosial sebagai upaya untuk bangkit mengembali kan kejayaan yang hilang.
Dalam hierarki ijtihad mengembali kan kejayaan yang hilang ini, umat Islam setidaknya terpecah ke dalam dua limit (manhaj) perjuangan . Ada sebagian umat Islam yang berikhtiar melalui pendekatan -pendekata n metodologi s, kontekstua l, progresif, permisif, dan inklusif, bersedia membuka diri dan kompromi dengan nilai-nila i positif peradaban Barat. Dan ada sebagian ikhtiar umat Islam yang cenderung eksklusif, fundamenta l, anti Barat, dan memilih kembali pada nilai-nila i positif Islam konvension al, serta tak kenal kompromi dengan nilai-nila i kearifan lokal dan modernitas . Bagi kelompok kedua ini, mengembali kan Khilafah Islamiyah adalah satu-satun ya pilihan politik yang tak bisa ditawar untuk memungkink an membangun kembali kejayaan Islam yang hilang. Maka, sejak saat itulah term “khilafah” menjadi isu harakah (pergerak an) Islam dengan misi dan agenda politik membangun kembali Daulah Islamiyah internasio nal.
Dalam dinamika perjuangan nya, ide khilafah internasio nal ini pertama kali diperankan oleh jamaah Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir pada tahun 1928, dan selanjutny a banyak dimainkan oleh jamaah Hizbut Tahrir yang didirikan di Jerusalem Timur tahun 1952.
Di Indonesia, benih ide khilafah sudah ada sejak awal kemerdekaa n tahun 1945, baik yang bersifat konstitusi onal, seperti Majlis Konstituan te, atau bersifat militer, seperti dalam kasus DI/ TII, yang berusaha mendirikan negara Islam dan menolak Pancasila. Era reformasi tahun 1998 yang memberikan ruang kebebasan publik, menjadikan isu khilafah di Indonesia kian vulgar dan menemukan momentumny a. Pembicaraa n-pembicar aan yang mewacanaka n isu khilafah semakin intens dan terbuka dikampanye kan, baik lewat opini-opin i pemikiran maupun gerakan nyata.
Sebagai umat Islam, memimpikan idealisme sebuah sistem pemerintah an dan bentuk negara yang Islami, adalah suatu impian yang lumrah sebagai tuntutan dan konsekuens i logis atas keIslamann ya. Dan hal ini harus dihormati karena merupakan bagian dari hak asasi manusia. Akan tetapi yang penting dimengerti adalah, bahwa umat Islam hidup tidak sendiri. Umat Islam hidup bermasyara kat, berbangsa dan bernegara bersama “orang lain” (non Muslim), yang tidak dibenarkan memaksakan mereka dengan aturan-atu ran sepihak Islam saja.
Terlepas dari prinsip kemaslahat an, dari segi teoretik, misi dan visi ide khilafah, sebenarnya tidak ada yang salah, bahkan baik, dan pantas diapresias i. Karena ide ini merefleksi kan kepedulian , niat baik, cita-cita, dan ghirah militan untuk memperjuan gkan
Islam. Akan tetapi, ketika cita-cita dan niat baik ini tidak diimbangi
dengan pemahaman yang baik terhadap realitas sosial masyarakat —dan tentunya pemahaman keIslaman yang baik pula—, maka hanya akan menimbulka n benturan-b enturan destruktif antara Islam itu sendiri dengan praktik-pr aktik kehidupan sosial masyarakat .
Di sinilah arti pentingnya kearifan sikap, yang bersedia mengkompro mikan antara idealisme sebuah ajaran dan tuntutan keIslaman dengan realitas sosio-kukt ur masyarakat , sehingga setiap gerakan dan perjuangan keIslaman tidak menimbulka n gejolak dan benturan-b enturan destruktif , melainkan perjuangan yang bernilai efektif (maslahah) , konstrukti f, dinamis, dan rahmatan lil ‘alamien.
Tinjauan Dalil dan Manifesto Khilafah
Dalam literatur fiqh siyasi konvension al, secara definitif, terminolog i khilafah kerap dideskrips ikan sebagai bentuk mobilitas umum berdasarka n asas-asas syar’i dalam meraih kemaslahat an
duniawi dan ukhrawi. Secara esensial, jabatan seorang khalifah
dipandang sebagai pemegang otoritas religius dan otoritas politik.[1 ]
Secara hukum, mengangkat pemimpin (imâm) atau pemerintah an (imâmah) sebagai figur atau institusi pemegang otoritas ini merupakan kewajiban agama.[2] Satu-satu nya pijakan yang tegas melandasi hukum wajib ini adalah konsensus umat (ijma’). Sementara dalil-dali l berupa nash (Alqur’an dan Hadits), dilibatka n lebih sebagai justifikas i terhadap konsensus ini dari pada sebagai landasan hukum itu sendiri.
Ayat-ayat yang menginstru ksikan untuk menjalanka n hukum-huku m Allah (QS. Alma'idah: 48, 49, dan 50), taat pada pemimpin (QS. Annisa’: 59), dan ayat-ayat yang berbicara tentang harta ghanimah (QS. Al’anfal: 41), tentang kewajiban menjalanka n amanah dan keadilan (QS. Annisa’: 58), tentang hukum qishas dan pembunuhan (QS. Albaqarah: 178, 179, Annisa’: 92, 93), tentang vonis kafir, dhalim, dan fasiq bagi yang tidak menjalanka n hukum Allah (QS. Alma’idah: 44, 45, dan 47), dll., tidak ada satu dari sekian ayat-ayat tersebut —ataupun yang senada—, yang secara eksplisit mewajibkan pengangkat an khalifah atau pendirian negara.
Sedangkan hadits yang familier dilibatkan dalam pembenaran (mendukung ) ijma’ kewajiban mengangkat imam adalah hadits-had its tentang baiat, seperti:
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّ ةً
“Barang siapa mati dan pada lehernya tidak ada baiat, maka ia mati dalam kondisi jahiliah”. (HR. Muslim)
مَن مَاتَ وَلَيسَ لَهُ إِمَامٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّ ةً
“Barang siapa mati dan ia tidak memiliki imam, maka ia mati dalam kondisi jahiliah”. (HR. Ibn Hibban)[3]
Secara eksplisit, ayat-ayat tersebut tidak ada muatan instruksi penegakan sistem khilafah. Alqur’an dan Hadits tidak menentukan jenis sistem politik tertentu. Menjadikan hadits-had its tentang baiat sebagai dalil mendirikan Negara Khilafah akan terkesan mempolitis ir dan memaksakan . Secara spesifik, hadits-had its itu sejatinya berkaitan dengan baiat agar para pemeluk Islam menjalanka n rukun Islam, bukan pendirian sebuah negara. Dasar ijma’ sendiri pun sebenarnya dinilai problemati k jika dipahami sebagai dasar membangun Negara Khilafah. Sebab ijma’ di sini berkaitan dengan nashbul imâmah, bukan konsensus mengenai membentuk negara tertentu. Hal ini ditandai dengan realitas sejarah yang membuktika n tak pernah ada kesepakata n sistem politik yang baku di kalangan sahabat.
Sampai di sini kiranya cukup jelas bahwa, mengangkat pemimpin (nashbul imâm) adalah wajib berdasarka n ijma’, bukan berdasarka n dalil nash yang sharih (eksplisi t).[4] Dan sampai di sini pula, ulama telah mencapai kata mufakat. Pernyataan Asysyafi’i yang dikutip Aljuwaini dalam Alghiyatsi, bahkan menangguhk an kewajiban ini dengan kondisi yang mendukung dan memungkink an.[5] Ini sekaligus menandaska n bahwa, kewajiban nashbul imâm tidak berlaku mutlak. Ada batas-bata s kondisi tertentu di mana kewajiban ini tidak dibebankan .
Perdebatan penting isu khilafah selanjutny a, sebenarnya terjadi tidak dalam wilayah seputar ada-tidakn ya dalil syar’i yang menjadi pijakan kewajiban mengangkat pemimpin (nashbul imâm), melainkan dalam tataran manifesto imâmah (bentuk pemerintah an). Apakah imâmah harus diwujudkan dalam bentuk pemerintah an Islam konvension al (khilafah) seperti yang pernah ada dalam sejarah politik Islam? Ataukah imamah telah bisa dimanifest asikan dengan wujud seperti pemerintah an modern, demokrasi, misalnya? Perdebatan pada tataran ini, telah menyeret ke dalam polemik serius mengenai hubungan agama-nega ra.
Untuk memberikan jawaban tanda tanya ini, kita perlu menilik sejarah dinamika pergolakan politik. Dari sana setidaknya didapati tiga model paradigma dalam memahami hubungan antara agama dan negara.
Paradigma sekularist ik
Paradigma ini memberikan garis disparitas antara agama dan negara karena, menurut penganut paradigma ini, agama tidak mewajibkan mendirikan institusi negara. Agama hanya memberikan nilai moral-etik dalam membangun tatanan masyarakat . Penganut paradigma ini menyatakan , tidak ada dalil eksplisit dalam Alqur’an maupun hadits yang menunjukka n kewajiban mendirikan
sebuah negara. Paradigma ini antara lain dianut oleh sebagian Khawarij
dan Abi Bakar Al’asham serta Hisyam Alfuthi dari sekte Mu’tazilah .
Paradigma integralis tik
Dalam perspektif ini, relasi agama-nega ra adalah satu kesatuan yang tak terpisahka n. Cakupan ajaran agama tidak hanya urusan ritual-spe ritual, tetapi sekaligus meliputi aturan-atu ran sosial-pol itik. Doktrin esensial paradigma ini adalah, “inna al’islâm dîn wa daulah” (Islam adalah agama dan kekuasaan). Penganut paham ini adalah sekte Syiah. Syiah mengkatego risasi imâmah sebagai salah satu dari rukun iman.
Paradigma simbiotik
Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan negara bersifat timbal-bal ik. Artinya, agama tidak harus diformalka n dalam institusi negara, namun agama juga tidak boleh diceraikan sama sekali dari wilayah politik. Agama membutuhka n negara sebagai instrumen dakwah, dan negara membutuhka n agama sebagai sumber dasar. Penganut paradigma ini adalah mayoritas Ahlussunna h dan Mu’tazilah .
Sejauh ini, banyak pakar beranggapa n, hubungan sekularist ik agama-nega ra merupakan opsi terbaik. Baik dalam pengertian paling menjamin dari politisasi atau penyalahgu naan agama. Kendati demikian, sejak gagasan sekularism e ini didakwahka n ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang kontra umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat, tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama berabad-ab ad dalam menata hubungan agama-nega ra. Kelompok ini mencurigai sekularism e sebagai gagasan yang segaja diskenario kan untuk memarjinal kan Islam dari ruang publik. Sementara kelompok yang pro berdalih bahwa sekularism e adalah pilihan terbaik jika ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarann ya.
Seperti kita tahu, gagasan skularisme dalam konteks Barat abad pertengaha n, dikonotasi kan sebagai gagasan untuk menghukum otoritas agama dan mengurungn ya di ruang privat. Dan hal ini beralasan, sebab dosa-dosa agama (baca: Gereja) telah menjadi instrumen dominatif bagi elit politik maupun ekonomi untuk mempertaha nkan “keuntung annya”. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan wataknya sebagai pembela masyarakat lemah.
Meskipun dosa-dosa demikian juga dijumpai dalam lembar sejarah politik Islam (khilafah) , akan tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan .
Dalam Islam tidak ada otoritas tunggal yang memainkan dosa-dosa itu
secara utuh dan terpusat. Pada saat sebagian ulama Islam berkolusi
dengan penguasa, mayoritas ulama tetap setia hidup di tengah dan bersama
rakyat. Di antara mereka ada yang sekadar apatis (uzlah) dari politik kekuasaan, sebagian terus melancarka n kritik, bahkan beberapa dengan tindakan dan gerakan.
Itulah sebabnya, hubungan agama-nega ra di dunia Islam di abad modern, tidak bisa begitu saja dijiplakka n kepada pengalaman dan gagasan Barat, sekularism e. Namun, bukan berarti sekularism e musti ditolak sama sekali dan memilih kembali ke teokratism e, seperti sikap para pengusung ide khilafah. Kita tahu bahwa dalam teokratism e, secara formalitas negara ditaklukka n demi kepentinga n agama, padahal sejatinya, negara ditaklukka n demi kepentinga n elitnya belaka. Namun kita juga tahu, mengkotakk an agama hanya terbatas pada ruang privat dan negara pada ruang publik, juga mengandung mafsadah tersendir i.
Dinamika hubungan agama-nega ra telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban —atau kebiadaban — umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulka n malapetaka besar. Tidak peduli, entah ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengaha n), ketika negara di bawah agama (abad pertengaha n), atau ketika negara terpisah dari agama (abad modern).
Maka jelaslah, dalam tataran praktis konsep teokratism e Islam atupun skularisme Barat, masing-mas ing memiliki nilai plus-minus nya sendiri-se ndiri. Sebagai sikap bijaksana, tentu tidak seharusnya menunjukka n sikap emosional dengan memilih salah satunya dan mencampakk an yang lain, melainkan mengkompro mikan sisi-sisi positifnya dan membenahi sisi-sisi negatifnya . Dalam internal ajaran Islam, kita bisa menggagas pemilahan beberapa tingkatan ajaran yang berimplika si pada pola hubungan agama-nega ra yang ideal.
dan sesuci apapun tawaran-ta waran hukum syariat tersebut tidak dapat diberlakuk an begitu saja sebagai hukum positif. Dalam konteks negara kebangsaan , hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah seperti halnya hukum adat atau hukum-huku m import dari bangsa lain.
Untuk bisa menjadi bagian dari hukum publik, hukum-huku m tersbut harus memenuhi dua syarat.
undangan suatau negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis agama. Bahkan untuk negara modern yang kini telah semakin represif, koruptif, ekploitati f dan tidak perduli dengan nasib masyarakat lemah, maka kontribusi agama-agam a dengan kekayaan nilai-nila i etik dan moralnya sangatlah diperlukan . Kita butuh sekali kontribusi etika sosial Kristiani dengan basis kasihnya terutama bagi mereka yang terpinggir kan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme dengan semangat ahimsa (kelembuta n); etika Budhis dengan etos kesederhan aan; dan etika Islam dengan spirit keadilanny a.
Oleh sebab itu, tidak ada manfaat apapun bagi umat Islam untuk meributkan sistem pemerintah an ataupun bentuk negara, kecuali sekedar untuk trik-trik politik belaka. Jika memang sungguh-su ngguh ingin memberikan kontribusi kepada agama, maka bangunlah negara dan sistem pemerintah an yang demokratis dengan prinsip kemaslahat an dan rahmatan lil ‘alamin. Karena itulah manifesto esensial khilafah dalam pandangan Aswaja.
Eksistensi NKRI dan Pancasila
Semarak wacana formalisas i syariat Islam dan ide khilafah di bumi Nusantara pasca era Reformasi telah sampai pada pro-kontra yang cukup tajam. Ironisnya, sejauh ini nuansa argumentas i yang dibangun kedua pihak terkesan tidak lagi diproyeksi kan untuk berusaha meyakinkan pihak lain, tetapi malah melakukan stigmatisa si satu sama lain. Di mata kelompok pro formalisas i syariat, mereka yang menolak dianggap Islamophob ia. Sementara kelompok yang menolak formalisas i syariat, menuding kelompok pro formalisas i syariat sebagai kelompok yang hendak melakukan politisasi agama.
Untuk menghindar i ketidakefe ktifan polemik ini, di sini akan dipaparkan penjelasan hukum kedaulatan NKRI berdasarka n obyektifit as dalil-dali l ilmiah, yang selanjutny a diharapkan bisa digunakan pertimbang an bersama: masih perlu atau wajibkah mengkonver si NKRI dengan konsep Khilafah Islamiyah? Dan pastinya, setelah mempertimb angkan secara mendalam ekses maslahah dan mafsadahny a?
Dari sudut pandangan agama, kedaulatan pemerintah an NKRI adalah sah. Pandangan ini didasarkan pada setidaknya dua argumen:
pemerintah an NKRI ini bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa dilihat dari terpenuhin ya maqâshidus syari'ah (tujuan-t ujuan syar'i) dari sebuah imâmah (pemerint ahan) Indonesia, yakni demi menjaga kesejahter aan dan kemashlaha tan umum. Terkait dengan ini, Imam Al Ghazali dalam Al'iqtisha d fil 'Itiqad menyataka n, “Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden) , karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudlarat di dunia ini”.[7] Dalam konteks ini, pemerintah an NKRI telah memenuhi tujuan syar'i di atas dengan adanya institusi pemerintah an, kepolisiaa n, pengadilan dan instansi-i nstansi pemerintah lainnya.
Senada dengan Imam Al Ghazali, Al Baidlawi juga berpandang an bahwa, esensi dari pemerintah an adalah menolak kerusakan, dan kerusakan itu tidak dapat ditolak kecuali dengan pemerintah an tersebut. Yaitu sebuah pemerintah an yang melakukan mobilitas pada ketaatan, mencegah kemaksiata n, melindungi kaum lemah, mewujudkan kesejahter aan dan keadilan bagi semua.[8]
Alhasil, menurut Ahlussunna h wal Jama'ah, kedaulatan NKRI adalah pemerintah yang sah. Karena itu, mengkonver si sistem pemerintah an dengan sistem apapun, termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpin an umat Islam internasio nal pada pemimpin tunggal, adalah tidak diperlukan . Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulka n
mudlarat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial,
politik, ekonomi dan keamanan, akibat timbulnya kevakuman pemerintah an atau pemerintah yang tidak mendapatka n dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa.
Adapun gagasan mendirikan khilafah internasio nal, dipastikan tidak memiliki nilai efektifita s dan bertentang an dengan prinsip-pr insip kemaslahat an. Penilaian ini bisa dinalar dari alasan-ala san sebagai berikut:
Khilafah mendunia tidak memiliki akar pijak dalil syar'i yang qath'i
Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah wujudnya pemerintah an yang menjaga kesejahter aan dan kemashlata n dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana bangunan dan sistem pemerintah annya. Karena itu, kita melihat para ulama di berbagai negara di belahan dunia memperbole hkan, bahkan tak sedikit yang ikut terlibat langsung dalam proses membidani pemerintah an di negaranya masing-mas ing.
Persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunna h wal Jama’ah bukanlah bagian dari aqidah
Melainkan termasuk urusan siyayah syar’iyah atau fiqh muamalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintah an, sesuai dengan kondisi ruang dan waktu, serta kenyataan masyarakat nya masing-mas ing dalam mempertimb angkan mashlahah dan mafsadah dari sebuah sistem yang dianutnya.
Membangun pemerintah an agama di suatu wilayah, akan mengancam agama itu sendiri di wilayah lain
Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia, misalnya, sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-dae rah lain, seperti di Irian Jaya, Flores, Bali dan daerah minoritas Muslim lainnya. Daerah-dae rah basis non Muslim akan menuntut hal yang serupa dalam proses penegakkan agamanya masing-mas ing. Di samping itu, mendirikan negara khilafah di Indonesia, juga rawan mengancam integritas
NKRI yang telah dibangun oleh keringat dan darah para pejuang bangsa.
Dan ancaman demikian sudah pernah kita saksikan dalam peristiwa
penghapusa n tujuh kata sila pertama di masa-masa awal kemerdekaa n. Bentuk pemerintah an NKRI adalah wujud dan refleksi kearifan para pemimpin agama di Indonesia, yang menyadari kanyataan keragaman elemen bangsa, dan tidak ingin terjebak pada institusio nalisasi agama yang berbahaya.
Dalam konteks pemahaman seperti inilah kita umat Islam semestinya bisa mafhum, bahwa Pancasila yang menjadi ideologi NKRI adalah sebagai falsafah pemersatu dari keberagama n bangsa. Hidup bersama, bernegara, dan berbangsa dalam lingkungan keragaman masyarakat yang plural secara suku, ras, agama, budaya, dll., imposible dapat diseragamk an dengan satu aturan yang sepihak. Dibutuhkan suatu perangkat aturan sosial yang kompromis yang bisa menjadi titik-temu dan bisa mewadahi aspirasi-a spirasi dari perbedaan- perbedaan dan kepentinga n-kepentin gan semua pihak sebagai pranata dalam berperikem anusiaan dan berperikeh idupan, seperti resolusi Piagam Madinah di era Rasulullah saw.
Sulitnya menilai atas tindakan seorang khalifah
Apakah merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasa n ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-bena r melaksanak an perintah Allah ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaiman a dialami oleh imam madzhab empat pada peristiwa Almihnah. Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan dhalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalanka n hukuman tersebut melakukann ya atas nama agama. Jika demikian yang terjadi, maka nyaris dipastikan ulama Nahdliyyin bakal memenuhi penjara-pe njara di seluruh wilayah Indonesia. Maka dalam konteks seperti inilah negara demokrasi yang tidak sepenuhnya bertentang an dengan ajaran dan nilai-nila i luhur Islam lebih menjamin kemaslahat an dari pada negara agama.
Kondisi mental sosial masyarakat yang tidak siap
Dalam hal melaksanak an syari'at Islam secara totalitas, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. Dan kondisi seperti ini bukanlah suatu dosa yang tak termaafkan , lebih-lebi h boleh divonis kafir. Sebab dalam menjalanka n perintah agama, ada tolok ukur yang disesuaika n dengan kapasitas dan kemampuan, seperti sabda Nabi saw.:
فَإِذَا أَمَرْتُكُ مْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْت ُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُ مْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ
“Maka, apabila aku perintahka n sesuatu kepada kalian, lakukanlah semampu kalian. Dan apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkan lah”. (HR. Bukhari Muslim)
Formalisas i syariat secara totalitas sebagai hukum positif tanpa mempertimb angkan kesiapan umat Islam justeru akan menimbulka n mafsadah terhadap umat Islam sendiri. Di Indonesia, yang kendati Muslim secara kuantitas menempati angka mayoritas, namun secara kualitas keIslaman masih relatif rendah, dipastikan akan banyak orang yang tangannya buntung, atau mati di tangan eksekutor ketika hukuman hudud diformalk an dalam hukum positif. Dan hal ini dikhawatir kan justeru akan menyebabka n banyak umat Islam yang lari tidak mengakui sebagai Muslim, karena ketakutan terhadap sanksi hukum tersebut. Formalisas i syariat di tengah ketidaksia pan umat justeru akan meningkatk an angka Muslim yang murtad, dan ini jelas merugikan umat Islam sendiri yang di Indonesia menduduki level lebih dari 80 persen.
Sederhanan ya, apabila mengingink an Indonesia menjadi negara Islami, Islamikan terlebih dulu bangsanya. Memaksakan pendirian Negara Islam atau formalisas i syariat secara emosianal, tanpa didukung kesiapan mental-sos ial rakyatnya, hanya akan menjadikan
negara tanpa bangsa. Bangsa yang Islami jauh lebih baik dibanding
negara Islami. Jauh lebih penting bagaimana membangun masyarakat sadar hukum, yang bersedia meninggalk an kejahatan pencurian, pembunuhan , dan perzinahan , dari pada ngotot bagaimana bisa menghukum para pencuri, pembunuh dan pezina dengan hukuman potong tangan, qishas, dan rajam.
Ketidakpas tian Teori Syariat yang Diterapkan
Jika memang disepakati ide formalisas i syariat, maka teori syariah manakah yang akan diterapkan ? Apakah model madzhab Wahabi di Saudi Arabia yang memberangu s ajaran-aja ran sebagaiman a amaliah kaum Nahdliyyin , tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya ? Atau madzhab Syiah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancur kan masjid-mas jid Ahlussunna h sebagaiman a yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia? Kemudian pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya pengikut Ahlussunna h atau Nahdliyyin di Indonesia, akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda madzhab dan aqidah tersebut.
Pertimbang an-pertimb angan di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan Khilafah Islamiyah akan membawa konsekuens i tersendiri , bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia, tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan ketegangan dengan elemen bangsa yang lain. Dengan mempertimb angkan pendapat dari Imam Alghazali dan Albaidlawi di atas, maka mengkonver si sistem pemerintah an yang ada, yang secara substansia l tidak betentanga n dengan ajaran Islam, maka tidak diperboleh kan menurut syara’, mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus dibayar oleh pemerintah dan masyarakat . Dalam pandangan Ahlusunnah wal Jama’ah, menghindar i mudlarat jauh lebih penting dari pada menerapkan kebaikan.
دَرْءُ اْلمَفَاسِ دِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِ حِ
“Menghinda ri kerusakan harus dipriorita skan dari pada mengusahak an kemaslahat an”.
Karena itu, menghindar i madlarat yang besar lebih kita utamakan dari pada mendapati sedikit kemaslahat an. Sebaliknya , tidak mendapatka n sedikit kemaslahat an untuk menghindar i mudlarat yang lebih besar merupakan sebuah kemaslahat an yang besar.
KH. MA Sahal Mahfudh menyatakan , sikap NU pada saat Khutbah Iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo Surabaya, 28 Juli 2006: “NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalan formalisti k, lebih-lebi h dengan cara membenturk annya dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakin an bahwa syari’at Islam dapat diimplemen tasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealk an substansi nilai-nila i syari’ah terimpleme ntasi di dalam kehidupan masyarakat ketimbang mengideali sasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudny a nilai-nila i syari’ah di dalam masyarakat ”.
Dalam kaitan ini, sikap NU jelas, keinginan untuk mengkonver si sistem pemerintah an, tidak memiliki akar pijakan syar'i, bahkan bertentang an dengan serangkaia n hasil ijtihad para ulama NU yang dirumuskan di berbagai institusi pengambila n keputusan dan kebijakan tertinggi organisasi . Bagi NU —sejauh ini—, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah formulasi final umat Islam Indonesia dari segala upaya mendirikan negara dan membentuk pemerintah an.
Kesimpulan
Dari diskursus yang telah dikemukaka n di atas, ada beberapa poin penting yang patut kita garis bawahi sebagai kesimpulan :
_______
Disampaika n Oleh:
Mudaimulla h Azza, dalam Dialog Terbuka dengan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), di kabupaten Bojonegoro , tanggal 3 April 2011
__________ __________ __________ __________ _
[1] Ibn Khaldun, Muqaddimah, vol. I hlm. 97.
[2] Al Mawardi, Al Ahkam As-Sulthan iyyah, hlm. 5
[3] Terkait dengan hadits ini, Abu Hatim mengatakan , "dhahir
dari hadits ini, bahwa seseorang yang mati dan ia tidak memiliki imam,
maksudnya imam adalah Nabi saw., karena imam penduduk bumi di dunia
adalah Rasulullah saw. Barang siapa tidak mengetahui imamnya (nabinya), atau meyakini imam lain yang perkataann ya mengalahka n perkataan Nabi saw., lalu ia mati, maka ia mati dalam kondisi jahiliah". Lihat Shahih Ibn Hibban, vol. X hlm. 434
[4] Terkadang, aktivis pro Khilafah juga menyodorka n ayat
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِ كَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً
(QS. Al Baqarah: 30) sebagai dalih kewajiban mendirikan khalifah, dengan mengacu secara redaksiona l kata khalifah dalam ayat tersebut. Perlu diketahui, para Mufassirin memahami kata khalifah itu terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan yang dimaksud khalifah adalah nabi Adam as., dan ada yang mengatakan anak turun nabi Adam as. Penyebutan khalifah kepada nabi Adam pun ulama berbeda pendapat. Satu versi mengatakan karena Adam dijadikan Allah sebagai pengganti (khalifah) bangsa jin (Banul Jan) menjadi penduduk bumi. Versi lain mengatakan , karena Adam menjadi utusan Allah dalam menghukumi makhluk di bumi. Lihat Fakhruddin Arrazi, Mafatihul Ghaib, vol. I hlm. 441
[5] Al Juwaini, Alghiyatsi, hlm. 15
[6] Al Bidayah wan Nihayah 204 : 2001
[7] Imam Al Ghazali, Al 'Iqtishad fil 'Itiqad, 147 th. 1988
[8] Al Baidlawi, Thawali’ al-Anwar wa Mathali’ al-Andlar, 348: 1998
Penghapusa
Eskalasi “kerinduan
Dalam hierarki ijtihad mengembali
Dalam dinamika perjuangan
Di Indonesia,
Sebagai umat Islam, memimpikan
Terlepas dari prinsip kemaslahat
Di sinilah arti pentingnya
Tinjauan Dalil dan Manifesto Khilafah
Dalam literatur fiqh siyasi konvension
Secara hukum, mengangkat
Ayat-ayat yang menginstru
Sedangkan hadits yang familier dilibatkan
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّ
“Barang siapa mati dan pada lehernya tidak ada baiat, maka ia mati dalam kondisi jahiliah”.
مَن مَاتَ وَلَيسَ لَهُ إِمَامٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّ
“Barang siapa mati dan ia tidak memiliki imam, maka ia mati dalam kondisi jahiliah”.
Secara eksplisit,
Sampai di sini kiranya cukup jelas bahwa, mengangkat
Perdebatan
Untuk memberikan
Paradigma sekularist
Paradigma ini memberikan
Paradigma integralis
Dalam perspektif
Paradigma simbiotik
Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan negara bersifat timbal-bal
Sejauh ini, banyak pakar beranggapa
Seperti kita tahu, gagasan skularisme
Meskipun dosa-dosa demikian juga dijumpai dalam lembar sejarah politik Islam (khilafah)
Itulah sebabnya, hubungan agama-nega
Dinamika hubungan agama-nega
Maka jelaslah, dalam tataran praktis konsep teokratism
- Ajaran yang bersifat privat, seperti soal keyakinan (aqidah) kepada Allah, Malaikat, takdir dan hari akhir. Keyakinan-
keyakinan seperti ini adalah urusan yang benar-bena r pribadi. Apa yang diyakini umat Islam tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa diseragamk an antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk intervensi , bahkan tidak punya kemampuan untuk menjangkau nya. - Ajaran keagamaan yang bersifat ritual peribadata
n, seperti shalat, pusa, haji, dll., atau hukum agama tentang keluarga (al`ahwâl asy-syakhs hiyyat), maka negara tidak seharusnya memiliki hak intervensi penuh, kecuali terbatas dalam sekala tertentu. - Ajaran keagaman yang bersifat publik, misalnya ajaran-aja
ran Islam tentang muamalah (perdata), jinayah (pidana) dan siyasah (politik atau pemerintah an). Pada tingkat ajaran, kategori inilah yang terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansia si hukum agama terhadap hukum negara.
Untuk bisa menjadi bagian dari hukum publik, hukum-huku
- Syarat substansia
l, menyangkut isi hukum yang harus beroreinta si pada kepentinga n publik, bukan hanya kepentinga n kelompok tertentu. - Syarat prosedural
, artinya hukum itu dapat meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara demokratis yang juga disepakati oleh publik.
Oleh sebab itu, tidak ada manfaat apapun bagi umat Islam untuk meributkan
Eksistensi
Semarak wacana formalisas
Untuk menghindar
Dari sudut pandangan agama, kedaulatan
- Presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, sistem pemilihan langsung oleh
rakyat sama dengan prosedur pengangkat
an Sahabat Ali ra. dalam menduduki jabatan khalifah ke IV.[6] - Presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat merepresen
tasikan ahlul halli wal ‘aqdi (electoral colledge) dalam konsep Al Mawardi dalam Al Ahkam Assulthani yah.
Senada dengan Imam Al Ghazali, Al Baidlawi juga berpandang
Alhasil, menurut Ahlussunna
Adapun gagasan mendirikan
Khilafah mendunia tidak memiliki akar pijak dalil syar'i yang qath'i
Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah wujudnya pemerintah
Persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunna
Melainkan termasuk urusan siyayah syar’iyah atau fiqh muamalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintah
Membangun pemerintah
Menegakkan
Dalam konteks pemahaman seperti inilah kita umat Islam semestinya
Sulitnya menilai atas tindakan seorang khalifah
Apakah merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasa
Kondisi mental sosial masyarakat
Dalam hal melaksanak
فَإِذَا أَمَرْتُكُ
“Maka, apabila aku perintahka
Formalisas
Sederhanan
Ketidakpas
Jika memang disepakati
Pertimbang
دَرْءُ اْلمَفَاسِ
“Menghinda
Karena itu, menghindar
KH. MA Sahal Mahfudh menyatakan
Dalam kaitan ini, sikap NU jelas, keinginan untuk mengkonver
Kesimpulan
Dari diskursus yang telah dikemukaka
- Dalil-dali
l yang dikemukaka n pihak pro khilafah, tidak bisa diklaim sebagai dalil spesifik (khash) dan eksplisit (sharih) dijadikan pijakan dan landasan syar'i kewajiban mendirikan khilafah dalam pengertian mereka (Negara Islam), melainkan sebatas dalil-dali l yang bersifat umum (‘am) dan mafhum. - Dalil-dali
l yang mewajibkan nashbul imamah (pengangka tan pemimpin), tidak bisa diinterpre tasikan terbatas pada arti figur "khalifah" dan sistem "khilafah" , melainkan memiliki konotasi longgar yang bisa ditafsirka n dengan figur kepala negara, presiden, perdana menteri, khalifah, bahkan raja, dan sebuah sistem teokrasi maupun demokrasi. - Urusan kepemimpin
an (imamah) bukanlah urusan akidah, melainkan urusan fiqhiyah siyasiyah yang terbuka ruang ijtihad untuk mencari bentuk dan formulasi ideal sesuai dengan prinsip kemaslahat an. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa divonis kafir hanya lantaran menolak atau tidak mendukung ide khilafah. - Terbentukn
ya sebuah institusi negara bukanlah tujuan akhir (maqashid), melainkan sebatas sarana (wasa'il) yang netral untuk mengatur ketertiban umum, melindungi dan menyejahte rakan rakyat. Bentuk negara dan sistem pemerintah an apapun yang efektif (maslahah) dan tidak bertentang an dengan maqashidus syari'ah, maka tidak ada keharusan merubahnya , bahkan haram apabila dapat menimbulka n konflik dan kekacauan umum. - Formalisas
i hukum-huku m syariat sebagai konstitusi , akan dihadapkan pada dilema pengakuan teori madzhab Islam tertentu sebagai madzhab resmi negara, dan tidak mengakui teori-teor i madzhab lain, baik madzhab aqidah ataupun fiqh, yang rawan menimbulka n deskrimina si dan penindasan pada madzhab-ma dzhab tidak resmi. Lebih dari itu, formalisas i syariat akan kehilangan nilai efektifita snya (tidak maslahah) jika tanpa didudukung kesiapan mental, sosial dan spiritual rakyatnya. Bahkan, institusi formal tidak menjamin terwujudny a nilai-nila i syariat di tengah masyarakat . Sedangkan nilai-nila i substansia l bisa diwujudkan meskipun tanpa institusi formal. - Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia merupakan bentuk penafsiran
dan pengejawen tahan nilai-nila i luhur ajaran Islam dalam berkeTuhan an dan berkemanus iaan. Falsafah bangsa yang mengandung nilai-nila i tauhid, kemanusiaa n, keadaban, persatuan, kerakyatan , dan keadilan. Kedudukann ya identik dengan Piagam Madinah, sebagai wadah pemersatu kebhinekaa n bangsa. - Sistem demokrasi tidak sepenuhnya
bertentang an dengan Islam, bahkan identik dengan nilai-nila i universal Islam. Seperti prinsip musyawarah , keadilan, persamaan, kebebasan, dll. - Upaya-upay
a mengkonver si pemerintah an NKRI tidak memiliki pijakan absah dalil syar'i, bahkan nyata-nyat a bertentang an dengan asas kemaslahat an. - Manifesto esensial Khilafah Islamiyah dalam pandangan Aswaja adalah sebuah sistem pemerintah
an yang demokratis , maslahah dan rahmatan lil ‘alamien.|KD
Disampaika
Mudaimulla
__________
[1] Ibn Khaldun, Muqaddimah, vol. I hlm. 97.
[2] Al Mawardi, Al Ahkam As-Sulthan
[3] Terkait dengan hadits ini, Abu Hatim mengatakan
[4] Terkadang,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِ
(QS. Al Baqarah: 30) sebagai dalih kewajiban mendirikan
[5] Al Juwaini, Alghiyatsi, hlm. 15
[6] Al Bidayah wan Nihayah 204 : 2001
[7] Imam Al Ghazali, Al 'Iqtishad fil 'Itiqad, 147 th. 1988
[8] Al Baidlawi, Thawali’ al-Anwar wa Mathali’ al-Andlar, 348: 1998