oleh Zon Jonggol
Sebagaiman a yang
disampaika n dalam tulisan pada http:// www.faceboo k.com/ photo.php?f bid=346514 395445508& set=at.107 3590160277 15.15159.1 0000260852 6629.66748 4845 Ulama Ibnu Taimiyyah
mengatakan bahwa dalam
mengartika n seluruh ayat-ayat sifat
menurut dzahirnya itu dianut oleh seluruh orang salaf. Beliau menantang :
"Coba kemukakan satu fatwa dari dari orang salaf yang hidup dalam masa
300thn sesudah Nabi yang berlainan dengan fatwa-ku. Kalau ada,akan ku
rujuk,akan kembali dari
fatwa-fatw a-ku" [ Majmuah ar
Rasail kubra I/417 ]
Contohnya terhadap hadits yang artinya "Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir"
Ulama Ibnu Taimiyyah berpendapa t "Hadits yang disepakati keshahihan nya ini, merupakan dalil yang shahih dan gamblang,
yang menyatakan turunnya Allah
Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa
sepertiga malam terakhir. Turunnya Allah Ta’ala ini sesuai dengan kebesaran dan
keagunganN ya. Turun merupakan
salah satu sifat Fi’liyah. Dia turun ketika Dia menghendak i dan kapan saja Dia menghendak i. Arti turun telah diketahui, tetapi bagaimana keadaan turunNya itu tidak
diketahui,
mengimanin ya merupakan
kewajiban, sedangkan bertanya
mengenainy a adalah bid’ah”.
(Syarh al-Aqidah al-Wasithi yah
li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, Sa’id bin Ali bin Wahf
al-Qathani y)
Ulama Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah ”
sebagaiman a yang termuat
contohnya pada http:// amazbinabid in.blogspo t.com/ 2008/12/ keadaan-ars y-ketika-a llah-turun -ke.html menuliskan "berimanlah anda terlebih dahulu
bahwa Allah turun pada waktu yang telah ditentukan . Jika anda telah percaya maka tidak ada masalah
setelah itu, jangan anda menanyakan “Bagaimana caranya?” tapi katakanlah : jika waktu sepertiga malam terakhir ada di
Saudi, maka Allah tetap turun dan jika di Amerika sepertiga malam, maka Allah
tetap turun juga. Kemudian jika fajar telah tiba maka habislah waktu turunnya
Allah berdasarka n waktu
setempat.
Imam Malik bin Anas ra menghadapi hadits ”Allah turun disetiap sepertiga
malam” adalah, yanzilu amrihi (turunnya perintah dan rahmat Allah)
pada setiap sepertiga malam adapun Allah Azza wa Jalla adalah tetap tidak
bergeser dan tidak berpindah, maha
suci Allah yang tiada tuhan selainNya.
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, Habib Munzir
menyampaik an
***** awal kutipan ****
Maksudnya bukan secara makna yang dhohir Allah itu ke langit yang terdekat dengan bumi, karena justru hadits ini merupakan satu dalil yang menjawab orang yang mengatakan bahwa
Allah Subhanahu wa Ta'ala itu ada di satu tempat atau ada di Arsy.
Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah. Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi
syai’un” (Allah tidak sama dengan segala sesuatu) (QS Assyura
11)
Allah Subhanahu wa Ta'ala turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam
terakhir.
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari.. , kalau malam dibagi
3, sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih, sampai sebelum adzan subuh
itu sepertiga malam terakhir, waktu terbaik untuk berdoa dan
bertahajju d. Disaat saat itu
kebanyakan para kekasih lupa
dengan kekasihnya . Allah menanti
para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi Yang Maha Berkasih Sayang
menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang
Maha Abadi. Mengorbank an waktu
istirahatn ya beberapa menit
untuk menjadikan bukti cinta dan
rindunya kepada Allah.
***** akhir kutipan *****
Benarkah Salafush Sholeh mengatakan bahwa terhadap ayat-ayat
mutasyabih at tentang sifat
dipahami dengan makna dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat atau memahaminy a dengan metodologi "terjemahk an saja" dari sudut arti bahasa (lughot) dan
istilah (terminolo gi) saja ?
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-had its yang di dalamnya ada
sifat-sifa t Allah? Maka semuanya
berkata kepadaku: “Biarkanla h ia
sebagaiman a ia datang tanpa
tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyalla hu anhu mengatakan :
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsiranny a adalah
bacaannya (tilawahny a) dan diam
daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyalla hu anhu ingin memalingka n kita dari mencari makna zhahir dari ayat-ayat
sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu : tafsiranny a adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti
huruf-perh urufnya, bukan maknanya,
bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-laf azh
ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqo dkan berdasarka n maknanya secara zhahir karena akan
terjerumus kepada jurang tasybih
(penyerupa an), sebab
lafazh-laf azh ayat sifat sangat
beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-laf azh
ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan
ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki
kompetensi di dalamnya adalah
agar mengimanin ya dan tidak
–secara mendetail–
membahasny a dan
membicarak annya. Sebab bagi orang yang
tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan
tasybîh”
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat
mutasyabih at tentang sifat dengan
makna dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu
‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi
Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis
mutasyabih at, karena hal itu
salah satu pangkal kekufuran” .
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi”
mengatakan “Ia
(ayat-ayat
mutasyabih at) memiliki
makna-makn a khusus yang berbeda
dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa
sebagaiman a makna yang selama
ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan
sifat-sifa t benda dan
anggota-an ggota badan adalah
mereka yang mengingkar i Allah Azza wa
Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka
mengingkar i Pencipta mereka
(Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat
kita ketahui bahwa
- Barangsiap a
mengi’tiqa dkan
(meyakinka n) bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaiman a tangan makhluk (jisim-jis im lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang
yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiap a
mengi’tiqa dkan
(meyakinka n) bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan
makhluk (jisim-jis im lainnya), maka
orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhn ya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti
jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat
mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa
Ta’ala kecuali Dia
Allah Azza wa Jalla ada sebagaiman a sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaiman a sebelum diciptakan langit, sebagaiman a sebelum diciptakan ciptaanNya . Dia tidak berubah dan tidak pula
berpindah. Dia ada
sebagaiman a awalnya dan
sebagaiman a akhirnya. Dia dekat
tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak juga tidak berarah. Tidak berlaku kanan,
kiri, atas, bawah, depan, belakang bagiNya. Dia tidak serupa dengan apapun
sebagaiman a firmanNya dalam (QS
Assyura [42]:11)
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturid i: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah
menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahka n mereka kemana yang Ia
kehendaki, dan
sesungguhn ya sangkaan seseorang
bahwa mengangkat pandangan ke
langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan
seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan
juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/ barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika
Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid - 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Ny a, orang itu menghadap
ke langit (dengan tangan), sebagaiman a orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah
demikian itu karena Allah di langit, sebagaiman a bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah,
karena sesungguhn ya langit itu
qiblat orang berdoa sebagaiman a bahwa
sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal
:22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalan i berkata: “Ibnu Batthal berkata:
sesungguhn ya langit itu qiblat
doa, sebagaiman a Ka’bah itu qiblat
Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhn ya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal
170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika
dipertanya kan, ketika adalah
kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud
mengangkat tangan dalam doa ke
arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthu syi :
Pertama: sesungguhn ya
angkat tangan ketika doa itu permasalah an ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat,
dan meletakkan dahi di bumi
dalam sujud, serta mensucikan Allah
dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka
Allah memberikan perkara itu
kepada Malaikat, dan Malaikat-l ah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang
diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para
Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi
perkara-pe rkara mulia tersebut,
dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentinga n ke langit, dan orang-oran g berdoa pun menunaikan ke atas langit”[It tihaf, jilid 5, hal 244]
Begitupula hadits
tentang Isra Mi'raj tidak satupun yang dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
mi'raj atau berpergian ke tempat Allah
Azza wa Jalla.
Dan telah menceritak an
kepada kami Ibnu Numair telah menceritak an kepada kami Abu Usamah telah
menceritak an kepada kami
Zakariya’ dari Ibnu Asywa’ dari Amir dari Masruq dia berkata, “Aku berkata
kepada Aisyah, ‘Lalu kita apakah firman Allah: ‘(Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka
jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat
(lagi). Lalu dia menyampaik an
kepada hambaNya (Muhammad) apa
yang telah Allah wahyukan) ‘ (Qs. an-Najm: 8-10). Aisyah menjawab, ‘(Yang
dimaksud ayat tersebut) adalah Jibril. Dia mendatangi Rasulullah dalam bentuk seorang laki-laki, dan pada kesempatan ini, dia mendatangi beliau dalam bentuknya yang
sesungguhn ya, sehingga dia menutupi
ufuk langit’.” (HR Muslim 260)
Berikut penjelasan
ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi
Maliki. Kami kutipkan dari terjemahan kitab beliau yang aslinya berjudul “Wa huwa bi
al’ufuq al-a’la” diterjemah kan
oleh Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril
‘alaihissa lam”
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai
naik-turun nya
Rasulullah , seorang muslim tidak boleh
menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal
itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahka n kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi
shallallah u alaihi wasallam pada
malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi
beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta
alaihissal am, ketika ditelan hiu
dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah
ta’ala dengan ciptaan-Ny a,
ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakter batasannya dan ketidakter tangkapnya . Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi
Yunus alaihissal am sejauh
perjalanan enam ribu tahun. Hal
ini disebutkan oleh al Baghawi dan
yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi
Shallallah u walaihi wasallam
naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukka n kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan
beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertia n ini dikuatkan dengan dinaikkann ya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan
dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa
untuk mengangkat beliau tanpa
menggunaka n buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah bahwa
bolak-bali knya Nabi Muhammad
shallallah u alaihi wasallam
antara Nabi Musa alaihissal am
dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti
adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan
sesuci-suc inya.
Ucapan Nabi Musa alaihissal am kepada beliau, “Kembalila h kepada Tuhanmu,” artinya:
“kembalila h ke tempat engkau
bermunajat kepada Tuhanmu. Maka
kembalinya Beliau adalah dari
tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissal am ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon
tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu
karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka
kembalinya Nabi Muhammad
Shallallah u alaihi wasallam
kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu
dibandingk an dengan yang lain.
Sebagaiman a lembah Thursina
adalah tempat permohonan Nabi
Musa alaihissal am di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallah u alaihi wasallam dan
Nabi Yunus alaihissal am ketika ditelan
oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam
kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci
dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkir ah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin
al-’Arabi al Maliki mengatakan ,
‘Telah mengabarka n kepadaku
banyak dari sahabat-sa habat kami
dari Imam al-Haramai n Abu al
Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah
Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia
ditanya lagi, “Apa yang ditunjukka n oleh hadits ini?” Ia menjawab,
“Sesungguh nya Yunus bin Matta
alaihissal am
menghempas kan dirinya kedalam
lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam
kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci
Engkau, Sesungguhn ya aku
termasuk orang-oran g yang
zhalim,” sebagaiman a Allah
ta’ala memberitak an tentang dia.
Dan ketika Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau
dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak
Qalam dan bermunajat kepada
Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan
apa yang Ia wahyukan kepadanya,
tidaklah Beliau shallallah u
alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingk an Nabi Yunus alaihissal am yang berada dikegelapa n lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat
dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang
tersembuny i atasNya, keadaan
mereka bagaimanap un mereka
bertindak, tanpa ada jarak antara Dia
dengan mereka“.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkakn ya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam
yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaiman a Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban
‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang
mengetahui yang gaib dan yang
nyata. Ia mengetahui segala sesuatu
dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol , Kabupaten Bogor 16830
Contohnya terhadap hadits yang artinya "Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir"
Ulama Ibnu Taimiyyah berpendapa
Ulama Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah
Imam Malik bin Anas ra menghadapi
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah
***** awal kutipan ****
Maksudnya bukan secara makna yang dhohir Allah itu ke langit yang terdekat dengan bumi, karena justru hadits ini merupakan satu dalil yang menjawab orang yang mengatakan
Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah. Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi
Allah Subhanahu wa Ta'ala turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari..
***** akhir kutipan *****
Benarkah Salafush Sholeh mengatakan
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-had
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyalla
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsiranny
Sufyan bin Uyainah radhiyalla
Terhadap lafazh-laf
Terhadap lafazh-laf
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal
- Barangsiap
- Barangsiap
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan
Allah Azza wa Jalla ada sebagaiman
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturid
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Ny
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalan
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhn
Pertama: sesungguhn
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan
Begitupula
Dan telah menceritak
Berikut penjelasan
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan
Naik dan turun itu hanya dinisbahka
Nabi Muhammad shallallah
Apabila anda telah mengetahui
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah
Ucapan Nabi Musa alaihissal
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallah
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkir
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkakn
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol , Kabupaten Bogor 16830