Kaum Yahudi yang sekarang dikenal sebagai kaum Zionis
Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier adalah pengikut syiatan dan dimurkai
oleh Allah Azza wa Jalla. Mereka meneruskan keyakinan pagan (paganisme) atau penyembah berhala
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “
Dan setelah datang kepada
mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka,
sebahagian dari
orang-orang yang diberi kitab
(Taurat) melemparkan kitab Allah
ke belakang (punggung)nya,
seolah-olah mereka tidak
mengetahui (bahwa itu adalah
kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
syaitan-syaitan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya
syaitan-syaitan lah yang kafir
(mengerjakan sihir).” (QS
Al Baqarah [2]:101-102)
Allah ta’ala menyampaikan
dalam firmanNya yang arti “
yaitu orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di
antara mereka yang dijadikan kera dan babi.” (QS
al-Ma’idah [5]:60)
Kaum Yahudi atau yang dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi sebagai
pengikut syaitan maka mereka berupaya menyesatkan umat manusia, contohnya kepada kaum Nasrani
Kaum Nasrani, Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti “
Dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum
kedatangan Muhammad) dan mereka
telah menyesatkan
kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari
jalan yang lurus.” (QS al-Ma’idah: [5]:77)
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin
Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya
kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam
tentang orang-orang yang
dimurkai“, beliau bersabda,
‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda
yang artinya “
Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman
tanganNya, tidaklah mendengar
dari hal aku ini seseorangpun dari
ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau
beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Kaum Nasrani berkeyakinan bahwa mereka merasa mengikuti agama yang dibawa
Nabi Isa ‘Alaihi Salam padahal kenyataannya mereka mengikuti apa yang
disampaikan oleh Paulus, Yahudi dari
tarsus yang mengaku sebagai pengikut Rasul atau pengikut Nabi Isa ‘Alaihi
Salam
Paulus dijadikan seorang Santo (orang suci) oleh seluruh gereja yang
menghargai santo, termasuk
Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan Anglikan, dan beberapa
denominasi Lutheran. Dia berbuat
banyak untuk kemajuan Kristen di antara para orang-orang bukan Yahudi, dan dianggap sebagai salah satu
sumber utama dari doktrin awal Gereja, dan merupakan pendiri
kekristenan bercorak Paulin
(bercorak Paulus). Surat-suratnya menjadi bagian penting
Perjanjian Baru.
Firman Allah ta’ala yang artinya “
Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua,
agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa
pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka
(masing-masing).” (QS Al Mu’minun
[23] : 52-53)
Kaum Zionis Yahudi menyesatkan kaum Nasrani salah satu contohnya adalah
menempatkan Tuhan di surga dan
yang dekat dengan manusia adalah Yesus orang yang diserupakan dengan nabi Isa as sebagai putera Tuhan.
Firman Allah ta’ala yang artinya
Dan karena ucapan mereka : “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, “Isa putra
Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang
diserupakan dengan ‘Isa bagi
mereka. Sesungguhnya
orang-orang yang
berselisih paham tentang
(pembunuhan) ‘Isa,
benar-benar dalam
keragu-raguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu,
kecuali mengikuti persangkaan belaka,
mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa. (QS An
Nisaa [4]:157)
Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS An Nisaa [4]:158)
Ayat ini adalah sebagai bantahan terhadap anggapan
orang-orang Yahudi, bahwa mereka telah
membunuh Nabi ‘Isa a.s.
Kaum Zionis Yahudi tentu berupaya pula untuk
menyesatkan kaum muslim, salah
satu contohnya dengan paham sekulerisme, pluralisme dan liberalisme sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/30/2010/01/18/sekularisme-pluralisme-dan-liberalisme/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/30/2012/01/15/bisa-terjerumus-sekulerisme/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/30/2012/03/04/paham-sekulerisme/
Contohnya paham Sekulerime pada hakikatnya adalah paham yang
menghindarkan manusia dalam kehidupannya me”referensi” kepada Allah ta'ala
Paham Sekulerisme
menyudutkan atau
menempatkan Allah ta’ala di
tempat yang tinggi dan menyerahkan “urusan dunia” kepada manusia di muka bumi.
Kaum Zionis Yahudi bertujuan menjadikan mereka sebagai pemimpin atau raja manusia di muka
bumi dengan konsep “the new world order” atau “tatanan dunia baru”. Mereka
menjadikan Amerika yang
merupakan representatif dari kaum
Zionis Yahudi sebagai pemimpin.
Dengan penguasaan
mereka dalam militer, farmasi dan bidang-bidang lainnya, mereka merasa berhak
menentukan mana manusia yang berhak
hidup maupun diakhiri hidupnya (dibunuh).
Hal ini telah mereka perlihatkan ketika mereka melenyapkan ras suku Indian dari benua Amerika.
Ditengarai Amerika melakukan
pemusnahan masal dan perang
biologi melalui penyebaran
kuman-kuman dan
penyakit-penyakit terhadap penduduk
asli, suku Indian.
Beberapa data yang tertuang dalam The Atlas of the North American
Indian, and the Conspiracy of
Pontiac and the Indian War after the Conquest of Canada,
menunjukkan
bahwaJenderal Amherts, telah
“menyetujui”
pendistribusian selimut dan sapu
tangan yang telah terkontaminasi
bibit cacar untuk digunakan sebagai alat perang wabah penyakit terhadap Indian
Amerika. Bahkan ada bukti tertulis berupa surat yang ditulis sendiri oleh
Jeffrey Amherst. Dalam suratnya kepada Kolonel Henry Bouquet, Komandan angkatan
bersenjata Inggris, Jenderal
Amherts bertanya : “Tidak bisakah diatur suatu cara bagi
pengiriman bibit campak kepada
suku-suku Indian yang tidak menyenangkan itu? Dalam hal ini kita harus
menggunakan berbagai strategi
untuk dapat mengurangi jumlah
mereka.” Bouquet menjawab, “Saya akan mencoba untuk menularkan penyakit tersebut kepada mereka melalui
selimut-selimut yang akan jatuh
ke tangan mereka dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak ikut
tertular.”.
Bagi kaum Zionis Yahudi, manusia yang paling pandai atau paling unggul
adalah Tuhan dan berhak memimpin serta mengatur kehidupan seluruh manusia di
muka bumi. Bagi mereka Tuhan kaum beragama hanyalah persepsi akal manusia
belaka. Naudzubillah min zalik.
Contoh lainnya kaum Zionis Yahudi menyesatkan kaum muslim dengan mengajak kaum muslim memaknai
Al Qur’an dan As Sunnah dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahami dengan
“terjemahkan saja” yakni
memahami dari sudut arti bahasa (lughot) dan isitilah
(terminologi) saja
sebagaimana
kompetensi yang dikuasai oleh
kaum Zionis Yahudi yang diperlukan untuk menghasut kaum muslim atau
melancarkan ghazwul fikri
(perang pemahaman) sehingga
timbul perselisihan karena perbedaan
pemahaman.
Padahal untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak cukup dengan arti
bahasa. Diperlukan
kompetensi menguasai alat bahasa
seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’). Apalagi jika ingin
menetapkan
hukum-hukum syara’
bedasarkan dalil syar’i
diperlukan
penguasaan ilmu ushul fiqih.
Penjelasan tentang hal ini telah
disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/10/07/tak-cukup-arti-bahasa/
Kaum Zionis Yahudi ditengarai menyesatkan kaum muslim bahwa Tuhan berada atau bertempat di
langit atau bertempat di atas ‘Arsy , salah satu contohnya dengan memahami
hadits kisah budak Jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang
diriwayatkan oleh Muawiyah bin
al-Hakam as-Sulami secara makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahaminya dengan arti bahasa semata.
Tentulah kaum muslim tidak menolak hadits seperti hadits kisah budak
jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami
Hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang ketika itu baru masuk Islam.
Dapat diketahui dari ungkapannya
“Lalu aku mengucapkan,
‘Yarhamukallah (semoga Allah
memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan
pandangannya kepadaku. Aku
berkata, Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku? Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu
barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam”
Hal pokok yang disampaikan oleh hadits terebut adalah pada bagian perkataan
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yang
artinya, “Sesungguhnya shalat
ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih,
takbir dan membaca al-Qur’an.”
Hadits tersebut khususnya pada bagian kisah budak Jariyah dikatakan
syadz untuk dijadikan landasan menyangkut masalah akidah (i’tiqod) karena tidak dapat
dikatakan “di mana” atau bagaimana bagi Allah Azza wa Jalla.
Begitupula hadits tersebut tidak
diletakkan dalam bab tentang iman
(i’tiqod) namun pada bab tentang sholat.
Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal.
24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus
syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina
Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah,
karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk
menanyakan kedudukan atau
derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’
diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi)
Imam Sayyidina Ali ra berkata: “
Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di
mana (pertanyaan tentang
tempat), dan yang menciptakan
kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak
boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221: “
Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap
rahasia-rahasia ketuhanan itu
terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini?
Sebagaimana tidak boleh juga
mengalamatkan kepada
keberadaan Dzat-Nya: Di
mana?.”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ”
Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang
Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih
payah, dan kreasi-kreasi yang
mampu menggambari-Nya, atau
menolak dengan perbuatan-Nya
atau kekurangan dan aib. Karena,
tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan
apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
Ù‚ُÙ„ْتُ: أرَأيْتَ Ù„َÙˆْ Ù‚ِÙŠْÙ„َ أيْÙ†َ اللهُ؟ ÙŠُÙ‚َالُ Ù„َÙ‡ُ: Ùƒَانَ اللهُ
تَعَالَÙ‰ Ùˆَلاَ Ù…َÙƒَانَ Ù‚َبْÙ„َ أنْ ÙŠَØ®ْÙ„ُÙ‚َ الْØ®َÙ„ْÙ‚َ، ÙˆَÙƒَانَ اللهُ تَعَالَÙ‰ ÙˆَÙ„َÙ…ْ ÙŠَÙƒُÙ†ْ أيْÙ† Ùˆَلاَ Ø®َÙ„ْÙ‚ٌ
Ùˆَلاَ Ø´َىءٌ، ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ø®َالِÙ‚ُ ÙƒُÙ„ّ Ø´َىءٍ.
“
Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah
Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum
segala makhluk-Nya ada. Allah ada
tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu
apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha:
5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa),
Beliau berkata “
Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya
waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala
penghabisan, dan Dia tidak
membutuhkan kepada segala tempat dan
arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Jadi kaum muslim bukannya menolak hadits kisah budak Jariyah namun
untuk ayat-ayat mutasyabihat
menolaknya
memaknainya secara
dzahir/harfiah/tertulis/tersurat
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat
mutasyabihat tentang sifat dengan
makna dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu
‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi
Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”,
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis
mutasyabihat, karena hal itu
salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi”
mengatakan “Ia
(ayat-ayat
mutasyabihat) memiliki
makna-makna khusus yang berbeda
dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa
sebagaimana makna yang selama
ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan
sifat-sifat benda dan
anggota-anggota badan adalah
mereka yang mengingkari Allah Azza wa
Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat
Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-orang kafir”. Seseorang
bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka?
Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena
pengingkaran. Mereka
mengingkari Pencipta mereka
(Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil
Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat
kita ketahui bahwa
- Barangsiapa
mengi’tiqadkan
(meyakinkan) bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang
yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiapa
mengi’tiqadkan
(meyakinkan) bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan
makhluk (jisim-jisim lainnya), maka
orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti
jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat
mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa
Ta’ala kecuali Dia
Sedangkan hadits tentang Isra Mi'raj tidak satupun yang dapat dipahami
bahwa Nabi Muhammad Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
mi'raj atau berpergian ke tempat Allah
Azza wa Jalla.
Dan telah menceritakan
kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami Abu Usamah telah
menceritakan kepada kami
Zakariya’ dari Ibnu Asywa’ dari Amir dari Masruq dia berkata, “Aku berkata
kepada Aisyah, ‘Lalu kita apakah firman Allah: ‘(Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka
jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat
(lagi). Lalu dia menyampaikan
kepada hambaNya (Muhammad) apa
yang telah Allah wahyukan) ‘ (Qs. an-Najm: 8-10). Aisyah menjawab, ‘(Yang
dimaksud ayat tersebut) adalah Jibril. Dia mendatangi Rasulullah dalam bentuk seorang laki-laki, dan pada kesempatan ini, dia mendatangi beliau dalam bentuknya yang
sesungguhnya, sehingga dia menutupi
ufuk langit’.” (HR Muslim 260)
Berikut penjelasan
ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi
Maliki. Kami kutipkan dari terjemahan kitab beliau yang aslinya berjudul “Wa huwa bi
al’ufuq al-a’la” diterjemahkan
oleh Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril
‘alaihissalam”
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat
keterangan mengenai
naik-turunnya
Rasulullah, seorang muslim tidak boleh
menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal
itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi
shallallahu alaihi wasallam pada
malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi
beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta
alaihissalam, ketika ditelan hiu
dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah
ta’ala dengan ciptaan-Nya,
ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi
Yunus alaihissalam sejauh
perjalanan enam ribu tahun. Hal
ini disebutkan oleh al Baghawi dan
yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi
Shallallahu walaihi wasallam
naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan
beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan
dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa
untuk mengangkat beliau tanpa
menggunakan buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah bahwa
bolak-baliknya Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam
antara Nabi Musa alaihissalam
dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti
adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan
sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya:
“kembalilah ke tempat engkau
bermunajat kepada Tuhanmu. Maka
kembalinya Beliau adalah dari
tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon
tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu
karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka
kembalinya Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam
kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu
dibandingkan dengan yang lain.
Sebagaimana lembah Thursina
adalah tempat permohonan Nabi
Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu
tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau
shallallahu alaihi wasallam dan
Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan
oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam
kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci
dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin
al-’Arabi al Maliki mengatakan,
‘Telah mengabarkan kepadaku
banyak dari sahabat-sahabat kami
dari Imam al-Haramain Abu al
Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah
Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia
ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?” Ia menjawab,
“Sesungguhnya Yunus bin Matta
alaihissalam
menghempaskan dirinya kedalam
lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam
kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci
Engkau, Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang
zhalim,” sebagaimana Allah
ta’ala memberitakan tentang dia.
Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau
dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak
Qalam dan bermunajat kepada
Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan
apa yang Ia wahyukan kepadanya,
tidaklah Beliau shallallahu
alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat
dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang
tersembunyi atasNya, keadaan
mereka bagaimanapun mereka
bertindak, tanpa ada jarak antara Dia
dengan mereka“.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam
yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban
‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang
mengetahui yang gaib dan yang
nyata. Ia mengetahui segala sesuatu
dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830