oleh Zon Jonggol
Al-Hafizh al-Bayhaqi
dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatk an bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: Suatu saat
ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang
menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa,
bagaimanka h Istawa Allah? Lalu
al-Imam Malik menundukan kepala
hingga badanya bergetar dan mengeluark an keringat. Kemudian beliau berkata:
“al-Istiwa ’ telah jelas
-penyebuta nnya dalam
al-Qur’an-
(al-Istiwa Ghair Majhul), dan
“Bagaimana (sifat benda)” tidak
logis dinyatakan kepada Allah
(al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan
mempermasa lahkan masalah
al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain
kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik menyuruh
murid-muri dnya untuk
mengeluark an orang tersebut dari
majelisnya . Al-Imam
al-Bayhaqi berkata: “Selain dari
al-Imam Malik, pernyataan serupa
juga diungkapka n oleh Rabi’ah
ibn Abd ar-Rahman, guru dari
al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat , h. 408).
Imam Malik ra marah dikarenaka n orang tersebut bertanya
"Bagaimanak ah Istawa
Allah ?"
Jika orang bertanya "Bagaimanak ah Istawa Allah" maka orang tersebut telah
memaknai secara dzahir/ harfiah/ tertulis/ terulis dari sifat istawa atau
bersemayam Allah yakni berada atau
bertempat atau duduk.
Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupa an Allah dengan makhluk-Ny a), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini
sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h.
22).
Jadi orang tersebut dimarahi oleh Imam Malik ra karena mempertany akan Istawa dengan kata
“Bagaimana?". Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut,
sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna
dzahirnya, maka tentu Imam Malik
ra tidak membantah dan tidak mengusirny a.
Allah ta'ala Maha Mendengar dan Allah ta'ala Maha Melihat namun tidak boleh ditanyakan bagiamana Allah
ta'ala mendengar atau bagaimana Allah ta'ala melihat.
Imam Sayyidina Ali ra berkata “Sesungguhn ya yang menciptaka n ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di
mana (pertanyaa n tentang
tempat), dan yang menciptaka n
kayfa (sifat-sif at makhluk) tidak
boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Ibnu Hajar al Asqallรขni dalam Fathu al Bรขri-nya,1 /221: “Karena sesungguhn ya jangkauan akal terhadap
rahasia-ra hasia ketuhanan itu
terlampau pendek untuk menggapain ya, maka tidak boleh dialamatka n kepada ketetapan- Nya: Mengapa dan bagaimana begini?
Sebagaiman a tidak boleh juga
mengalamat kan kepada
keberadaan Dzat-Nya: Di
mana?.”
Imam al Qusyairi menyampaik an, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang
Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih
payah, dan kreasi-kre asi yang
mampu menggambar i-Nya, atau
menolak dengan perbuatan- Nya
atau kekurangan dan aib. Karena,
tak ada sesuatu yang menyerupai -Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan
apa pun tidak ada yang mengalahka n-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan :
ُْููุชُ: ุฃุฑَุฃْูุชَ َْูู َِْููู ุฃَْูู ุงُููู؟ َُููุงُู َُูู: َูุงَู ุงُููู ุชَุนَุงَูู َููุงَ ู ََูุงَู َูุจَْู ุฃْู َูุฎَُْูู ุงْูุฎََْูู، ََููุงَู ุงُููู ุชَุนَุงَูู ََููู
ْ َُْููู ุฃْูู َููุงَ ุฎٌَْูู
َููุงَ ุดَูุกٌ، ََُููู ุฎَุงُِูู ُّูู ุดَูุกٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Ny a ada. Allah ada
tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu
apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
Imam Asy Syafi’i ~rahimahul lah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha:
5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa),
Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya
waktu, Dia Maha Suci dari batasan-ba tasan (bentuk) dan segala
penghabisa n, dan Dia tidak
membutuhka n kepada segala tempat dan
arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Sedangkan hadits kisah budak jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatk an oleh Muawiyah bin
al-Hakam as-Sulami tidak dapat dipergunak an sebagai landasan dalam i’tiqod.
Hadits tersebut diriwayatk an oleh perawi yang ketika itu baru masuk Islam.
Dapat diketahui dari ungkapanny a
“Lalu aku mengucapka n,
‘Yarhamuka llah (semoga Allah
memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan
pandangann ya kepadaku. Aku
berkata, Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototi ku? Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu
barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam”
Hal pokok yang disampaika n oleh hadits terebut adalah pada bagian perkataan
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam yang
artinya, “Sesungguhn ya
shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan
membaca al-Qur’an.”
Hadits tersebut khususnya pada bagian kisah budak Jariyah dikatakan syadz untuk dijadikan landasan menyangkut masalah akidah (i’tiqod) karena tidak dapat
dikatakan “di mana” atau bagaimana bagi Allah Azza wa Jalla.
Begitupula hadits tersebut tidak
diletakkan dalam bab tentang iman
(i’tiqod) namun pada bab tentang sholat.
Imam Nawawi (w. 676 H/ 1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal.
24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahah i Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus
syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina
Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah,
karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk
menanyakan kedudukan atau
derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunga nmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’
diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi)
Dan telah menceritak an
kepada kami Ibnu Numair telah menceritak an kepada kami Abu Usamah telah
menceritak an kepada kami
Zakariya’ dari Ibnu Asywa’ dari Amir dari Masruq dia berkata, “Aku berkata
kepada Aisyah, ‘Lalu kita apakah firman Allah: ‘(Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka
jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat
(lagi). Lalu dia menyampaik an
kepada hambaNya (Muhammad) apa
yang telah Allah wahyukan) ‘ (Qs. an-Najm: 8-10). Aisyah menjawab, ‘(Yang
dimaksud ayat tersebut) adalah Jibril. Dia mendatangi Rasulullah dalam bentuk seorang laki-laki, dan pada kesempatan ini, dia mendatangi beliau dalam bentuknya yang
sesungguhn ya, sehingga dia menutupi
ufuk langit’.” (HR Muslim 260)
Dari Masruq dia berkata, “Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-bu ru, (dengarlah kata-katak u ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah
berfirman: walaqad raaahu
bialufuqi almubiini (QS at Takwir [81]:23) dan Firman Allah lagi: walaqad raaahu
nazlatan ukhraa (QS An Najm 53]:13) Maka Aisyah menjawab, ‘Aku adalah orang yang
pertama bertanya kepada Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam. mengenai perkara ini dari kalangan
umat ini. Beliau telah menjawab dengan bersabda: Yang dimaksud ‘dia’ dalam ayat
itu adalah Jibril (bukan Allah), “aku tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk
asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari langit dalam keadaan
yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara lagit dan bumi.” (HR Muslim
259)
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi) , Pakar tafsir, al
Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al
Muhith mengatakan : “Yang
dimaksud ู
َّู ِูู ุงูุณَّู
َุงุก (man fissama-i) dalam ayat tersebut (QS Al-Mulk [67]:16) adalah
malaikat”. Ayat tersebut tidak
bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan ‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam
ayat tadi berarti malaikat bukan berarti Allah berada dan bertempat di
langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahul lah mengatakan : “Yang dimaksud ู
َّู ِูู ุงูุณَّู
َุงุก (man
fissama-i) dalam ayat tersebut
adalah kekuasaan/ kerajaan dan
qudrat-Nya
(Shulthoni hi wa qudratihi ) jadi
yang di langit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthoni hi wa qudratihi) bukan dzat Allah.
Nabi Musa as tidak pernah mengatakan bahwa Allah ta'ala berada atau bertempat di langit
ataupun berada atau bertempat di atas Arsy.
Nabi Musa as contohnya mengatakan sebagaiman a yang termuat dalam firmanNya yang artinya "Tuhan
Yang memelihara langit dan bumi" (QS
Al Israa [17]:102)
Arsy diciptakan untuk
menunjukka n kekuasaan Allah Azza
wa Jalla sehingga tidak ada yang patut dijadikan Raja Manusia
sebagaiman a firmanNya
malikinnaa s, “Raja manusia”
(QS An Naas [114]:2)
Rasulullah bersabda “wa
Robbal ‘arsyil ‘azhiimii” , “Tuhan
yang menguasai ‘Arsy” (HR Muslim 4888)
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhn ya Allah menciptaka n ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk
menampakka n
kekuasaan- Nya bukan untuk
menjadikan nya tempat bagi
DzatNya”
Fir'aun berkeyakin an
bahwa dirinya adalah Tuhan dan menurut Fir'aun setiap yang ada pastilah mepunyai
tempat padahal Tuhan tidak serupa dengan apapun sebagaiman a firmanNya dalam (QS Assyura [42]:11) dan memang
makhlukNya
membutuhka n atau berbatas atau
dibatasi oleh tempat.
Allah ta'ala tidak membutuhka n atau berbatas atau dibatasi oleh tempat. Allah
Maha Kuasa tidak ada satupun yang kuasa membatasiN ya.
Jadi sebagaiman a pula
yang telah disampaika n dalam tulisan
pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/10/25/ bersemayam- bukan-bert empat/ bahwa istawa atau
bersemayam sebaiknya tidak
dimaknai secara dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat sebagai berada atau bertempat atau bahkan
duduk namun kita gunakan makna bathin/ majaz/ kiasan/ tersirat dari istawa atau
bersemayam yakni terkait dengan hati
(qalb)
Imam Sayyidina Ali r.a. menyampaik an bahwa qalb mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-i slaam). Hal ini
sebagaiman a firman Allah Subhanahu wa
ta’ala, ‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk
Islam….” (QS Az Zumar [39] :22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiama na
firman-Nya , “Mereka itulah yang
ditulis dalam hatinya terdapat keimanan.” (QS Al
Mujaadilah [58]:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaiman a Firman Allah
Subhanahu wa ta’ala, ‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang
dilihatnya ’ (QS An Najm [53]:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaiman a
firman-Nya ,
“Sesungguhn ya di dalam
penciptaan langit dan bumi dan
pergantian malam dan siang adalah
ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS Ali Imran [3]:190).
Kelima, disebut syagf, karena hati merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai
sesama makhluk. Hal ini sebagaiman a firman-Nya , ’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS
Yusuf [12]:30)
Selain nama-nama yang telah disebutkan , hati pun disebut juga dengan nama habbah
al-quluub. Disebut demikian,
karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya, sebagaiman a yang diterangka n Allah dalam hadis qudsi-Nya yang
diriwayatk an oleh Imam Ahmad dan Ibnu
’Umar r.a.: “Sesungguhn ya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku.
Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimany a.”
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam bersabda,
” Berfikirla h tentang
nikmat-nik mat Allah, dan jangan
sekali-kal i engkau berfikir tentang
Dzat Allah”
Hati orang beriman yang menjadi wadah dari nikmat-nik mat Allah yakni nikmat cahayaNya atau nikmat ilmuNya
Jasad adalah wadah bagi bathin, bathin adalah jasad bagi ruhani, ruhani adalah wadah bagi hati, hati adalah wadah bagi akal qalbu, akal qalbu adalah wadah bagi sirr al ghaib atau wadah dari nikmat-nik mat Allah, nikmat cahayaNya, nikmat ilmuNya tanpa batas.
Firman Allah ta'ala
َูุณِุนَ ُูุฑْุณُِّูู ُ
ุงูุณَّู
َุงَู ุงุชِ َูุงูุฃุฑْุถَ
"Kursi Allah meliputi langit dan bumi" (QS Al Baqarah [2]: 255 )
Abu Kuraib dan Salim bin Junadah menceritak an kepada kami, keduanya berkata bahwa Ibnu Idris
telah menceritak an kepada kami
dari Mutharrif dari Ja’far bin Abi al Mughirah dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu
‘Abbas, beliau berkata tentang “wasi’a kursiyyuhu [kursiNya meliputi]” : “kursiNya yaitu ilmuNya”.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhn ya Allah ilmu-Nya
benar-bena r meliputi segala
sesuatu”. (QS Ath Thalaq [65]:12)
“ilmu Engkau meliputi segala sesuatu” (QS al Mu’min / al Ghaafir [40]:7)
Akal qalbu adalah makna bathin/ majaz/ kiasan/ tersirat dari 'Arsy
Sirr al ghaib adalah makna bathin/ majaz/ kiasan/ tersirat dari Kursi Allah atau ilmuNya
Dalam sebuah hadit Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang
malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada
shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam
fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr.
Dan di dalam sirr itu ada Aku.”
Muslim yang telah dikarunia nikmatNya, nikmat cahayaNya, nikmat ilmuNya adalah muslim yang dekat dengan
Allah sehingga bermakrifa t.
Muslim yang bermakrifa t
atau muslim yang menyaksika n
Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini
kehadiranN ya, selalu sadar dan ingat
kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahid untuk
menunjukka n sesuatu yang hadir
dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga
seakan-aka n pemilik hati
tersebut senantiasa melihat dan
menyaksika n-Nya, sekalipun Dia
tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallah u alaihi wasallam berkata:
“Seutama-ut ama iman
seseorang, jika ia telah
mengetahui
(menyaksik an) bahwa Allah selalu
bersamanya , di mana pun ia
berada“
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallm bersabda
“Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
ุญَุฏَّุซََู ุง ุฃَุจُู
ุจَْูุฑِ ุจُْู ุฃَุจِู ุดَْูุจَุฉَ ุญَุฏَّุซََูุง
ุญَْูุตٌ ุนَْู ุนَุจْุฏِ ุงْูู
َِِูู ุนَْู ุนَุทَุงุกٍ ุนَْู ุงุจِْู ุนَุจَّุงุณٍ َูุงَู ุฑَุขُู
ุจَِْููุจِ
Telah menceritak an
kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritak an kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari
Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR
Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib
Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat
Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda
melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan,
baru saya sembah”. “Bagaimana
anda melihat-Ny a?” dia menjawab:
“Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai
kemuliaanN ya, sehingga tidak
dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam
kesempurna an, keindahan dan
keagunganN ya, sehingga nyatalah
bukti kebesaranN ya dalam hati
dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembuny i padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan
bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah
Allah yang memberikan petunjuk dan
kepadaNya kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaik an, “mereka yang sadar diri
senantiasa memandang Allah Azza
wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang
mengugurka n
hijab-hija b antara diri mereka
dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh
sendi-send i putus dan segala
milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada
ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika
sudah benar sempurnala h semua
perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala
perbudakan duniawi kemudian
mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan
senantiasa terus demikian dalam
menjalani ujian di RumahNya”.
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifa t maka yakinlah bahwa Allah
Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu
takut (khasyyah) kepada Allah
seakan-aka n kamu
melihat-Ny a
(bermakrif at), maka jika kamu
tidak melihat-Ny a
(bermakrif at) maka
sesungguhn ya Dia melihatmu.” (HR
Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhn ya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamb a-Nya, hanyalah ulama”
(QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap
atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang
dibenciNya ,
menghindar i perbuatan maksiat,
menghindar i perbuatan keji dan
mungkar sehingga terbentukl ah
muslim yang berakhlaku l karimah atau
muslim yang sholeh
Tanda seorang telah dikarunia nikmatNya, nikmat cahayaNya, nikmat ilmuNya adalah muslim yang sholeh sehingga
berkumpul dengan
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam,
para Nabi, para Shiddiqin, para
Syuhada
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau
bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya , niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lam anya, tetapi
Allah membersihk an siapa saja
yang dikehendak i…” (QS
An-Nuur:21 )
“Sesungguhn ya Kami
telah mensucikan mereka dengan
(menganuge rahkan kepada mereka)
akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatk an (manusia) kepada negeri akhirat. Dan
sesungguhn ya mereka pada sisi
Kami benar-bena r termasuk
orang-oran g pilihan yang paling
baik.” (QS Shaad [38]:46-47 )
“Sesungguhn ya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami
jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-oran g yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS
Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiap a
yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu :
Nabi-nabi, para
shiddiiqii n,
orang-oran g yang mati syahid,
dan orang-oran g sholeh. Dan
mereka itulah teman yang sebaik-bai knya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatka n diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih
maqom disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah
shiddiqin, muslim yang
membenarka n dan
menyaksika n Allah dengan hatinya
(ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifa t. Bermacam-m acam tingkatan shiddiqin
sebagaiman a yang diuraikan dalam
tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/01/14/ 2011/09/28/ maqom-wali- allah
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
bersabda “sesungguh nya ada di
antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula
para Syuhada’. Mereka dirindukan
oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka
di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai
Rasulullah ? Semoga kita dapat
mencintai mereka“. Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya:
“Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah
bukan karena ada hubungan kekeluarga an dan bukan karena harta benda,
wajah-waja h mereka
memancarka n cahaya dan mereka
berdiri di atas mimbar-mim bar
dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia
merasakann ya dan tiada mereka berduka
cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam
kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguh nya diantara
hamba-hamb aku itu ada manusia
manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada
hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatka n maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan
syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan
mereka?”mu dah-mudaha n kami menyukainy a“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling
menyayangi karena Allah ‘Azza wa
Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling
menyayangi bukan karena
hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan
mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti
yang disusahkan manusia,”
kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhn ya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatir an terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku ,
tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah
memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan : “Para wali Allah merupakan
pengantin- pengantin di bumi-Nya dan
takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana
(cara) mengenal Waliyullah , ia
menjawab: “Allah tidak akan memperkena lkan mereka kecuali kepada
orang-oran g yang serupa dengan
mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk
mengenal dan mendekat kepada-Nya .”
As Sarraj at-Tusi mengatakan
: “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa
sebenarnya wali itu dan
bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang
Allah dan hukum-huku m Allah, dan
mengamalka n apa yang
diajakrkan Allah kepada mereka.
Mereka adalah hamba-hamb a Allah
yang tulus dan wali-wali- Nya yang
bertakwa“.
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: “berfirman Allah
Yang Maha Besar dan Agung: “Diantara para wali-Ku di hadhirat-K u, yang paling menerbitka n iri-hati ialah si mu’min yang kurang hartanya,
yang menemukan nasib hidupnya dalam shalat, yang paling baik ibadat kepada
Tuhannya, dan taat kepada-Nya
dalam keadaan tersembuny i maupun
terang. Ia tak terlihat di antara khalayak, tak tertuding dengan telunjuk.
Rezekinya secukupnya , tetapi iapun
sabar dengan hal itu. Kemudian Beliau shallallah u alaihi wasallam menjentikk an jarinya, lalu bersabda:
”Kematianny a
dipercepat , tangisnya hanya
sedikit dan peninggala nnya amat
kurangnya”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hanbal)”. (HR. At Tirmidzi,
Ibn Majah, Ibn Hanbal)
Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam
telah menyampaik an wasiat bahwa
setelah wafatnya Beliau maka pengganti Beliau sebagai Imamnya para Wali Allah
adalah Sayyidina Ali ra dan kedudukan dan tugas Imam Wali Allah seperti Nabi ,
penerus pemimpin perjuangan
agama, namun kita ketahui, paham dan yakini bahwa tiada Nabi setelah
Rasulullah .
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali, -ketika
beliau mengangkat nya sebagai
pengganti (di Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda
meninggalk anku bersama para
wanita dan anak-anak! beliau
menjawab: Wahai Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanm u denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa?
hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau bersabda pada
Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang
mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga
mencintain ya. Maka kami semuanya
saling mengharap agar mendapatka n bendera itu. Beliau bersabda:
Panggillla h Ali! (HR Muslim 4420)
Wasiat seperti di atas yang pada umumnya disalahpah ami oleh kaum Syiah sehingga
menimbulka n
perselisih an karena perbedaan
pendapat yang bahkan dapat berakibat saling membunuh di antara manusia yang
telah bersyahada t.
Rasulullah
shallallah u ‘alaihi wasallam
bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhny a? ‘ Dia menjawabny a, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang
hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk minta
pertanggun g jawaban) pada hari kiamat
nanti? ‘ (HR Muslim 142)
Imam Sayyidina Ali ra adalah bertindak sebagai Nabi namun bukan Nabi karena tidak ada Nabi setelah Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Beliau adalah Imam para Wali
Allah
Imam para Wali Allah yakni imam dari para kekasih Allah (Wali Allah) yakni hamba-hamb a Allah yang
menegakkan agama Allah dengan
penuh keberanian dan
keikhlasan , sehingga agama Allah
tidak akan punah dari peredarann ya.
Bumi ini tidak akan kosong dari Imam dan para Wali Allah. Setiap mereka wafat maka Allah Azza wa Jalla akan menggantik an mereka dengan yang lain sehingga agama Islam beserta
Al Qur’an tetap terjaga sampai akhir zaman
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamb a Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh
keberanian dan
keikhlasan , sehingga agama Allah
tidak akan punah dari peredarann ya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan
dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak
banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah
menjaga agamaNya dan syariatNya ,
sampai dapat diterima oleh orang-oran g seperti mereka. Mereka
menyebarka n ilmu dan ruh
keyakinan. Mereka tidak suka
kemewahan, mereka senang dengan
kesederhan aan. Meskipun tubuh
mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah
khalifah-k halifah Allah di muka bumi
dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada
mereka”
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhka n seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah
shallallah u alaihi wasallam sebagai
seorang penunjuk
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kal i tidak akan mendapat
petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhn ya telah datang rasul-rasu l Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf
[7]:43)
Secara berjenjang ,
penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para
Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum
muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat
Sebagaiman a yang telah
disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/09/16/ yang-dikaru niai-nikma tnya/ Imam Mazhab yang empat adalah termasuk
Assab’ul-m atsani atau para
penunjuk dalam perkara syariat. Sedangkan para penunjuk untuk perkara
memperjala nkan diri atau
mendekatka n diri kepada Allah adalah
para Wali Allah dengan para pemimpin Wali Allah.
Assab’ul-m atsani atau
Empat pemimpin para imam atau pemimpin para auliya’ull ah yang disebut dengan al-Aqthab
al-Arba’ah (empat wali kutub)
/ A’immatuthth ariqah wal-haqiqa h setiap zaman sampai akhir zaman. Contohnya
adalah Syekh Ahmad Arrifa’i, Syekh Abdul-Qadi r al-Jailani , Syekh Ahmad al-Badawi dan Syekh Ibrahim Addusuqi
Radliallah u anhum ajma’in dan
seterusnya
Wassalaamu
'alaikum.. .
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Imam Malik ra marah dikarenaka
Jika orang bertanya "Bagaimanak
Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupa
Jadi orang tersebut dimarahi oleh Imam Malik ra karena mempertany
Allah ta'ala Maha Mendengar dan Allah ta'ala Maha Melihat namun tidak boleh ditanyakan
Imam Sayyidina Ali ra berkata “Sesungguhn
Ibnu Hajar al Asqallรขni dalam Fathu al Bรขri-nya,1
Imam al Qusyairi menyampaik
Dalam al-Fiqh al-Absath,
ُْููุชُ: ุฃุฑَุฃْูุชَ َْูู َِْููู ุฃَْูู ุงُููู؟ َُููุงُู َُูู: َูุงَู ุงُููู ุชَุนَุงَูู َููุงَ ู ََูุงَู َูุจَْู ุฃْู َูุฎَُْูู ุงْูุฎََْูู،
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Ny
Imam Asy Syafi’i ~rahimahul
Sedangkan hadits kisah budak jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatk
Hadits tersebut diriwayatk
Hal pokok yang disampaika
Hadits tersebut khususnya pada bagian kisah budak Jariyah dikatakan syadz untuk dijadikan landasan menyangkut
Imam Nawawi (w. 676 H/
Dan telah menceritak
Dari Masruq dia berkata, “Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-bu
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi)
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahul
Nabi Musa as tidak pernah mengatakan
Nabi Musa as contohnya mengatakan
Arsy diciptakan
Rasulullah
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhn
Fir'aun berkeyakin
Allah ta'ala tidak membutuhka
Jadi sebagaiman
Imam Sayyidina Ali r.a. menyampaik
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-i
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiama
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaiman
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaiman
Kelima, disebut syagf, karena hati merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi
Selain nama-nama yang telah disebutkan
Rasulullah
Hati orang beriman yang menjadi wadah dari nikmat-nik
Jasad adalah wadah bagi bathin, bathin adalah jasad bagi ruhani, ruhani adalah wadah bagi hati, hati adalah wadah bagi akal qalbu, akal qalbu adalah wadah bagi sirr al ghaib atau wadah dari nikmat-nik
Firman Allah ta'ala
َูุณِุนَ ُูุฑْุณُِّูู
"Kursi Allah meliputi langit dan bumi" (QS Al Baqarah [2]: 255 )
Abu Kuraib dan Salim bin Junadah menceritak
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhn
“ilmu Engkau meliputi segala sesuatu” (QS al Mu’min / al Ghaafir [40]:7)
Akal qalbu adalah makna bathin/
Sirr al ghaib adalah makna bathin/
Dalam sebuah hadit Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman:
Muslim yang telah dikarunia nikmatNya,
Muslim yang bermakrifa
Imam Qusyairi mengatakan
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah
Rasulullah
ุญَุฏَّุซََู
Telah menceritak
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya
Beliau menjawab, “Bagaimana
“Bagaimana
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah,
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaik
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifa
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhn
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh),
Tanda seorang telah dikarunia nikmatNya,
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya
“Sesungguhn
“Sesungguhn
“Tunjukilah
“Dan barangsiap
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatka
Rasulullah
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku
Abu Yazid al Busthami mengatakan
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari
As Sarraj at-Tusi mengatakan
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah
Rasulullah
Aku pernah mendengar Rasulullah
Wasiat seperti di atas yang pada umumnya disalahpah
Rasulullah
Imam Sayyidina Ali ra adalah bertindak sebagai Nabi namun bukan Nabi karena tidak ada Nabi setelah Rasulullah
Imam para Wali Allah yakni imam dari para kekasih Allah (Wali Allah) yakni hamba-hamb
Bumi ini tidak akan kosong dari Imam dan para Wali Allah. Setiap mereka wafat maka Allah Azza wa Jalla akan menggantik
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamb
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhka
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kal
Secara berjenjang
Sebagaiman
Assab’ul-m
Wassalaamu
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830