oleh Zon Jonggol
Sebaiknya janganlah memaknai bersemayam dengan berada atau bertempat
Pada hakikatnya mereka bukan bermazhab Hambali sebagaiman a yang telah dijelaskan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/07/28/ semula-berm azhab-hamb ali/
Mereka lebih bersandar kepada pemahaman (ijtihad) mereka sendiri dengan muthola’ah (menelaah) kitab secara otodidak (belajar sendiri) sehingga mereka menolak makna majaz (kiasan atau makna tersirat) sebagaiman a yang disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/06/23/ makna-majaz /
Terkait ayat-ayat sifat dan mutasyabih at , mereka menolak mentafwidh makna dan kaifiyatny a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menolak mentakwilk an dengan takwilan yang layak bagi keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini telah disampaika n pula dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/06/13/ mereka-mela rang-takwi l/
Mereka menolak riwayat pentakwila n Imam Ahmad bin Hanbal bahkan mereka menempuh cara-cara yang licik untuk mencari pembenaran , selengkapn ya disampaika n dalam tulisan http:// ibnu-alkati biy.blogsp ot.com/ 2012/10/ penipuan-da n-kecurang an-wahabi- salafi.htm l
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka "kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah" berdasarka n pemahaman mereka sendiri secara otodidak (belajar sendiri) dengan bersandark an muthola'ah (menelaah) kitab di balik perpustaka an dan memaknai secara dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat atau memahaminy a dengan metodologi "terjemahk an saja" dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi) saja. Sebagaiman a kompetensi kaum Zionis Yahudi dalam memahami Al Qur'an dan As sunnah untuk keperluan menghasut atau ghazwul fikri (perang pemahaman) sehingga menimbulka n perselisih an pada kaum muslim karena perbedaan pemahaman.
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaik an “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahann ya
karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia
salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia
tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal
pikirannya sendiri),
maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh
baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang
kita bisa tanya jika kita mendapatka n masalah”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Tentulah kita memperguna kan akal untuk memahami Al Qur'an namun ada dua jenis cara memperguna kan akal yakni
1. Akal mendahului firmanNya
2. Akal mengikuti firmanNya
Akal mendahului firmanNya ditimbulka n karena mengikuti hawa nafsu. FirmanNya dipergunak an bukan untuk berdalil tetapi berdalih. Sebagaiman a contohnya orang-oran g seperti Dzul Khuwaishir ah dari Bani Tamim an Najdi atau khawarij yang memperguna kan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-oran g kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang kaum muslim
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan : “Mereka menggunaka n ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-oran g kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-oran g beriman”.[Lihat: kitab Sohih Bukhari jilid:4 halaman:19 7]
Akal mengikuti firmanNya adalah akal pikiran yang ditundukka n
kepada akal qalbu dan mengikuti tata cara dalam memahami Al Qur’an.
Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak cukup dengan arti
bahasa. Diperlukan kompetensi
menguasai alat bahasa seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan
dan badi’) dan lain lain. Apalagi jika ingin menetapkan hukum-huku m syara’ bedasarkan dalil syar’i diperlukan penguasaan ilmu ushul fiqih. Penjelasan tentang hal ini telah disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/10/07/ tak-cukup-a rti-bahasa /
Oleh karena memahami dengan makna dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat atau memahami dengan metodologi “terjemahk an
saja”, ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi teladan bagi ajaran ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab (ajaran Wahabi) maka Ibnu Taimiyyah
terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibat kan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat madzhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarlu askan kesalahapa hamannya sehingga beliau wafat di penjara sebagaiman a dapat diketahui dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/04/13/ ke-langit-d unia atau uraian dalam tulisan pada http:// ibnu-alkati biy.blogsp ot.com/ 2011/12/ kisah-tauba tnya-ibnu- taimiyah-d i-tangan.h tml
Mereka boleh jadi mengikuti pola pemahaman Fir’aun bahwa setiap yang ada pasti punya tempat sebagaiman a yang telah disampaika n dalam tuisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/09/14/ terhasut-aq idah-firau n/
Contohnya silahkan simpulkan dari tulisan pada http:// rumaysho.co m/ belajar-isl am/aqidah/ 3351-di-man akah-allah -8.html
“arrahmaan u ‘alaal ‘arsyi istawaa” dan biasanya diterjemah kan dengan “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha [20]: 5 )
Para ahli bahasa di negara kita telah sepakat bahwa terjemahan istawa adalah bersemayam
Bersemayam mempunyai dua makna yakni makna dzahir dan makna majaz
Makna dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat dari bersemayam menurut kamus bahasa Indonesia adalah
1. duduk; Pangeran bersemayam di kursi kerajaan
2. tinggal; berkediama n, bertempat; Presiden bersemayam di Istana Negara
Sedangkan makna tersirat atau makna majaz (makna kiasan) dari bersemayam adalah terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Sudah lama dendam itu bersemayam di hatinya atau cinta bersemayam di hatinya.
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabih at tentang sifat dengan makna dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan adalah mereka yang mengingkar i Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
- Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaiman a tangan makhluk (jisim-jis im lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jis im lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhn ya
Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu
makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Sedangkan tentang 'Arsy dijelaskan
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhn ya Allah menciptaka n ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakka n kekuasaan- Nya bukan untuk menjadikan nya tempat bagi DzatNya”
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhn ya yang menciptaka n ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaa n tentang tempat), dan yang menciptaka n kayfa (sifat-sif at makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Imam Asy Syafi’i ~rahimahul lah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-ba tasan (bentuk) dan segala penghabisa n, dan Dia tidak membutuhka n kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Dalam kitab al-Washiyy ah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan :
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَه ُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْر َارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْ رِهِ كَالْمَخْل ُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَار ِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhka n kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhka n kepada makhluk-ma khluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhka n kapada makhluk-Ny a maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptaka n alam ini dan mengaturny a. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Ny a sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhka n untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptaka n arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptaka n arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptaka n
arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan
adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan
kesucian yang agung”
Jadi istawaa atau bersemayam sebaiknya janganlah diartikan dengan berada atau bertempat namun bersemayam dalam makna majaz atau makna kiasan yang terkait dengan hati
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatk an oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhn ya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimany a.”
Contoh penggunaan kata bersemayam yang tidak dapat diartikan berada atau bertempat seperti perkataan Bung Karno pada tanggal 23 Oktober 1946
"Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuk si miskin"
Apa yang disampaika n oleh bung Karno serupa dengan contoh riwayat yang termuat pada Syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 ketika menjelaska n tentang orang-oran g seperti Dzul Khuwaisara h at Tamimi an Najdi atau khawarij
****** awal kutipan ******
"Dengan sedikit keraguan, Khalid bin Walīd bertanya kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah , orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-iba dah sunnahnya:
matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di
atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak
karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut mereka pun lebat”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būna llāh fattabi’un ī – Katakanlah : “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosam u. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”
Nabi shallallah u alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikapla h penuh kasih, cintai orang-oran g miskin dan papa, bersikapla h lemah-lemb ut, penuh perhatian dan cintai saudara-sa udaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
***** akhir kutipan *****
Jika yang dimaksud dengan "Allah ta'ala bersemyama m di atas Arsy" dalam arti kebesaran status atau sejenisnya ,
maka ini adalah benar, dan semua muslim mesti percaya hal itu. Ini
adalah arti yang paling indah yang bisa mengerti dari pernyataan ini, dan itu bagaimana yang harus dipahami, karena Allah memiliki asma yang paling indah.
Namun, tidak benar menyatakan bahwa "Allah ta'ala bersemyama m di atas Arsy" bukti menunjukka n Allah berada (bertempat ) di atas Arsy dalam arti lokasi dan arah, karena Allah ta'ala mengatakan kepada kita bahwa Dia tidak menyerupai
apa pun, dan karena di atas dengan arti lokasi dan arah bukanlah
arti yang paling indah dari lafad itu, dan jika di katakan di atas,
maka pasti ada sesuatu di bawahnya, maka tidak benar di katakan di
atas tapi terpisah dengan ciptaanNya , atau mungkin ada maksud lain dari kata terpisah ?
Jika terpisah, maka apakah ada jarak, apakah jarak terbatas atau tidak terbatas, dan itu berarti ada ruang lagi untuk Allah ta'ala, terus apakah ruang itu qodim: tanpa permulaan [tidak di cipta], atau ada permulaan ?
Jika tidak ada permulaan berarti ada selain Allah ta'ala yang qodim, dan jika ada permulaan [di cipta], maka artinya tidak terpisah dengan ciptaan... !
Jika Allah ta'ala berada di suatu tempat, maka Dia akan memiliki batas berdekatan
dengan tempat [Arsy], dan dengan batas ini akan menjadi adanya bentuk
tertentu, dan seperti setiap bentuk itu perlu ditetapkan dan di adakan, yaitu diciptakan
oleh pencipta, sama seperti semua bentuk lainnya, maka dengan Allah
ta'ala berada di suatu tempat berarti bahwa Allah ta'ala akan
membutuhka n pencipta, dan berarti Dia seperti ciptaan. Itulah mengapa salaf mengatakan bahwa sifat Allah itu bila kaif: tanpa bagaimana, yaitu, tanpa bentuk. Ini sebenanrny a sudah jelas.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Pada hakikatnya
Mereka lebih bersandar kepada pemahaman (ijtihad) mereka sendiri dengan muthola’ah
Terkait ayat-ayat sifat dan mutasyabih
Mereka menolak riwayat pentakwila
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman)
Ulama keturunan cucu Rasulullah
Rasulullah
Tentulah kita memperguna
1. Akal mendahului
2. Akal mengikuti firmanNya
Akal mendahului
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan
Akal mengikuti firmanNya adalah akal pikiran yang ditundukka
Oleh karena memahami dengan makna dzahir/
Mereka boleh jadi mengikuti pola pemahaman Fir’aun bahwa setiap yang ada pasti punya tempat sebagaiman
Contohnya silahkan simpulkan dari tulisan pada http://
“arrahmaan
Para ahli bahasa di negara kita telah sepakat bahwa terjemahan
Bersemayam
Makna dzahir/
1. duduk; Pangeran bersemayam
2. tinggal; berkediama
Sedangkan makna tersirat atau makna majaz (makna kiasan) dari bersemayam
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal
- Barangsiap
- Barangsiap
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan
Sedangkan tentang 'Arsy dijelaskan
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhn
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan
Imam Asy Syafi’i ~rahimahul
Dalam kitab al-Washiyy
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَه
“Kita menetapkan
Jadi istawaa atau bersemayam
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatk
Contoh penggunaan
"Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam
Apa yang disampaika
****** awal kutipan ******
"Dengan sedikit keraguan, Khalid bin Walīd bertanya kepada Rasulullah
Rasulullah
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”
Nabi shallallah
***** akhir kutipan *****
Jika yang dimaksud dengan "Allah ta'ala bersemyama
Namun, tidak benar menyatakan
Jika terpisah, maka apakah ada jarak, apakah jarak terbatas atau tidak terbatas, dan itu berarti ada ruang lagi untuk Allah ta'ala, terus apakah ruang itu qodim: tanpa permulaan [tidak di cipta], atau ada permulaan ?
Jika tidak ada permulaan berarti ada selain Allah ta'ala yang qodim, dan jika ada permulaan [di cipta], maka artinya tidak terpisah dengan ciptaan...
Jika Allah ta'ala berada di suatu tempat, maka Dia akan memiliki batas berdekatan
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830