oleh Zon Jonggol
Tahlilan atau sedekah tahlil
Seperti apa macam dan bentuk shodaqoh itu, Islam tidak menentukan , bahwa Rasulullah pernah berkata,
تَصَدَّقُو ْا وَلَوْ بِتَمَرَةٍ
Shodaqohla h kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma. (HR. Al Bukhori).
Hadits ini menunujukk an bahwa shodaqoh itu, berupa apa saja dan berapa saja jumlahnya, Rasulullah tidak menentukan .
Perkara kebiasaan maupun kebiasaan yang sering dilakukan atau tradisi atau adat istiadat berlaku kaidah ushul fiqih
“wal ashlu fi ‘aadaatina l ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah”
yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat istiadat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingka n dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamk annya“.
Contohnya
1. Membiasaka n bersededek ah
untuk anak yatim setiap hari Jum’at sebelum sholat jum’at adalah
kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangny a.
2. Membiasaka n puasa sunah melebihi tiga hari dalam sebulan sebagaiman a jumlah hari yang dicontohka n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam adalah kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangny a.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah mencontohk an
tidak membuat sesuatu larangan yang tidak dilarang oleh Allah Azza wa
Jalla dengan tidak melarang para Sahabat berpuasa sunnah setiap bulan
hijriah melebihi apa yang telah beliau contohkan hanya 3 hari karena
Allah Azza wa Jalla memang tidak melarangny a
Telah menceritak an kepada kami Ishaq bin Syahin Al Washithiy telah menceritak an kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abu Qalabah berkata, telah mengabarka n kepada saya Abu Al Malih berkata; Aku dan bapakku datang menemui ‘Abdullah bin ‘Amru lalu dia menceritak an kepada kami bahwa Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang shaumku lalu Beliau menemuiku. Maka aku berikan kepada Beliau bantal terbuat dari kulit yang disamak yang isinya dari rerumputan ,
lalu Beliau duduk diatas tanah sehingga bantal tersebut berada di
tengah antara aku dan Beliau, lalu Beliau berkata: Bukankah cukup
bagimu bila kamu berpuasa selama tiga hari dalam setiap bulannya?
‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Aku katakan: Wahai Rasulullah ? (bermaksud minta tambahan) . Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Lima hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah ? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Tujuh hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah ? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sembilan hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah ? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sebelas hari. Kemudian Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam berkata: Tidak ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud Aalaihissa lam yang merupakan separuh shaum dahar, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari. (HR Bukhari 1844).
3. Membiasaka n membaca surah Yasin setiap malam Jum’at adalah kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangny a
Walaupun sebenarnya
kebiasaan membaca surah Yasin setiap malam Jum’at atau kebiasaan
membaca surah Ar Rahmaan, Al Mulk , Waqiaah setiap malam Senin dan
malam Kamis adalah kebiasaan yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam namun mereka hanya mempercaya i hadits-had its yang sudah terbukukan saja. Padahal jumlah hadits yang telah terbukukan hanya sebagian kecil saja dari jumlah hadits yang telah dihafal oleh para penghafal hadits dan disampaika n melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh.
Begitupula mereka mengingkar i atau membuang sama sekali hadits-had its dhoif dalam perkara kebiasaan atau bahkan mendhoifka n hadits-had its yang sebenarnya tidak dhoif. Para ulama yang sholeh meninggalk an hadits-had its dhoif hanya untuk perkara syariat.
Mereka lebih percaya ketika sebuah hadits telah dicap “dishahihk an oleh Al Albani“, padahal ulama Al Albani tidak termasuk ulama yang meriwayatk an hadits atau membawa hadits dari lisan ke lisan para ulama yang sholeh yang tersambung kepada lisannya para perawi hadits. Ulama Al Albani termasuk ulama yang membaca hadits dibalik perpustaka an berdasarka n pemahamann ya atau ijtihadnya sendiri. Siapa yang dapat menjamin upaya pemahamann ya (ijtihad) tidak keliru ? Terlebih lagi beliau tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Pada hakikatnya kita dapat bertanya tentang kebiasaan- kebiasaan yang dilakukan oleh Rasululull ah shallallah u alaihi wasallam kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam karena mereka melakukan kebiasan-k ebiasan yang baik berdasarka n pengajaran dalam bentuk praktek yang mereka terima dari orang tua dan dari orang tua dari orang tua mereka sehingga tersambung dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Hal yang perlu kita ingat adalah segala kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNy a atau tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah termasuk bid’ah hasanah atau bid’ah yang terpuji dan bernilai pahala.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِ ي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْ دَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan ) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah ) dan menyalahi (bertentan gan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataa n sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah ) dan tidak menyelahi (bertentan gan)
dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah
mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth- Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Walau bagaimanap un anjuran sedekah untuk yang telah wafat telah dicatat pada kitab-kita b para ulama terdahulu.
Dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahma n As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangka n tentang kitab zuhud: Telah menceritak an kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritak an kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-oran g yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahka n bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-oran g yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritak an kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritak an kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritak an kepadaku Ubay, telah menceritak an kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritak an kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhn ya orang-oran g yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahka n bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-oran g yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangka n sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya:
“Sesungguh nya, kesunnahan memberikan
sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap
berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di
Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah
ditinggalk an sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.
Sumber: http:// www.faceboo k.com/ photo.php?f bid=203798 782998090& set=a.2037 9867633143 4.52004.10 0001039095 629
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatka n riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatk an dari Al-Asyja’i , yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyalla hu ‘anhu pernah berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguh nya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurk an (mensunnah kan) agar memberikan makan (pahalanya ) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbaha ni (w. 430 H) juga menyebutka nnya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[ 2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuanny a. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyy ah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukann ya pada masa Rasulullah , sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukann ya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallah u
‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini
berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan
(qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa
ada yang mengingkar inya. [4]
Ini merupakan anjuran (kesunnaha n) untuk mengasihi (merahmati )
mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan
cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya
untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat,
difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsun g pada masa berikutnya , sebagaiman a yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthi y ;
“Sesungguh nya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz ) bahwa sesungguhn ya amalan ini berkelanju tan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi ), dan sesungguhn ya
generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada
salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kita b tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’ . [6]
Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandask an hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathali b al-‘Aliyah (5/ 328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritak an kepada kami Yazid bin Harun, menceritak an
kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan,
dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar
radliyalla hu ‘anh mengatakan , seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertain ya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataann ya sampai ‘Umar radliyalla hu ‘anh di tikam, maka beliau memerintah kan Shuhaib radliyalla hu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintah kan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangka n, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyalla hu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits ),
[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyya h (2/ 9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarai ny al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/ 827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalan i (w. 852 H) didalam al-Mathali bul ‘Aliyah (834).
[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbaha niy : “mencerita kan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritak an kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritak an kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritak an kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritak an kepada kami al-Asyja’i y, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguh nya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurk an untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.
[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/ 236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqa t al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.
[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyy ah al-Kubra (2/ 30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/ 169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi y.
[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/ 444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’ i.
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/ 179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi .
Sumber: http:// www.sarkub. com/2011/ anjuran-unt uk-tahlila n-7-hari-b erturut-tu rut/
Tahlilan atau sedekah tahlil adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselengga rakan oleh keluarga ahli kubur sedangkan peserta tahlilan bersedekah diniatkan untuk ahli kubur dengan tasbih, takbir, tahmid, tahlil, pembacaan surah Yasiin, Al Fatihah, dzikir dan doa
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah menyampaik an bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِي لُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيّ ِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَت ْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَت ْ تَصَدَّقَت ْ أَفَأَتَصَ دَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallah u ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam: Sesungguhn ya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqa h. Apakah aku boleh bershadaqa h atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqo lah atasnya. (HR Muslim 2554)
Contoh sedekah oleh bukan keluarga
Pernah dicontohka n bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarka n
hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang
seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarny a Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah mendingink an kulitnya” (HR Ahmad)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah menyampaik an bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِي ُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَد ِ الدِّيلِيّ ِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيّ ِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُو رِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُو نَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدّ َقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِه ِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُ ونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَة ٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَة ٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَة ٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَة ٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْر ُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritak an kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritak an kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritak an
kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya
bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang
dari sahabat Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah , orang-oran g kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah ?
Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah
sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil
adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim
1674)
Imam Syafi’i ra , ulama yang telah diakui oleh jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang berkompete nsi
sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Ulama yang paling baik dalam memahami
Al Qur’an dan As Sunnah dan Beliau masih bertemu dengan para perawi
hadits atau Salafush Sholeh, sebagaiman a yang disampaika n oleh Imam Nawawi
قَالَ الشَّافِعِ يُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَب ُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً
“Imam asy-Syafi’ i rahimahull ah berkata : "disunnahka n agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatam kan al-Qur’an disisi quburnya maka itu bagus” (Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/ 426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/ 26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddi ts al-Baihaqi .)
Begitupula Imam Ahmad semula mengingkar inya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’
قال الحافظ بعد تحريجه بسنده إلى البيهقى قال حدثنا أبو عبدالله الحافظ قال حدثنا ابو العباس بن يعقوب قال حدثنا العباس بن محمد قال سألت يحي بن معين عن القرأءة عند القبر فقال حدثنى مبشر بن أسماعيل الحلبي عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه قال لبنيه إذا أنا مت فضعونى فى قبرى وقولوا بسم الله وعلى سنه رسول الله وسنوا على التراب سنا ثم إقرأوا عند رأسى أول سوره البقرة وخاتمتها فإنى رأيت إبن عمر يستحب ذلك ,قال الحافظ بعد تخريجه هذا موقوف حسن أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه
al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrij nya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi , ia berkata ; telah menceritak an kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz, ia berkata telah menceritak an kepada kami Abul ‘Abbas bin Ya’qub, ia berkata, telah menceritak an
kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada
Yahya bin Mu’in tentang pembacaan al-Qur’an disamping qubur, maka ia
berkata ; telah menceritak an kepadaku Mubasysyir
bin Isma’il al-Halabi dari ‘Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya,
ia berkata kepada putranya, apabila aku telah wafat, letakkanla h aku didalam kuburku, dan katakanlah oleh kalian “Bismillah wa ‘alaa Sunnati Rasulillah ”, kemudian gusurkan tanah diatasku dengan perlahan, selanjutny a bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah al-Baqarah dan mengkhatam kannya, karena sesungguhn ya aku melihat Ibnu ‘Umar menganjurk an hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrij nya, hadits ini mauquf yang hasan, Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrij nya dan ia juga mentakhrij nya
dari Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur. Ia
berkata : kami shalat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala
telah selesai pemakamann ya
duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Qur’an disamping
qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; “hei apa ini, sungguh membaca
al-Qur’an disamping qubur adalah bid’ah”. Maka tatkala kami telah
keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : “wahai Abu Abdillah, apa
komentarmu tentang Mubasysyir
bin Isma’il ? “, Ahmad berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata :
engkau menulis sesuatu darinya ?”, Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah
berkata : sesungguhn ya ia telah menceritak an kepadaku dari Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatam kannya
disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar
berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu
“lanjutkan lah bacaaanmu” .
Abdul Haq berkata : telah diriwayatk an bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyall ahu ‘anhumaa- memerintah kan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatk an demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahma n
Tahlilan atau sedekah tahlil hukum asalnya adalah boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.
Tahlilan disyiarkan
oleh para Wali Songo, Wali Allah generasi ke sembilan dan kebetulan
berjumlah sembilan orang. Salah seorang Wali Songo, Syarif Hidayatull ah atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati adalah Wali Allah keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal,
maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka
bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau
mabuk-mabu kan atau ke-riang-a n lainnya.
Wali Songo mengajarka n nilai-nila i Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat , namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Wali Songo tidak serta merta membubarka n tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat , solusi seperti ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektua l sang da’i yaitu Walisongo.
Kematangan sosial dan kedewasaan intelektua l yang benar-bena r mampu menangkap teladan Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajar an bahwa melakukan transforma si sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Kalau sekarang di Arab Saudi mereka telah meninggalk an sedekah tahlil (tahlilan) namun mereka diduga masih melakukan acara “berkumpul di rumah duka” yang diisi dengan sekedar “obrolan-o brolan” yang menurut mereka untuk “menghibur ” keluarga ahli kubur. Wallahu a’lam
Janganlah karena kebiasaan sedekah tahlil (tahlilan) ditinggalk an oleh orang Arab Saudi lalu kita mengharamk an tahlilan karena mengharamk an sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla sama dengan menyekutuk an Allah.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah ! Tuhanku hanya mengharamk an hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadany a dan apa yang tersembuny i dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutuk an Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui .” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hamb aKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokka n mereka dari agamanya, dan mengharamk an atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaru hi supaya mereka mau menyekutuk an Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuha n
selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para
rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu
menghalalk an sesuatu bagi mereka, mereka menganggap nya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamk an bagi mereka sesuatu, mereka mengharamk annya“
Pada riwayat yang lain disebutkan , Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalk an sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutin ya. Yang demikian itulah penyembaha nnya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Jadi mereka yang melarang yang tidak dilarangNy a, mengharamk an yang tidak diharamkan Nya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan Nya, telah bertasyabu h dengan kaum kafir yakni menjadikan ulama-ulam a mereka “sebagai tuhan-tuha n selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Dapat juga kita temukan mereka yang melarang tahlilan dengan mengutip perkataan Imam Asy Syafi’i seperti dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul- kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhn ya yang demikian itu akan memperbaha rui kesedihan.”
Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpula n ratapan dan tangisan. Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis”
untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti
itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar. Perkumpula n ratapan dan tangisan yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit-m enjerit, tapi disebut perkumpula n duka, namun beliau tak menjatuhka n hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah,
karena jika ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan
beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpula n tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhka nnya
Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/ membenci” pada lafadh para muhadditsi n yg dimaksud adalah “Kariha/ yakrahu/ Karhan” yg berarti Makruh.
Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.
Makna makruh secara bahasa adalah benci, makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalk an mendapat pahala.
Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/ suka, tapi hukumlah yg disampaika n, maka jelas sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Ke-makruh- an timbul jika ahli waris dapat menimbulka n suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbah arui kesedihan” atau kemungkina n timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.
Bukankah Imam Syafi’i ~rahimahul lah berpendapa t bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada si mayyit ?
Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-oran g kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-oran g agar jika ia telah wafat mereka menghatamk an Al Qur’an berkali-ka li dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
Syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus seperti niat “jual-beli ” maka pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.
Rasulullah shallallah u
alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu
tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651).
Al Imam Syafi’i ~rahimahul lah mensyaratk an sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-sya rat berikut
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akan nya untuk mayyit
Hal yang perlu kita ingat selalu adalah yang dapat memahami dan menjelaska n
perkataan Imam Mazhab yang empat adalah pengikut Imam Mazhab yang
empat bukan pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, pengikut ulama
Ibnu Taimiyyah ataupun pengikut ulama Al Albani dan lain-lainn ya
Pengikut Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambu ngan
sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama
yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab
yang empat
Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulam a madzhabnya sebagaiman a disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55). Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebi h yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.
Hal ini dijelaskan contohnya oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’ i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-k elompok ‘ulama berpendapa t
bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat,
puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan
sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaann ya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkann ya, dan tidak mendo’akan nya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukka n atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarka n istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadka n (ditujukan ) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkanny a didalam syarah ar-Raudlah ”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’ i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguh nya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkann ya, dan tidak mendo’akan nya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Seperti apa macam dan bentuk shodaqoh itu, Islam tidak menentukan
تَصَدَّقُو
Shodaqohla
Hadits ini menunujukk
Perkara kebiasaan maupun kebiasaan yang sering dilakukan atau tradisi atau adat istiadat berlaku kaidah ushul fiqih
“wal ashlu fi ‘aadaatina
yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat istiadat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingka
Contohnya
1. Membiasaka
2. Membiasaka
Rasulullah
Telah menceritak
3. Membiasaka
Walaupun sebenarnya
Begitupula
Mereka lebih percaya ketika sebuah hadits telah dicap “dishahihk
Pada hakikatnya
Hal yang perlu kita ingat adalah segala kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNy
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِ
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan
Walau bagaimanap
Dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangka
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah:
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangka
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya:
“Sesungguh
Sumber: http://
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguh
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbaha
Ini merupakan anjuran (kesunnaha
“Sesungguh
Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandask
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritak
[1] Lihat : Syarah ash-Shudur
[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul
[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/
[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyy
[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/
Sumber: http://
Tahlilan atau sedekah tahlil adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselengga
Rasulullah
حَدَّثَنَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallah
Contoh sedekah oleh bukan keluarga
Pernah dicontohka
Rasulullah
حَدَّثَنَا
Telah menceritak
Imam Syafi’i ra , ulama yang telah diakui oleh jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang berkompete
قَالَ الشَّافِعِ
“Imam asy-Syafi’
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan
Begitupula
قال الحافظ بعد تحريجه بسنده إلى البيهقى قال حدثنا أبو عبدالله الحافظ قال حدثنا ابو العباس بن يعقوب قال حدثنا العباس بن محمد قال سألت يحي بن معين عن القرأءة عند القبر فقال حدثنى مبشر بن أسماعيل الحلبي عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه قال لبنيه إذا أنا مت فضعونى فى قبرى وقولوا بسم الله وعلى سنه رسول الله وسنوا على التراب سنا ثم إقرأوا عند رأسى أول سوره البقرة وخاتمتها فإنى رأيت إبن عمر يستحب ذلك ,قال الحافظ بعد تخريجه هذا موقوف حسن أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه
al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrij
Abdul Haq berkata : telah diriwayatk
Tahlilan atau sedekah tahlil hukum asalnya adalah boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan
Tahlilan disyiarkan
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal,
Wali Songo mengajarka
Wali Songo tidak serta merta membubarka
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat
Kematangan
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Kalau sekarang di Arab Saudi mereka telah meninggalk
Janganlah karena kebiasaan sedekah tahlil (tahlilan)
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah
Allah Azza wa Jalla berfirman,
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan
Pada riwayat yang lain disebutkan
Jadi mereka yang melarang yang tidak dilarangNy
Dapat juga kita temukan mereka yang melarang tahlilan dengan mengutip perkataan Imam Asy Syafi’i seperti dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-
Makna sebenarnya
Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/
Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.
Makna makruh secara bahasa adalah benci, makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan
Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/
Jika mereka menetapkan
Ke-makruh-
Bukankah Imam Syafi’i ~rahimahul
Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahul
Syarat sampai pahala bacaan tergantung
Rasulullah
Al Imam Syafi’i ~rahimahul
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya
2. Pembacanya
3. Pembacanya
Hal yang perlu kita ingat selalu adalah yang dapat memahami dan menjelaska
Pengikut Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambu
Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah
Hal ini dijelaskan
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط
“Adapun pembacaan al-Qur’an,
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguh
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830