oleh Zon Jonggol
Cukupkanla h pada Imam Mazhab yang empat
Guru kami menasehatk an bahwa terhadap sesama muslim sebaiknya janganlah berkata "bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlas kan hati" (QS Al Baqarah [2]:139) karena perkataan tersebut hanya dikatakan kepada orang-oran g yang tidak beragama atau non muslim.
Perhatikan lah ayat-ayat sebelum dan sesudahya seperti yang artinya
"Katakanlah (hai orang-oran g mu'min): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang
diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada
nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-be dakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya" (QS Al Baqarah [2]:136)
"Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhn ya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ." (QS Al Baqarah [2]:137)
Sebagai sesama muslim, sebaiknya kita harus tetap sabar mengingatk an mereka sedangkan urusan hidayah adalah kehendak Allah ta'ala semata.
Firman Allah ta'ala yang artinya, "Sesungguhn ya manusia itu benar-bena r dalam kerugian kecuali orang-oran g yang beriman dan mengerjaka n amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran" (QS Al 'Ashr [103]: 2-3)
Dalam masalah fiqih atau perkara syariat yang dimaksud "perbedaan adalah rahmat" adalah perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat atau perbedaan di antara ahli istidlal sedangkan perbedaan di antara bukan ahli istidlal adalah sebuah kesalahpah aman semata sebagaiman a yang disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/10/13/ bukan-ahli- istidlal/
Sedangkan perbedaan di antara ulama tasawuf yang dimaksud "perbedaan adalah rahmat" adalah perbedaan pengalaman mereka memperjala nkan diri mereka hingga sampai (wushul) kepada Allah ta'ala. Perbedaan pengalaman memperjala nkan diri adalah perbedaan yang bersifat individual karena dipengaruh i kehendak Allah ta'ala semata. Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidz i (205-320H/ 820-935M) dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguha n pengabdian seorang hamba kepada Allah. Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatka n diri kepada Allah. Menurut al-Tirmidz i
ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih
derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan
golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah) . Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mat a karena karunia-Ny a yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendak i-Nya di antara hamba-hamb a-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguha nnya di dalam beribadah kepada Allah. Al Hakim al-Tirmidz i berpandang an bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhi dun, al-shaddiq un, al-shiddiq un, hingga al-muqarra bun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatka n wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Ny a). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah.
Perbedaan di antara Imam Mazhab bukanlah perselisih an
namun perbedaan yang dapat diterima atau disebut furuiyyah (cabang)
dan kaum muslim dapat memlih di antara empat pilihan tersebut.
Di antara Imam Mazhab yang empat, mereka berbeda semata-mat a dikarenaka n terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayir at disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambila n kesimpulan nya berbeda. Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur’an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran .
Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu’, kata “aw lamastumun nisa” dalam al-Qur’an terbuka untuk ditafsirka n. Begitu pula lafaz “quru” (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirka n. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah .
Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukka n
boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi
ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi,
karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu
juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah .
Jadi, sudah terbuka diperselis ihkan dari sudut keberadaan nya, juga terbuka peluang untuk beragam pendapat dalam menafsirka n lafaz hadis itu.
* zanni al-wurud : selain hadis mutawatir
* zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)
Nah, Syari’ah tersusun dari nash qat’i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.
Contoh praktis:
1.
(a) kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat’i dan ini syari’ah),
(b) kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, namun kata “melihat” mengandung penafsiran .
2.
(a) membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata “bi” pada famsahuu biru’usiku m terbuka utk ditafsirka n.
3.
(a) memulai shalat harus dengan niat (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh)
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk “ushalli” untuk menguatkan hati sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup
Oleh karenanya dalam masalah fiqih atau perkara syariat maka cukupkanla h
pada Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat telah
diakui oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang
sebagai para ulama yang terbaik dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah
atau diakui berkompete nsi
sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Selain itu Imam Mazhab yang empat masih
sempat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh yang
meriwayatk an hadits sehingga
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang patut dijadikan Imam
atau pemimpin yang diikuti oleh kaum muslim sampai akhir zaman.
Tidak ada alasan lagi bagi kaum muslim untuk mengikuti pendapat atau ajaran ulama seperti ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau bahkan ulama Al Albani yang memahami Al Qur'an dan As Sunnah lebih bersandark an dengan muthola'ah (menelaah) kitab secara otodidak di balik perpustaka an dengan pemahaman mereka sendiri berdasarka n makna dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat atau memahami dengan metodologi "terjemahk an saja" dari sudut arti bahasa (lughot) dan istiah (terminolo gi) saja
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaik an “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahann ya
karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia
salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia
tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal
pikirannya sendiri),
maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh
baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang
kita bisa tanya jika kita mendapatka n masalah”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab diketahui pula tidak mau mempelajar i ilmu fiqih sebagaiman a informasi yang disampaika n oleh ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabil ah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
عَبْدُ الْوَهَّاب ِ بْنُ سُلَيْمَان َ التَّمِيْم ِيُّ النَّجْدِي ُّ وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَة ِ الَّتِيْ انْتَشَرَش َرَرُهَا فِي اْلأَفَاقِ لَكِنْ بَيْنَهُمَ ا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَتَظَاهَر ْ بِالدَّعْو َةِ إِلاَّ بَعْدَمَوْ تِ وَالِدِهِ وَأَخْبَرَ نِيْ بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ عَمَّنْ عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْو َهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ لَمْ يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالْفِقْه ِكَأَسْلاَ فِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرّ َسُ فِيْه أَنَّهُ يَحْدُثُ مِنْهُ أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ
(ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah , yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-ter angan berdakwah kecuali setelah meninggaln ya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginform asikan
kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini,
bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar
ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-oran g di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat , “Hati-hati , kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-bena r terjadi.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabil ah, hal. 275).
Dalam kitab al-Durar al-Saniyya h fi al-Ajwibat al-Najdiyy ah, kumpulan fatwa-fatw a ulama Wahhabi sejak masa pendirinya , yang di-tahqiq oleh Ulama Abdurrahma n bin Muhammad bin Qasim, ulama Wahhabi kontempore r, ada pernyataan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa ilmu fiqih dan kitab-kita b fiqih madzhab empat yang diajarkan oleh para ulama adalah ilmu syirik, sedangkan para ulama yang menyusunny a adalah syetan-sye tan manusia dan jin. (Al-Durar al-Saniyya h, juz 3 hal. 56).
Padahal untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak cukup dengan arti bahasa. Diperlukan kompetensi menguasai alat bahasa seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’).
Apalagi jika ingin menetapkan hukum-huku m syara’ bedasarkan dalil syar’i diperlukan penguasaan ilmu ushul fiqih. Penjelasan tentang hal ini telah disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/10/07/ tak-cukup-a rti-bahasa /
Ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-mas ing.
Adapun pengertian ‘ashl’ (jamaknya: ‘ushul’) menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara terminolog i, karena ushul fiqh menurut terminolog i adalah “dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh”.
Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan defenisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kai dah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-huku m fiqh”. Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kai dah yang menjelaska n tentang cara (methode) pengambila n (penggalia n) hukum-huku m yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dali l syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh mnenetapka n, bahwa perintah (amar) itu menunjukka n hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukka n hukum haram dan lain lain.
Jadi Ushul Fiqh adalah pendekatan metodologi yang harus diikuti dalam penafsiran teks, atau dengan redaksi lain, Ushul Fiqh adalah tata bahasa dan ilmu pengetahua n yang harus diikuti dalam upaya menggali hukum dari sumber-sum bernya. Atau menjelaska n sumber-sum ber hukum fiqh yang sudah mendapatka n legitimasi syari’at seperti Al-Quran, Sunnah, konsensus, analogi, dan seterusnya .
Untuk memahami hukum bersumber dari Al Quran dan As Sunnah maka harus betul betul memahami gaya bahasa (uslub) yang ada dalam bahasa Arab dan cara penunjukka n lafazh nash kepada artinya. Para ulama ahli ushul fiqih mengarahka n perhatian mereka kepada penelitian terhadap uslub-uslu b dan ibarat-iba rat bahasa Arab yang lazim dipergunak an oleh sastrawan- sastrawan Arab dalam menggubah syair dan menyusun prosa. Dari penelitian ini, mereka menyusun kaidah-kai dah dan ketentuan- ketentuan yang dapat dipergunak an untuk memahami nash-nash syari’at secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri yang nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahull ah : Aku bertanya pada bapakku : “Ada seorang lelaki yang memiliki kitab-kita b mushannaf, di dalam kitab tersebut ada perkataan Rasulullah Shallallah u alaihi wa Sallam, para sahabat dan tabi’in, akan tetapi ia tidak meliliki ilmu untuk bisa mengetahui hadits yang lemah yang matruk dan tidak pula bisa membedakan hadits yang kuat dari yang lemah, maka bolehkah mengamalka n sesuai dengan apa yang dia inginkan dan memilih sekehendak nya lantas ia berfatwa dan mengamalka nnya?”. Beliau menjawab : “Tidaklah boleh mengamalka nnya
sehingga ia bertanya dari apa yang ia ambil, maka hendaknya ia
beramal di atas perkara yang shahih dan hendaknya ia bertanya tentang
yang demikian itu kepada ahli ilmu” (lihat i’lamul muwaqi’in 4/179)
Kompetensi yang dibutuhkan untuk dapat menggali sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah seperti
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaika n Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainy a bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d
dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada
lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan,
ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq,
ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz
hakikat. Semua itu masing-mas ing mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki sanad ilmu dan kompetensi
di atas maka termasuk orang awam (bukan ahli istidlal) sehingga tidak
ada jalan lain kecuali taqlid kepada imam mujtahid yang dapat
dipertangg ungjawabka n kemampuann ya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Jadi bermazhab adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Salafush Sholeh.
Suatu ketika Rasulullah shallallah u alaihi wasallam mengadu kepada Tuhan: “Aku akan meninggalk an dunia ini, Aku akan meninggalk an umatku. Siapakah yang akan menuntun mereka setelahku? Bagaimana nasib mereka sesudahku?”
Allah ta’ala lalu menurunkan firman-Nya :
walaqad atainaaka sab’an mina almatsaani i wal wur’aana al’azhiima (QS Al Hijr [15] : 87)
“Kami telah mengarunia kanmu Assab’ul-m atsani dan al-Qur’an yang agung..” (Q.S. 15:87)
Assab’ul-m atsani dan al-Qur’an, dua pegangan yang menyelamat kan kita dari kesesatan, dua perkara yang telah membuat Rasulullah shallallah u alaihi wasallam tenang meninggalk an umat.
Al Qur’an kita telah mengetahui nya lalu apakah yang dimaksud dengan Assab’ul-m atsani ?
“Sab’an minal-mats ani” terdiri dari tiga kata; Sab’an, Min dan al-Matsani . Sab’an berarti tujuh. Min berarti dari. Sementara al-Matsani adalah bentuk jama’ dari Matsna yang artinya dua-dua. Dengan demikian maka Matsani berarti empat-empa t (berkelomp ok-kelompo k, setiap kelompok terdiri dari empat).
Dalam sebuah hadits Rasul menyebutka n bahwa Assab’ul-m atsani itu adalah surat Fatihah. Itu benar, namun yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwasanya Assab’ul-m atsani (tujuh kelompok) itu telah diisyaratk an oleh salah satu ayat dalam surat Fatihah, tepatnya pada firman-Nya :
” اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم “
“Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-oran g yang Engkau karuniai nikmat“. (QS Al Fatihah [1]:6-7)
Mereka itulah Assba’ul-m atsani, sebagaiman a firman Allah :
” الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا “
“Orang-oran g yang dikaruniai nikmat oleh Allah adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-oran g shalih, mereka itulah sebaik-bai k teman“. (QS An Nisaa [4]: 69)
Mereka itulah Assab’ul-m atsani yakni orang-oran g yang telah dikaruniai
nikmat oleh Allah ta’ala sehingga berada pada jalan yang lurus dan
menjadi seorang penunjuk yang patut untuk diikuti dalam memahami kitab
petunjuk (Al Qur’an) sehingga menyelamat kan kita dari kesesatan serta menghantar kan kita mencapai kebahagian dunia dan akhirat
Imam Mazhab yang empat adalah termasuk Assab’ul-m atsani yang menghantar kan kepada kebahagiaa n dunia dan akhirat, sebagaiman a pula telah disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/09/17/ seorang-pen unjuk
Sedangkan Assab’ul-m atsani lainnya telah disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/09/16/ yang-dikaru niai-nikma tnya/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Guru kami menasehatk
Perhatikan
"Katakanlah
"Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya,
Sebagai sesama muslim, sebaiknya kita harus tetap sabar mengingatk
Firman Allah ta'ala yang artinya, "Sesungguhn
Dalam masalah fiqih atau perkara syariat yang dimaksud "perbedaan adalah rahmat" adalah perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat atau perbedaan di antara ahli istidlal sedangkan perbedaan di antara bukan ahli istidlal adalah sebuah kesalahpah
Sedangkan perbedaan di antara ulama tasawuf yang dimaksud "perbedaan
Perbedaan di antara Imam Mazhab bukanlah perselisih
Di antara Imam Mazhab yang empat, mereka berbeda semata-mat
Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu’, kata “aw lamastumun
Selain hadis mutawatir,
Jadi, sudah terbuka diperselis
* zanni al-wurud : selain hadis mutawatir
* zanni al-dilalah
Nah, Syari’ah tersusun dari nash qat’i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.
Contoh praktis:
1.
(a) kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat’i dan ini syari’ah),
(b) kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan
2.
(a) membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata “bi” pada famsahuu biru’usiku
3.
(a) memulai shalat harus dengan niat (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) apakah niat itu dilisankan
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan
Oleh karenanya dalam masalah fiqih atau perkara syariat maka cukupkanla
Tidak ada alasan lagi bagi kaum muslim untuk mengikuti pendapat atau ajaran ulama seperti ulama Ibnu Taimiyyah,
Ulama keturunan cucu Rasulullah
Rasulullah
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab diketahui pula tidak mau mempelajar
عَبْدُ الْوَهَّاب
(ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah
Dalam kitab al-Durar al-Saniyya
Padahal untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak cukup dengan arti bahasa. Diperlukan
Apalagi jika ingin menetapkan
Ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-mas
Adapun pengertian
Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin
Jadi Ushul Fiqh adalah pendekatan
Untuk memahami hukum bersumber dari Al Quran dan As Sunnah maka harus betul betul memahami gaya bahasa (uslub) yang ada dalam bahasa Arab dan cara penunjukka
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahull
Kompetensi
a. Mengetahui
b. Mengetahui
c. Mengetahui
d. Mengetahui
e. Mengetahui
Bagi yang tidak memiliki sanad ilmu dan kompetensi
Diantara para mujtahid yang madzhabnya
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Jadi bermazhab adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Salafush Sholeh.
Suatu ketika Rasulullah
Allah ta’ala lalu menurunkan
walaqad atainaaka sab’an mina almatsaani
“Kami telah mengarunia
Assab’ul-m
Al Qur’an kita telah mengetahui
“Sab’an minal-mats
Dalam sebuah hadits Rasul menyebutka
” اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم “
“Ya Allah, tunjukilah
Mereka itulah Assba’ul-m
” الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا “
“Orang-oran
Mereka itulah Assab’ul-m
Imam Mazhab yang empat adalah termasuk Assab’ul-m
Sedangkan Assab’ul-m
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830