oleh Muhammad Bakhit
PAHAM-PAHA M YANG HARUS DILURUSKAN
Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Alhabib Muhammad bin Alwi Almaliky Alhasany
BAB I
Pembahasan Masalah
''AQIDAH''
''KESALAHA N PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG''
LARANGAN MENJATUHKA N VONIS KUFUR ( TAKFIR ) SECARA MEMBABI BUTA
Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-fak tor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda akan menyaksika n mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-ge sa ini bisa membuat jumlah penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon , berusaha memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik. Dorongan kewajiban mempraktek kan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktek kan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik (bi al-Hikmah wa al-Mau’idz oh al–Hasanah ). Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaiman a disebutkan dalam QS. an-Nahl:12 5:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْم َةِ وَالْمَوْع ِظَةِ الْحَسَنَة ِ وَجَادِلْه ُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
''Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.''
Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangk an karena lebih efektif untuk menggapai hasil yang diharapkan . Menggunaka n cara yang negatif dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.
Jika Anda mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjaka n sholat, melaksakan kewajiban- kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan -Nya, menyebarka n dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkan syi’ar-syi ’ar-Nya
untuk melakukan sesuatu yang Anda nilai benar sedangkan dia memiliki
penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu berbeda pendapat
dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu lalu kamu
menilainya kafir
hanya karena berbeda pandangan denganmu maka sungguh kamu telah
melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk melakukann ya dan menyuruhmu untuk menggunaka n cara yang bijak dan tutur kata yang baik.
Al-'Allama h al-Imam as-Sayyid Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad mengatakan ,
“Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrika n yang nyata yang tidak mungkin ditafsirka n lain, mengingkar i kenabian, prinsip-pr insip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (ma ‘ulima min ad-din bi adh-dharur at), mengingkar i ajaran yang dikategori kan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu.''
Ajaran-aja ran yang dikategori kan wajib diketahui semua ummat Islam seperti masalah ke-Esaan Allah, kenabian, diakhiriny a kerasulan dengan Nabi Muhammad saw, kebangkita n di hari akhir, hisab (perhitung an amal), balasan, surga dan neraka bisa mengakibat kan kekafiran orang yang mengingkar inya dan tidak ada toleransi bagi siapapun umat Islam yang tidak mengetahui nya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi sampai mempelajar inya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatk an sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawati r bisa dipandang dari :
1. Aspek isnad seperti hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّد ًا فَلْيَتَبَ وَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
"Barangsi apa berbohong atas namaku maka carilah tempatnya di neraka" (HR. Muslim)
2. Aspek tingkatan kelompok perawi.
Seperti kemutawati ran al-Qur’an yang kemutawati rannya terjadi di muka bumi ini dari wilayah barat hingga timur dari aspek kajian, pembacaan, dan penghafala n serta ditransfer dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatann ya sehingga ia tidak membutuhka n isnad.
Kemutawati ran ada juga yang dikategori kan mutawatir dari aspek praktikal dan turun-temu run (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin )
seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman nabi sampai sekarang, atau
mutawatir dari aspek informasi (tawaturu ‘ilmin) seperti kemutawati ran mu’jizat-m u’jizat. Karena mu’jizat-m u’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang dikategori kan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahua n setiap muslim.
Memvonis kufur seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah hadits disebutkan :
إِذَا قَالَ الرجلُ لأَخِيه : يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَ ا
"Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya; Hai kafir, maka vonis kufur telah jatuh pada salah satu dari keduanya." ( HR.Bukhari )
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-belu k keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-ba tasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.
Tidak diperkenan kan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhka n vonis kufur berdasarka n prasangka dan dugaan tanpa kehati-hat ian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembaranga n maka akan kacau dan mengakibat kan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir .
Demikian pula, tidak diperboleh kan menjatuhka n vonis kufur terhadap tindakan-t indakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatai n tetap terpelihar a. Dalam sebuah hadits dari Anas ra. Rasulullah saw. bersabda :
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَان ِ : الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُه ُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَا مِ بِعَمَلٍ ، وَالْجِهَا دُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّال َ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَ انُ بِالْأَقْد َارِ
“Tiga hal merupakan pokok iman; menahan diri dari orang yang menyatakan tiada Tuhan kecuali Allah, tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluark annya dari agama Islam akibat perbuatan dosa. Jihad berlangsun g terus semenjak Allah mengutusku
sampai akhir umatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh
kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil dan meyakini
kebenaran takdir”. (HR. Abu Daud)
Al-Imam al-Haramai n pernah berkata:
“Jika ditanyakan kepadaku: Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-u ngkapan yang menyebabka n kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhka n argumentas i mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasa r ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-pun cak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukt i kuat menyangkut dalil-dali l pengkafira n”.
Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan untuk menjauhi pengkafira n secara membabi buta di luar poin-poin yang telah dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafira n bisa berakibat sangat fatal.
Hanya Allah swt. yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.
SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB MENYANGKUT TAKFIR
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab rahimahull ah memiliki sikap mulia dalam hal pentakfira n. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh mereka yang mengklaim sebagai pendukungn ya kemudian memvonis kafir secara serampanga n
terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka.
Padahal Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri menolak semua
pandangan- pandangan tak berharga yang dialamatka n kepadanya. Dalam sebuah risalah yang dikirimkan nya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah ia menulis sebagai berikut :
''Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan bahwa sebagian ulama di daerah kalian menerima dan membenarka n isi risalah tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ad a atas nama saya ucapan-uca pan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak terlintas sama sekali di hatiku.''
Di antaranya: Ucapan Sulaiman bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat. Bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar.Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid. Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirk an orang yang melakukan tawassul dengan orang-oran g shalih, dan saya mengkafirk an Imam al-Bushiri karena ucapannya: Wahai makhluk paling mulia.
Seandainya saya mampu meruntuhka n kubah Rasulullah saw. maka saya akan melakukann ya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantin ya dengan talang kayu. Saya mengharamk an ziarah ke makam Nabi saw, mengingkar i ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirk an orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirk an Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairaat dan Raudhat ar-Rayahin yang kemudian saya namakan Raudhat asy-Syayat hin.
Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapka n perkataan- perkataan di atas adalah firman Allah: "Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar." ( QS. an-Nur:16)
Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi saw. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-oran g shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama persis sebab menciptaka n kebohongan dan ucapan palsu. Allah swt. berfirman: "Sesungguh nya yang mengada-ad akan kebohongan , hanyalah orang-oran g yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah." (Q.S. an-Nahl:10 5)
Kafir Qurays melontarka n tuduhan palsu bahwa Nabi saw. mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan ‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firmanNya :"Bahwasan ya orang-oran g yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami. Mere ka itu dijauhkan dari neraka." (QS. al-Anbiya` :101)
RISALAH PENTING LAIN KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB DALAM MASALAH PENTAKFIRA N
Risalah ini dikirimkan kepada as-Suwaidi , seorang ulama Iraq. Sebelumnya as-Suwaidi mengirimka n buku dan menanyakan mengenai apa yang diperbinca ngkan masyarakat . Kemudian Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab menjawab dalam risalahnya :
"Tersebarn ya kebohongan adalah hal yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritak annya apalagi untuk membuat-bu at hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian katakan adalah bahwasanya saya mengkafirk an semua orang kecuali mereka yang mengikutik u. Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohongan ini masuk ke akal orang yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarka n ucapan demikian?
Dan apa yang kalian katakan: Seandainya saya mampu meruntuhka n kubah Nabi saw. niscaya saya akan merealisas ikannya, membakar dalailul khairaat jika mampu dan melarang bersholawa t kepada Nabi dengan ungkapan sholawat apapun. Perkataan- perkataan ini dikategori kan kebohongan . Dalam hati seorang muslim tidak terbesit dalam hatinya sesuatu yang lebih agung melebihi al-Qur’an.
Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata:
"Apa yang kalian katakan bahwa saya telah mengkafirk an orang yang melakukan tawassul dengan orang-oran g shalih, mengkafirk an Bushoiri karena ungkapanny a: Wahai makhluk paling mulia, mengingkar i diperkenan kannya ziarah kubur Nabi saw, kuburan kedua orang tua dan kuburan-ku buran orang lain serta mengkafirk an orang yang bersumpah menggunaka n
nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah
Firman Allah: "Maha suci Engkau ( ya Tuhan kami ), ini adalah Dusta yang
besar." (QS. an-Nur:16)
MEMAKI ORANG ISLAM ADALAH TINDAKAN FASIQ DAN MEMERANGIN YA ADALAH TINDAKAN KUFUR
Ketahuilah bahwa membenci, memboikot dan berseberan gan dengan kaum muslimin adalah haram, memaki orang Islam adalah tindakan fasiq dan memerangin ya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut adalah halal.
Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama pasukannya
ketika menuju Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam cukup
digunakan untuk menolak pemahaman harfiah (literal) dari judul di atas.
Saat Khalid tiba di tempat mereka, mereka menyambutn ya. Lalu Khalid mengeluark an instruksi, “Peluklah agama Islam!”. “Kami adalah kaum muslimin.” Jawab mereka. “Letakkan senjata kalian dan turunlah.” lanjut Khalid. “Tidak, demi Allah. Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan . Kami tidak bisa mempercaya i kamu dan orang-oran g yang bersama kamu.” jawab mereka kembali. “Tidak ada perlindung an
buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Kata Khalid. Akhirnya
sebagian kaum menuruti perintah Khalid dan sisanya tercerai berai.
Dalam riwayat lain redaksinya sebagai berikut: Ketika Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutn ya. Lalu Khalid bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum kafir?”. “Kami adalah kaum muslimin yang menjalanka n sholat, membenarka n Muhammad, membangun masjid di tanah lapang kami dan mengumanda ngkan adzan di dalamnya.” Jawab mereka. Dalam lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapka n Aslamna, akhirnya mereka mengatakan Shoba’na Shoba’na. “Untuk apa senjata yang kalian bawa?, tanya Khalid. “Ada permusuhan
antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian
adalah mereka hingga kami pun membawa senjata.” Jawab mereka. “Letakkan
senjata kalian!” Perintah Khalid. Mereka pun mengikuti perintah Khalid
untuk meletakkan senjata. “Menyerahl ah
kalian semua sebagai tawanan!” Lanjut Khalid. Kemudian Khalid menyuruh
sebagian dari kaum untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya .
Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan. Ketika tindakan Khalid ini sampai kepada Nabi saw., beliau berkata, “Ya Allah, saya tidak bertanggun g jawab atas tindakan Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa Khalid mengira mereka mengatakan shoba’na shoba’na dengan angkuh dan menolak tunduk kepada Islam. Hanya saja yang disesalkan Rasulullah saw. adalah ketergesa- gesaan dan ketidakhat i-hatianny a dalam menangani kasus ini sebelum mengetahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan shoba’na shoba’na. Nabi saw. sendiri pernah mengatakan : “Sebaik-ba ik hamba Allah adalah saudara kabilah Qurays; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk menghancur kan orang-oran g kafir dan munafik”.
Persis seperti apa yang dialami Khalid adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih Rasulullah saw. berdasarka n hadits yang diriwayatk an Imam Bukhari dari Abi Dzibyan. Abi Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasululla h saw. mengirim kami ke desa al-Huraqah . Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi dan berhasil mengalahka n mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar seorang laki-laki Bani Dzibyan.''
Ketika kami berdua telah mengepungn ya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku orang Anshar mengurungk an niat untuk membunuhny a namun saya menikamnya dan diapun mati. Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi saw. telah mendengar informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan. Beliau saw. pun berkata, “Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhny a setelah dia mengatakan La Ilaha illallah?” . “Dia hanya berpura-pu ra,” Jawabku. Nabi mengucapka n pertanyaan nya berulang-u lang sampai-sam pai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-su ngguh atau berpura-pu ra?”. “Saya tidak akan pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata Usamah.
Sayyidina Ali ra. pernah ditanya mengenai kelompok-k elompok yang menentangn ya, “Apakah mereka kafir?”. “Tidak,” jawab Ali, “Mereka adalah orang-oran g yang menjauhi kekufuran” . “Apakah mereka kaum munafik?”. “Bukan, orang-oran g
munafik hanya sekelebat mengingat Allah sedang mereka banyak mengingat
Allah”. “Terus siapakah mereka?” Ali kembali ditanya. “Mereka adalah
kaum yang terkena fitnah yang mengakibat kan mereka buta dan tuli”, jawab Ali.
MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAAN NYA
Tidak disangsika n lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Di antaranya pada ayat:
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُم ْ إِيمَانًا
"Dan apabila dibacakan ayat-ayatN ya bertambahl ah iman mereka (karenanya )". (QS. al-Anfal:2 )
Penyandara n kalimat ziyadah ke kalimat ayat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang yang menambah sesungguhn ya adalah Allah swt.
يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَا نَ شِيبًا
"Hari yang menjadikan anak-anak beruban." (QS. al-Muzzamm il:17)
Penyandara n
kata ja’ala pada pada al-Yaum adalah majaz ‘aqli. Karena al-Yaum adalah
tempat mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada al-Yaum
sedang yang menjadikan sesungguhn ya adalah Allah swt. "Dan jangan pula suwwa`, yaghuts, ya`uq dan nasr.
وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِ ينَ إِلَّا ضَلَالًا
"Dan sesudahnya mereka menyesatka n kebanyakan (manusia). " (QS. Nuh:23-24)
Penyandara n idhlal pada ashnam adalah majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idhlal sedang yang memberi petunjuk dan yang menyesatka n hakikatnya Allah swt. semata. Fi rman Allah swt. mengisahka n Fir’aun:
"Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi." (QS. al-Mu`min: 36)
Penyandara n
al-Binaa kepada Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman hanya penyebab. Ia
hanya pemberi perintah tidak membangun sendiri. Yang membangun adalah
para pekerja. A dapun keberadaaa n majaz ‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui oleh orang yang mau mengkajiny a.
Para ulama berkata: "Terlontar nya penyandara n di atas dari orang yang mengesakan Allah swt. cukup menjadikan nya dikategori kan sebagai penyandara n majazi karena keyakinan yang benar adalah bahwa Pencipta para hamba dan tindakan-t indakan mereka adalah Allah semata. Allah swt. adalah Pencipta para hamba dan tindakan-t indakan mereka. Tidak ada yang bisa memberikan
pengaruh kecuali Allah swt. Orang hidup atau orang mati tidak bisa
memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni.
Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan . Maka ia bisa jatuh dalam kemusyrika n.
URGENSI MENETAPKAN KAITAN ( NISBAT ) DALAM MENE TAPKAN BATASAN KUFUR DAN IMAN
Beberapa kelompok sesat hanya menggunaka n pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-i ndikasi dan tujuan-tuj uan serta tidak menggunaka n titik temu yang bisa menghindar i kontradiks i antar dalil-dali l yang ada seperti kelompok yang berpendapa t bahwa al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunaka n argumentas i firman Allah swt.:
إِنَّا جَعَلْنَاه ُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا
"Sesungguh nya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab." (QS . az-Zukhruf :3)
Kelompok Qadariyyah (free will) yang menggunaka n ayat:
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُم ْ
"Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri." (QS. asy-Syura: 30)
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون َ
"Apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Yunus:23)
Kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُون َ
"Padahal Allahlah yang menciptaka n kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (QS. ash-Shaffa t:96)
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
"Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar." (QS. al-Anfaal: 17)
Untuk menyingkap maksud dari firman Allah swt. di muka bahwa sesungguhn ya semua kelompok ummat Islam di luar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan Allah swt. berdasarka n ayat:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُون dan ayat وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
Meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunaka n pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja) seperti dalam firman Allah swt.:
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَ ا مَا اكْتَسَبَت ْ
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakan nya dan ia mendapat siksa (dar i kejahatan) yang dikerjakan nya." (QS. al-Baqarah :286)
Dan ayat-ayat lain yang menunjukka n penyandara n kerja kepada hamba.
Keterkaita n qudrat dengan al-Maqdur (obyek dari sifat qudrat) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrat Allah pada masa 'azali berkaitan dengan alam sebelum Allah menciptaka nnya. Dan qudrat Allah ketika menciptaka n alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaita n lain.
ESENSI MENISBATKA N TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA
Berangkat dari keterkaita n qudrat di atas jelaslah bahwa keterkaita n qudrat tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjaka n bukan penciptaan . Karena Allah swt. yang menciptaka n, mentakdirk an dan menghendak inya. Tidak perlu dipersoalk an bagaimana Allah swt. menghendak i
apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan
bukti Allah swt. menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah swt.
tidak menghendak i semuanya beriman. Hal ini berdasarka n firman Allah swt.:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِ ينَ
"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat mengingink annya." (QS. Yusuf:103)
Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk kategori penisbatan musabbab (obyek yang terkena pengaruh sebab) kepada sabab (penyebab) atau wasithah (perantara ). Hal ini bukanlah sebuah kontradiks i karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah Pencipta washithah yang menciptaka n makna keperantar aan kepada washithah. Seandainya Allah swt. tidak memberi makna keperantar aan
terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak layak menjadi
washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah swt. seperti
benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti malaikat, manusia, atau jin.
PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH
Barangkali Anda berkata: Tidaklah rasional menisbatka n satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil berkumpuln ya dua hal yang mampu memberikan pengaruh kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian. Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaan nya”. Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkina n digunakan untuk salah satunya.
Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duan ya sebagaiman a telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian (musytarak / ambigu)
atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan: Pemimpin membunuh si fulan
dan ungkapan: Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh yang
dinisbatka n kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang sama yang dinisbatka n kepada algojo. Maka ungkapan kita: Allah swt. adalah pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada dan ungkapan kita: Sesungguhn ya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptaka n padanya kehendak dan pengetahua n.
Berarti hubungan qudrat dengan iradat serta gerakan dengan qudrat adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan dengan yang menciptaka n. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kategori mengaitkan yang disebabi atas yang menjadi penyebab.
Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan qudrat sebagai fa’il (pelaku) bagaimanap un bentuk kaitannya. Sebagaiman a algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan memandang dari sudut masing-mas ing. Karena pembunuhan berkaitan dengan keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun masing-mas ing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam hal menilai obyek-obye k dari qudrat dengan dua qudrat.
Dalil yang menunjukka n diperboleh kan menisbatka n hal-hal di muka dan relevansin ya adalah bahwa Allah swt. sendiri kadang menisbatka n tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatka nnya kepada diriNya sendiri.
Allah swt. berfirman:
قُلْ يَتَوَفَّا كُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ
"Katakanla h: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanm u." (QS. as-Sajdah: 11)
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُس َ حِينَ مَوْتِهَا
"Allah memegang jiwa (seseorang ) ketika matinya." (QS. az-Zumar:4 2)
أَفَرَأَيْ تُمْ مَا تَحْرُثُون َ
"Maka terangkanl ah kepadaku tentang yang kamu tanam." (QS. al-Waqi`ah :63). Dengan dinisbatka n kepada mereka.
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا فَأَنْبَتْ نَا فِيهَا حَبًّا
"Sesungguh nya Kami benar-bena r telah mencurahka n air (dari langit). Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-bai knya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijia n di bumi itu." (QS.`Abasa :25-27)
فَأَرْسَلْ نَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّل َ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
"Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna." (QS. Maryam:17)
فَنَفَخْنَ ا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا وَجَعَلْنَ اهَا وَابْنَهَا آَيَةً لِلْعَالَم ِينَ
"Lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam." (QS. al-Anbiya` :91). Nafkh (tiupan) disandarka n kepada Allah padahal yang meniup sesungguhn ya adalah Jibril as. Allah swt. berfirman:
فَإِذَا قَرَأْنَاه ُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ
"Apabila Kami telah selesai membacakan nya Maka ikutilah bacaannya itu." (QS. al-Qiyamah :18) padah al pembaca al-Qur’an yang didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad saw. adalah Jibril.
Allah swt. berfirman:
فَلَمْ تَقْتُلُوه ُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
"Maka (yang sebenarnya )
bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh
mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allahlah yang melempar." (QS. al-Anfal:1 7)
Allah meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diriNya dan menafikan tindakan pelemparan darinya lalu menyandark annya kepada diriNya.
Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-oran g
kafir dan menafikan tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil.
Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak membunuh dan melempar dalam
pengertian sebagaiman a Allah membunuh dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna yang memiliki arti berbeda.
Kadangkala Allah swt. menisbatka n tindakan kepada diriNya dan Nabi Muhammad saw. secara bersamaan sebagaiman a firman Allah swt.:
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُه ُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِين َا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُه ُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
"Jikalau mereka sungguh-su ngguh
ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan
berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karuniaNya dan demikian (pula) RasulNya, Sesungguhn ya kami adalah orang-oran g yang berharap kepada Allah" (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)." (QS. at-Taubah: 59)
Sayyidah ‘Aisyah rha. meriwayatk an bahwa Allah swt. jika berkehenda k menciptaka n janin maka Allah swt. mengutus malaikat. Lalu malaikat memasuki rahim dan memungut sperma dengan tangannya kemudian membentukn ya
sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai Tuhanku, laki-laki atau
perempuan jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal atau cacat ?”.
Lalu Allah menetapkan janin sesuai dengan kehendakNy a dan malaikat pun membentukn ya. Dalam versi lain: Malaikat membentuk janin dan meniupkan nyawa padanya sebagai janin yang mendapat bahagia atau celaka.
Jika Anda memahami keterangan di atas maka jelaslah bagi Anda bahwa tindakan digunakan dalam arti beragam dan tidak kontradikt if. Karena itu tindakan adakalanya disandarka n kepada benda mati seperti dalam firman Allah swt.:
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
"Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya." (QS. Ibrahim:25 ) padahal pohon tidak bisa memberikan buah dengan sendirinya .
Sebagaiman a halnya sabda Nabi saw. kepada orang yang memberikan beliau sebuah kurma:
خذها لو لم تأتها لأتتك
"Ambillah kurma itu. Jika engkau tidak mendatangi nya maka kurma itu akan datang kepadamu " (HR. Thabrani dan Ibnu Hibban).
Penyandara n kata ityan (datang) berbeda pengertian antara yang disandarka n kepada seorang laki-laki dan kurma. Maksud dari datangnya kurma berbeda dengan datangnya laki-laki.
Pengertian datang dari keduanya adalah dua majaz yang berbeda sudut pandangnya . Kemajazan penyebutan kedatangan kepada laki-laki bermakna bahwa Allah menciptaka n padanya kemampuan dan kehendak untuk datang pada kurma. Sedang kedatangan kurma bermakna bahwa Allah swt. akan membuat seseorang sebagai penyebab datangnya kurma.
Yang sesungguhn ya adalah menyandark an mendatangk an
kepada Allah pada keduanya. Karena perbedaan sudut pandang dalam
perantara maka memandang perantara dalam tindakan terkadang bisa
mengakibat kan kekufuran sebagaiman a jawaban Qarun terhadap Nabi Musa as. Qarun berkata:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
"Sesungguh nya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku. " (QS. al-Qashash :78)
Dan sebagaiman a dalam hadits :
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِ هِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْك َبِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْك َبِ
"Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada yang beriman kepadaKu dan kafir”. Adapun yang berkata: "Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia beriman kepadaKu dan kufur kepada bintang". Sebaliknya orang yang berkata: "Kami disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepadaKu dan beriman kepada bintang".
Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptaka n. Imam an-Nawawi berkata: pendapat para ulama terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang mengatakan : "Kami disirami hujan berkat bintang ini."
Pendapat pertama: menyatakan bahwa perkataan ini adalah kekufuran kepada Allah swt. dan mencabut dasar keimanan serta dapat mengeluark an dari agama Islam. Dalam pandangan ulama kekufuran bisa terjadi atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya meyakini bahwa bintang adalah pelaku, pengatur dan pencipta hujan sebagaiman a anggapan sebagian kaum jahiliyyah . Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini maka tidak disangsika n lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama di antaranya Imam asy-Syafi’ i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits. Karena itu, dalam pandangan mereka seandainya mengatakan :
"Kami disirami hujan berkat bintang ini." dengan tetap meyakini bahwa
hujan itu dari dan berkat rahmat Allah swt. sedang bintang cuma dianggap
sebagai waktu dan ciri berdasarka n kebiasaan maka seolah-ola h ia mengatakan : "Kami disirami hujan pada waktu bintang ini", berarti ia tidak kufur. Para ulama berbeda pendapat menyangkut kemakruhan perkataan: "Kami disirami hujan berkat bintang ini". Namun kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplika si dosa. Penyebab kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur dan tidak, yang bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapny a. Dan juga ia adalah lambang jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah .
Pendapat kedua: Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi saw. menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah swt. sebab membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran
ini didukung oleh riwayat terakhir pada bab ini, "Sebagian orang, di
pagi hari ada yang bersyukur dan ada yang kufur". Dalam riwayat lain,
Allah tidak menurunkan berkah dari langit kecuali sebagian manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata biha (terhadap berkah itu) menunjukka n kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu a’lam.
Anda bisa melihat bahwa Imam an-Nawawi menyatakan adanya konsensus ulama bahwa siapapun yang menisbatka n
tindakan kepada perantara tidak berdampak kufur kecuali disertai
keyakinan bahwa perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur
dan pencipta. Namun jika perantara tidak dilihat demikian namun hanya
menganggap perantara adalah ciri atau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirka n maka vonis kufur tidak jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaiman a sabda Nabi saw.:
من أسدى إليكم معروفا فكافئوه فان لم تستطيعوا فادعوا له حتى تعلموا أنكم قد كافأتموه
"Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak mampu membalasny a maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah membalas kebaikanny a."
Dan sabda Nabi yang lain:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ
"Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah."
Ajakan syara’ ini berdasarka n pertimbang an bahwa memandang perantara dari sudut pandang demikian tidak berarti meniadakan anugerah dari Allah swt. Banyak ayat di mana Allah swt. memberikan
pujian atas perbuatan baik para hambaNya dan malah memberi mereka
pahala atas perbuatan tersebut. Allah swt. adalah Dzat yuang mendorong
mereka berbuat baik dan menciptaka n kemampuan mereka untuk mengerjaka nnya. Allah swt. berfirman:
نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
"Dia adalah sebaik-bai k hamba. Sesungguhn ya dia amat taat (kepada Tuhannya). " (QS. Shaad:30)
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَة ٌ
"Bagi orang-oran g yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahanny a." (QS. Yunus:26)
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
"Sesungguh nya beruntungl ah orang yang mensucikan jiwa itu" (Q.S. asy-Syams: 9)
Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’lu) dapat digunakan dalam beragam makna maka makna-makn a tersebut tidaklah berbentura n jika dipahami dengan jernih. Makna-makn a yang terkandung
dalam ungkapan lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan hati lebih luas
dari buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku pada lafadz dalam arti
hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu mengkompro mikan antara teks-teks atau membedakan nya. Silahkan Anda perhatikan informasi yang disampaika n Allah swt. tentang Nabi Ibrahim as. dalam:
رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ
Apakah Anda menilai Nabi Ibrahim as. menyekutuk an Allah swt. dengan benda mati? Padahal beliaulah yang bertanya:
أَتَعْبُدُ ونَ مَا تَنْحِتُون َ وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُون َ
Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun yang menyekutuk an Allah swt. dengan yang lain dalam segi penciptaan dan memberikan pengaruh maka ia telah musyrik baik obyek lain itu benda mati atau manusia, baik Nabi atau bukan. Dan barangsiap a yang meyakini adanya penyebab dalam hal di atas baik penyebab itu berlaku secara umum atau tidak kemudian menjadikan Allah swt. sebagai penyebab atas terjadinya musabbab dan bahwa pelakunya (al-fa’il) adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka ia adalah seorang mukmin meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab dianggap sebagai sebab. Karena kesalahann ya terletak pada sebab bukan pada yang menciptaka n sebab yang notabene adalah Sang Pencipta dan Pengatur swt.
MENGAGUNGK AN ANTARA IBADAH DAN ETIKA
Banyak orang keliru dalam memahami substansi pengagunga n dan ibadah. Mereka mencampur kedua substansi ini dan menganggap bahwa apapun bentuk pengagunga n berarti ibadah kepada yang diagungkan . Berdiri, mencium tangan, mengagungk an
Nabi saw. dengan kata Sayyidina dan Maulana, dan berdiri di depan
beliau saat berziarah dengan sopan santun; semua ini tindakan berlebihan di mata mereka yang bisa mengarah kepada penyembaha n selain Allah swt.
Pandangan ini sesungguhn ya adalah pandangan bodoh dan membingung kan yang tidak diridloi Allah swt. dan Rasulullah saw. serta menyusahka n diri sendiri yang tidak sesuai dengan spirit Syari’at Islamiyyah .
Nabi Adam as. manusia pertama dan hamba Allah swt. yang shalih yang
pertama dari jenis manusia, oleh Allah malaikat diperintah kan untuk bersujud kepadanya sebagai bentuk penghargaa n dan pengagunga n atas ilmu pengetahua n yang diberikan Allah swt. kepada Nabi Adam as. dan sebagai proklamasi kepada para malaikat atas dipilihnya Nabi Adam as. bukan para makhluk lain.
Allah swt. berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائ ِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ أَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا قَالَ أَرَأَيْتَ كَ هَذَا الَّذِي كَرَّمْتَ عَلَيَّ لَئِنْ أَخَّرْتَن ِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَ ةِ لَأَحْتَنِ كَنَّ ذُرِّيَّتَ هُ إِلَّا قَلِيلًا
"Dan (ingatlah) ,
tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu semua
kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali Iblis. Dia berkata: "Apakah aku
akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" Dia (iblis)
berkata: "Terangkan lah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhn ya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-bena r akan aku sesatkan keturunann ya, kecuali sebahagian kecil" (QS. al-Isra':6 1-62)
Dalam ayat lain Allah swt. berfirman:
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِ ي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَ هُ مِنْ طِينٍ
"Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadany a. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah." (QS. al-A`raf:1 2)
فَسَجَدَ الْمَلَائِ كَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُون َ إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى أَنْ يَكُونَ مَعَ السَّاجِدِ ينَ
"Maka bersujudla h para malaikat itu semuanya bersama-sa ma, kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sam a (malaikat) yang sujud itu." (QS. al-Hijr:30 -31)
Para malaikat mengagungk an makhluk yang diagungkan Allah swt. dan iblis menolak untuk sujud kepada makhluk yang tercipta dari tanah. Iblis adalah yang pertama kali menggunaka n
analogi dengan akalnya dan berkata: "Saya lebih baik dari Adam", dengan
alasan karena ia tercipta dari api sedang Adam dari tanah. Ia enggan
menghormat i Adam dan menolak bersujud kepadanya.
Iblis adalah makhluk angkuh pertama dan menolak mengagungk an makhluk yang diagungkan Allah swt. akhirnya ia dijauhkan dari rahmat Allah swt. karena keangkuhan nya pada Adam yang shalih. Sikap iblis pada dasarnya adalah keangkuhan kepada Allah swt. karena sujud kepada Adam semata-mat a atas perintah Allah swt. Sujud kepada Adam hanyalah sebagai bentuk penghormat an kepadanya atas para malaikat. Iblis adalah makhluk yang mengesakan Allah swt. namun ketauhidan nya tidak berguna sama sekali akibat menolak bersujud kepada Adam.
Salah satu firman Allah swt. yang menjelaska n pengagunga n terhadap orang-oran g sholih adalah firman Allah swt. menyangkut Nabi Yusuf as.:
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا
"Dan ia menaikkan kedua ibu-bapany a ke atas singgasana . Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud. " (QS. Yusuf:100)
Sujud ini adalah sujud sebagai ungkapan penghargaa n dan pemuliaan terhadap Yusuf atas saudara-sa udaranya.
Sujud menyentuh tanah yang dilakukan saudara-sa udara Yusuf ditunjukka n oleh kalimat " وَخَرُّوا" barangkali dalam syari’at saudara-sa udara Yusuf sujud dalam bentuk seperti ini diperboleh kan atau seperti sujud para malaikat kepada Adam untuk memuliakan , mengagungk an, dan mematuhi perintah Allah swt. sebagai penafsiran terhadap mimpi Yusuf di mana mimpi para Nabi berstatus wahyu.
Adapun Nabi Muhammad saw. maka Allah swt. telah berfirman: "Sesungguh nya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan ,9. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya , membesarka n-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang."
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُو ا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِه ِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَك ُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْل ِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُك ُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُون َ إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَه ُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُم ْ لِلتَّقْوَ ى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَ كَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَا تِ أَكْثَرُهُ مْ لَا يَعْقِلُون َ
"Hai orang-oran g yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwala h kepada Allah. Sesungguhn ya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui . Hai orang-oran g yang beriman, janganlah kamu meninggika n suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaiman a
kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak
hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhn ya orang yang merendahka n suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-oran g yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhn ya orang-oran g yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti." (QS. al-Hujurat :1-4)
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّل ُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَ رِ الَّذِينَ يُخَالِفُو نَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُم ْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُم ْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
" Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sesungguhn ya Allah swt. telah mengetahui orang-oran g yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-oran g yang menyalahi perintahNy a takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. an-Nur:63)
Ketika berhadapan dengan Rasulullah saw. Allah swt. melarang berbicara mendahului beliau dan bersikap tidak sopan dengan mendahului berbicara. Sahl ibn Abdillah berkata, "Janganlah kamu berkata sebelum Rasulullah saw. berkata, dan jika beliau berkata maka dengarkanl ah dan perhatikan lah." Para sahabat dilarang untuk mendahului dan tergesa-ge sa memenuhi keinginann ya sebelum keinginan Rasulullah saw. terpenuhi dan dilarang mengeluark an fatwa apapun baik perang atau urusan lain yang menyangkut agama tanpa perintah Nabi saw. dan juga tidak boleh mendahului beliau.
Kemudian Allah swt. memperinga tkan mereka untuk tidak melanggar larangan di atas :
وَاتَّقُوا ْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Dan bertakwala h kepada Allah. Sesungguhn ya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ." (QS. al-Hujurat :1)
Berkata as-Silmi: "Takutlah kepada Allah, jangan sampai menelantar kan hak Allah dan menyia-nyi akan hal-hal yang diharamkan Nya karena Dia mendengar ucapan kalian dan mengetahui tindakan kalian."
Selanjutny a Allah melarang mengeraska n suara melebihi suara beliau dan berbicara keras kepada beliau sebagaiman a mereka berbicara kepada sesamanya. Versi lain mengatakan , sebagaiman a kalian saling memanggil dengan menggunaka n nama.
Abu Muhammad Makki mengatakan : "Janganlah kalian berkata sebelum beliau, mengeraska n ucapan dan memanggi beliau dengan namanya sebagaiman a panggilan kalian dengan sesamanya. " Tapi agungkanla h dan hormatilah dan panggillah beliau dengan panggilan paling mulia yang beliau senang dengan panggilan tersebut yaitu wahai Rasulullah dan wahai Nabiyyalla h. Pandangan Abu Muhammad Makki ini sebagaiman a firman Allah swt. QS. an-Nur:63 di atas.
Ulama lain menafsirka n: "Jangan berkata kepada beliau kecuali bertanya. Selanjutny a Allah swt. memperinga tkan bahwa amal perbuatan mereka akan hangus jika melanggar larangan di muka. Ayat di atas turun dilatarbel akangi oleh peristiwa ketika sekelompok
orang datang kepada Nabi saw. dan memanggil beliau dengan: "Wahai
Muhammad, keluarlah untuk menemui kami". Lalu Allah swt. pun mengecam
tindakan mereka sebagai kebodohan dan menggambar kan bahwa kebanyakan mereka tidak berakal.
Amr ibn Ash berkata: "Tidak ada orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah
saw. dan di mataku tidak ada yang lebih agung melebihi beliau. Saya
tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar semata-mat a karena menghormat inya.
Jika saya ditanya untuk mensifati beliau saya tidak akan mampu menjawab
sebab saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar. (HR.
Muslim dalam Kitab al-Iman, bab Kaun al-Islam Yahdimu ma Qablahu).
Turmudzi meriwayatk an dari Anas bahwa Rasulullah
saw. keluar menemui sahabat Muhajirin dan Anshor yang sedang duduk. Di
antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar. Tidak ada yang berani
memandang beliau dengan wajah terangkat kecuali Abu Bakar dan Umar.
Keduanya memandang beliau dan beliau memandang keduanya dan mereka
berdua tersenyum kepada beliau dan beliau juga tersenyum kepada mereka.
Usamah ibn Syuraik meriwayatk an : "Saya datang kepada Nabi saw. yang dikeliling i para sahabat yang seolah-ola h di atas kepala mereka dihinggapi burung".
Dalam mensifati beliau : "Jika berbicara para pendengar yang duduk di sekeliling beliau akan menundukka n kepala seolah-ola h di atas kepala mereka dihinggapi burung."
Saat Urwah ibn Mas’ud menjadi duta Qurays waktu mengadakan perjanjian datang kepada Rasulullah saw. dan melihat penghormat an
para sahabat kepada beliau saw. Ia melihat jika beliau saw. berwudhu
maka mereka akan segera berebutan mengambil air wudlu. Bila beliau saw.
meludah atau membuang dahak maka mereka akan meraihnya dengan telapak
tangan mereka lalu digosokkan pada wajah dan badan mereka. Kalau ada sehelai rambut beliau saw. yang jatuh mereka segera mengambiln ya. Jika beliau saw. memberi instruksi mereka segera mengerjaka nya. Bila beliau saw. berbicara mereka merendahka n suara mereka. Mereka tidak berani memandang tajam beliau saw., karena menghormat inya.
Ketika Usamah bin Syuraik kembali kepada kaum quraisy ia berkata: “Wahai orang-oran g Quraisy saya pernah mendatangi Kisra dan kaisar di istana mereka, Demi Allah saya belum pernah sekalipun melihat raja bersama kaumnya sebagaiman a Muhammad bersama para sahabatnya ".
Dalam riwayat lain disebutkan : "Saya belum pernah sekalipun melihat raja yang dihormati pengikutny a sebagaiman a para sahabat menghormat i Nabi saw.. Sungguh saya telah melihat kaum yang tidak akan membiarkan beliau saw. dalam bahaya selamanya" .
Ath-Thabra ni dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya meriwayatk an dari Usamah bin Syuraik bahwasanya ia berkata; “Kami sedang duduk-dudu k di samping Nabi saw. seolah-seo lah di atas kepala kami hinggap burung “.
Tidak ada seorangpun
di antara kami yang berbicara tiba-tiba datang beberapa orang pada Nabi
saw. lalu mereka bertanya; “ Siapakah hamba Allah yang paling
dicintainy a? “Yang paling baik budi pekertinya “Jawab Nabi saw.. Demikian tercantum dalam at-Targhib :2/ 187. Imam al-Mundziri berkata: Hadits ini diriwayatk an oleh ath-Thabra ni dalam ash-Shahih dengan para perawi yang bisa dijadikan argumentas i.
Abu Ya’la meriwayatk an dari al-Barra’ ibn ‘Azib dan menilainya shahih bahwa al-Barra’ mengatakan : “Sungguh aku ingin sekali menanyakan sesuatu kepada Rasulullah saw. namun aku menundanya selama dua tahun semata-mat a karena segan”.
Al-Baihaq i meriwayatk an dari az-Zuhri bahwa ia berkata: “Mengkhaba rkan kepada saya seorang Anshor yang tidak saya ragukan bahwa Rasulullah saw. jika berwudhu atau mengeluark an dahak maka para sahabat berebutan mengambil dahak beliau kemudian diusapkan pada wajah dan kulit mereka. “M engapa kalian berbuat demikian,? Tanya Rasulullah saw.? “Kam i mencari berkah darinya.” “Barangsia pa yang ingin dicintai Allah swt. dan RasulNya maka berkatalah jujur, menyampaik an amanah dan tidak menyakiti tetanggany a.” Demikian keterangan dalam al-Kanzu:8 228.
Walhasil, dalam hal ini ada dua persoalan besar yang harus dimengerti . Pertama; kewajiban menghargai Nabi saw. dan meninggika n derajat beliau di atas semua makhluk. Kedua; mengesakan Tuhan dan menyakini bahwa Allah swt. berbeda dari semua makhlukNya dalam aspek dzat, sifat dan tindakan.
Barang siapa yang meyakini adanya kesamaan makhluk dengan Allah swt. dalam aspek ini maka ia telah menyekutuk an Allah swt. sebagaiman a kaum musyrikin yang meyakini ketuhanan dan penyembaha n terhadap berhala. Dan siapapun yang merendahka n Nabi saw. dari kedudukan semestinya maka ia berdosa atau kafir.
Adapun orang menghormat i Nabi saw. dengan beragam penghormat an yang berlebihan namun tidak mensifati beliau dengan sifat-sifa t Allah swt. apapun maka ia telah berada di jalan yang benar dan secara bersamaan telah menjaga aspek ketuhanan dan kerasulan. Sikap semacam ini adalah sikap yang ideal. Apabila ditemukan dalam ucapan kaum mukminin penyandara n sesuatu kepada selain Allah maka wajib dipahami sebagai majaz ‘aqli. Tidak ada alasan untuk mengkafirk annya karena majaz ‘aqli digunakan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
PERANTARA SYIRIK
Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara (wasithah) . Mereka memvonis dengan gegabah bahwa perantara adalah tindakan musyrik dan menganggap bahwa siapapun yang menggunaka n perantara dengan cara apapun telah menyekutuk an Allah swt. dan sikapnya sama dengan sikap orang-oran g musyrik yang mengatakan :
مَا نَعْبُدُهُ مْ إِلَّا لِيُقَرِّب ُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatka n kami kepada Allah dengan sedekat-de katnya." (QS. az-Zumar:3 )
Kesimpulan ini jelas salah dan berargumen tasi dengan ayat di atas adalah bukan pada tempatnya. Karena ayat tersebut jelas menunjukka n pengingkar an terhadap orang musyrik menyangkut penyembaha n mereka terhadap berhala dan menjadikan nya sebagai tuhan selain Allah swt. serta menjadikan berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan dengan anggapan bahwa penyembaha n mereka terhadap berhala mendekatka n mereka kepada Allah swt.
Jadi, kekufuran dan kemusyrika n kaum mussyrikin adalah dari aspek penyembaha n mereka terhadap berhala dan dari aspek keyakinan mereka bahwa berhala adalah tuhan-tuha n di luar Allah swt.
Di sini ada masalah yang urgen untuk dijelaskan , yaitu bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin, sesuai yang digambarka n Allah swt., tidak meyakini dengan serius ucapan mereka yang membenarka n penyembaha n berhala: (Kami tidak menyembah mereka kecuali semata-mat a untuk mendekatka n diri kepada Allah). Jika ucapan kaum musyrikin tersebut sungguh-su ngguh niscaya Allah swt. lebih agung daripada berhala dan mereka tidak akan menyembah selainNya.
Allah telah melarang kaum muslimin untuk memaki berhala-be rhala kaum musyrikin, lewat firmanNya:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّو ا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُ مْ فَيُنَبِّئ ُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُون َ
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-s embahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahua n. Demikianla h Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitak an kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. al-An`am:1 08)
Abdurrazaq , Abd ibn Hamid, Ibn Jarir, Ibnu al-Mundzi r, Ibnu Abi Hatim dan Abu asy-Syaikh meriwayatk an dari Qatadah bahwa Rasulullah saw. Berkata: “Awalnya Kaum muslimin memaki berhala-be rhala
orang kafir. Akhirnya mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat 108 surat
al-An'am di atas. Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang turunnya
ayat tersebut. Berarti ayat tersebut melarang dengan keras kaum
mu’minin untuk melontarka n kalimat yang bernada merendahka n terhadap batu-batu yang disembah oleh kaum paganis di Makkah.
Karena melontarka n kalimat seperti itu mengakibat kan
kemurkaan kaum paganis karena membela bebatuan yang mereka yakini dari
lubuk hati paling dalam sebagai tuhan yang memberi manfaat dan menolak
bahaya. Jika mereka emosi maka akan balik memaki Tuhan kaum muslimin,
Allah swt. dan melecehkan Nya dengan berbagai kekurangan padahal Dia bebas dari segala kekurangan . Jika mereka meyakini dengan sebenarnya bahwa penyembaha n kepada berhala sekedar untuk mendekatka n diri kepada Allah swt. niscaya mereka tidak akan berani memaki Allah swt. untuk membalas orang yang memaki tuhan-tuha n mereka.
Fakta ini menunjukka n dengan jelas bahwa keberadaaa n Allah swt. dalam hati mereka jauh lebih sedikit dari pada keberadaaa n bebatuan yang disembah. Ayat lain yang menunjukka n ketidakjuj uran orang kafir adalah
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُ مْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَ اتِ وَالْأَرْض َ لَيَقُولُن َّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُ مْ لَا يَعْلَمُون َ
"Dan Sesungguhn ya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptaka n langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui ." (QS. Luqman:25)
Bila orang-oran g kafir meyakini dengan jujur bahwa hanya Allah swt. Sang Pencipta dan bahwa berhala-be rhala itu tidak mampu menciptaka n apa-apa niscaya mereka akan menyembah Allah swt. semata, tidak menyembah berhala atau minimal penghormat an mereka terhadap Allah swt. melebihi penghormat an kepada patung-pat ung
dari batu tersebut. Apakah jawaban mereka dalam ayat ini relevan dengan
makian mereka terhadap Allah swt. sebagai bentuk pembelaan terhadap
berhala-be rhala mereka dan pelampiasa n
dendam terhadap Allah swt? Secara spontan kita akan menjawab sampai
kapanpun hal ini tidak relevan. Ayat di atas bukanlah satu-satun ya ayat yang menunjukka n bahwa di mata mereka Allah swt. lebih rendah dari patung-pat ung yang mereka sembah.
Banyak ayat senada seperti :
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْع َامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِ مْ وَهَذَا لِشُرَكَائ ِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائ ِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِه ِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُون َ
"Dan mereka memperuntu kkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaa n mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-be rhala kami". Maka saji-sajia n yang diperuntuk kan bagi berhala-be rhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajia n yang diperuntuk kan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-be rhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu." (QS. al-An`am:1 36)
Seandainya di mata mereka Allah swt. tidak lebih rendah dibanding patung-pat ung tersebut maka mereka tidak akan mengunggul kannya dalam bentuk seperti yang diceritaka n ayat ini dan tidak layak mendapat vonis " سَاءَ مَا يَحْكُمُون َ
" . Salah satu ungkapan yang masuk kategori di atas adalah perkataan
Abu Sufyan sebelum masuk Islam, “Mulialah engkau wahai Hubal!”
sebagaiman a riwayat al-Bukhari . Pujian ini dialamatka n
kepada berhala mereka yang bernama Hubal agar dalam kondisi kritis
mampu mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi serta agar ia dan pasukannya mampu mengalahka n tentara mukmin yang hendak menghancur kan berhala-be rhala mereka. Ini adalah gambaran dari sikap orang musyrik menyangkut berhala dan Allah swt.
Pengertian bahwa penghormat an bukan berarti penyembaha n terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik karena banyak orang tidak memahaminy a dengan benar lalu membangun persepsi-p ersepsi yang sesuai dengan pemahamann ya.
Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah swt. menyuruh kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka menyembah menghadapn ya dan menjadikan nya sebagai kiblat? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek penyembaha n. Mencium Hajar Aswad adalah penghambaa n kepada Allah swt. dan mengikuti Nabi saw. Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad niscaya mereka menjadi musyrik sebagaiman a para penyembah berhala. P erantara (mediator/ wasithah) adalah sesuatu yang harus ada.
Eksistensi nya bukanlah sebagai bentuk kemusyrika n. Tidak semua orang yang menggunaka n mediator antara dirinya dan Allah swt. dipandang musyrik. Jika semua dianggap musyrik niscaya semua orang dikategori kan musyrik karena segala urusan mereka didasarkan atas eksistensi mediator. Nabi Muhammad saw. menerima al-Qur’an via Jibril dan Jibril adalah mediator beliau.
Sedang Nabi saw. adalah mediator besar bagi para sahabat. Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan mengadukan nya kepada beliau dan menjadikan nya
sebagai mediator menuju Allah swt. Mereka memohon doa kepada beliau dan
beliau tidak menjawab, “Kalian telah musyrik dan kafir karena tidak
boleh mengadu dan memohon kepada saya. Kalian harus datang, berdoa dan
memohon sendiri karena Allah lebih dekat dengan kalian dari pada saya”.
Nabi saw. tidak pernah berkata demikian. Beliau malah berdiam dan dan
memohon pada saat di mana mereka mengatahui bahwa Pemberi Sejati adalah Allah swt. dan yang mencegah, melimpahka n dan pemberi rizqi juga Allah swt. Mereka juga tahu bahwa beliau saw. memberi atas izin dan karunia Allah swt.
Beliaulah yang mengatakan , ”Saya adalah pembagi dan Allah adalah pemberi”. Berangkat dari pengertian bahwa penghormat an bukan berarti penyembaha n terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas diperboleh kan menetapkan manusia biasa manapun bahwa ia telah mengatasi kesulitan dan mencukupi kebutuhan dengan pengertian bahwa ia adalah mediator dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.
Kalau manusia biasa bisa berperan seperti ini maka bagaimana dengan Nabi Muhammad saw. yang notabene junjungan mulia, Nabi Agung, makhluk termulia dunia akhirat , junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah swt. paling utama secara mutlak? Bukankah beliau pernah bersabda: "Barangsia pa membantu mengatasi satu dari banyak kesulitan seorang mu’min di dunia, maka Allah akan melepaskan nya kesusahan pada hari kiamat." ( HR. Bukhari dan Muslim).
Maka orang mu’min adalah orang yang mengatasi segala kesulitan.
Bukankah beliau juga bersabda: "Barangsia pa membantu kebutuhan saudaranya maka saya akan berdiri di dekat timbangan amalnya. Jika timbangan amal baik itu lebih berat maka akubiarkan , jika tidak maka aku akan memberinya syafaat? Maka orang mu’min adalah orang yang mencukupi segala kebutuhan. "
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ لهُ
"Barangsia pa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya."
"Sesungguh nya Allah memiliki para makhluk yang didatangi banyak orang untuk memenuhi kebutuhan mereka."
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
"Allah senantiasa membantu hamba-Nya sepanjang ia membantu saudaranya ."
مَنْ أَغَاثَ مَلْهُوفًا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثَلاَثَةً وَسَبْعِين َ حَسَنَةً
"Siapapun yang menolong orang teraniaya maka Allah akan menulis baginya 73 kebaikan." (HR. Abu Ya’la, al-Bazzar dan al-Baihaqi )
Dalam konteks ini orang mu’min adalah yang mengatasi, membantu, menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan meskipun sesungguhn ya pelaku sejatinya adalah Allah swt. Namun berhubung ia adalah mediator dalam menangani masalah-ma salah tersebut maka sah menisbatka n tindakan-t indakan tersebut kepadanya.
Dalam koleksi hadits-had its Rasulullah saw. terdapat banyak hadits yang menjelaska n bahwa Allah swt. menghindar kan siksaan dari penduduk bumi berkat orang-oran g yang beristighf ar dan mereka yang rajin menghidupk an masjid dan Dia juga memberi rizqi, menolong dan menjauhkan musibah dan tenggelam dari penduduk bumi berkat mereka. At h-Thabrani dalam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam as-Sunan meriwayatk an dari Mani’ ad-Dailami ra. bahwa ia berkata : Rasulullah
saw. bersabda: “Jikalau tiada para hamba Allah yang sholat, para bayi
yang menyusui dan binatang yang merumput niscaya adzab akan diturunkan dan orang-oran g yang terkena adzab itu akan dihancurka n”.
Al-Bukhari meriwayatk an dari Sa’d ibn Abi Waqqash ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
هَلْ تُنْصَرُون َ وَتُرْزَقُ ونَ إِلَّا بِضُعَفَائ ِكُمْ ؟
”Bukankah kalian mendapat kemenangan dan rizki hanya karena orang-oran g lemah kalian”.
At-Tirmidz i meriwayatk an sebuah hadits yang dikategori kan shahih oleh al-Hakim dari Anas ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
”Barangkal i kamu mendapat rizqi berkat saudaramu” .
Dari Abdullah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: ”Sesungguh nya Allah memiliki para makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Orang-oran g datang kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhann ya. Mereka dalah orang-oran g yang aman dari adzab Allah”.(HR . Thabrani dalam al-Kabiir, Abu Nu’aim dan al-Qudlo’i dengan status Hasan)
Dari Abdillah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda : ”Sesungguh nya Allah swt, sebab keshalihan seorang laki-laki muslim akan membuat anak, cucu, warga desanya dan desa-desa sekitarnya menjadi shalih dan mereka senantiasa berada dalam lindungan Allah sepanjang laki-laki shalih itu tinggal bersama mereka”.
Diriwayatk an oleh Ibn Jarir dalam tafsirnya: 2341 dan an-Nasa’i dalam al-Mawa’id z dari as-Sunan al-Kubra sebagaiman a keterangan dalam at-Tuhfah: 13/ 380. Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Shahih al-Bukhari dan al-Muslim selain guru an-Nasa’i yang dikategori kan tsiqah dan wa fihi kalamun.
Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Sesungguh nya Allah menghindar kan bala’ berkat seorang laki-laki shalih, seratus keluarga dari tetanggany a,”.
Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah swt.: "Seandainy a Allah tidak menolak (keganasan ) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan ) atas semesta alam." (HR. Thabrani).
Dari Tsauban seraya memarfu’ka n hadits berkata: ”Di tengah kalian senantiasa ada 7 orang wali di mana berkat mereka kalian diberi pertolonga n, hujan dan rizki sampai tiba hari kiamat”.
Dari ‘Ubadah ibn Shamit ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:
الأبدال فى أمتى ثلاثون بهم تقوم الأرض وبهم يُمطرون وبهم يُنصرون
”Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka kalian diberi hujan dan mendapat pertolonga n”.
Qatadah berkata:
إِنِّي لأَرْجُو أَنْ يَكُونَ الْحَسَنِ مِنْهُمْ
”Sungguh saya berharap Hasan al-Bashri termasuk mereka”. (HR. Thabrani).
Empat hadits di atas disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirka n ayat: "Seandainy a Allah tidak menolak (keganasan ) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan ) atas semesta alam." (QS. al-Baqarah :251). Ayat ini layak dijadikan argumen dan dari keempatnya status hadits menjadi shahih.
Dari Anas ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Bumi tidak akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurra hman Ibrahim as. Berkat mereka kalian disirami hujan dan diberi pertolonga n. Jika salah seorang meninggal maka Allah akan menggantin ya dengan orang lain.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath dan isnad-isna d hadits ini hasan. Majma’ az-Zawaid: 2/62)
MEDIATOR PALING AGUNG
Dalam hari mahsyar yang notabene hari tauhid, hari iman dan hari di mana ‘Arsy dimunculka n, akan tampak keutamaan mediator paling agung, pemilik panji (al-Liwa’ al-Ma’qud) , kedudukan terpuji, telaga yang didatangi, pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan tidak sia-sia jaminannya untuk orang yang Allah swt. telah berjanji kepada beliau bahwa Allah swt. tidak akan mengecewak an anggapan beliau, tidak akan menghina beliau selamanya,
tidak membuat beliau susah serta malu saat para makhluk datang kepada
beliau memohon syafaat. Lalu beliau berdiri kemudian tidak kembali
kecuali mendapat baju kebaikan dan mahkota kemuliaan yang tergambar
dalam perintah Allah swt. kepada beliau:
يَا مُحَمَّدُ ، ارْفَعْ رَأْسَكَ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ وَسَلْ تُعْطَ
“Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima dan mohonlah maka kamu akan diberi ”.
BAJU KEPALSUAN
Mereka yang mengklaim memahami substansi permasalah an dan kekanak-ka nakkan banyak jumlahnya. Namun sesungguhn ya mereka tidak tahu apa-apa dan tidak layak dianggap memahaminy a.
Semua mengaku punya hubungan kasih dengan Laila Tapi Laila menampik pengakuan mereka. Fakta menyedihka n
ini ditambah lagi dengan sikap mereka yang mencoreng diri sendiri dan
merusak reputasi. Sikap mereka tepat dengan apa yang digambarka n secara detail dalam sebuah hadits:
الْمُتَشَب ِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبِي زُورٍ
"Orang yang berpura-pu ra kenyang dengan sesuatu yang tidak bisa membuat kenyang laksana orang yang mengenakan dua baju kebohongan ".
Kita, umat Islam mendapat cobaan dengan banyaknya orang-oran g seperti di atas. Mereka mengeruhka n kedamaian umat, memecah belah antar kelompok dan menbangkit kan konflik antar sesama saudara dan anak dengan ayahnya. Mereka berusaha meluruskan persepsi-p ersepsi Islam lewat pintu pendurhaka an terhadap ulama, dan berpegang teguh dengan ajaran-aja ran salaf dengan jalan pengingkar an, dan mengganti kebajikan, tutur kata yang baik dan belas kasih dengan sikap keras, membatu, etika yang buruk dan minimnya simpati.
Di antara para pengklaim adalah mereka yang menganggap
mengikuti jalan tasawwuf padahal mereka adalah orang yang paling jauh
dari substansi dan essensi tasawwuf. Mereka menodai tasawwuf, mengotori
kemuliaann ya, merusak ajarannya dan melontarka n kritik pedas terhadap tasawwuf dan para imamnya dari para ahli ma’rifat dan para guru pembimbing . Kami tidak mengenal tahayyul, kebatilan, kebohongan dan tipuan dalam tasawwuf.
Kami juga tidak mengenal teori-teor i filsafat, ide-ide luar atau aqidah-aqi dah musyrik baik sinkretism e atau manunggali ng kawula gusti. Kam i lepas tangan kepada Allah swt. dari muatan-mua tan sesat tasawwuf dan mengkatego rikan semua pandangan yang berlawanan dengan al-Kitab dan as-Sunnah dan tidak bisa dita’wil adalah kebohongan yang menyusup dan ditambahka n oleh tangan-tan gan jahil dan jiwa-jiwa yang lemah.
Dengan perilaku yang baik dan budi pekerti yang bersih tampaklah kepahlawan an generasi awal, para tokoh, para imam dan para pahlawanny a. Dan tampak di hadapan kita sosok Islam yang paling cemerlang, sempurna, dan contoh paling luhur dan suci. Sejarah telah menginform asikan kepada kita cerita kemuliaan, kebanggaan , kehormatan , keagungan, jihad, perjuangan , dan pelajaran- pelajaran tentang peradaban Islam.
Berangkat dari fakta di muka kami meyakini bahwa kebangkita n-kebangki tan besar tidak akan terbangun kecuali di atas risalah-ri salah spiritual dan inspirasi- inspirasi iman dan tidak akan berdiri kecuali di atas etika-etik a luhur yang kokoh yang model-mode lnya digali dari akidah-aki dah suci.
Sesungguhn ya sifat-sifa t etik, psikologis dan spiritual adalah modal dasar bangsa. Ketiga faktor ini adalah aset-aset besar yang membentuk umat dan mengantark an umat manusia menuju cita-cita luhur. Orang yang mengkaji sejarah hidup generasi salaf shalih dan tokoh-toko h sufi di tengah masyarakat , akan melihat bagaimana contoh-con toh ideal dan prinsip-pr insip ini bisa menjadi faktor langsung terjadinya revolusi-r evolusi yang nyata, tercatat dan populer dalam sejarah Islam.
Mereka tidak memiliki pengaruh dan kekuatan kecuali iman dalam tatarannya yang paling tinggi. Iman yang panas, berkobar-k obar, dan hidup yang berlandask an kerinduan dan kecintaan kepada Allah swt. Sebuah keimanan yang mampu menyalakan api yang menyala-ny ala dan menatap selamanya kepada Allah swt. dalam hati para pengikutny a.
Orang yang mengkaji juga akan melihat bagaimana di tengah mereka seorang laki-laki bisa hidup dalam maqam al-Ihsan (kondisi di mana seseorang merasakan kehadiran Allah swt.), ia melihat Allah swt. dalam segala sesuatu, dan merasa takut kepadaNya dalam segala aktivitasn ya. Ia senantiasa merasa takut kepada Allah swt. dalam setiap tarikan nafasnya tanpa meyakini adanya penitisan, bersatunya Tuhan dengannya, dan peniadaan eksistensi Tuhan. Iman ini adalah iman yang membangunk an kesadaran holistik dalam kehidupan, menyentak rasa yang dalam akan ketuhanan yang berjalan dalam alam semesta, dan yang hidup dalam sudut-sudu t paling dasar dari alam semesta, yang mengetahui apa-apa yang terlintas di hati, bisikan-bi sikan rahasia, mata yang mencuri pandang dan apa yang disembunyi kan dalam hati.
ANTARA SEBAIK-BAI K BID’AH DAN SEBURUK-BU RUKNYA
Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalah an adalah orang-oran g yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahk an gerakan salafiyah dengan cara biadab dan tolol, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman- pemahaman yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreativita s yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikas inya padahal spirit syariah Islam mengharusk an kita membedakan bermacam-m acam bid’ah dan mengatakan bahwa: "Sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk".
Klasifikas i ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam. Kla sifikasi
bid’ah ini adalah hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari
generasi klasik kaum muslimin seperti al-Imam al-‘Izz ibn Abdissalam , an-Nawawi, as-Suyuthi , al-Mahalli dan Ibnu Hajar. Hadits-had its Nabi itu saling menafsirka n dan saling melengkapi . Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehens if serta harus menafsirka nnya dengan menggunaka n spirit dan persepsi syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.
Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsiran nya membutuhka n
akal yang jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi
yang sensitif yang digali dari samudera syariah, yang bisa memperhati kan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu menyesuaik an kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kai dah syari’at dan teks-teks al-Qur’an dan hadits yang mengikat. Salah satu contoh dari hadits-had its di muka adalah hadits:
كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap bid’ah itu sesat."
Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirka n sebagai bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam naungan dalil syar’i.
Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti:
لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِد ِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِد ِ
"Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid."
Hadits ini meskipun menunjukka n pengkhusus an akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-k eumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah, di samping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.
Seperti hadits:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
"Tidak ada sholat di hadapan makanan".
Para ulama menafsirka n bahwa sholat tersebut tidak sempurna.
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya."
واللهِ لا يُؤْمِن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل: مَن يا رسول الله؟ قال:مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَه ُ
"Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah ”. “Seseorang yang tetanggany a merasa terganggu dengannya” .
Para ulama menafsirka n dengan tidak adanya iman yang sempurna.
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ.. ..., لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ وعاق لوالديه
"Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba…….ti dak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya."
Para ulama menegaskan
bahwa yang dimaksud tidak akan masuk surga ialah tidak akan masuk
pertama kali atau tidak masuk surga jika menilai perbuatan tercela
tersebut halal dilakukan. Walhasil, para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirka nnya dengan bermacam-m acam penafsiran yang sesuai.
Hadits di atas yang menjelaska n bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-k eumuman hadits dan keadaan-ke adaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum. Dala m sebuah hadits dijelaskan :
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْر مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَ ةِ
"Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang mengamalka nnya sampai hari kiamat."
"Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurr asyidin sesudah wafatku."
Umar ibn Khaththab berkomenta r mengenai sholat tarawih: "Sebaik-ba ik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam)".
PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYA H
Sebagian ulama mengkritik pengklasif ikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapa t demikian. Malah sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi saw. yang jelas: "Setiap bid’ah itu sesat". Teks hadits ini jelas menunjukka n keumuman dan menggambar kan bid’ah sebagai sesat.
Karena itu Anda akan melihat ia berkata: Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan: Akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukann ya,
lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi
sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk.
Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbany ak jumlah orang-oran g yang tidak memahami tujuan-tuj uan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.
Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptaka n jalan untuk memecahkan problem-pr oblem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptaka n perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubunga n dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakat nya.
Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarka n dengan jelas: Sesungguhn ya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) Bid’ah Diniyah (keagamaan ) 2) Bid’ah Duniawiyya h (keduniaan ). Subhanalla h, mereka yang suka bermain-ma in ini membolehka n menciptaka n klasifikas i tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyya h, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-und ang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang?
Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabny a bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyya h yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ad a yang sebenarnya . Rasulull ah saw. sebagai Syari’ bersabda: “Setiap bid’ah itu sesat". Demikianla h beliau mengatakan nya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian; diniyyah yang sesat dan duniawiyya h yang tidak mengandung konsekuens i apa-apa. K arena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi jelas, insya Allah.
Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan Syari’ adalah lisan Syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus menggunaka n standar Syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah.
Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatka n kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang mendapat ancaman dari Nabi saw.:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsia pa menciptaka n dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak."
Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “فِى أَمْرِنَا هَذَا”. Ol eh karena itu pengklasif ikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptaka n
hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’
tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan
dibenci. Jika mereka yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengket aan itu jauh. Untu k lebih mendekatka n beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang mengingkar i pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya mengingkar i pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyya h, dan penilaian mereka bahwa pembagian ini adalah sebuah keniscayaa n.
Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa penambahan
dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela.
Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara
pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini
tidaklah substansia l
Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawa n yang mengingkar i pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang berpendapa t terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyya h tidak mampu menggunaka n ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat, –ini adalah pendapat yang benar– dan bid’ah duniawiyya h tidak ada konsekuens i apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyya h itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulka n fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara mendetail.
Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyya h ada yang baik dan ada yang buruk sebagaiman a fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatka n pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunaka n pendapat orang yang berpendapa t
bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang
dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah bid’ah dari aspek bahasa
sebagaiman a telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyya h oleh mereka yang ingkar terhadap pembagiann ya
menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah
dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumanda ngkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kai dah agama, dan mengharusk an kaum muslimin untuk menyelaras kan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisas ikan kecuali dengan mengklasif ikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbang an dari para aimmatul ushul.
Semoga Allah swt. meridloi para a'immatul ushul dan meridhoi kajian mereka terhadap lafadz-laf adz yang shahih dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian -pengertia n yang benar, tanpa penguranga n, perubahan atau interpreta si.
AJAKAN PARA AIMMAT AT-TASHAWW UF UNTUK MENGAPLIKA SIKAN SYARI'AT
Tasawwuf, obyek yang teraniaya dan senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapin ya. Justru sebagian kalangan dengan keterlalua n dan tanpa rasa malu mengkatego rikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibat kan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan , “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan informasin ya ditolak.” Mengapa? Karena ia seorang sufi. Aneh nya,
saya melihat sebagian mereka yang menghina tasawwuf, menyerang dan
memusuhi pengamal tasawwuf bertindak dan berbicara tentang tasawwuf,
kemudian tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tasawwuf dalam
khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mim bar Jum’at kursi-kurs i pengajaran .
Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan , “Berkata Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi , al-Muhasib i, dan Bisyr al-Hafi.” Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi , al-Muhasib i, dan Bisyr al-Hafi adalah tokoh-toko h tasawwuf yang kitab-kita b tasawwuf penuh dengan ucapan, informasi, kisah-kisa h
teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia
bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta? Saya ingin
mengutip pandangan para tokoh tasawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka sesungguhn ya.
Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai pandangann ya dan yang paling dipercaya mengungkap kan apa yang dirahasiak an. Al-Imam Junaid ra. berkata : “Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah ,
sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan
kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak beliau."
Terdapat riwayat yang menyebutka n bahwa Abu Yazid al-Basthom i suatu hari berbicara pada para muridnya, “Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopuler kan dirinya sebagai wali.” Lalu Abu Yazid dan murid-muri dnya berangkat untuk mendatangi
wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah
ke arah kiblat. Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi salam.
“Orang ini tidak dapat dipercaya atas satu etika dari beberapa etika
Rasulullah saw., maka bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiqin? “ kata Abu Yazid.
Dzunnun al-Mishri berkata, "Poros dari segala ungkapan (madar al- Kalam) ada empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka. Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah saw. dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya. "
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf adalah identitas untuk tiga makna; Shufi (pengamal tasawwuf) adalah orang yang cahaya ma’rifatny a tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara menggunaka n bathin menyangkut ilmu yang bertentang an dengan pengertian lahirial al-Kitab dan as-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap tabir-tabi r keharaman Allah swt."
Abu Nashr Bisyr ibn al-Harits al-Hafi berkata, “Saya bermimpi bertemu Nabi saw.: “Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggika n derajatmu mengalahka n teman-tema nmu? Tanya Beliau.“Ti dak tahu, Wahai Rasulullah ,” Jawabku. “Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-tema nmu dan kecintaanm u kepada para sahabat dan keluargaku . Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-oran g yang baik (Abror).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur al-Bashtho mi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah swt. agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah swt. padahal Rasulullah saw. tidak pernah memohon demikian.”
Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah swt. Kemudian Allah swt.
mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah
perempuan menghadapk u atau tembok."
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-bata s yang digariskan Allah dan pelaksanaa nnnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurraham an ibn ‘Athiah ad-Darani berkata, “Terkadang , selama beberapa hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat . Saya tidak menerima isi dari hati saya kecuali dengan dua saksi adil ; al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abul Hasan Ahmad ibn Abi al-Hawari berkata, “Siapapun yang mengerjaka n perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah saw. maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh Umar ibn Salamah al-Haddaad berkata, “Barangsia pa yang tidak mengukur semua tindakanny a setiap saat dengan al-Kitab dan as-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh besar (diwan ar-Rijal).
Abul Qasim al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhati kan al-Qur’an dan tidak mencatat al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tasawwuf) , karena ilmu kita dibatasi dengan al-Kitab dan as-Sunnah. ”
Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-pr insip al-Kitab dan as-Sunnah dan ilmuku ini dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah saw.”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar merobek-ro bek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai Anakku, mempraktek kan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi kesempurna an batin.”
Ia juga berkata, “Bersahaba t dengan Allah swt. itu dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut kepadaNya. Bersahabat dengan Rasulullah saw. itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa mempraktek kan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormat i dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawa n itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih."
Ia juga berkata, “Barangsia pa yang memposisik an as-Sunnah sebagai pimpinanny a dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiap a memposisik an hawa nafsu sebagai pimpinanny a dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah. Allah swt. berfirman:
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
"Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk." (QS. an-Nur:54)
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad an-Nawawi mengatakan , “Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisi bersama Allah swt. yang membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau mendekatin ya.”
Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ al-Karmani berkata, “Barangsia pa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan , mengendali kan nafsunya dari syahwat, menghidupk an bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah swt. (muraqabat ) dan menghidupk an keadaan lahiriahny a dengan mengikuti sunnah, dan membiasaka n diri memakan barang halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn Atha’ mengatakan , “Barangsia pa menekan dirinya untuk mengamalka n etika-etik a syari’at maka Allah swt. akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerah i kedudukan mengikuti al-Habib Rasulullah saw. dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau saw.”
Ia juga mengatakan , “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak menemukann ya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukann ya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukann ya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanl ah ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah al-Baghdad i al-Bazzar mengatakan , “Siapapun yang mengetahui jalan Allah swt. maka Dia akan memudahkan untuk menempuhny a. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah swt. kecuali mengikuti Rasulullah saw. dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.”
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud ar-Ruqi mengatakan , “ Indikator cinta kepada Allah swt. adalah mempriorit askan ketaatan kepada Allah swt. dan mengikuti NabiNya saw.”
Mamsyad ad-Dinawar i berkata, “Etika murid adalah selalu dalam menghormat i masyayikh (guru), membantu kawan-kawa n, terlepas dari faktor-fak tor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangp un yang menelantar kan salah satu kefardhuan Allah swt. kecuali Allah swt. akan menimpakan musibah dengan menyia-nyi akan sunnah. Dan Allah swt. tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantar kan sunnah kecuali ia hendak diberi musibah dengan bid’ah.”
SUBSTANSI KELOMPOK I MAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI (ASYA’IRAH )
Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab al-Asya’ir ah (kelompok ulama penganut madzhab Imam Asy’ari) dan tidak mengetahui
siapakah mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah. Sebagian
kalangan, tanpa apriori, malah menilai mereka sesat atau telah keluar
dari Islam dan menyimpang dalam memahami sifat-sifa t Allah swt. Ketid aktahuan terhadap madzhab al-Asya’ir ah ini adalah faktor retaknya kesatuan kelompok Ahlussunna h dan terpecah-p ecahnya persatuan mereka, sehingga sebagian kalangan yang bodoh memasukkan al-Asya’ir ah dalam daftar kelompok sesat. Saya tidak habis pikir, mengapa kelompok yang beriman dan kelompok sesat disatukan? Dan mengapa Ahlussunna h dan kelompok ekstrim Mu’tazilah (Jahmiyyah ) disamakan?
أَفَنَجْعَ لُ الْمُسْلِم ِينَ كَالْمُجْر ِمِينَ
"Maka apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-oran g yang berdosa (orang kafir)." (QS. Al-Qalam:3 5)
Al-Asya’ir ah
adalah para imam simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu
mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan semua orang sepakat
atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-toko h besar ulama Ahlussunna h yang menentang kesewenang -wenangan Mu’tazilah .
Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah al-Asya’ir ah digambarka n dalam kitab al-Fataawa a, volume 4 sebagai berikut: "Para ulama adalah pembela ilmu agama dan al-Asya’ir ah pembela dasar-dasa r agama (ushuluddi n)."
Al-Asya’ir ah (penganut madzhab al-Asy’ari ) terdiri dari kelompok para imam ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir seperti :
ý Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar al-‘Asqala ni, yang tidak disangsika n lagi sebagai gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathu al-Bari ‘ala Syarhi al-Bukhaar i.
ý Syaikhu Ulamai Ahlissunna h, al-Imam an-Nawaawi , penyusun Syarh Shahih Muslim, dan penyusun banyak kitab populer.
ý Syaikhul Mufassirin al-Imam al-Qurthub i penyusun tafsir al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an.
ý Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami , penyusun kitab az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba’ir .
ý Syaikhul Fiqh, al-Hujjah (argumenta si) dan ats-Tsabat (tokoh ulama yang dipercaya) Zakariya al-Anshari .
ý Al-Imam Abu Bakar al-Baaqila ni
ý Al-Imam al-Qashtha lani.
ý Al-Imam an-Nasafi
ý Al-Imam asy-Syarbi ni
ý Abu Hayyan an-Nahwi, penyusun tafsir al-Bahru al-Muhith.
ý Al-Imam Ibnu Juza, penyusun at-Tafshil fi ‘Uluumi at-Tanzil.
ý Dan sebagainya .
Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari ahli hadits, tafsir dan fiqh dari kalangan al-Asya’ir ah, maka keadaan tidak akan memungkink an dan kita membutuhka n
beberapa jilid buku untuk merangkai nama para ulama besar yang ilmu
mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi. Adalah salah satu
kewajiban kita untuk berterimak asih kepada orang-oran g yang telah berjasa dan mengakui keutamaan orang-oran g
yang berilmu dan memiliki kelebihan yakni para tokoh ulama, yang telah
mengabdi kepada syari’at junjungan para rasul Muhammad saw.
Kebaikan apa yang bisa kita peroleh jika kita menuding para ulama besar dan generasi salaf shalih telah menyimpang dan sesat? Bagaimana Allah swt. akan membukakan mata hati kita untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka bila kita meyakini mereka telah menyimpang dan tersesat dari jalan Islam?
Saya ingin bertanya, “Adakah dari para ulama sekarang dari kalangan doktor dan orang-oran g jenius, yang telah mengabdi kepada hadits Nabi saw. sebagaiman a dua imam besar ; Ibnu Hajar al-‘Asqala ni dan al-Imam an-Nawawi? semoga Allah swt. melimpahka n rahmat dan keridhoan kepada mereka berdua.”
Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua dan ulama al-Asya’ir ah yang lain, padahal kita membutuhka n ilmu-ilmu mereka? Mengapa kita mengambil ilmu dari mereka jika mereka memang sesat? Padahal al-Imam Ibnu Sirin rahimakumu llah pernah berkata: "Ilmu hadits ini adalah agama maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian." A pakah tidak cukup bagi orang yang tidak sependapat dengan para imam di atas, untuk mengatakan , “Mereka rahimahull ah telah berijtihad dan mereka salah dalam menafsirka n sifat-sifa t Allah swt."
Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti metode mereka. Sebagai ganti dari ungkapan kami menuduh mereka telah menyimpang dan sesat dan kami marah atas orang yang mengkatego rikan mereka sebagai Ahlussunna h. Bila al-Imam an-Nawawi, al-‘Asqala ni, al-Qurthub i, al-Fakhrur razi, al-Haitami dan Zakariya al-Anshari dan ulama besar lain tidak dikategori kan sebagai Ahlussunna h wal Jama’ah, lalu siapakah mereka yang termasuk Ahlussunna h wal Jama’ah?.
Sungguh, dengan tulus kami mengajak semua pendakwah dan mereka yang beraktivit as di medan dakwah Islam untuk takut kepada Allah swt. dalam menilai umat Muhammad, khususnya menyangkut tokoh-toko h
besar ulama dan fuqaha’. Karena, umat Muhammad tetap dalam kondisi baik
hingga tiba hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak
mengakui kedudukan dan keutamaan para ulama kita sendiri.
ESENSI-ESE NSI YANG SELESAI DENGAN KAJIAN
Polemik berkembang di antara ulama menyangkut banyak substansi persoalan dalam bidang aqidah, yang Allah swt. tidak membebani kita untuk mengkajiny a. Dalam pandangan saya polemik ini telah menghilang kan keindahan dan keagungan substansi masalah ini. Misalkan, pro kontra para ulama menyangkut melihatnya Nabi saw. kepada Allah swt. dan bagaimana cara melihatNya , dan perbedaan yang luas antara mereka menyangkut persoalan ini. Sebagian berpendapa t Nabi saw. melihat Allah swt. dengan hatinya, dan sebagian berpendapa t dengan mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentas i dan membela pendapatny a dengan hal-hal yang tak berguna.
Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak berguna sama sekali. Justru menimbulka n dampak negatif yang lebih besar dibanding manfaat yang didapat. Apalagi jika masyarakat awam mendengar polemik yang pasti menimbulka n keragu-rag uan di hati mereka ini. Jika kita mau mengesampi ngkan polemik ini dan menganggap cukup dengan menyajikan sunstansi persoalan ini apa adanya maka niscaya persoalan ini tetap dimuliakan dan dihargai dalam sanubari kaum muslimin, dengan cara kita mengatakan bahwa Rasulullah saw. melihat Tuhannya.
Cukup kita berkata demikian sedangkan menyangkut cara melihat dan lain sebagainya biarlah menjadi urusan Nabi saw.
Dalam firman Allah swt:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيماً
"Dan Allah telah berfirman terhadap Musa"
Salah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik yang berkembang di antara para ulama menyangkut substansi firman Allah swt. dan perbedaan luas dalam masalah ini. sebagian berpendapa t bahwa firman Allah swt. adalah suara hati (kalam nafsi) dan sebagian lagi berpendapa t bahwa kalam Allah swt. berhuruf dan bersuara. Saya sendiri berpendapa t kedua pihak ini sama-sama mencari substansi mensucikan Allah swt. dan menjauhi syirik dalam berbagai bentuknya.
Persoalan kalam (firman Allah) adalah kebenaran yang tidak bisa diingkari, karena tidak meniadakan kesempurna an Ilahi. Ini adalah pandangan dari satu aspek. Ditinjau dari aspek lain, sifat-sifa t Allah swt. yang terdapat dalam al-Qur’an wajib dipercayai dan ditetapkan , karena tidak ada yang mengetahui Allah swt. kecuali Allah swt. sendiri. A pa yang saya yakini dan saya ajak adalah menetapkan kebenaran ini tanpa perlu membicarak an bagaimana cara dan bentuknya.
Kita tetapkan bahwa Allah swt. memiliki sifat kalam dan berkata: "Ini
adalah kalam Allah swt. dan Allah swt. adalah Dzat yang berbicara. "
Kita cukup berbicara seperti ini dan menjauhi mengkaji apakah kalam itu
kalam nafsi atau kalam yang bukan nafsi yang berhuruf dan bersuara atau
tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Karena pembahasan seperti ini berlebihan , yang Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa tauhid tidak pernah membicarak annya. Lalu mengapa kita menambahka n
apa yang datang dibawa oleh Nabi saw.? Bukankah hal semacam ini adalah
salah satu bid’ah terburuk? Subhanaka Hadza Buhtanun ‘Adzim. Ra sulullah Saw. mengabarka n kepada kita tentang kalam pada saat kita berkumpul dengan beliau di sisi Allah swt.
Kami mengajak agar pembicaraa n kita selamanya menyangkut substansi kalam dan masalah sejenis terlepas dari pembahasan mengenai cara dan bentuknya.
Dalam sabda Rasulullah saw.:
إِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ خَلْفِي
"Saya mampu melihatmu dari belakang."
Salah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik yang terjadi di antara ulama menyangkut substansi sabda Nabi saw, “Sesungguh nya saya bisa melihat kalian dari belakang sebagaiman a dari arah depan.” Sebagian ulama berpendapa t bahwa Allah swt. menciptaka n dua mata di arah belakang. Sebagian berpendapa t bahwa Allah swt. menjadikan kedua mata beliau yang di depan memiliki kekuatan yang mampu menembus bagian belakang. Sebagian lagi berpendapa t bahwa Allah swt. membalik obyek yang ada di belakang Nabi saw. sehingga berada di depan beliau. Semua ini adalah interpreta si berlebihan yang membuat persoalan ini kehilangan keindahan dan keelokanny a sekaligus meredupkan kewibawaan dan keagungann ya di hati manusia. A dapun keberadaan Nabi saw. mampu melihat orang yang berada di belakang sebagaiman a melihat orang yang ada di depan maka ini adalah fakta yang telah disampaika n beliau sendiri dalam hadits shahih.
Maka tidak ada ruang sama sekali untuk membantahn ya. Namun apa yang saya ajak dan menjadi pendapat saya adalah menetapkan fakta ini apa adanya tanpa perlu mengkaji cara dan bentuknya. Kita wajib meyakini kemungkina n terjadinya dan dampaknya, dengan cara menyaksika n salah satu hal yang di luar kebiasaan yang meminggirk an faktor penyebab untuk menampakka n kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa serta kedudukan Rasulullah saw.
جبريل يتمثل رجلا
"Jibril menyamar sebagai seorang lelaki"
Para ulama bersilang sengketa menyangkut penyamaran
Jibril as. saat datang membawa wahyu dalam bentuk seorang lelaki
padahal fisik Jibril as. sangat luar biasa besar. Sebagian berpendapa t bahwa Allah swt. membuang kelebihan dari fisiknya. Sebagian lain menyatakan sebagian fisiknya menyatu dengan yang lain sehingga menyusut menjadi kecil. Menurut hemat saya interpreta si
ini tidak berguna. Saya meyakini Allah mampu membuat Jibril menyamar
dalam bentuk seorang laki-laki dan ini merupakan fakta yang telah
disaksikan oleh banyak sahabat.
Bagi saya tidaklah penting mengetahui cara penyamaran Jibril dalam bentuk seorang laki-laki dan saya mengajak saudara-sa udara kita sesama pelajar untuk menyampaik an fakta ini tanpa perlu menyinggun g perbedaan- perbedaan yang menyertain ya agar fakta ini tetap besar dan agung dalam hati.
PENGERTIAN TAWASSUL
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaska n pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-poin t berikut:
Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pint u untuk menghadap Allah swt. Maksud sesungguhn ya adalah Allah swt. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatka n
diri kepada Allah swt. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini
berarti ia telah musyrik. Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassu l dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintain ya dan meyakini bahwa Allah swt. mencintain ya. Jika ternyata penilaiann ya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhiny a dan paling membenciny a. Orang yang bertawassu l jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassu l kepada Allah swt. itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaiman a Allah swt. atau tanpa izinNya, niscaya ia musyrik. Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulny a doa tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah swt. secara mutlak, sebagaiman a firman Allah swt.: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَ جِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِ نُوا بِي لَعَلَّهُم ْ يَرْشُدُون َ
"Dan apabila hamba-hamb aKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) , bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulka n permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu ) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. " (QS. al-Baqarah :186)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَن َ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَا ءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِك َ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
"Katakanla h: "Serulah Allah atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma' al-Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraska n suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahka nnya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu." (QS. al-Isra`:1 10)
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiap a yang berpuasa, sholat, membaca al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassu l dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya . Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulny a harapan. Tidak ada yang mengingkar i hal ini.
Dalil diperboleh kannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahka n tiga lelaki yang terperangk ap dalam goa. Salah seorang bertawassu l dengan pengabdian nya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakanny a menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahka n seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkir kan persoalan yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dali nya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kita bnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah fi at-Tawassu l wa al-Wasilah ”.
Titik Perbedaan
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassu l, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan : "Ya Allah, aku bertawassu l dengan NabiMu Muhammad saw, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali ra." Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansia l. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulny a seseorang dengan amal perbuatann ya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperboleh kan. Seandainya
orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan
mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah
yang menjerumus kan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassu l dengan amal perbuatann ya sendiri yang dinisbatka n kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan: Ketahuilah bahwa orang yang bertawassu l dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan , kewalian dan keutamaann ya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapny a.
Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu
mencintai Allah swt, yang berjihad di jalan Allah swt. Atau karena ia
meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan tawassul,
sebagaiman a firman Allah swt.: "يحبّونهم ويحبّونه" atau sifat-sifa t di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassu l. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatka n kepada dirinya, dipertangg ungjawabka n olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassu l itu seolah-ola h berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintaiM u. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintain ya dan Engkau ridha terhadapny a. Maka saya bertawassu l kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinank u padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu."
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahu an Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassu l kepadaMu dengan NabiMu," itu sama dengan orang yang mengatakan : "Ya Allah, saya bertawassu l kepadaMu dengan rasa cintaku kepada NabiMu."
Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaa nnya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaa n kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassu l dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhn ya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseterua n dengan menjatuhka n vonis kufur terhadap orang-oran g yang bertawassu l dan mengeluark an mereka dari lingkaran Islam. سُبْحَانك هَذَا بُهْتَان عَظِيم
DALIL-DALI L TAWASSUL Y ANG DIPRAKTEKK AN KAUM MUSLIMIN
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُو ا إِلَيْهِ الْوَسِيلَ ةَ
Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah swt. sebagai faktor untuk mendekatka n kepada Allah swt. dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassu l adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassul kan.
Lafadz al-Wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaiman a anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-soso k
mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun sesudah
mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuann ya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan .
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang menjelaska n keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi saw. sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitk an di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW. SEBELUM WUJUD DI DUNIA
ý Nabi Adam as. bertawassu l dengan Nabi Muhammad saw.
Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam as. bertawassu l dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam al-Mustadr ok, Imam al-Hakim berkata: Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad al-‘Adlu menceritak an kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim al-Handhor i menceritak an kepadaku, Abul Harits Abdullah ibnu Muslim al-Fihri menceritak an kepadaku, Abdurrahma n ibnu Zaid ibnu Aslam menceritak an kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:” Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuni ku.” Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptaka nya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptaka nku dengan kekuatanMu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahka n kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah ”, maka saya yakin Engkau tidak menyandark an
namaMu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam.
“Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai.
Berdo’alah kepadaKu dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptaka nmu,” lanjut Allah.
Imam al-Hakim meriwayatk an hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al Hafidh As Suyuthi meriwayatk an dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategor ikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatk anya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatk an hadits palsu sebagaiman a telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaq aam juga menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata, “At Tabrani meriwayatk an hadits di atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” Majma’uzza waid vol. 8 hal. 253.
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi: “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptaka n Adam, surga dan neraka.”
HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumka n oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. 1 hlm. 180.
Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomenta ri statusnya, menolaknya dan memvonisny a sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggap nya sebagai hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya . Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarka n perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DO KUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumen tasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatk an dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah , kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptaka n bumi dan naik ke atas langit dan menyempurn akannya menjadi tujuh langit, dan menciptaka n ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis ) ‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptaka n
sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku
pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara
ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupk an Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginform asikan
kepadanya bahwa Muhammad ( yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu.
Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan
memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya .”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatk an dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwa h dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritak an kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritak an kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritak an kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritak an kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahma n ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khathth ab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakk an kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurn akan penciptaan ku, aku mendongakk an kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaa h”.
Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling mulia
di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam.
“Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampuni mu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanm u. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptaka nmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya , dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa , vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini menunjukka n bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi .
Karena hadits maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata
para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah
menjadikan nya sebagai penguat atas penafsiran .
Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Alhabib Muhammad bin Alwi Almaliky Alhasany
BAB I
Pembahasan
''AQIDAH''
''KESALAHA
LARANGAN MENJATUHKA
Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-fak
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْم
''Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.''
Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangk
Jika Anda mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjaka
Al-'Allama
“Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung
Ajaran-aja
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatk
1. Aspek isnad seperti hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
"Barangsi
2. Aspek tingkatan kelompok perawi.
Seperti kemutawati
Kemutawati
Memvonis kufur seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah hadits disebutkan
إِذَا قَالَ الرجلُ لأَخِيه : يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَ
"Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya;
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan
Tidak diperkenan
Demikian pula, tidak diperboleh
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَان
“Tiga hal merupakan pokok iman; menahan diri dari orang yang menyatakan
Al-Imam al-Haramai
“Jika ditanyakan
Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan untuk menjauhi pengkafira
Hanya Allah swt. yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya
SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB MENYANGKUT
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab rahimahull
''Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan bahwa sebagian ulama di daerah kalian menerima dan membenarka
Di antaranya:
Seandainya
Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapka
Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi saw. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-oran
Kafir Qurays melontarka
RISALAH PENTING LAIN KARYA
Risalah ini dikirimkan
"Tersebarn
Dan apa yang kalian katakan: Seandainya
Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata:
"Apa yang kalian katakan bahwa saya telah mengkafirk
MEMAKI ORANG ISLAM ADALAH TINDAKAN FASIQ DAN MEMERANGIN
Ketahuilah
Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama pasukannya
Dalam riwayat lain redaksinya
Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka malah melepaskan
Ada pendapat yang menyatakan
Persis seperti apa yang dialami Khalid adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih Rasulullah
Ketika kami berdua telah mengepungn
Dalam riwayat lain disebutkan
Sayyidina Ali ra. pernah ditanya mengenai kelompok-k
MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAAN
Tidak disangsika
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ
"Dan apabila dibacakan ayat-ayatN
Penyandara
يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَا
"Hari yang menjadikan
Penyandara
وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِ
"Dan sesudahnya
Penyandara
"Hai Haman, buatkanlah
Penyandara
Para ulama berkata: "Terlontar
URGENSI MENETAPKAN
Beberapa kelompok sesat hanya menggunaka
إِنَّا جَعَلْنَاه
"Sesungguh
Kelompok Qadariyyah
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُم
"Maka adalah disebabkan
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون
"Apa yang telah kamu kerjakan."
Kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ
"Padahal Allahlah yang menciptaka
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
"Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar."
Untuk menyingkap
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ
Meskipun tindakan itu bisa dilekatkan
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَ
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan)
Dan ayat-ayat lain yang menunjukka
Keterkaita
ESENSI MENISBATKA
Berangkat dari keterkaita
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِ
"Dan sebahagian
Penisbatan
PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN
Barangkali
Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duan
Berarti hubungan qudrat dengan iradat serta gerakan dengan qudrat adalah hubungan kausalitas
Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan qudrat sebagai fa’il (pelaku) bagaimanap
Dalil yang menunjukka
Allah swt. berfirman:
قُلْ يَتَوَفَّا
"Katakanla
اللَّهُ يَتَوَفَّى
"Allah memegang jiwa (seseorang
أَفَرَأَيْ
"Maka terangkanl
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا فَأَنْبَتْ
"Sesungguh
فَأَرْسَلْ
"Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya,
فَنَفَخْنَ
"Lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya
فَإِذَا قَرَأْنَاه
"Apabila Kami telah selesai membacakan
Allah swt. berfirman:
فَلَمْ تَقْتُلُوه
"Maka (yang sebenarnya
Allah meniadakan
Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-oran
Kadangkala
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُه
"Jikalau mereka sungguh-su
Sayyidah ‘Aisyah rha. meriwayatk
Jika Anda memahami keterangan
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
"Pohon itu memberikan
Sebagaiman
خذها لو لم تأتها لأتتك
"Ambillah kurma itu. Jika engkau tidak mendatangi
Penyandara
Pengertian
Yang sesungguhn
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ
"Sesungguh
Dan sebagaiman
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِ
"Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada yang beriman kepadaKu dan kafir”. Adapun yang berkata: "Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia beriman kepadaKu dan kufur kepada bintang". Sebaliknya
Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara sebagai yang memberikan
Pendapat pertama: menyatakan
Pendapat kedua: Pada dasarnya penafsiran
Anda bisa melihat bahwa Imam an-Nawawi menyatakan
من أسدى إليكم معروفا فكافئوه فان لم تستطيعوا فادعوا له حتى تعلموا أنكم قد كافأتموه
"Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak mampu membalasny
Dan sabda Nabi yang lain:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ
"Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah."
Ajakan syara’ ini berdasarka
نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
"Dia adalah sebaik-bai
لِلَّذِينَ
"Bagi orang-oran
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
"Sesungguh
Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’lu)
رَبِّ إِنَّهُنَّ
Apakah Anda menilai Nabi Ibrahim as. menyekutuk
أَتَعْبُدُ
Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun yang menyekutuk
MENGAGUNGK
Banyak orang keliru dalam memahami substansi pengagunga
Pandangan ini sesungguhn
Allah swt. berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائ
"Dan (ingatlah)
Dalam ayat lain Allah swt. berfirman:
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِ
"Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadany
فَسَجَدَ الْمَلَائِ
"Maka bersujudla
Para malaikat mengagungk
Iblis adalah makhluk angkuh pertama dan menolak mengagungk
Salah satu firman Allah swt. yang menjelaska
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ
"Dan ia menaikkan kedua ibu-bapany
Sujud ini adalah sujud sebagai ungkapan penghargaa
Sujud menyentuh tanah yang dilakukan saudara-sa
Adapun Nabi Muhammad saw. maka Allah swt. telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُو
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا
"Hai orang-oran
لَا تَجْعَلُوا
" Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sesungguhn
Ketika berhadapan
Kemudian Allah swt. memperinga
وَاتَّقُوا
"Dan bertakwala
Berkata as-Silmi: "Takutlah kepada Allah, jangan sampai menelantar
Selanjutny
Abu Muhammad Makki mengatakan
Ulama lain menafsirka
Amr ibn Ash berkata: "Tidak ada orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah
Turmudzi meriwayatk
Usamah ibn Syuraik meriwayatk
Dalam mensifati beliau : "Jika berbicara para pendengar yang duduk di sekeliling
Saat Urwah ibn Mas’ud menjadi duta Qurays waktu mengadakan
Ketika Usamah bin Syuraik kembali kepada kaum quraisy ia berkata: “Wahai orang-oran
Dalam riwayat lain disebutkan
Ath-Thabra
Tidak ada seorangpun
Abu Ya’la meriwayatk
Al-Baihaq
Walhasil, dalam hal ini ada dua persoalan besar yang harus dimengerti
Barang siapa yang meyakini adanya kesamaan makhluk dengan Allah swt. dalam aspek ini maka ia telah menyekutuk
Adapun orang menghormat
PERANTARA SYIRIK
Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara (wasithah)
مَا نَعْبُدُهُ
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatka
Kesimpulan
Jadi, kekufuran dan kemusyrika
Di sini ada masalah yang urgen untuk dijelaskan
Allah telah melarang kaum muslimin untuk memaki berhala-be
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّو
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-s
Abdurrazaq
Karena melontarka
Fakta ini menunjukka
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُ
"Dan Sesungguhn
Bila orang-oran
Banyak ayat senada seperti :
وَجَعَلُوا
"Dan mereka memperuntu
Seandainya
Pengertian
Apakah tidak engkau perhatikan
Eksistensi
Sedang Nabi saw. adalah mediator besar bagi para sahabat. Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan mengadukan
Beliaulah yang mengatakan
Kalau manusia biasa bisa berperan seperti ini maka bagaimana dengan Nabi Muhammad saw. yang notabene junjungan mulia, Nabi Agung, makhluk termulia dunia akhirat , junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah swt. paling utama secara mutlak? Bukankah beliau pernah bersabda: "Barangsia
Maka orang mu’min adalah orang yang mengatasi segala kesulitan.
Bukankah beliau juga bersabda: "Barangsia
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ لهُ
"Barangsia
"Sesungguh
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
"Allah senantiasa
مَنْ أَغَاثَ مَلْهُوفًا
"Siapapun yang menolong orang teraniaya maka Allah akan menulis baginya 73 kebaikan."
Dalam konteks ini orang mu’min adalah yang mengatasi,
Dalam koleksi hadits-had
Al-Bukhari
هَلْ تُنْصَرُون
”Bukankah kalian mendapat kemenangan
At-Tirmidz
لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
”Barangkal
Dari Abdullah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah
Dari Abdillah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah
Diriwayatk
Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata: Rasulullah
Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah swt.: "Seandainy
Dari Tsauban seraya memarfu’ka
Dari ‘Ubadah ibn Shamit ra. berkata: Rasulullah
الأبدال فى أمتى ثلاثون بهم تقوم الأرض وبهم يُمطرون وبهم يُنصرون
”Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka kalian diberi hujan dan mendapat pertolonga
Qatadah berkata:
إِنِّي لأَرْجُو أَنْ يَكُونَ الْحَسَنِ مِنْهُمْ
”Sungguh saya berharap Hasan al-Bashri termasuk mereka”. (HR. Thabrani).
Empat hadits di atas disebutkan
Dari Anas ra. berkata: Rasulullah
MEDIATOR PALING AGUNG
يَا مُحَمَّدُ ، ارْفَعْ رَأْسَكَ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ وَسَلْ تُعْطَ
“Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima dan mohonlah maka kamu akan diberi ”.
BAJU KEPALSUAN
Mereka yang mengklaim memahami substansi permasalah
Semua mengaku punya hubungan kasih dengan Laila Tapi Laila menampik pengakuan mereka. Fakta menyedihka
الْمُتَشَب
"Orang yang berpura-pu
Kita, umat Islam mendapat cobaan dengan banyaknya orang-oran
Di antara para pengklaim adalah mereka yang menganggap
Kami juga tidak mengenal teori-teor
Dengan perilaku yang baik dan budi pekerti yang bersih tampaklah kepahlawan
Berangkat dari fakta di muka kami meyakini bahwa kebangkita
Sesungguhn
Mereka tidak memiliki pengaruh dan kekuatan kecuali iman dalam tatarannya
Orang yang mengkaji juga akan melihat bagaimana di tengah mereka seorang laki-laki bisa hidup dalam maqam al-Ihsan (kondisi di mana seseorang merasakan kehadiran Allah swt.), ia melihat Allah swt. dalam segala sesuatu, dan merasa takut kepadaNya dalam segala aktivitasn
ANTARA SEBAIK-BAI
Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalah
Klasifikas
Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsiran
كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap bid’ah itu sesat."
Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirka
Penafsiran
لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِد
"Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid."
Hadits ini meskipun menunjukka
Seperti hadits:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ
"Tidak ada sholat di hadapan makanan".
Para ulama menafsirka
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
"Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya
واللهِ لا يُؤْمِن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل: مَن يا رسول الله؟ قال:مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَه
"Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan
Para ulama menafsirka
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
"Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba…….ti
Para ulama menegaskan
Hadits di atas yang menjelaska
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْر مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَ
"Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh
"Berpegang
Umar ibn Khaththab berkomenta
PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH
Sebagian ulama mengkritik
Karena itu Anda akan melihat ia berkata: Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan: Akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukann
Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptaka
Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarka
Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabny
Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan Syari’ adalah lisan Syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus menggunaka
Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatka
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsia
Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “فِى أَمْرِنَا هَذَا”. Ol
Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan
Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawa
Yakni mereka mengatakan
Semoga Allah swt. meridloi para a'immatul ushul dan meridhoi kajian mereka terhadap lafadz-laf
AJAKAN PARA AIMMAT AT-TASHAWW
Tasawwuf, obyek yang teraniaya dan senantiasa
Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan
Karena yang wajib adalah kita mengetahui
Terdapat riwayat yang menyebutka
Dzunnun al-Mishri berkata, "Poros dari segala ungkapan (madar al- Kalam) ada empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka. Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah saw. dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf adalah identitas untuk tiga makna; Shufi (pengamal tasawwuf) adalah orang yang cahaya ma’rifatny
Abu Nashr Bisyr ibn al-Harits al-Hafi berkata, “Saya bermimpi bertemu Nabi saw.: “Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggika
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur al-Bashtho
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi
Sulaiman Abdurraham
Abul Hasan Ahmad ibn Abi al-Hawari berkata, “Siapapun yang mengerjaka
Abu Hafsh Umar ibn Salamah al-Haddaad
Abul Qasim al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhati
Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-pr
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar merobek-ro
Ia juga berkata, “Bersahaba
Ia juga berkata, “Barangsia
وَإِنْ تُطِيعُوهُ
"Jika kamu taat kepadanya,
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad an-Nawawi mengatakan
Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ al-Karmani
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn Atha’ mengatakan
Ia juga mengatakan
Abu Hamzah al-Baghdad
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud ar-Ruqi mengatakan
Mamsyad ad-Dinawar
Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangp
SUBSTANSI KELOMPOK I
Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab al-Asya’ir
أَفَنَجْعَ
"Maka apakah patut Kami menjadikan
Al-Asya’ir
Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah al-Asya’ir
Al-Asya’ir
ý Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar al-‘Asqala
ý Syaikhu Ulamai Ahlissunna
ý Syaikhul Mufassirin
ý Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami
ý Syaikhul Fiqh, al-Hujjah (argumenta
ý Al-Imam Abu Bakar al-Baaqila
ý Al-Imam al-Qashtha
ý Al-Imam an-Nasafi
ý Al-Imam asy-Syarbi
ý Abu Hayyan an-Nahwi, penyusun tafsir al-Bahru al-Muhith.
ý Al-Imam Ibnu Juza, penyusun at-Tafshil
ý Dan sebagainya
Seandainya
Kebaikan apa yang bisa kita peroleh jika kita menuding para ulama besar dan generasi salaf shalih telah menyimpang
Saya ingin bertanya, “Adakah dari para ulama sekarang dari kalangan doktor dan orang-oran
Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua dan ulama al-Asya’ir
Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti metode mereka. Sebagai ganti dari ungkapan kami menuduh mereka telah menyimpang
Sungguh, dengan tulus kami mengajak semua pendakwah dan mereka yang beraktivit
ESENSI-ESE
Polemik berkembang
Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak berguna sama sekali. Justru menimbulka
Cukup kita berkata demikian sedangkan menyangkut
Dalam firman Allah swt:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيماً
"Dan Allah telah berfirman terhadap Musa"
Salah satu subsatansi
Persoalan kalam (firman Allah) adalah kebenaran yang tidak bisa diingkari,
Karena pembahasan
Kami mengajak agar pembicaraa
Dalam sabda Rasulullah
إِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ خَلْفِي
"Saya mampu melihatmu dari belakang."
Salah satu subsatansi
Maka tidak ada ruang sama sekali untuk membantahn
جبريل يتمثل رجلا
"Jibril menyamar sebagai seorang lelaki"
Para ulama bersilang sengketa menyangkut
Bagi saya tidaklah penting mengetahui
PENGERTIAN
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaska
Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pint
"Dan apabila hamba-hamb
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَن
"Katakanla
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiap
Dalil diperboleh
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan
Titik Perbedaan
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassu
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassu
Saya katakan: Ketahuilah
Jika anda mencermati
Orang yang bertawassu
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassu
Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaa
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhn
DALIL-DALI
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُو
Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah swt. sebagai faktor untuk mendekatka
Lafadz al-Wasilah
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW. SEBELUM WUJUD DI DUNIA
ý Nabi Adam as. bertawassu
Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan
Dalam al-Mustadr
Imam al-Hakim meriwayatk
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi: “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptaka
HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya
Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan
DOKUMEN-DO
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumen
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatk
Hadits ini menguatkan
Pendapat saya, fakta ini menunjukka