oleh Hakam
Ahmed ElChudrie
Ketahuilah, sesungguhnya
menggugurkan shalat adalah diperbolehkan seperti yang telah dijelaskan oleh para
fuqaha’ kita. Allah ta’ala berfirman,
وَ
عَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ
“Dan wajib bagi orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi
makan seorang miskin.” (QS. al-Baqarah, 184)
Fidyah shalat telah tetap
dengan petunjuk nash, karena shalat itu lebih penting dari puasa, dan fidyahnya
tiap-tiap shalat adalah seperti fidyahnya puasa. Shalat witir adalah shalat
tersendiri.
Jadi, shalat sehari semalam
ada enam. Ketika enam dikalikan dengan harinya tahun syamsiyyah (365 hari), maka
hasilnya adalah 2190 shalat. Fidyahnya satu shalat adalah sebesar zakat fitrah,
yaitu satu sha’ kurma atau syair dan setengah sha’ dari hinthah.
Seandainya apa yang telah
diwasiatkan dari kewajiban mayit tidak mencukupi, maka perkara itu diserahkan
kepada orang fakir sehingga perkara itu bisa menggugurkan dari mayit dengan
kadar pemberian itu. Lalu si fakir menyerahkannya kepada wali dan wali itu
menerimanya kemudian menyerahkannya kembali kepada fakir sehingga perkara itu
menggugurkan shalatnya mayit dengan kadarnya. Lalu fakir menyerahkannya kembali
kepada wali dan wali menerimanya kemudian menyerahkannya kepada fakir lagi dan
seperti itu seterusnya hingga semua kewajiban mayit yang menjadi tanggungannya
menjadi habis, yaitu dari puasa dan shalat.
Syeikhul Masyayih Abu
Mas’ud al-Sayyid Mahmud Syah berkata dalam Wajiz
al-Shirath,
“Masing-masing dari wali dan fakir berkata kepada yang lainnya, “Aku hibbahkan
harta ini untuk menggugurkan apa yang menjadi tanggungan mayit ini, yaitu dari
shalat, puasa dan lainnya.”
Al-Allamah al-Syami berkata
dalam Hasyiyah
al-Durr al-Mukhtar dalam bab zakat fitrah,
(“Ketahuilah, sesungguhnya para ulama’ mazhab Hanafi berkata, bahwa satu sha’
adalah tempat yang bisa menampung delapan ratl dari kacang adas dan kacang masy,
dan tidak bisa menampung delapan ratl (: kati) dari hinthah, karena hinthah
lebih berat dari keduanya. Satu ratl adalah separuh mann, dan satu mann bila
ditakar kedalam dirham adalah dua ratus enam puluh dirham, dan kedalam itsar
adalah empat puluh.
Satu itsar diubah kedalam
ukuran dirham adalah enam setengah, dan dengan ukuran mitsqal adalah empat
setengah. Mud dan Mann adalah sama, masing-masing adalah seperempat sha’ kati,
seratus tiga puluh dirham syara’. Satu sha’ adalah seribu empat puluh dirham
syara’ dan satu dirham syara’ adalah empat belas qirath dan satu qirath adalah
lima biji syair”).
Dalam al-Anwar
li A’mal al-Abrar, fiqih mazhab Syafi’i,
pengarang berkata, (“Satu sha’ dengan timbangan adalah enam ratus sembilan puluh
empat dirham, dan zakat fitrah dari semua makanan pokok adalah satu sha’ dan
kadar fidyah adalah satu mudd”).
[Al-Faqir Husein Hilmi bin
Said al-Astanbuli telah mencoba dan melihat bahwa lima biji syair adalah dua
puluh empat centi gram. Satu dirham syar’i menurut mazhab Hanafi adalah tiga
gram dan tiga puluh enam centi gram. Setengah sha’ adalah 1750 gram. Jadi,
fidyahnya shalat setahun menurut mazhab Hanafi adalah 3833 kilo gram
khinthah].
Dalam bab Qadla’
al-Fawait
dijelaskan, “Seandai-nya ada orang mati dan dia punya tanggungan shalat dan
puasa, dan dia berwasiat untuk menebusnya, maka walinya membeli hinthah itu atau
harganya yang berupa emas yang sudah dicetak atau perhiasan dari sepertiga
hartanya mayit. Lalu umur mayit dihitung setelah menggugurkan 12 tahun untuk
laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan, karena perempuan lebih sedikit masa
balighnya atau lebih cepat.
Kemudian wali
menyerahkannya kepada orang fakir lalu dia meminta supaya barang itu dihadiahkan
kepadanya (: wali) dan fakir menyerahkannya kepada wali supaya penghibahan itu
menjadi sempurna. Lalu wali menyerahkannya lagi kepada fakir itu atau kepada
fakir yang lain, sehingga disetiap sekali pemberian kepada fakir akan menjadi
kafarat setahun.
Dalam kafarat sumpah harus
diserahkan kepada sepuluh orang miskin dan tidak sah memberikannya kepada
seorang lebih dari satu sha’ atau harganya (dari emas) dalam sehari. Berbeda
dengan fidyahnya shalat dan puasa, karena diperbolehkan memberikan fidyahnya
shalat dan puasa kepada satu orang saja. Kemudian sebaiknya setelah sempurna
pengguguran itu supaya wali bersedekah kepada para fakir dengan sesuatu dari
harta itu.
Wajib atas wali untuk
melakukannya dengan sesuatu dari sepertiga harta mayit, jika dia berwasiat, dan
jika dia tidak berwasiat maka tidak wajib atas wali. Seandainya mayit tidak
meninggalkan harta atau harta yang diwasiat-kan tidak mencukupi atau tidak
berwasiat sama sekali dan ahli waris ingin bertabarru’, maka sudah bisa
mencukupi, dia menghutang emas dan melakukan perputaran seperti di atas, tapi
itu tidaklah wajib atas ahli waris. Seandainya selain ahli waris bertabarru’,
maka juga bisa mencukupi. (Imdad).
Ahmad bin Muhammad Isma’il
al-Thahthawi berkata dalam Syarah al-Durr
al-Mukhtar,
“Apa yang telah dilakukan dizaman sekarang ini, yaitu dari memutarkan kafarat
diantara orang-orang yang hadir dan masing-masing berkata kepada yang lainnya,
“Aku hibbahkan dirham atau mitsqal ini untuk menggugurkan tanggungan Fulan dari
shalat dan puasa,” dan yang lainnya menerimanya adalah shahih.”
Al-Faqih Imamul Huda Abu
al-Laits al-Samarqandi berkata, “Telah bercerita kepadaku Al Abbas bin Sufyan
dari Ibnu ‘Aliyyah dari Ibnu ‘Aun dari Muhammad dari Abdullah, dia berkata,
“Umar berkata: “Wahai orang-orang mukmin, jadikanlah al-Qur’an sebagai wasilah
untuk keselamatan orang-orang yang sudah meninggal, maka berkumpullah dan
berdo’alah, Ya Allah, ampunilah mayit ini dengan kemuliaan
al-Qur’an.”
Dan dari Ibnu Umar ra dari
Nabi SAW, beliau bersabda :
مَنْ
مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرِ رِمَضَانَ فَلْيُطْعِمْ مَكَانَ كُلِّ يَومٍ
مِسْكِيْناً
Artinya : “Barang siapa
meninggal dan dia punya tanggungan puasa bulan ramadlan, maka berilah makan
sebagai ganti setiap satu hari (yang dia tinggalkan) satu orang
miskin.”
Dari Ibnu Abbas ra,
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
لاَ
يَصُومُ اَحَدٌ عَنْ اَحَدٍ وَ لاَ يُصَلِّي عَنْ اَحَدٍ وَ لَكِنْ يُطْعِمُ
عَنْهُ
Artinya : “Seorang tidak
boleh berpuasa sebagai ganti orang lain dan tidak boleh shalat sebagai ganti
orang lain, tetapi dia memberi makan sebagai gantinya.” (HR. al-Nasa’i,
al-‘Aini, Majmu’ah Rasail al-Syami, Majma’ al-Anhar Shaum hal 242, al-Sunan
al-Kubro, Jawahir al-Niqa’ juz 4, al-Zaila’i hal 492 dan al-Dirayah hal
177).
Syair, “Seandainya kamu
tidak tahu, maka itu adalah suatu musibah // dan seandainya kamu sudah tahu maka
musibahnya akan semakin besar.”
Jika shalat yang menjadi
tanggungan mayit terlalu banyak dan hinthah yang dimilki sedikit, maka wali
memberikan tiga sha’ sebagai ganti dari shalat sehari semalam beserta witir
kepada orang fakir lalu fakir itu menyerahkannya kepada ahli waris kemudian ahli
waris memberikannya kepada fakir lalu fakir memberikannya kepada ahli waris, itu
dilakukan berkali-kali hingga shalat dan semisalnya terpenuhi semua.”
(Kabair
Fawait hal 583
dan Jauhar
al-Nafis).
Seandainya harta ahli waris
tidak mencukupi, maka dia meminta hibbah dari orang lain atau meminta pinjaman
untuk dia serahkan kepada orang fakir lalu dia meminta dihibbahkannya harta itu
dari fakir dan seperti itu seterusnya hingga menjadi sempurna apa yang dia
maksud. (Majma’
Rasail al-Syami, Minnah
al-Jalil juz 1
hal 312).
Seandainya wali bertabarru’
(: beramal karena Allah dengan inisiatif sendiri) dengannya maka diperbolehkan.
(al-Fatawi
al-Hujjah
karangan Qadlikhan, al-Dlidyah, Kubairi, al-Maraqi, al-Thahthawi, al-Lubab, al-Jauharah Shaum hal 436, al-Fatih Shaum hal 78 dan ‘Aini al-Hidayah
Shaum).
[Dalam Risalah
(Naf’ul
al-Anam fi
Isqath
al-Shalat wal Shiyam) pengarang berkata,
“Al-Bajuri (: Ibrahim al-Bajuri, salah satu guru al-Azhar) berkata, “Barang
siapa meninggal dan dia punya tanggungan shalat atau i’tikaf, maka orang lain
tidak diperbolehkan untuk melakukannya sebagai ganti dari dia bahkan tidak ada
fidyah baginya menurut qaul mu’tamad bagi kita, dan dia yang mengatakan dia
(mayit) di fidyahi untuk setiap shalatnya satu mud dan tidak apa-apa bertaklid
dengan pendapat itu. Seandainya dia bertaklid kepada mazhab Hanafi dalam masalah
pengguguran shalat yang telah masyhur maka akan lebih baik.”]
[ DIKUTIP DARI KITAB
DLIYA'
AL-SHUDUR
KARANGAN DZAHIR SYAH MIYAN AL-MADANI AL-HANAFI AL-QADIRI AL-MAYAJUKHILII
]