Buku berjudul Tuanku Rao yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan , melihat Gerakan Paderi dengan
sudut pandang etnis Batak bahwa Gerakan Paderi (1803-1837) selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab,
merupakan gerakan radikalisme
Hambali Zealots
Dalam buku tersebut diuraikan bahwa gerakan perang Paderi
dilatarbelakangi
perintah langsung Abdullah Ibn Saud Raja Arab Saudi kepada tiga
tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik
dan Haji Miskin.
Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah
dari tangan Turki, 1802. Para pecundang tidak dihukum mati boleh lepas
bebas. Kompensasinya,
mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung
halaman.
Pembentukan
pasukan Wahabi Minangkabau
dipercayakan pada
Kolonel Haji Piobang. Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn
Saud, cikal bakal pasukan Paderi.
Begitulah pandangan dari Mangaradja Onggang Parlindungan tentang gerakan paderi dari sudut
pandangnya sendiri.
Perang Paderi pada awalnya adalah peperangan antara bangsa Indonesia sendiri yakni yang
dikatakan kaum adat melawan kaum agama.
Perang Paderi merupakan provokasi Belanda untuk menutup kontak
dagang Amerika Serikat dan Inggris yang merupakan sekutu kerajaan
dinasti Saudi sebagaimana
yang dapat diketahui dari buku berjudul “Api Sejarah”, karya Ahmad
Mansur Suryanegara
yang diterbitkan
Salamadani Pustaka Semesta,
cetakan I Juli 2009 pada halaman 169
***** awal kutipan *****
“Amerika Serikat, jauh sebelum meletusnya perang Padri, 1821-1837 M, sudah
mengadakan kontak
dagang dengan Indonesia di Agam Sumatra Barat. Kedatangan Amerika serikat menimbulkan kelompok Wahabi kuat perekonomiannya. Namun, kolonial Belanda berusaha
meniadakan pengaruh
Amerika Serikat di Sumatra Barat, dengan menggunakan potensi kaum adat melawan Wahabi
dalam Perang Padri yang berlangsung
selama 17 tahun.”
Pada 1821 – 1837 M, pecah Perang Padri di Sumatra Barat yang
dipimpin oleh Imam Bondjol. Perang ini terjadi sebagai dampak dari
provokasi Belanda untuk menutup kontak dagang Amerika Serikat dan
Inggris yang melakukan pendekatan
dengan masyarakat
Sumatera Barat mempergunakan
paham sekutunya yakni paham Wahabi.
***** akhir kutipan *****
Namun, sejak awal 1833, perang itu berubah menjadi perang
antara yang dikatakan kaum adat dan kaum agama melawan Belanda
setelah penyesalan Tuanku
Imam Bonjol atas pemahaman Wahabi (Haji Miskin dan kawan kawannya)
Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)—lihat transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang:
PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting mengenai Perang Paderi
yang cenderung diabaikan para sejarawan selama ini—mencatat bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Pihak-pihak
yang dulunya bertentangan
akhirnya bersatu melawan musuh bersama: Kompeni Belanda. Di ujung
penyesalan muncul
kesadaran bahwa mengundang
Kompeni ke dalam konflik itu telah semakin menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.
Di dalam MTIB terefleksi
rasa penyesalan
Tuanku Imam Bonjol atas tindakan Kaum Paderi terhadap sesama orang
Minang dan Mandailing.
Tuanku Imam Bonjol sadar bahwa perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “
Adapun
hukum Kitabullah banyaklah
yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?”
(Adapun banyak hukum Kitabullah
yang sudah terlangkahi
oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), demikian tulis Tuanku Imam
Bonjol dalam MTIB (hlm.39).
Sadar akan kekeliruan
itu, Tuanku Imam Bonjol lalu mengirim kemenakannya, Fakih Muhammad, dan Tuanku Tambusai
ke Mekah untuk belajar mengenai “kitabullah nan adil” (Hukum Kitabullah yang sebenarnya).
Ikut juga kemenakan Tuanku Rao bernama Pakih Sialu, dan Kemenakan
Tuanku Kadi (salah seorang rekan Tuanku Imam Bonjol) bernama Pakih
Malano (MTIB, hlm. 36-40).
Pada 1832, empat orang utusan itu kembali dan membawa kabar
tentang penyerbuan
Nejed oleh pasukan Mesir yang diutus Sultan Turki Utsmani. Para
pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab telah ditaklukkan secara brutal oleh Turki Utsmani.
Mengetahui
kabar seperti itu, Imam Bonjol mengadakan pertemuan penting, masih pada 1832 itu
juga. Di tengah para tuanku, hakim-hakim syariat dan penghulu-penghulu, Imam Bonjol mengumumkan semacam gencatan senjata. Semua
harta rampasan turut dikembalikan.
Lebih dari itu, Imam Bonjol menarik diri dari segala bentuk
keyakinan yang pernah ia pegang. Ia juga menginsafi segala keinginannya untuk ikut-campur dalam wewenang adat dan meminta maaf kepada
para pemuka adat yang telah banyak dirugikan.
Semua itu terjadi jauh sebelum penangkapannya. Imam Bonjol sendiri baru
ditangkap pemerintah
Hindia Belanda pada 1838, setelah terjadi perang besar-besaran antara pasukan Belanda dan rakyat
Minangkabau. Setahun
kemudian Imam Bonjol dibuang ke Ambon dan pada 1841 dipindahkan ke Manado. Ia meninggal-dunia di pembuangan pada 1864 sebagai seorang laki-laki
tua yang bercocok-tanam di
sebidang tanah kecil.
Sebelum meninggal-dunia,
Imam Bonjol sempat berwasiat kepada putranya. “
Akui hak para
penghulu adat,” pesannya. “
Taati mereka. Kalau ini tidak
bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki
gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah”.
Dari wasiat Imam Bonjol untuk mempelajari kembali "
dua puluh sifat-sifat Allah" adalah pengakuan beliau bahwa "
pembagian
tauhid jadi tiga" telah menjadi faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab
munculnya ekstremisme
atau radikalisme
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh ulama yang sholeh keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. Dr.
Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid
Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili dalam makalahnya pada pertemuan nasional dan dialog
pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah mengatakan
***** awal kutipan *****
“Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor
terpenting dan
dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau radikalisme adalah apa yang kita saksikan bersama
pada metode pembelajaran
tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat
pembagian tauhid menjadi tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh
generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in.
Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al
Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad
yang dipaksakan
dalam masalah ushuluddin
serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan
konsekuensi hukumnya
yang memunculkan
sebuah konklusi bahwa kebanyakan
umat Islam telah kafir, menyekutukan
Allah, dan lepas dari tali tauhid.”
***** akhir kutipan *****
Contoh radikalisme
dapat kita ketahui dari tulisan pada
http://allangkati.blogspot.com/2010/07/keganasan-wahabi-di-pakistan.html
***** awal kutipan ****
Para pengikut ajaran wahhabi adalah kelompok yang sangat
membencikan
orang-orang sufi dan
mengkafirkan mereka,
mereka menganggap
bahwa orang -orang sufi menyembah kuburan-kubura wali sehingga halal darahnya di
bunuh, pemahaman ini bersumber dari aqidah mereka yang menyatakan bahwa tauhd itu terbagi kepada tiga
bahagian, tauhid Rububiyah,
tauhid Uluhiyah, tauhid asma` dan sifat, orang-orang sufi hanya percaya dengan tauhid
rububiyyah dan tidak
menyakini tauhid uluhiyyah,
sebab itulah mereka kafir dan boleh di bunuh, bahkan mereka
mengatakan bahwa
orang-orang kafir
qurasy lebih bagus tauhidnya daripada orang-orang sufi.
*****akhir kutipan
*****
Pada hakikatnya
tauhid Rububiyyah
dan Tauhid Uluhiyah tidak dapat dipisahkan karena ada keterkaitan (talazum) yang sangat erat. Salah
satunya tidak terpenuhi maka tidak dikatakan bertauhid atau beriman.
Tidak dikatakan kaum non muslim itu bertauhid atau beriman dan tidak
ada pula istilah mukmin musyrik sebagaimana yang dapat diketahui dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/10/mukmin-musyrik/
Istilah mukmin (beriman) dan muysrik (menyekutukan Tuhan) dua term yang berbeda,
sehinga tidak bisa disandingkan.
Tujuannya sebenarnya
pembagian tauhid jadi tiga adalah untuk membenarkan pendapat mereka bahwa orang-orang yang melakukan istighatsah, tawassul dan tabarruk dengan para
Wali Allah dan para Nabi itu telah beribadah kepada selain Allah dan
melanggar Tauhid Uluhiyyah sehingga timbullah sikap ekstrimisme atau radikalisme dalam bentuk vonis syirik.
Salah satu gurunya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yakni
Syaikh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat:
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari
mengkafirkan kaum
muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang
ditawassuli bisa
memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan
terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat
maupun madharrat,
kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin
kau mengkafirkan
As-Sawadul A’zham
(kelompok mayoritas)
diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar,
orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”
Kesesatan atau kesalahpahaman
ulama Ibnu Taimiyyah yang merupakan teladan dari ulama Muhammad bin
Abdul Wahhab, yang paling pokok adalah hasil istiqro (telaah) pada
Tauhid Asma’ was Shifaat.
Tauhid Asma’ was Shifaat dihasilkan dengan metodologi tafsir bil matsur, mengumpulkan nash-nash Al Qur’an maupun Hadits
untuk kata-kata terkait namun memaknainya dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti bahasa
(lughot) dan istilah (terminologi)
saja.
Mereka kurang memperhatikan
alat-alat bahasa seperti nahwu, shorof, balaghoh dan tidak pula
memperhatikan sifat
lafad-lafad dalam al-Quran
dan Hadits yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz
dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada
yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada
majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat.
Dalam tauhid Asma’ was Shifaat contohnya mereka menolak makna
majaz. Mereka katakan biarkanlah
Allah ta’ala mensifatkan
apa yang ingin Dia sifatkan. Mereka menyampaikan sifat Allah tanpa menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka.
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak
memahami ayat mutasyabihat
tentang sifat dengan makna dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan
al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum
Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati
Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “
Jagalah aqidahmu dari
berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal
kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat
Ibn ‘Arabi” mengatakan
“Ia (ayat-ayat
mutasyabihat)
memiliki makna-makna
khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa.
Barangsiapa memahami
kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah
Allah, tangan, mata, bertempat),
ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah
ta’ala dengan sifat-sifat
benda dan anggota-anggota
badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan
dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah
sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi
kafir karena pengingkaran.
Mereka mengingkari
Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil
Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal
dapat kita ketahui bahwa
- Barangsiapa
mengi’tiqadkan
(meyakinkan) bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya
“Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiapa
mengi’tiqadkan
(meyakinkan) bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa
dengan tangan makhluk (jisim-jisim
lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah
berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa
sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Al Hafizh Abu Sa’id al ‘Ala-i (W 761 H) yang semasa dengan Ibnu
Taimiyah juga mencelanya.
Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) juga melakukan hal yang sama, sejak
membaca pernyataan
Ibnu Taimiyah dalam Kitab al ’Arsy yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi dan
telah menyisakan
tempat kosong di Kursi itu untuk mendudukkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersama-Nya”, beliau melaknat Ibnu Taimiyah.
Abu Hayyan mengatakan:
“Saya melihat sendiri hal itu dalam bukunya dan saya tahu betul
tulisan tangannya”.
Semua ini dituturkan oleh
Imam Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsirnya yang berjudul an-Nahr al
Maadd min al Bahr al Muhith.
Ibnu Taimiyah juga menuturkan keyakinannya bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy
dalam beberapa kitabnya: Majmu’ al Fatawa, juz IV, hlm. 374, Syarh
Hadits an-Nuzul, hlm. 66, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, juz I , hlm. 262. Keyakinan
seperti ini jelas merupakan kekufuran. Termasuk kekufuran Tasybih; yakni
menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya
sebagaimana
dijelaskan oleh para
ulama Ahlussunnah. Ini
juga merupakan bukti bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah Mutanaaqidl (Pernyataannya sering bertentangan antara satu dengan yang lain).
Bagaimana ia mengatakan
-suatu saat- bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dan –di saat yang lain-
mengatakan Allah
duduk di atas Kursi ?!, padahal kursi itu jauh sangat kecil di banding
‘Arsy. Setelah semua yang dikemukakan ini, tentunya tidaklah pantas,
terutama bagi orang yang mempunyai pengikut untuk memuji Ibnu Taimiyah
karena jika ini dilakukan maka orangorang tersebut akan mengikutinya, dan dari sini akan muncul bahaya
yang sangat besar. Karena Ibnu Taimiyah adalah penyebab kasus
pengkafiran terhadap
orang yang ber-tawassul,
beristighatsah
dengan Rasulullah dan
para Nabi, pengkafiran
terhadap orang yang berziarah ke makam Rasulullah, para Nabi serta para Wali untuk
ber-tabarruk. Padahal
pengkafiran seperti
ini belum pernah terjadi sebelum kemunculan Ibnu Taimiyah. Sementara itu, sekarang
ini para pengikut Ibnu Taimiyah juga mengkafirkan orangorang yang ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan para nabi dan orang-orang yang Saleh, bahkan mereka menamakan
Syekh ‘Alawi ibn Abbas al Maliki dengan nama Thaghut Bab as-Salam (ini
artinya mereka mengkafirkan
Sayyid ‘Alawi), karena beliau -semoga Allah merahmatinya-mengajar di sana, di Bab as-Salam, al Masjid al
Haram,
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi
kesepakatan umat
Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu
dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah
menyandarkan alam
dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar,
sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah
juga berkeyakinan
adanya jisim pada Allah Swt, arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan
tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan
keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116)
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar) juga berkata “ Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa
yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan
Allah telah menyesatkannya
dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu member
petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan ?. Bagaimana orang-orang sesat itu telah melampai batasan-batasan syare’at dan aturan, dan mereka
pun juga telah merobek pakaian syare’at dan hakikat, mereka masih
menyangka bahwa mereka di atas petunjuk dari Tuhan mereka, padahal
sungguh tidaklah demikian “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Tentang ulama Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab berjudul “Hasyiyah
Al-’allaamah Ibn Hajar
Al-Haitami ‘Alaa
Syarh Al-Idlah Fii Manasik Al-Hajj”, (Kitab Penjelasan terhadap Karya Imam an-Nawawi) menuliskan (yang artinya) “… Jangan tertipu dengan
pengingkaran Ibnu
Taimiyah terhadap kesunnahan
safar (perjalanan)
untuk ziarah ke makam Rasulullah,
karena sesungguhnya
dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah; sebagaimana kesesatannya itu telah dinyatakan oleh Imam al-’Izz ibn Jama’ah, juga
sebagaimana telah
panjang lebar dijelaskan
tentang kesesatannya
oleh Imam Taqiyyuddin
as-Subki dalam karya tersendiri
untuk itu (yaitu kitab Syifa’ as-Siqam Fi Ziyarah Khayr al-Anam).
Penghinaan Ibnu
Taimiyah terhadap Rasulullah
ini bukan sesuatu yang aneh; oleh karena terhadap Allah saja dia
telah melakukan penghinaan,
–Allah Maha Suci dari segala apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain
sebagainya dari
keburukan-keburukan
yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah
membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa
yang dipalsukan oleh Ibn
Taimiyah atas syari’at yang suci ini–”.
Ulama Ibnu Taimiyyah karena kesalahpahamannya dalam i’tiqod mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan
para ulama ahli fiqih dari empat madzhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu
Taimiyyah tidak menyebarluaskan
kesalahapahamannya
sehingga beliau wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan pada
http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Jadi lebih baik kita mengikuti hasil istiqro (telaah) para
ulama yang sholeh bersumber dari Al Qur'an dan Hadits serta berdasarkan penyaksian Allah ta’ala dengan hati mereka
seperti Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah dimana di dalamnya ada 20
sifat wajib ada bagi Allah ta’ala sebagaimana yang sedikit dikupas pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Dengan mendalami,
memahami dan meyakini 20 sifat wajib ada bagi Allah ta'ala maka
syahadat yang merupakan kesaksian awal secara lisan bahwa tiada tuhan
selain Allah, dalam perjalanannya
akan dapat berubah mencapai shiddiqin yakni menyaksikan Allah ta'ala dengan hati (ain
bashiroh) sehingga membenarkan
dan menyaksikan bahwa
selain Allah ta’ala adalah tiada. Selain Allah ta’ala adalah tiada
apa apanya. Selain Allah ta’ala adalah bergantung padaNya.
Buya Hamka penulis buku “Tasawuf Modern” setelah mengikuti
Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah
pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi
“Hampa” sebagaimana
yang dituturkan oleh
Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah
"Dirinya bukanlah Hamka tetapi "hampa" adalah ungkapan
penyaksian Allah
ta'ala dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat.
Muslim yang bermakrifat
atau muslim yang menyaksikan
Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu
meyakini kehadiranNya,
selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan
“
Asy-Syahid
untuk menunjukkan
sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga
seakan-akan pemilik
hati tersebut senantiasa
melihat dan menyaksikan-Nya,
sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah
seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “
Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallm
bersabda “
Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath
Thobari)
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari
‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata
hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana
saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana
Anda melihat-Nya?” tanyanya
kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan
pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah
engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah
melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan
mata yang memandang, tapi
dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau
bermakrifat maka yakinlah
bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab,
‘Kamu takut (khasyyah)
kepada Allah seakan-akan
kamu melihat-Nya
(bermakrifat), maka
jika kamu tidak melihat-Nya
(bermakrifat) maka
sesungguhnya Dia
melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin
diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang
Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat
sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga
dia dekat dengan Allah ta’ala karena berakhlakul karimah meneladani manusia yang paling mulia Sayyidina
Muhammad Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
Sebaliknya
akhlak buruk dapat ditimbulkan
dari akibat termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga
memahami apa yang Allah ta’ala mensifatkan apa yang ingin Dia sifatkan dengan
makna dzahir/harfiah/tersurat/tertulis berakibat “Tuhan adalah jauh”
bertentangan dengan
firmanNya yang artinya “
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat”.
(QS Al Baqarah [2]:186 ).
Mereka terindoktrinisasi
bahwa Tuhan bertempat di suatu tempat yang jauh mengikuti aqidah
Fir’aun sebagaimana yang
telah diuraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/14/terhasut-aqidah-firaun/
Sehingga mereka secara psikologis atau alam bawah sadar mereka
menjauhkan diri dari
Allah atau berpaling dari Allah sehingga terbentuklah akhlak yang buruk
Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah
atau mereka yang berpaling dari Allah atau menjauhkan diri dari Allah karena mereka
memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“
…Janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad
[38]:26)
“
Katakanlah:
“Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan
tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam
[6]:56 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830