PERTANYAAN
:
Assalamu'alaikum, mau nanya
nih tentang mi'rojnya rosul.apakah rosul ketika mi'roj bertemu Allah di sidrotul
muntaha ? Seumpama ketemu berarti Allah bersemayam di atas dong ? syukron.
[Salim
Cah Nahdlotul Ulama ].
JAWABAN
:
Berikut kutipan dari
Mutiara Hikmah Buya Yahya, Sidratil Muntaha dan Tempat Manusia Agung
:
Bulan ini adalah bulan
rojab, jutaan manusia dingatkan kepada sebuah peristiwa agung yang tidak pernah
terjadi pada makhluk Allah SWT dari dulu hingga nanti kecuali kepada nabi
Muhammad SAW. Peristiwa luar biasa Isra-mi'raj.
Ada hal yang sering
dilupakan oleh kebanyakan orang tentang tempat mulya Sidratul-muntaha dan
Mustawa, tempat yang Allah tidak memperkenankan siapapun menginjakkan kakinya di
sana kecuali Rasulullah SAW. Bahkan Malaikat Jibril paling mulyanya malaikatpun
tidak berani dan tidak bisa sampai kepada tempat tersebut.
Hal lain lagi adalah naik
turunya nabi Muhamad untuk mengambil pendapat dari Nabi Musa, berikut
perbincangan Rasulullah SAW dengan Allah SWT di tempat tersebut. Kejadian
dahsyat dan luar biasa ini sungguh mengagumkan hati ahli iman. Ini adalah memang
urusan hati dan tidak akan bisa faham kejadian ini kecuali ahli iman.
Kejadian dahsyat dan luar
biasa (Isra-mi'raj) ini sungguh mengagumkan hati ahli iman. Ini adalah memang
urusan hati dan tidak akan bisa faham kejadian ini kecuali ahli iman.
Hal yang perlu di cermati
dibalik kisah luar biasa ini adalah hanyutya sebagian orang dalam irama
kekaguman terhadap kisah sidratul-muntaha dan mustawa berikut dialog Rasulullah
SAW dengan Allah SWT. Hingga sampailah pada titik keyakinan bahwa Rasulullah
berdialog dengan Allah SWT di tempat itu karena menganggap disitulah tempat
Allah SWT. Dan mungkin juga terbayang sebuah suasana hening saling duduk
berhadapan dan berdampingan antara Allah SWT dengan Rasulullah SAW.
Inilah kesesatan aqidah
bahkan itulah kekafiran yang tersembunyi dibalik sebuah keyakinan. Disinilah
orang sering salah alamat, seolah telah meyakini Tuhan Allah SWT yang (laisa
kamtslihi syaiun)tidak diserupai aleh apa dan siapapun, akan tetapi ternyata
telah tersesat di jalan menyerupakan Allah dengan makhlukNya. Meyakini Allah SWT
bertempat, berhadap-hadapan dengan Rasulullah SAW adalah salah jalan dalam
beriman kepada Allah SWT.
Begitu indah dan
istimewanya perjalanan Isro-mi'roj, mempesonakan hati yamg mencari-cari
keteduhan dibalik penghambakan kepada Allah SWT. Menghadirkan renungan dalam
makna sambung komunikasi dengan Allah Yang Maha Agung yang terurai dalam
kekhusukan dalam Sholat. Shalat lima waktu.
Akan tetapi Shalat yang
semestinya penghambaan kepada Allah bisa berubah menjadi penyembahan kepada
berhala yang di hayalkan jika ternyata seorang yang lagi Sholat telah meyakini
tuhanya duduk dan membutuhkan tempat, buah kesalah pahaman akan isra mi'rojnya
Rasulullah.
Shalat yang semestinya
penghambaan kepada Allah bisa berubah menjadi penyembahan kepada berhala yang di
hayalkan jika ternyata seorang yang lagi Sholat telah meyakini tuhanya duduk dan
membutuhkan tempat, buah kesalah pahaman akan isra mi'rojnya
Rasulullah.
Sungguh benar Rasulullah
SAW telah diperjalankan oleh Allah SWT dari masjidil-haram ke masjidil-aqsa lalu
menembus langit ketujuh hingga albaitil-makmur dan sidratul-muntaha dengan ruh
dan jasadnya. Lalu berdialog dengan Allah SWT. Itulah tempat kemulyaan yang
hanya disediakan untuk memulyakan Rasulullah SAW saja.
Yang perlu diyakini bahwa
tempat itu bulkanlah tempat Allah SWT. Sebab Allah SWT yang menciptakan tempat.
Sebelum Allah SWT menciptakan tempat Allah SWT tidak butuh kepada tempat dan
setelah Allah SWT menciptakan tempat Allah SWT tetap tidak butuh kepada tempat.
Tidak bisa dan tidak boleh menyebut Allah SWT bertempat.
Bagi Allah SWT sangat mudah
mengajak dialog khusus dengan Rasulullah SAW dimana saja. Bisa di Indonesia,
Malaysia dan Amerika atau di bukit Tursina seperti yang pernah terjadi pada nabi
Musa. Akan tetapi untuk seorang Nabi yang paling Allah SWT cintai dan mulyakan,
Allah SWT mengingikan dialog dengan kecintaanNya itu di tempat yang sangat
istimewa yang tidak penah dijamah oleh apa dan siapapun.
Tempat tersebut adalah
tempat untuk memulyakan Rasulullah SAW dan bukan tempatnya Allah SWT. Maha suci
Allah SWT yang tidak diserupai oleh segala ciptaan Nya.
Seorang ulama Ahlussunnah
wal Jama'ah, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Sayyid
Muhammad bin Alwi Maliki menguraikan dalam kitabnya "Wa huwa bi al’ufuq al-a’la"
yang diterjemahkan oleh Sahara , publisher dengan judul Semalam bersama Jibril
‘alaihissalam: Rekaman berbagai peristiwa besar sepanjang perjalanan akbar dari
Mekkah al-Mukarramah menuju Sidrah al Muntaha pada halaman 284 dan 286
menyampaikan :
Halaman 284 :
"Walaupun dalam kisah
mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah,
seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat
jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min
dzalik.
Naik dan turun itu hanya
dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi
wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi
dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang
hamba).
Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan
dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah
ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang,
ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu
itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini
disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah
mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam
naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di
hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama.
Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah
ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah
Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq".
Halaman 286 :
"Ketahuilah bahwa
bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa
alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu
tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari
hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa
alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke
tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari
tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat
dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta
ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala
suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya
tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah
tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam
ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak
qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam
ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya
adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla
suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab
at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki
mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari
Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini
bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia
Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oelh hadits ini?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya
kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam
kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci
Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah
ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat
di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu
Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu
alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam
yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan
para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya,
keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan
mereka. Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu
yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia
mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh.
Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia
mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu".
Jadi yang harus diyakini
saat sholat itu gimana ?? kan banyak yang bilang, kalau sholat itu dialog dengan
Allah, menyembah Allah, apa yang harus dibayangkankan ? Kan kita berkeyakinan
Allah ada tanpa arah dan tempat. ? Dalam penggalan riwayat sebuah hadits yang
sangat masyhur disebutkan : ".......Lalu orang itu bertanya lagi : ”Lalu
terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau
beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak
dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau". Dari
situ bisa didapat Makna Ihsan dalam beribadah. Sebuah amal dikatakan hasan cukup
jika diniati ikhlas karena Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan.
Kesempurnaan ihsan meliputi 2 keadaan :
1.Maqom Muraqobah yaitu
senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap
aktifitasnya,
2.Maqom Musyahadah yaitu
senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya
dengan sifat-sifat tersebut. Maqom ini lebih tinggi daripada maqom pertama. Jadi
ihsan dalam beribadah BUKAN BERARTI DENGAN MEMBAYANGKAN Allah.
Wallahu a'lam
bishshowab. [Alif
Jum'an Azend, Aba Zerra].
Link Asal :
www.fb.com/groups/piss.ktb/469790653043748/