PERTANYAAN
:
As-salamualaikum. Wr Wb.
al-hamdulillah, matur kasih buat pak admin ini sudah bisa posting status di
Group ini, cuman mau salam-salam aja kok, plus mau tanya nie, di semua penjuru
dunia saya perkecil dikampung saya banyak sekali yang tidak mengenal aqoid 50
:
§sifat wajib Alloh SWT
20
§sifat Muhal Alloh SWT
20
§sifat WAjib para Rosul
4
§sifat Muhal para Rosul
4
§sifat Jaiz Alloh
1
§sifat Jaiz para Rosul 1
Pertanyaan saya bagaimana
hukum seorang muslim yang tidak mengetaui Aqoid tersebut.? apakah batal
aqidahnya atau ada penafsilan hukum? silahkan di sertai ibarohnya yaa.
[Najwa
Asnawi].
JAWABAN
:
Wa'alaikumussalaam..
§Bagaimana hukum seorang
muslim yang tidak mengetaui Aqoid tersebut.? Hukumnya berdosa karena
meninggalkan kewajiban.
§Apakah batal aqidahnya atau
ada penafsilan hukum ? Jika tidak tahu dan meyakini sifat yang bertentangan
dengan sifat 50 itu, maka bisa batal aqidahnya. Jika tidak tahu karena belum
belajar (dan punya peluang belajar) maka berdosa.
§Terus Kalau Bagi LANSIA
bagaimana Hukum AQIDAH nya ? Sebetulnya orang muslim yang berakal normal secara
dhoruri (otomatis tanpa berpikir) akan membenarkan semua sifat 50 itu, tidak
harus tahu bahasa arabnya. contoh bila dikatakan "Allah itu pasti nggak bisa
mendengar", maka kalau orang beriman pastilah menyanggah pernyataan itu. Coba
tanyakan satu persatu sifat 50 itu pada orang normal, dan bagaimana jawabannya,
jangan pakai bahasa arab, tapi pakai bahasa yang mereka fahami.
Dalam kitab kifayatul awam,
bab khilaf ulama tentang sah tidaknya iman muqollid (orang yang taqlid)
disebutkan :
فاحرص
على الفرق بينهما ولا تكن ممن قلد فى عقائد الدين فيكون ايمانك مختلفا فيه فتخلد فى
النار عند من يقول لا يكفى التقليد
"Maka berhati-hatilah atas
perbedaan antara keduanya dan janganlah engkau menjadi diantara orang-orang yang
bertaqlid dalam aqidah-aqidah agama, karena sebab itu maka jadilah imanmu masih
diperselisihkan di dalamnya, lantas engkau kekal di dalam neraka, menurut orang
yang berkata : "tidak cukup taqlid itu".
Mushannif (pengarang kitab
kifayatul awam : Syaikh Muhammad al-Fudholi) menganjurkan agar kita selalu
menjaga perbedaan antara dua perkataan yang sama-sama berhukum wajib sedangkan
pengertian wajib untuk masing-masing dari dua perkara itu tidak sama.
Seperti contohnya perkataan
: "Allah wajib bersifat qudrah". Maka yang dimaksud wajib disini adalah sesuatu
yang tidak dibenarkan oleh akal tiadanya, dengan kata lain tidak masuk akal
(mustahil) jika Allah ta'ala tidak bersifatan qudrah (lemah). Sedangkan jika
seseorang itu berkata "Mengi'tiqodkan bahwa Allah bersifat qudrah adalah wajib"
maka pengertian wajib disini adalah wajib secara syariat. Artinya sesuatu yang
dilakukan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka akan disiksa.
Perbedaan makna wajib pada kedua perkara inilah yang harus kita fahami supaya
tidak keliru menempatkannya.
Mushannif juga menganjurkan
agar kita sebaliknya tidak termasuk orang-orang yang taqlid dalam masalah
aqidah, karena kalau kita taqlid dalam masalah tersebut maka iman kita jadi
mukhtalif (sesuatu yang masih diperselisihkan) karena sebagaian ulama yakni yang
berpendapat dengan cukupnya taqlid menyatakan telah tsubut (tetap) iman kita.
Sedangkan sebagian lagi yang berpendapat dengan ketidak cukupan taqlid
menyatakan bahwa iman kita belum tsubut (tetap). Maka kalau kita taqlid, kita
kekal di dalam neraka berdasarkan pendapat yang kedua ini karena itu berarti
iman kita belum tsubut. Adapun jika kita tidak taqlid maka para ulama telah
sepakat mengenai telah tsubutnya iman kita.
قال
السنوسى وليس يكون الشخص مؤمنا اذا قال أنا جازم بالعقائد زلو قطعت قطعا قطعا لا
ارجع عن جزمى هذا
"Imam as-Sanusi berkata :
Dan seseorang tidak menjadi mukmin jika dia berkata : Saya mantap dengan
aqidah-aqidah itu dan andai saya (diancam) untuk dipotong dengan beberapa
potongan niscaya saya tidak akan mencabut kemantapan (jazam) saya
ini".
بل
لا يكون مؤمنا حتى يعلم كل عقيدة من هذه الخمسين بدليلها وتقديم هذا العلم فرضا كما
يؤخذ من شرح العقائد لانه جعله اساسا ينبئ عليه غيره
"Bahkan dia tidak akan
menjadi mukmin sehingga dia mengetahui akan setiap aqidah dari yang 50 ini
dengan dalilnya (yang ijmali) dan (mengetahui pula bahwa) mendahulukan ilmu ini
adalah fardhu sebagaimana dikutip dari kitab Syarhul Aqo'id, karena pengarangnya
(yakni Sa'di Taftazani) telah menjadikan ilmu ini sebagai dasar yang terbina
atasnya barang yang selanjutnya.
وَبَـعْـدُ
فَاعْلَمْ بِوُجُوبِ الْمَعْرِفَـهْ [1] مِنْ وَاجِـبٍ للهِ عِـشْرِينَ صِفَهْ(
)
أي
يجب على المكلف أن يعتقد أن الله يجوز أن يخلق الخير والشر ، ويجوز أن يخلق الإسلام
في زيد والكفر في عمرو ، وإثابته للمطيع فضل منه وعقابه للعاصي
عدل
منه ؛ لأنه النافع الضار ، فحينئذ ينبغي للعبد أن يكون اعتماده عليه وحده فلا يرجو
ولا يخشى أحداً غيره .
- Jauharotut Tauhid
:
قال
الشيخ إبراهيم اللقاني في جوهرة التوحيد :-
44-
وَجَائِزٌ فِي حقِّهِ مَا أَمْكَنَا ... إِيجَادًا إعْدَامًا كَرَزْقِهِ
الْغِنَا
45-
فَخَالِقٌ لِعَبَدْه وَمَا عَمِلْ ... مُوَفِّقٌ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ
يَصِلْ
46
وَخَاذِلٌ لِمَنْ أَرَادَ بُعْدَهُ ... وَمُنْجِزٌ لِمَنْ أَرَادَ
وَعْدَهُ
47-
فَوْزُ السَّعِيدِ عِنْدَهُ فِي اْلأَزّلِ ... كَذَا الشَّقُّيِ ثُمَّ لَمْ
يَنْتَقِلِ
48-
وَعِنْدَنَا لِلْعَبْدِ كَسْبٌ كُلِّفَا ... بِهِ وَلكِنْ لَمْ يُؤَثِّرْ
فَاعْرِفَا
49-
فَلَيْسَ مَجْبُورًا وَلاَ اخْتِيَارَا ... وَلَيْسَ كَلاًّ يَفْعَلُ
اخْتِيَارَا
50-
فَإِنْ يُثِبْنَا فَبِمَحْضِ الْفَضْلِ ... وَإِن يُعَذِّبْ فَبِمَحْص
الْعَدْلِ
51-
وَقَوْلُهُمْ: إِنَّ الصَّلاَحَ وَاجِبٌ ... عَلَيْهِ زُورٌ مَا عَلَيْهِ
وَاجِبُ
52-
أَلَمْ يَرَوْا إيلاَمَهُ اْلأَطْفَالاَ ... وَشِبْهَهَا فَحَاذِرِ
المُحَالاَ
53-
وَجَائِزٌ عَلَيْهِ خَلْقُ الشِّرِّ ... وَالْخَيْرِ كالإِسْلاَمْ وَجَهْلِ
الْكُفْرِ
As-Syaikh Ibrahim
al-Laqqani dalam kitab Jauharatut Tauhid berkata :
44.Dan Jaiz (boleh) bagi Allah
setiap hal yang mumkin (perkara yang antara wujud dan tiadanya masih
fifty-fifty) baik menwujudkannya atau meniadakaannya seperti memberi rizki pada
orang kaya.
45.Allah adalah pencipta
setiap perbuatan hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya
46.Allah adalah Yang
menelantarkan hamba-Nya yang dikehendaki jauh dari-Nya dan yang memenuhi janji
bagi yang Dia kehendaki
47.Kebahagiaan orang yang
beruntung telah tertetapkan dizaman Azali begitu juga kecelakaan orang yang
celaka dan kemudian tiada bisa beralih
48.Dan menurut kami (Ahlus
Sunnah Wal jamaah) Seorang hamba diwajibkan berusaha meski tidak dapat merobah
titahNya
49.Maka hamba tidaklah murni
terpaksa tidak pula murni punya pilihan
50.Bila Allah memberi kita
pahala maka semata-mata anugerahNya, bila Allah menyiksa kita maka semata-mata
karena keadilanNya
51.Ungkapan Kaum Mu’tazila
“Sungguh wajib bagi Allah berbuat kebaikan adalah bohong kaena tidak ada suatu
kewajiban apapun bagi-Nya
52.Apakah mereka tidak melihat
pemberian petaka bagi para bocah dan sejenisnya ? Maka tinggalkanlah ketidak
mungkinan
53.Jaiz (Boleh) bagi Allah
berbuat kejelekan dan kebaikan seperti membuat islam atau kebodohan kufur atas
seseorang.
Dalam keterangan kitab
Jauharatut Tauhid karya As-Syaikh Ibrahim al-Laqqani dijelaskan tidak ada
sesuatupun yang wajib bagi Allah termasuk berbuat kebaikan pada hambaNya karena
bila ada kewajiban niscaya Allah bukanlah Dzat Yang memiliki kuasa mutlak yang
tunggal yang dapat berbuat sesuai kehendakNya. [ Tuhfah al-Muriid Hal. 64
].
Berikut juga beberapa kitab
tafsir menerangkan uraian senada dengan keterangan di atas :
الثانية
: قال علماؤنا : أفعال الرب سبحانه لا تخلو عن مصالح وإن لم يجب على الله الاستصلاح
فقد يعلم من حال عبد أنه لو بسط عليه قاده ذلك الفساد فيزوي عنه الدنيا مصلحة له
فليس ضيق الرزق هوانا ولا سعة الرزق فضيلة وقد أعطى أقواما مع علمه أنهم يستعملونه
في الفساد ولو فعل بهم خلاف ما فعل لكانوا أقرب إلى الصلاح والأمر على الجملة مفوض
إلى مشيئته ولا يمكن التزام مذهب الاستصلاح في كل فعل من أفعال الله
تعالى
2. Para Alim kami berkata
“Perbuatan Allah tidak akan lepas dari kemashlahatan meskipun tidak wajib bagi
Allah berbuat kemashlahatan untuk hamba-Nya, sungguh Allah Maha Mengetahui
keberadaan hamba-Nya yang andaikan Allah lapangkan rizkinya niscaya akan
menyeretnya pada kerusakan maka Allah himpitkan rizkinya sebagai bentuk
kemashlahatan untuk dirinya.
Dengan demikian sempitnya
rizki seseorang bukan berarti penghinaan dari Allah dan lapangnya rizki
seseorang juga bukan berarti dia telah mendapatkan anugerah dari Allah. Dan
sungguh Allah pun telah berikan rizki pada suatu kaum sementara Dia Maha
Mengetahui rizki mereka digunakan untuk berbuat kerusakan dan andai Allah
berbuat kebalikannya (tidak berikan rizki mereka berlimpah) niscaya mereka lebih
dekat pada kebaikan. Karenanya segalanya tergantung pada kehendak Allah dan
tidak mungkin membuat ketetapan akan wajibnya Allah berbuat kebaikan pada setiap
hal yang Allah perbuat
Keterangan tafsir tersebut
terdapat pada : al-Jaami’ Li Ahkaam al-Quraan 16/28, Tafsiir al-Qurthuuby 16/25
dan Tafsiir al-Muniir Li az-Zuhaily 16/25. Wallaahu A'lamu Bis Showaab.
[Masaji
Antoro, Najwa Asnawi, Alif Jum'an Azend,Timur Lenk].
Link Asal :
www.fb.com/groups/piss.ktb/455752761114204/