Mereka adalah produk atau hasil pengajaran para ulama yang dipaksakan oleh penguasa kerajaan dinasti Saudi untuk mengikuti pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab
Kerajaan dinasti Saudi didirikan atas kolaborasi antara penguasa Muhammad bin Sa’ud dan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab
Berikut kutipan perkenalan dari kedutaan besar Saudi Arabia, http:// www.saudiem bassy.net/ about/ country-inf ormation/ Islam/ saudi_arabi a_Islam_he artland.as px
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd,
Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the
ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia
back to the original and undefiled form of Islam”.
Ulama Muhammad bin Abdul Wahab membutuhka n seorang penguasa untuk menolong penyiaran pahamnya yang baru dan Muhammad bin Sa’ud membutuhka n seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideologi yang keras, demi untuk memperkoko h pemerintah an dan kekuasaann ya.
Padahal ulama dilarang “mendekati pintu penguasa“ karena mereka akan kesulitan menegakkan kebenaran. Fatwanya bisa jadi merupakan pembenaran terhadap keinginan/ hawa nafsu penguasa. Ulama itu harus bersifat independen sehingga mereka berfatwa tetap sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits.
Diriwayatk an dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi shallallah u alaihi wasallam bersabda “barangsiap a mendatangi pintu penguasa maka ia akan terfitnah” ( HR Abu Dawud [2859]).
Diriwayatk an dari Abu Anwar as-Sulami r.a, ia berkata, “Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, ‘Jauhilah pintu-pint u penguasa, karena akan menyebabka n kesulitan dan kehinaan‘,”
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi.
Mereka serupa dengan kaum Nasrani yang telah menjadi korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi.
Kaum Nasrani merasa telah mengikuti pengikut Rasul (pengikut Nabi Isa a.s) namun kenyataann ya mereka tidak lebih dari mengikuti prasangka atau akal pikiran manusia seperti Paulus (Yahudi dari Tarsus). Surat-sura tnya menjadi bagian penting Perjanjian Baru.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguh nya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwala h kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut- pengikut rasul itu) menjadikan
agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-ma sing).” (QS Al Mu’minun [23] : 52-53)
Sedangkan mereka merasa telah mengikuti Salafush Sholeh namun kenyataany a mereka tidak lebih dari mengikuti para ulama yang mengaku mengikuti Salafush Sholeh namun tidak bertemu atau bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh.
Para ulama mereka membaca hadits yang tentunya ada sanad yang
tersusun dari Tabi’ut Tabi’in , Tabi’in dan Sahabat. Lalu ulama mereka
katakan bahwa mereka telah mengikuti Salafush Sholeh. Mereka
sebenarnya hanyalah mengikuti akal pikiran mereka sendiri.
Ulama merekapun berijtihad dengan pendapatny a terhadap hadits tersebut. Apa yang ulama mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya
adalah hasil ijtihad dan ra’yu ulama mereka sendiri. Sumbernya memang
hadits tersebut tapi apa yang ulama mereka sampaikan semata lahir
dari kepala ulama mereka sendiri. Sayangnya ulama mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang ulama mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad ulama mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad ulama mereka, benar atau salah, mereka atasnamaka n kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad ulama mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Kaum Nasrani tidak dapat lagi menelusuri apa sebenarnya yang disampaika n oleh lisannya Nabi Isa a.s. sedangkan mereka tidak mau menelusuri apa sebenarnya yang disampaika n oleh lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Mereka membatasi diri dalam memahami agama berdasarka n apa yang dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang menurut pengakuann ya
mengikuti apa yang dipahami oleh ulama Ibnu Taimiyyah dan para ulama
yang mengikuti beliau seperti ulama Ibnu Qoyyim al Jauziah.
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah tentu tidak bertemu muka atau bertalaqqi (mengaji) karena masa kehidupann ya terpaut 350 tahun lebih. Sehingga pada hakikatnya beliau mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandark an dengan muthola’ah , menelaah kitab Ibnu Taimiyyah dengan akal pikirannya sendiri.
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaik an “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahann ya
karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia
salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia
tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal
pikirannya sendiri),
maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh
baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang
kita bisa tanya jika kita mendapatka n masalah”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Tidak ada yang dapat menjamin upaya pemahaman yang telah dilakukan
oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pasti benar atau tidak
akan keliru.
Kesalahpah aman atau kekeliruan lebih besar kemungkina n terjadi karena ulama Muhammad bin Abdul Wahhab tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan tidak pula dikenal sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits atau berpendapa t atau berfatwa harus berdasarka n ilmu, yakni 1). Sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dan 2). Ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits
1). Sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikan nya (sanad ilmu)”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
2.) Ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits
Untuk dapat menggali sendiri dari Al Qur’an dan Hadits maupun
memahami perkatan ulama Salaf yang Sholeh tidak cukup dengan makna
dzahir yakni dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi) saja sebagaiman a umumnya mereka yang bersandar pada muthola’ah , menelaah kitab namun dibutuhkan kompetensi seperti
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaika n Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainy a bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d
dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada
lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan,
ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq,
ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz
hakikat. Semua itu masing-mas ing mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki sanad ilmu dan kompetensi di atas maka termasuk orang awam sehingga tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada imam mujtahid yang dapat dipertangg ungjawabka n kemampuann ya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamk an taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dali lnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatka n yang akan merusak sendi-send i kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukann ya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyath i ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukak an dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukaka n. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuann ya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa
dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak
termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab diketahui tidak mau mempelajar i kitab fiqih yang ditulis oleh Imam Mazhab yang empat.
Ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabil ah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut: “Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah , yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-ter angan berdakwah kecuali setelah meninggaln ya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginform asikan
kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini,
bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar
ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-oran g di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat , “Hati-hati , kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-bena r terjadi.”
Begitupula
ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan ulama Muhammad bin Abdul
Wahhab semula bermazhab atau berguru dengan para ulama bermazhab Hambali
namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah lebih bersandar kepada upaya
pemahamann ya sendiri melalui muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri sehingga pemahamann ya bertentang an dengan pemahaman Imam Mazhab yang empat. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/07/28/ semula-berm azhab-hamb ali/ dan bantahan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari para ulama Ahlussunna h wal Jama’ah sebagaiman a yang terurai dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangk abawi,
ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar
di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaska n dalam kitab-kita b beliau seperti ‘al-Khitht hah al-Mardhiy ah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffu zh bian-Niyah ’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisih i pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui dan disepakati
oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai
pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Begitupula Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) dalam kitab “Risalah Ahlussunna h
wal Jama’ah” telah membantah apa yang dipahamai oleh Ibnu Taimiyyah
maupun apa yang dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kutipannya dapat di baca pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/04/22/ kabar-waktu -lampau/
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaik an bahwa “maksud dari pengijazah an sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatk an tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadany a, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadany a dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaa n al-Qur’an itu benar-bena r sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan “
Ciri seorang ulama masih tersambung sanad ilmunya adalah pendapatny a tidak bertentang an dengan ulama-ulam a yang sholeh sebelumnya dan tidak pula bertentang an dengan pendapat Imam Mazhab yang empat artinya sanad ilmu ulama Ibnu Taimiyyah terputus hanya sampai pada akal pikirannya sendiri.
Bahkan karena kesalahpah amannya mengakibat kan ulama Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaiman a dapat diketahui dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/04/13/ ke-langit-d unia atau uraian dalam tulisan pada http:// ibnu-alkati biy.blogsp ot.com/ 2011/12/ kisah-tauba tnya-ibnu- taimiyah-d i-tangan.h tml
Oleh karenanya berhati-ha tilah
dalam memilih dan mengikuti hasil pemahaman (ijtihad) seorang ulama.
Apalagi jika hasil pemahaman (ijtihad) ulama tersebut sering dikritik
atau dibantah oleh banyak ulama lainnya.
Apalagi mengikuti pendapat seorang ulama yang sudah dinyatakan oleh ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam sebagai ulama yang dapat menyesatka n kaum muslim sebagaiman a yang terurai dalam tulisan pada http:// majelisrasu lullah.org / index.php?o ption=com_ simpleboar d&Itemid=3 4&func=vie w&id=22475 &catid=9
Jangan menimbulka n penyesalan di akhirat kelak karena salah mengikuti ulama.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“(Yaitu) ketika orang-oran g yang diikuti itu berlepas diri dari orang-oran g yang mengikutin ya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
“Dan berkatalah orang-oran g yang mengikuti: “Seandainy a kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaiman a mereka berlepas diri dari kami.” Demikianla h Allah memperliha tkan kepada mereka amal perbuatann ya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kal i mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
Para ulama yang sholeh dari kalangan Ahlul Bait telah sepakat bahwa apa yang disampaika n
oleh pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
yakni Imam Mazhab yang empat telah sesuai dengan pengajaran agama yang telah mereka dapatkan dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatka n pengajaran agama dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Marilah menelusuri apa yang disampaika n lisannya Rasulullah melalui penelusura n apa yang disampaika n oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahma n Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddi n,
kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al
Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas
mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutth oriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Al Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa dan orang orang yang setingkat dengannya.
Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut, dan keberanian ,
Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin
Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para pengikut Khawarij
untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah
dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulam a tasawuf yang mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawati ran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi
pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India,
kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalka n kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan,
tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan.
Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan
Madagaskar . Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinann ya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830