Allah Azza wa Jalla, ada sebagaiman a awalnya , sebagaiman a akhirnya, sebagaiman a sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaiman a sebelum diciptakan langit, sebagaiman a sebelum diciptakan ciptaanNya . Dia tidak dibatasi atau berbatas dengan ‘Arsy atau langit atau ciptaanNya yang lain. Dia dekat tidak bersentuh dan Dia jauh tidak berjarak maupun tidak berarah. Dia tidak berubah, tidak berpindah, tidak berbentuk.
Dia tidak dapat dilihat dengan mata kepala . Dia tidak serupa dengan
apapun yang telah dilihat oleh mata kepala. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (QS Asy Syuraa [42]:11)
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihata n mata” (QS Al An’am [6]:103)
Kita berdoa mengangkat tangan ke atas tidak menunjukka n keberadaan Allah di langit, sama seperti menghadap Qiblat (Ka’bah) tidak menunjukka n keberadaan Allah dalam Ka’bah ataupun dekat kepada Allah ketika sujud bukan menunjukka n keberadaan Allah pada tempat sujud.
Begitupula peristiwa Mi'raj Nabi Muhammad Shallallah u 'alaihi wasallam bukan perjalanan Beliau ke tempat Allah Azza wa Jalla namun perjalanan Nabi Muhammad Shallallah u 'alaihi wasallam ke tempat bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla dan menerima perintah ibadah sholat lima waktu.
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturid i: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahka n mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhn ya sangkaan seseorang bahwa mengangkat
pandangan ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu
sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia
meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/ barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid - 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Ny a, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaiman a orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaiman a bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhn ya langit itu qiblat orang berdoa sebagaiman a bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalan i berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhn ya langit itu qiblat doa, sebagaiman a Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhn ya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: "Jika dipertanya kan, ketika adalah kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthu syi :
Pertama: sesungguhn ya angkat tangan ketika doa itu permasalah an ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki
dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari
langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat
Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-l ah yang memberikan
kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala
amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan
langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-pe rkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentinga n ke langit, dan orang-oran g berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
Firman Allah Azza wa Jalla
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى ٰ
“Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi“
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ
maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)
فَأَوْحَىٰ إِلَىٰ عَبْدِهِ مَا أَوْحَىٰ
Lalu dia menyampaik an kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ
Hatinya tidak mendustaka n apa yang telah dilihatnya .
(QS An Najm [53]: ayat 8 s/d ayat 11)
Ayat-ayat di atas adalah sebagian keterangan dari perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad Shallallah u ‘Alaihi Wasallam. Namun ayat-ayat tersebut sebaiknya jangan dimaknakan sebagai pembuktian bahwa Nabi Muhammad Shallallah u ‘Alaihi Wallam berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla di suatu tempat. Maha Suci Allah dari “di mana” dan “bagaimana“
Kesalahpah aman yang paling pokok bagi mereka adalah menjadikan hadits kisah budak jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatk an oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami sebagai landasan dalam i’tiqod.
Hadits tersebut diriwayatk an oleh perawi yang baru masuk Islam. Dapat diketahui dari ungkapanny a “Lalu aku mengucapka n, ‘Yarhamuka llah (semoga Allah memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan pandangann ya kepadaku. Aku berkata, Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototi ku? Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam”
Hal pokok yang disampaika n oleh hadits terebut adalah pada bagian perkataan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhn ya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an. ”
Hadits tersebut khususnya pada bagian kisah budak Jariyah dikatakan syadz untuk dijadikan landasan menyangkut masalah akidah (i’tiqod) karena tidak dapat dikatakan “di mana” atau bagaimana bagi Allah Azza wa Jalla. Begitupula hadits tersebut tidak diletakkan dalam bab tentang iman (i’tiqod) namun pada bab tentang sholat.
Imam Nawawi (w. 676 H/ 1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahah i Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan maqam (tempat) dan juga bisa digunakan untuk menanyakan makanah (kedudukan / derajat). Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunga nmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi)
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1 /221: “Karena sesungguhn ya jangkauan akal terhadap rahasia-ra hasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapain ya, maka tidak boleh dialamatka n kepada ketetapan- Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaiman a tidak boleh juga mengalamat kan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguh nya yang menciptaka n ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaa n tentang tempat), dan yang menciptaka n kayfa (sifat-sif at makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Imam al Qusyairi menyampaik an, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kre asi yang mampu menggambar i-Nya, atau menolak dengan perbuatan- Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai -Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahka n-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan :
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di
manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat,
Dia ada sebelum segala makhluk-Ny a
ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk
dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala
sesuatu”
Imam Asy Syafi’i ~rahimahul lah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-ba tasan (bentuk) dan segala penghabisa n, dan Dia tidak membutuhka n kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Imam Syafi’i ~ rahimahull ah juga menjelaska n bahwa “jika
Allah bertempat di atas ‘Arsy maka pasti memiliki arah bawah, dan bila
demikian maka mesti akan memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan
sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha
Suci dari pada itu semua.”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului -Mu, Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu .
Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada sesuatu di atasMu. Ya
Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada sesuatu di bawahMu”. (HR Muslim 4888)
Rasulullah bersabda “wa Robbal ‘arsyil ‘azhiimii” , “Tuhan yang menguasai ‘Arsy” (HR Muslim 4888)
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhn ya Allah menciptaka n ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakka n kekuasaan- Nya bukan untuk menjadikan nya tempat bagi DzatNya”
Dalam kitab al-Washiyy ah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan :
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَه ُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْر َارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْ رِهِ كَالْمَخْل ُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَار ِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhka n kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhka n kepada makhluk-ma khluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhka n kapada makhluk-Ny a maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptaka n alam ini dan mengaturny a. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Ny a sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhka n untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptaka n arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptaka n arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptaka n
arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan
adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan
kesucian yang agung”
Berikut penjelasan ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki. Kami kutipkan dari terjemahan kitab beliau yang aslinya berjudul “Wa huwa bi al’ufuq al-a’la” diterjemah kan oleh Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissa lam”
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turun nya Rasulullah ,
seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya
terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur.
Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahka n kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallah u
alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau
lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah
(kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissal am,
ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah
sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Ny a, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakter batasannya dan ketidakter tangkapnya . Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissal am sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallah u walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukka n kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertia n ini dikuatkan dengan dinaikkann ya
beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu
para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunaka n buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah bahwa bolak-bali knya Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissal am
dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak
berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari
hal itu dengan sesuci-suc inya.
Ucapan Nabi Musa alaihissal am kepada beliau, “Kembalila h kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalila h ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissal am ke tempat beliau bermunajat
dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang
diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah
Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingk an dengan yang lain. Sebagaiman a lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissal am di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati
suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau
shallallah u alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissal am
ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke
dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah
Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari
menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkir ah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan , ‘Telah mengabarka n kepadaku banyak dari sahabat-sa habat kami dari Imam al-Haramai n Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukka n oleh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhn ya Yunus bin Matta alaihissal am menghempas kan
dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di
dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan
selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhn ya aku termasuk orang-oran g yang zhalim,” sebagaiman a Allah ta’ala memberitak an tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallah u
alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga
sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan
bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallah u alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingk an Nabi Yunus alaihissal am yang berada dikegelapa n lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembuny i atasNya, keadaan mereka bagaimanap un mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka“.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkakn ya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaiman a Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Dan telah menceritak an kepada kami Ibnu Numair telah menceritak an kepada kami Abu Usamah telah menceritak an kepada kami Zakariya’ dari Ibnu Asywa’ dari Amir dari Masruq dia berkata, “Aku berkata kepada Aisyah, ‘Lalu kita apakah firman Allah: ‘(Kemudian
dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada
Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu
dia menyampaik an kepada hambaNya (Muhammad)
apa yang telah Allah wahyukan) ‘ (Qs. An-Najm: 8-10). Aisyah menjawab,
‘(Yang dimaksud ayat tersebut) adalah Jibril. Dia mendatangi Rasulullah dalam bentuk seorang laki-laki, dan pada kesempatan ini, dia mendatangi beliau dalam bentuknya yang sesungguhn ya, sehingga dia menutupi ufuk langit’.” (HR Muslim 260)
Dari Masruq dia berkata, “Aku yang duduk bersandar dari tadi,
maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul
Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-bu ru, (dengarlah kata-katak u ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman:
walaqad raaahu bialufuqi almubiini (QS at Takwir [81]:23) dan Firman
Allah lagi: walaqad raaahu nazlatan ukhraa (QS An Najm 53]:13) Maka
Aisyah menjawab, ‘Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada
Rasulullah shallallah u
‘alaihi wasallam. mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau
telah menjawab dengan bersabda: Yang dimaksud ‘dia’ dalam ayat itu
adalah Jibril (bukan Allah), “aku tidak pernah melihat Jibril dalam
bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari
langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara
lagit dan bumi.” (HR Muslim 259)
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi) , Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan : “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut (QS Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”.
Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit.
Perkataan ‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi berarti malaikat bukan
berarti Allah berada dan bertempat di langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahul lah mengatakan : “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah kekuasaan/ kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthoni hi wa qudratihi ) jadi yang di langit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthoni hi wa qudratihi) bukan dzat Allah.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830