oleh Zon Jonggol
Salah satu contoh akibat pemaksaan penguasa kerajaan dinasti
Saudi terhadap para ulama disana untuk mengikuti pemahaman Muhammad bin
Abdul Wahhab adalah adanya pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” sehingga menimbulka n sikap ekstremism e atau radikalism e mereka terhadap kaum muslim pada umumnya
Kita bisa melihat contoh pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” sebagaiman a yang dipahami dan disebarlua skan oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab pada Qawaidul Arba’ yang disyarahka n oleh ulama Sholih Fauzan Al-Fauzan pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2012/03/ pemahaman-t auhid-maw. pdf
Pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” menimbulka n sikap ekstremism e atau radikalism e atau prasangka buruk ulama Muhammad bin Abdul Wahhab maupun para pengikutny a bahwa kaum muslim yang tidak sepemahama n dengannya baru bertauhid Rububiyah dan tidak memenuhi tauhid Uluhiyah.
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallah u
alaihi wasallam, Abuya Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi
Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki
Alasy’ari Assyadzili mengatakan
***** awal kutipan *****
“Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremism e atau radikalism e adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajar an tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:
1) Tauhid Rububiyyah ,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat.
(Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh
generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in.
Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al
Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah .
Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuens i hukumnya yang memunculka n sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutuk an Allah, dan lepas dari tali tauhid.”
***** akhir kutipan *****
Ustadz Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari , Benarkah Ahlussunna h Wal-Jama’a h? (Jawaban Terhadap Aliran Salafi), Penerbit Khalista, Surabaya hal 224 s/d 230)
***** awal kutipan *****
Telah menceritak an kepada kami Muhammad bin Basyar bin Utsman Al Abdi telah menceritak an kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritak an kepada kami Syu’bah dari Alqamah bin Martsad dari Sa’ad bin Ubaidah dari Al Bara` bin Azib dari nabi Shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: Allah meneguhkan (iman) orang-oran g
yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan
di akhirat. (QS Ibrahiim: 27) beliau bersabda: (Ayat ini) turun
berkenaan dengan adzab kubur, ia ditanya: ‘Siapa Rabbmu? ‘ ia menjawab:
‘Rabbku Allah, nabiku Muhammad Shallallah u ‘alaihi wa Salam.’ Itulah firman Allah ‘azza wajalla: Allah meneguhkan (iman) orang-oran g yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. (QS Ibrahiim: 27) (HR. Muslim 5117).
Hadits diatas memberikan pengertian ,
bahwa Malaikat Munkar dan Nakir, akan bertanya kepada si mayit tentang
Rabb, bukan Ilah, karena kedua Malaikat tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah.
Seandainya pandangan Ibn Taimiyah dan Wahhabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah
dan Tauhid Uluhiyyah itu benar, tentunya kedua Malaikat itu akan
bertanya kepada si mayit dengan, “Man Ilahuka (Siapa Tuhan Uluhiyyah- mu)?”, bukan “Man Rabbuka (Siapa Tuhan Rububiyyah -mu)?” atau mungkin keduanya akan menanyakan semua, “Man Rabbuka wa man Ilahuka?”
***** akhir kutipan *****
Pada hakikatnya tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyah tidak dapat dipisahkan karena ada keterkaita n
(talazum) yang sangat erat. Salah satunya tidak terpenuhi maka tidak
dikatakan bertauhid atau beriman. Tidak dikatakan kaum non muslim itu
bertauhid atau beriman dan tidak ada pula istilah mukmin musyrik
sebagaiman a yang dapat diketahui dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/01/10/ mukmin-musy rik/
Gus A’ab, sapaan akrab KH Abdullah Syamsul Arifin mengatakan “istilah mukmin (beriman) dan muysrik (menyekutu kan Tuhan), dua term yang berbeda, sehinga tidak bisa disandingk an”.
Tujuannya sebenarnya pembagian tauhid jadi tiga adalah untuk membenarka n pendapat mereka bahwa orang-oran g yang melakukan istighatsa h,
tawassul dan tabarruk dengan para Wali Allah dan para Nabi itu telah
beribadah kepada selain Allah dan melanggar Tauhid Uluhiyyah sehingga
timbullah sikap ekstrimism e atau radikalism e dalam bentuk vonis syirik.
Kami kutipkan dari tulisan pada http:// allangkati. blogspot.c om/2010/ 07/ keganasan-w ahabi-di-p akistan.ht ml
***** awal kutipan ****
Para pengikut ajaran wahhabi adalah kelompok yang sangat membencika n orang-oran g sufi dan mengkafirk an mereka, mereka menganggap bahwa orang -orang sufi menyembah kuburan-ku bura wali sehingga halal darahnya di bunuh, pemahaman ini bersumber dari aqidah mereka yang menyatakan bahwa tauhd itu terbagi kepada tiga bahagian, tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, tauhid asma` dan sifat, orang-oran g sufi hanya percaya dengan tauhid rububiyyah dan tidak menyakini tauhid uluhiyyah, sebab itulah mereka kafir dan boleh di bunuh, bahkan mereka mengatakan bahwa orang-oran g kafir qurasy lebih bagus tauhidnya daripada orang-oran g sufi.
*****akhir kutipan *****
Kita simak saja apa yang disampaika n oleh ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yang mendapatka n pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatka n pengajaran agama langsung dari lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam sehingga terjaga kemutawati ran sanad, kemurnian agama dan aqidahnya seperti Habib Munzir Al Musawa
***** awal kutipan *****
“Tak ada ulama salaf yang sholeh yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperanta ra pada kemuliaan seseorang,
atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan Allah,
bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan
orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian.
Justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamk an pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrika n karena menganggap
makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua
yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali
karena Allah memuliakan nya,
bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah,
berarti si hidup itu sebanding dengan Allah??, si hidup bisa berbuat
sesuatu pada keputusan Allah??
Tidak saudaraku. .
Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari
yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali
dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang mati pun bukan mustahil
memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Ketahuilah bahwa pengingkar an akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang yang mati adalah dirisaukan terjebak pada kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap abadi walau mereka telah wafat”
Sumber: http:// majelisrasu lullah.org / index.php?o ption=com_ simpleboar d&Itemid=3 4&func=vie w&id=22457 &catid=7
***** akhir kutipan *****
Para Sahabat , bertawassu l dan bertabarru k ke makam Rasulullah sebagaiman a yang disampaika n oleh Ibnu katsir dalam kitab tarikhnya 7/ 105:
“Berkata al hafidz Abu Bakar al Baihaqi, telah menceritakan Abu Nashar
bin Qutadah dan Abu bakar al Farisi, mereka berdua berkata: telah
menceritak an kepada kami Abu Umar bin Mathor, telah menceritak an kepada kami Ibrahim bin Ali Addzahli, telah menceritak an kepada kami Yahya bin Yahya, telah menceritak an kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar Ia berkata, “Orang-ora ng mengalami kemarau panjang saat pemerintah an Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Shallallah u alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah Shallallah u alaihi wasallam mintakanla h hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan ucapkan salam untuknya beritahuka n kepadanya mereka semua akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikapl ah bijaksana, bersikapla h bijaksana” . Maka laki-laki tersebut menemui Umar dan menceritak an kepadanya akan hal itu. Kemudian Umar berkata “Ya Tuhanku aku tidak melalaikan urusan umat ini kecuali apa yang aku tidak mampu melakukann ya”
(Sanadnya shahih adalah penetapan dari Ibnu katsir. Malik adalah Malik
Ad Daar dan ia seorang bendahara gudang makanan pada pemerintah an Umar,ia adalah tsiqoh)
Al hafidz Ibnu Hajar al Asqolani dalam fathul bari juz 2 pada kitab aljumah bab sualun nas al imam idza qohathu”, Diriwayatk an
oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih dari riwayat Abu Shalih
As Saman dari Malik Ad Daar seorang bendahara Umar. Ia berkata
“Orang-ora ng mengalami kemarau panjang saat pemerintah an Umar. Kemudian seorang laki-laki datang ke makam Nabi Shallallah u alaihi wasallam dan berkata “Ya Rasulullah Shallallah u alaihi wasallam mintakanla h hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa datanglah kepada Umar dst..dan laki2 itu adalah Bilal bin Haris al Muzani”.
Begitupula sebagaiman a yang disampaika n Sahabat Nabi sebagaiman a yang terlukis pada Tafsir Ibnu Katsir pada ( QS An Nisaa [4] : 64 ) Scan kitab tafsir dapat dibaca pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2011/09/ ikjuz5p281_ 285.pdf
Berikut kutipannya
**** awal kutipan ****
Al-Atabi ra menceritak an bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Shallallah u alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapka n, “Assalamu’ alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahter aan terlimpahk an kepadamu, wahai Rasulullah ). Aku telah mendengar Allah ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguh nya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosak u (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapka n syair berikut , yaitu: “Hai sebaik-bai k orang yang dikebumika n di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumann ya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuniny a; di dalamnya terdapat kehormatan , kedermawan an, dan kemuliaan. “
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-mert a mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur.
Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallah u alaihi wasallam., lalu beliau shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanl ah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya! ”
***** akhir kutipan *****
Dengan pembagian atau konsep “tauhid jadi tiga” selain membedakan atau memisahkan dengan jelas antara Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah, sikap ekstremism e atau radikalism e mereka ditimbulka n dari Tauhid Asma’ was Shifaat yakni konsep memahami ayat-ayat mutasyabih at tentang sifat Allah dengan makna dzahir atau terjemahan nya saja atau makna dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi) saja.
Contoh sikap ekstremism e atau radikalism e diperlihat kan oleh seorang ustadz di kalangan mereka yang menyampaik an tulisannya pada http:// moslemsunna h.wordpres s.com/ 2010/03/29/ benarkah-ke dua-tangan -allah-azz a-wa-jalla -adalah-ka nan/
Dengan radikalnya beliau mengatakan bahwa bagi kaum muslim yang menyelisih i i’tiqod yang mereka sampaikan bahwa “kedua tangan Allah adalah kanan" adalah ahli bid’ah, orang-oran g yang berjalan di dalam kegelapan bid’ah.
Bahkan dengan i’tiqod yang mereka sampaikan, mereka mengatasna makannya sebagai i’tiqod Salaful Ummah (para Sahabat, Taabi’in dan Taab’ut Taabi’in). Tanpa disadari mereka telah memfitnah para Sahabat, Taabi’in dan Taab’ut Taabi’in.
Hadits yang mereka jadikan landasan i’tiqod bahwa “kedua tangan Allah adalah kanan" salah satunya adalah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ
عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ
يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِط ِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَن ِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُون َ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيه ِمْ وَمَا وَلُوا
Telah menceritak an kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair mereka berkata; telah menceritak an
kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amru -yaitu Ibnu Dinar- dari
‘Amru bin Aus dari Abdullah bin ‘Amru, -dan Ibnu Numair dan Abu Bakar
mengatakan sesuatu yang sampai kepada Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam, dan dalam haditsnya Zuhair- dia berkata, “Rasululla h shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-ora ng yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman ‘azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-oran g yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanak an tugas yang di bebankan kepada mereka.” (HR Muslim 3406)
Hadits di atas sama sekali tidak terkait dengan sifat Allah ta’ala atau tidak menjelaska n bahwa Allah ta’ala mempunyai dua buah tangan dimana kedua-duan ya adalah kanan.
Makna hadits tersebut “tangan kanan Allah”adal ah makna majaz yang maksudnya adalah manusia yang dipercayai dan mewakilkan Allah ta’ala dalam menegakkan keadilan adalah orang-oran g yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanak an tugas yang di bebankan kepada mereka.
Jika beri’tiqod dengan makna dzahir bahwa “kedua tangan Allah adalah kanan" maka akan bertentang an dengan nash-nash lainnya seperti Rasulullah bersabda “Setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya” (HR Muslim 4995)
Hadits selengkapn ya adalah
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَ اتِ يَوْمَ الْقِيَامَ ةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُ نَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّار ُونَ أَيْنَ الْمُتَكَب ِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِي نَ بِشِمَالِه ِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّار ُونَ أَيْنَ الْمُتَكَب ِّرُونَ
Abdullah bin ‘Umar dia berkata; “Rasululla h shallallah u
‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Pada hari kiamat kelak, Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan melipat langit. Setelah itu, Allah akan
menggengga mnya dengan tangan kanan-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-oran g yang selalu berbuat sewenang-w enang? Dan di manakah orang-oran g
yang selalu sombong dan angkuh? ‘ Setelah itu, Allah akan melipat bumi
dengan tangan kiri-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di
manakah sekarang orang-oran g yang sering berbuat sewenang-w enang? Di manakah orang-oran g yang sombong? “ (HR Muslim 4995).
Hadits ini pun tidak terkait dengan sifat Allah atau tidak menjelaska n bahwa Allah ta’ala mempunyai dua buah tangan , tangan kananNya yang dipergunak an melipat langit dan tangan kiriNya digunakan melipat bumi.
Makna hadits tersebut mengandung
makna majaz yang maksudnya adalah tangan kanan terkait sesuatu yang
baik yakni langit dan tangan kiri terkait sesuatu yang buruk yakni
bumi.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Yang telah menciptaka n tujuh langit berlapis-l apis” (QS Al Mulk [67]:3 )
“Allah-lah yang menciptaka n tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS Ath Thalaq [65]: 12 )
“Sesungguhn ya Kami telah menciptaka n manusia dalam bentuk yang sebaik-bai knya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-r endahnya (neraka), kecuali orang-oran g yang beriman dan mengerjaka n amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putu snya” (QS At Tin [95]: 4-6 )
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaa n
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-aka n bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) , yang minyaknya (saja) hampir-ham pir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis- lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaa n-perumpam aan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
Bagian paling dasar, kehinaan, naar (Api), 7 lapis bumi terus naik 7 lapis langit, Nuur (Cahaya), kemuliaan.
Langit ,di atas, tinggi sebagai kemuliaan, kebahagian diperlamba ngkan dengan Nuur (cahaya),
Bumi, di bawah, rendah sebagai kehinaan, kesengsara an diperlamba ngkan dengan Naar (api)
Oleh karenanya sebaiknya janganlah memahami ayat-ayat mutasyabih at dengan makna dzahir karena akan menjerumus kan kedalam kekufuran dalam i’tiqod
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan
dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-oran g kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah
sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaiman a tangan makhluk (jisim-jis im lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jis im lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhn ya
Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu
makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث
بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا
تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-had its yang di dalamnya ada sifat-sifa t Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanla h ia sebagaiman a ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyalla hu anhu mengatakan :
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsiranny a adalah bacaannya (tilawahny a) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyalla hu anhu ingin memalingka n kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu : tafsiranny a adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti huruf-perh urufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-laf azh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqo dkan berdasarka n maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupa an), sebab lafazh-laf azh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-laf azh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimanin ya dan tidak –secara mendetail– membahasny a dan membicarak annya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Keterjerum usan
kekufuran dalam i’tiqod adalah hal yang dialami oleh ulama Ibnu
Taimiyyah yang merupakan ulama panutan Muhammad bin Abdul Wahhab dan
para pengikutny a. Hal tersebut sebagaiman a yang disampaika n oleh ulama-ulam a terdahulu seperti dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/07/28/ semula-berm azhab-hamb ali/ atau pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf
Bahkan karena kesalahpah amannya mengakibat kan Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaiman a dapat diketahui dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/04/13/ ke-langit-d unia atau uraian dalam tulisan pada http:// ibnu-alkati biy.blogsp ot.com/ 2011/12/ kisah-tauba tnya-ibnu- taimiyah-d i-tangan.h tml
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830