Perselisih an karena perbedaan pemahaman yang terjadi pada zaman kini, boleh jadi dikarenaka n segelintir kaum muslim terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi sehingga cara memahami Al Qur'an dan Hadits mengikuti cara pemahaman Ibnu Taimiyyah atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab.
Mereka memahami Al Qur'an dan Hadits dengan makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahk an saja” berdasarka n arti bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi). Hal ini umum terjadi pada mereka yang memahami agama berlandask an muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…” Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari
agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa
saja yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikan nya (sanad ilmu)”
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaik an bahwa “maksud dari pengijazah an sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatk an tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadany a, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadany a dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaa n al-Qur’an itu benar-bena r sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits atau berpendapa t atau berfatwa harus berdasarka n ilmu. Sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.
Mereka tidak memperhati kan ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’). Mereka tidak juga memperhati kan sifat lafadz-laf adz
dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada
lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan,
ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq,
ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat
dan lain lainnya.
Contohnya, Rasulullah shallallah u alaihi wasallam tentu tidak pernah mengatakan bahwa “seluruh bid’ah adalah sesat”. Beliau mengatakan “Kullu Bid’ah dlalalah” sedangkan berdasarka n ilmu atau secara tata bahasa sudah dapat dipahami dengan mudah seperti apa yang disampaika n oleh ulama yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam seperti Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menuliskan : “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususka n
kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian
besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)”
(al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154)
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarka n ilmu yakni menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Slogan mereka memberanta s bid'ah namun kenyataann ya mereka termakan hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi untuk kembali kepada Al Qur'an dan Hadits melalui pemahaman dengan makna dzahir , berdasarka n arti bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi) sehingga mereka tanpa sadar justru terjerumus menjadi ahli bid'ah.
Ahli bid’ah adalah adalah mereka yang mengada-ad a dalam urusan agama atau mengada-ad a dalam perkara syariat atau mengada-ad a dalam urusan yang merupakan hak Allah ta'ala menetapkan nya yakni mereka yang melarang sesuatu yang tidak dilarangNy a, mengharamk an sesuatu yang tidak diharamkan Nya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Nya atau mereka yang melakukan sunnah sayyiah yakni mencontohk an atau meneladank an sesuatu di luar perkara syariat yang bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Dalam melarang, mengharamk an, mewajibkan sesuatu digunakanl ah metodologi istinbat (menetapka n hukum perkara) namun dilakukan bagi mereka yang mempunyai kompetensi sebagai Imam Mujtahid.
Ahli bid’ah adalah mereka yang menganggap Allah Azza wa Jalla telah lupa
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhn ya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggal kan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjaka n berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamk an sesuatu (dikerjaka n berdosa), maka jangan kamu pertengkar kan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincang kan dia.” (Riwayat Daraquthni , dihasankan oleh an-Nawawi)
Ahli bid’ah adalah mereka yang menyekutuk an Allah sehingga Allah ta’ala menutup taubat mereka sampai mereka meninggalk an bid’ahnya.
Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah shallallah u alaihi wasallam pernah bersabda : “Sesungguhn ya Allah menutup taubat dari tiap-tiap orang dari ahli bid’ah sehingga ia meninggalk an bid’ahnya.” (H. R. Thabrani)
Ahli bid’ah adalah mereka yang menyekutuk an Allah oleh karenanya mereka akan bertempat di neraka
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah ! Tuhanku hanya mengharamk an hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadany a dan apa yang tersembuny i dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutuk an Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hamb aKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokka n mereka dari agamanya, dan mengharamk an atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaru hi supaya mereka mau menyekutuk an Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Mereka yang termakan hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi sehingga mereka tanpa disadari telah bertasyabu h dengan kaum Nasrani menjadikan ulama-ulam a mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalk an sesuatu bagi mereka, mereka menganggap nya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamk an bagi mereka sesuatu, mereka mengharamk annya“
Pada riwayat yang lain disebutkan , Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalk an sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutin ya. Yang demikian itulah penyembaha nnya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Hai orang-oran g
yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhn ya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-se but oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhn ya orang-oran g yang mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116]
Mereka yang termakan hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi menolak adanya pembagian bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah.
Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptaka n jalan untuk memecahkan problem-pr oblem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi yang juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptaka n
perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat
melakukan aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarka n dengan jelas : “Sesungguhn ya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) bid’ah diniyah ( keagamaan ) 2) bid’ah duniawiyya h ( keduniaan ).”
Subhanalla h, mereka yang suka bermain-ma in ini membolehka n menciptaka n klasifikas i tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyya h, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-und ang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang ?
Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan
buruk itu tidak bersumber dari syari’, maka pembagian bid’ah ke bid’ah
diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyya h yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ad a yang sebenarnya .
Mereka yang berpendapa t terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyya h tidak mampu menggunaka n ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka berpendapa t bid’ah duniawiyya h tidak ada konsekuens i apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyya h itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulka n fitnah dan bencana.
Pantas saja mereka para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab menyerahka n sepenuhnya urusan dunia kepada penguasa dinasti kerajaan Saudi.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Barangsiap a
memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di
kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang
tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-oran g yang beriman.” (HR. Hakim)
Mereka membiarkan penguasa kerajaan dinasti Saudi melanggar larangan dari Allah Azza wa Jalla yakni menjadikan Amerika yang merupakan representa si kaum Zionis Yahudi sebagai teman kepercayaa n, pemimpin, pelindung maupun sebagai penasehat.
Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya,
“Hai orang-oran g yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaa nmu orang-oran g yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hent inya (menimbulk an) kemudharat an bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahka n kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyi kan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminy a” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kita b semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri , mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanm u itu”. Sesungguhn ya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
“Tidakkah kamu perhatikan orang-oran g yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-oran g itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan , sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
Mereka telah menjadi serupa dengan kaum Sekulerism e yang menyalahgu nakan hadits,”wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-uru san duniamu”. (HR. Muslim 4358)
Hadits selengkapn ya,
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ كِلَاهُمَا عَنْ الْأَسْوَد ِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُو نَ فَقَالَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ مَا لِنَخْلِكُ مْ قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُم ْ
Telah menceritak an kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid seluruhnya dari Al Aswad bin ‘Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritak an kepada kami Aswad bin ‘Amir; Telah menceritak an
kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya
dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinka n pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukann ya,
kurma itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma
tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallah u
‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau
bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah
anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’ (HR Muslim 4358)
Kaum sekulerism e berpendapa t urusan dunia tidaklah diurus oleh agama, terbukti dalam hadits tersebut Rasulullah salah memberikan nasehat dalam penanaman kurma berikut contoh pernyataan mereka selengkapn ya,
**** awal kutipan *****
“Ketika Nabi shallalahu alaihi wasallam memberikan nasihat tentang cara mengawinka n pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatka n wahyu atau kewenangan untuk itu.
Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat
beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul. Maka para petani
kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta pertanggun gjawaban
beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan
rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah
aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu, maka “Antum
a’lamu bi umuri dunyaakum” , kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu.
Rasulullah mengakui keterbatas annya. Rasulullah
bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah orang yang paling
tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun
beliau bukanlah orang yang paling tahu.
Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui
segala sesuatu hal tentang urusan dunia. Apalagi kalau mengurusi
urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus
mencari-ca ri semua aturan tetek-beng ek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.”
**** akhir kutipan *****
Dalam hadits di atas Rasulullah hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Hal ini dapat kita ketahui terkait firman Allah Azza wa Jalla, “subhaana alladzii khalaqa al-azwaaja kullahaa mimmaa tunbitu al-ardhu” , “Maha Suci Tuhan yang telah menciptaka n pasangan-p asangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhka n oleh bumi” (QS Yaa Siin [36]:36).
Permasalah an kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan tanggapan Rasulullah .
Sedangkan makna perkataan Rasulullah , “wa antum a’lamu bi amri dunyakum”, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-uru san duniamu” , yang dimaksud “urusan dunia” khusus urusan disiplin ilmu tertentu atau pengetahua n tertentu di luar ilmu agama, seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu pengetahua n manusia dalam membantu perkawinan kurma.
Namun ilmu pengetahua n yang didalami oleh manusia harus tetap merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits dan menetapkan nya
dalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan
mubah). Perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits termasuk ke
dalam dzikrullah (mengingat Allah) sebagaiman a Ulil Albab, muslim yang menggunaka n lubb atau akal qalbu atau muslim yang menundukka n akal pikirannya kepada akal qalbu sebagaiman a yang telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/01/29/ tundukkan-a kal-pikira n/
Ulil Albab sebagaiman a firman Allah yang artinya,
“(yaitu) orang-oran g yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptaka n ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).
“Allah menganuger ahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendak i-Nya. Dan barangsiap a yang dianugerah i hikmah, ia benar-bena r telah dianugerah i karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadan ya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Jadi urusan dunia yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam termasuk dalam perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatk anNya atau di luar apa yang telah diwajibkan Nya.
Baik atau buruknya perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat tidak boleh berdasarka n anggapan manusia atau berdasarka n akal pikiran manusia namun berdasarka n Al Qur’an dan Hadits.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam menyampaik an baik atau buruk perkara baru di luar perkara syariat ke dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah.
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَش ِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَن ِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِي ِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَا بِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْه ُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَة ِ فَأَبْطَئُ وا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَا رِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُو ا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَا مِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِم ْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَا مِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِه ِمْ شَيْءٌ
Telah menceritak an kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritak an kepada kami Jarir bin 'Abdul Hamid dari Al A'masy dari Musa bin 'Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari 'Abdurrahm an
bin Hilal Al 'Absi dari Jarir bin 'Abdullah dia berkata; Pada suatu
ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallah u 'alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhati kan kondisi mereka yang menyedihka n. Selain itu, mereka pun sangat membutuhka n pertolonga n. Akhirnya, Rasulullah shallallah u 'alaihi wasallam menganjurk an para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanak an anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata; 'Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan
bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh
beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang
sahabat yang turut serta menyumbang kan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-oran g Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallah u 'alaihi wasallam.' Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatka n pahalanya dan pahala orang-oran g yang mengamalka n sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pah ala mereka sedikitpun . Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatka n dosanya dan dosa orang-oran g yang mengamalka n sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun .” (HR Muslim 4830)
Hadits di atas diriwayatk an juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidz i no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/ 357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
Arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah adalah
contoh atau suri tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak
dilakukan oleh orang lain sebelumnya
Kesimpulan nya,
Sunnah hasanah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah hasanah
Sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah dholalah
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahul lah menyampaik an
قاَلَ الشّاَفِعِ ي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْ دَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah ) dan bertentang an dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataa n sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah ) dan tidak bertentang an
dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah
mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth- Thalibin –Juz 1 hal. 313).
Begitupula para Imam Mazhab (Imam Mujtahid Mutlak) dalam beristinba t, menetapkan hukum perkara suatu perbuatan kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah) menghindar i al-Maslaha h al-Mursala h atau al-Istisla h yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapny a, dengan berdasarka n pada kemaslahat an semata yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Menurut Imam Syafi’i ra cara-cara penetapan hukum seperti itu sekali-kal i bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunaka nnya sama dengan menetapkan syari’at berdasarka n hawa nafsu atau berdasarka n pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlaha tan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, dapat terjerumus kedalam mengharamk an sesuatu tanpa dalil.
Para ulama yang sholeh dalam menetapkan perkara baru sangat berpegang salah satunya pada firman Allah ta’ala yang artinya “Katakanlah ! Tuhanku hanya mengharamk an hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadany a dan apa yang tersembuny i dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutuk an Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui .” (QS al-A’raf: 32-33)
Wassalam
Zon di Jonggol , Kab Bogor 16830