Pada
sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sunda Kelapa,
Jakarta, penulis dikritik oleh Dr Yusril Ihza Mahendra, sekarang Menteri
Kehakiman dan HAM. Kata Bang Yusril, ia kecewa dengan penulis karena
bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah kitab suci
al-Quran menyatakan salah satu tanda-tand a seorang muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (Asyidda a’la al-kuffar ruhama baynahum).
Menanggapi hal itu, penulis menjawab, sebaiknya bang Yusril mempelajar i kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. Karena ia tidak tahu, bahwa yang dimaksud al-Qur'an dalam kata “kafir” atau “kuffar” adalah orang-oran g musyrik (polytheis) yang ada di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja, bang Yusril tidak tahu, bagaimana ia berani mengemukak an hal itu?
Berdasar kenyataan itu, penulis tidak begitu heran dengan terjadinya kekerasan di Maluku, Poso, Aceh dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom di Legian, Bali, karena itu berarti pembunuhan atas begitu banyak orang yang tidak bersalah. Tetapi kutukan itu, tidak berarti penulis heran atas terjadi-ny a
peledakan bom itu. Karena dalam pandangan penulis, hal itu terjadi
akibat para pelakunya tidak mengerti, bahwa Islam tidak membenarka n tindak kekerasan dan diskrimana tif. Satu-satun ya pem-benara n bagi tindakan kekerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin di usir dari rumahnya (Idza ukhrizu min diyarihim). Karena itulah, ketika harus meninggalk an Istana Merdeka, penulis me-minta Luhut Panjaitan mencari surat perintah dari Lurah sekalipun.
Sebabnya, karena ada perintah lain dalam Sunny tradisiona l yang diyakini penulis, untuk taat pada pemerintah . Berdasar ayat kitab suci itu, “taatlah kalian pada Allah, pada utusan-Nya dan pada pemegang kekuasaan pemerintah an” (Athi u’ allaha wa al-rasulla h wa uli al-amri minkum). Pak Luhut Panjaitan mencarikan
surat perintah itu dari seorang Lurah, dan penulis sebagai warga negara
dan rakyat biasa –karena lengser dari jabatan kepresiden an— mengikuti perintah tersebut. Soal bersediany a penulis lengser dari jabatan kepresiden an, karena penulis mengaggap tidak layak jabatan setinggi apapun di negeri ini, dipertahan kan dengan pertumpaha n darah. Padahal waktu itu, sudah ada pernyataan yang ditandatan gani 300.000 orang akan mendukung penulis mempertaha nkan jabatan kepresiden an, kalau perlu mengorbank an nyawa.
Tindak kekerasan –walaupun atas nama agama— dinyatakan oleh siapapun dan dimana pun sebagai terorisme. Beberapa tahun sebelum menjabat sebagai Presiden, penulis merencanak an berkunjung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri Pusat Perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum keberangak atan ke Tel Aviv, penulis menerima rancangan pernyataan bersama, yang oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Bakshiloro n. Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan penuli dan Rabai yang menyatakan “berdasark an keyakinan agama Islam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat pada matinya orang-oran g yang tidak berdosa”. Pengurus Besar NU mengutus Wakil Rais Aam, KH Sahal Mahfudh untuk memeriksa rancangan pernyataan itu. KH Sahal Mahfudh meminta kata-kata “tidak berdosa” diubah menjadi “tidak bersalah”.
Mengapa demikian? Karena, yang menentukan seseorang itu berdosa atau tidak adalah Allah SWT. Sedangkan salah atau tidaknya seseorang oleh hakim atau pengadilan , berarti oleh sesama manusia. Penulis menerima keputusan itu dan perubahan rancangan pernyataan tersebut, juga diterima oleh Rabi Eli Bakshiloro n.
Ketika tiba di Tel Aviv, penulis bersama Rabi Eli langsung menuju kantornya di Yerusalem. Di tempat itu, penulis dan Rabi Eli menandatan gani per-nyataa n bersama itu di depan publik dan media massa. Ini menunjukka n bahwa, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia –bahkan menurut statistik sebagai organisasi Islam terbesar di dunia- menolak terorisme dan pengunaan kekerasan atas nama agama sekalipun. Karena itu, kita mengutuk peledakan bom di Bali dan meng-angga pnya sebagai “tindak kejahatan/ kriminal” yang harus dihukum.
Keseluruha n penolakan penulis itu, bersumber pada pendapat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (al-kutub al-muqarra hrah),
jadi bukannya isapan jempol penulis sendiri. Mengapa demikian? Karena
Islam adalah agama hukum, karenanya setipa sengketa seharusnya diselesaik an berdasarka n hukum. Dan karena hukum agama dirumuskan sesuai dengan tujuannya (al-amru bima qashidiha), maka kita patut menyimak pendapat mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, al-Asmawi. Menurutnya , “hukum barat” dapat dijadikan “hukum Islam”, jika memiliki tujuan yang sama. Hukum pidana Islam (zarimah), menurut al-Asmawi, sama dengan hukum pidana barat, karena sama ber-fungsi dan bertujuan menahan (defences) dan meng-hukum (punishment).
Namun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang lain masih juga dijalankan oleh sebagian kaum muslimin? Kalau memang benar kaum muslimin melakukan tindakan-t indakan tersebut, jelas bahwa mereka telah melanggar ajaran-aja ran agama. Pertanyaan
di atas dapat dijawab dengan sekian banyak jawaban, antara lain
rendahnya mutu sumber daya manusia pada para pelaku tindak kekerasan dan
terorisme itu sendiri. Mutu yang rendah di kalangan kaum muslimin,
dapat dikembalik an kepada aktifitas imperalism e dan kolonialis me
yang begitu lama menguasai kaum muslimin. Ditambah lagi dengan,
orientasi pemimpin kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik
nasional. Mereka selalu mementingk an kelompokny a sendiri dan membangun masyarakat Islam yang elitis.
Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentang an
dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat
dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang
mengatasna makan Islam.
Penyebab lain dijalankan nya tindakan-t indakan
yang telah dilarang Islam itu -sesuai dengan ajaran kitab suci
al-Qur'an dan ajaran nabi Muhammad SAW- adalah proses pendangkal an agama Islam yang berlangsun g sangat hebat. Walau kita lihat, adanya praktek imperialis me dan kolonialis me atau kapitalism e klasik di jaman ini terhadap kaum muslim, tidak berarti proses sejarah itu memper-ken ankan kaum muslim untuk bertindak kekerasan dan terorisme.
Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslim tidak menggunaka n kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu, bagaimanak ah cara kaum muslimin dapat mengadakan koreksi terhadap langkah-la ngkah yang salah, atau mencari “responsi yang benar” atas tantangan berat yang dihadapi?
Jawabannya , yaitu dengan mengadakan pe-nafsira n baru (re-interp retasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan- kesalahan yang diperbuat sebelumnya , maupun memberikan responsi yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah “agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan” . Proses sejarah Islam di kawasan ini, adalah bukti nyata akan hal itu, walaupun di kawasan-ka wasan lain, masih juga terjadi tindak kekerasan –atas nama Islam— yang tidak diharapkan . Mudah dalam prinsip, namun sulit dalam pelaksanaa n bukan?
DIKUTIP DARI KUMPULAN ARTIKEL GUS DUR