Sekitar tahun 1950 hingga 60-an NU (Nahdlatul Ulama) dituduh oleh sekelompok kalangan telah mengeluark an Fatwa (pendapat agama) yang men-dukung mantan Presiden Soekarno. Mungkin yang dimaksudka n adalah salah sebuah keputusan Munas (Musyawara h Nasional) Ulama tahun 1957 di Medan, yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah “Pejabat Tertinggi Negara Untuk Sementara, Dengan Kekuasaan Efektif” (Waliyul Amri Dlaruri Bissaukah), demikian penulisann ya oleh Munas tersebut).
Sebenarnya
“gelar” ini memang dimotori oleh NU, alasanya harus ada kejelasan
tentang kedudukan dan status Presiden Republik Indonesia dari sudut
pandang hukum agama (fiqh). Tanpa kejelasan tersebut maka akan timbul
kebalauan, siapakah yang memberikan wewenang kepada Menteri Agama untuk mengangkat Penghulu guna menetapkan jatuhnya hari-hari besar Islam dalam kehidupan kita tiap tahun. Tanpa Penghulu, tidak akan jelas siapa yang harus menentukan mereka yang memperoleh harta warisan dan mereka yang kawin, cerai dan rujuk.
Pejabat di bidang itu tidak akan bisa di tunjuk oleh Menteri
Agama, kalau status dan kedudukan Presiden RI tidak jelas dari sudut
pandangan agama. Dengan demikian, wewenang mengikat dari sudut pandang
agama Islam untuk Menteri Agama tidak akan ada. Hal itu tidak boleh
terjadi, sedangkan dengan status dan wewenang yang jelas, peranan
pejabat-pe jabat Departemen Agama masih sering “disaingi” oleh keputusan- keputusan yang dikeluar-k an oleh berbagai organisasi Islam, lihat saja PP Muhammadiy ah
dan PBNU tentang jatuhnya kedua Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul
Adha tiap tahun. Dengan membuat keputusan tersebut, kedua organisasi besar itu seolah-ola h memerintah kan rakyat mengikuti keputusan mereka, bukan keputusan pemerintah .
Berbeda dengan negeri-neg eri di kawasan Timur Tengah, yang menghargai keputusan Mufhti (pembuat fatwa) dan tidak ada yang membantah atau mengabaika nnya. Secara politis, memang ini adalah bukti toleransi pemerintah terhadap organisasi -organisas i Islam di negeri ini. Tetapi ini berarti kebalauan yang segera harus diatasi. Selama hal itu tidak dilakukan, maka kebalauan akan terus-mene rus terjadi dalam penentuan hal-hal tersebut.
Umpamanya, ditetapkan penunjukan seorang Muhfti pun tidak akan dapat memecahkan masalah ini, karena pada kenyataann ya keputusan- keputusan itu apakah harus berdasarka n pendirian para pembaharu atau pendirian para pemuka tradisiona l, yang harus dipakai sebagai “keputusan Islam“?
Dengan perumpaan kasus penentuan hari besar tadi, jelaslah tidak ada satu pihak pun yang “bersalah” dalam hal ini, walaupun gencar sekali pada waktu itu dinyatakan NU sebagai mencampur- adukan masalah-ma salah agama dan politik. Keinginan NU untuk memperjela s
status dan kedudukan Presiden RI dalam pandangan Islam, dianggap
sebagai dukungan terhadap Bung Karno. Hal itu dianggap sebagai “sikap
politik”, padahal adalah “pandangan Islam”. Ini adalah salah satu bentuk reaksi terhadap “kegagalan ” pembaharua n (reformasi ) Islam -terutama diwakili NU- di negeri ini, di hadapan ketundukan masyarakat terhadap “kaum tradisiona lis”.
Seperti kekuatan “kaum pembaharu” dalam birokrasi pemerintah yang masih cukup besar tetapi mereka tidak dapat “menundukk an kaum tradisiona lis”. Selama tidak ada ketegasan dari “kaum pembaharu” Islam, maka keadaan tidak menentu akan tetap ada. Ini bukanlah kesalahan satu pihak saja melainkan kesalahan semua pihak.Seca ra faktual, dalam tahun-tahu n belakangan ini dengan semakin terdidikny a para birokrat Departemen Agama, semakin jelas bagi mereka bahwa tidak ada yang dapat melakukan “monopoli kebenaran” diantara umat Islam. Demikian pula jika mengguna-k an ukuran obyektif dari pendidikan yang me-mungkin kan munculnya orang-oran g NU dalam deretan birokrat itu. Memang masih terasa adanya kebijakan sepihak dalam bentuk penempatan para birokrat Departemen Agama di tempat-tem pat “strategis ” dari kalangan pihak yang menguasai pemerintah an, namun hal itu tidak menghalang i tumbuhnya “obyektifi tas” oleh lembaga tersebut dalam pengambila n keputusan atas nama agama.
Sebuah fakta lain yang tidak dapat diremehkan adalah adanya kebutuhan untuk mengambil keputusan bersama atas nama Islam diantara berbagai pemerintah an sejumlah negara di ASEAN. Ini mengharusk an pihak Departemen Agama meng-gunak an “ukuran obyektif” yang mengikat semua pihak. Dalam hal ini kedudukan sumber-sum ber tertulis (Dalil Naqliyah) menjadi sangat penting, sehingga ia menjadi sumber satu-satun ya dalam pengambila n keputusan.
Peranan “argumenta si rasional” (Dalil ‘Aqliyah) dibuat semakin tidak lazim, sehingga dengan sendirinya ruang untuk bertikai menjadi hampir-ham pir tidak ada. Proses ini sebenarnya juga mem-bahaya kan, karena salah satu kekuatan Islam sebenarnya terletak pada “penafsira n baru” (re-interpe rtasi) atas sumber-sum ber tertulis (Dalil Naqli) tersebut. Penulis belum dapat mengusulka n pemecahan bagi “proses berpikir keagamaan” ini, yang dalam jangka panjang akan mempersemp it pandangan Islam sendiri.
Jelas dari uraian di atas, bahwa apa yang di-sangkak an sebagai “keputusan politik” yang dilaku-kan NU di masa lampau, sebenarnya adalah “keputusan agama” yang harus dimengerti sebab-seba bnya. Kalau tidak, tentu akan dianggap sebagai keputusan politik yang akan menciptaka n ke-curigaa n besar atas keputusan- keputusan itu sendiri. Tentu saja hal ini harus dikoreksi untuk mencapai “kebenaran relatif” dari keputusan- keputusan NU itu. Mengingat NU adalah organisasi agama Islam terbesar di dunia, tentu saja “obyektifi tas” pandangan kita tentang keputusan- keputusan itu sangat diperlukan .
Tentu saja, “keperluan ” seperti itu tidak hanya dilakukan secara Ilmiah dan historis belaka, tapi juga berdasarka n “tuntutan keadilan” masyarakat .
Tiga buah keputusan penting dari NU segera terlintas dalam benak penulis. Pertama, keputusan Muktamar NU di Banjarmasi n tahun 1935, dalam bentuk jawaban atas pertanyaan ; “Wajibkah seorang muslim mempertaha nkan kawasan Kerajaan Hindia-Bel anda -demikian Indonesia waktu itu dikenal- yang diperintah oleh orang-oran g Non-Muslim (Belanda)? Dari Bughyat al-Mustars ydin diambil argumentas i, bahwa kawasan Kerajaan Hindia Belanda yang dahulunya adalah kerajaan Islam, harus dipertahan -kan oleh kaum Muslimin. Di samping itu, Muktamar tersebut mengemukak an sebuah argumentas i baru -yang merupakan reinterper tasi-, bahwa keharusan mempertaha nkannya juga karena kaum Muslimin di kawasan tersebut bebas melaksanak an ajaran-aja ran agama Islam, dengan tidak dicampuri oleh pemerintah an yang ada.
Argumentas i tadi, oleh penulis digunakan dalam dua hal. Pertama, menyanggah pendapat Kapolda Jawa Tengah yang ingin membubarka n Pesantren al-Mukmin di Ngrungki, Solo. Penulis menentang hal itu, karena selayaknya pemerintah tidak campur tangan dalam menentukan nasib sebuah lembaga agama, biarlah masyarakat yang melakukan hal itu bukannya pemerintah . Kedua, penulis beranggapa n bahwa Konghucu adalah sebuah agama karena masyarakat Tionghoa sendirilah (terutama pemeluknya ) yang berhak menentukan , apakah Konghucu sebuah agama atau bukan. Bukannya pemerintah , yang seharusnya hanya berfungsi melayani saja dan tidak boleh menentukan faham tersebut sebuah agama atau bukan. Ini jelas berbeda dari pandangan para birokrat pemerintah , terutama dari Orde Baru. Pendapat ini cukup sederhana untuk diterapkan bukan?
DIKUTIP DARI KUMPULAN ARTIKEL GUS DUR