Berikut sebuah dialog dari status http:// www.faceboo k.com/ el.wafi3 dengan sedikit perubahan.
“Mau kemana kang Bangkak pagi pagi sudah membawa cangkul “ sapa mbah Lalar yang bikin kaget kang Bangkak
"Mau menggali sumur mbah"
"Kenapa engkau melakukan hal hal yang dapat menjauhkan mu dari Tuhan?" ucap mbah Lalar sambil tersenyum.
"Maksudnya bagaimana mbah?" Kang Bangkak mulai bingung
"Bukankah Tuhan mu ada di langit? "
"Iya, lantas?"
"Kenapa engkau menggali sumur ? Bukankah itu bisa menjauhkan mu dari langit?
“Haaaa ?!?” Kang Bangkak pun langsung pergi dengan wajah sewot.
Kita dapat temukan segelintir kaum muslim yang mengi’tiqo dkan bahwa Allah ta’ala berada atau bertempat di langit atau di atas langit atau di atas ‘Arsy. Artinya mereka mengi’tiqo dkan bahwa langit atau ‘Arsy berada di bawah Allah ta’ala. Artinya mereka mengi'tiqo dkan bahwa Allah ta'ala berbatas atau dibatasi oleh langit atau 'Arsy. Artinya mereka mengi’tiqo dkan bahwa manusia yang berada di pesawat luar angkasa lebih dekat kepada Allah ta’ala dibandingk an manusia yang berada di lorong bawah tanah di sebuah pertambang an sekalipun manusia yang berada di pesawat luar angkasa adalah orang kafir.
Bahkan mereka mengi’tiqo dkan Allah ta’ala turun ke langit dunia dalam makna dzahir pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir, sebagaiman a i’tiqod dari ulama Ibnu Taimiyyah. Bahkan ulama Ibnu Taimiyah dipenjara dikarenaka n kesalahpah amannya dalam i’tiqod sampai beliau wafat di penjara, sebagaiman a diketahui dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/04/13/ ke-langit-d unia/
Mereka yang beri’tiqod
bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat atau berada di langit atau di atas
langit atau di atas ‘Arsy adalah mereka yang memahami Al Qur’an dan
Hadits berdasarka n makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahk an saja” berdasarka n sudut bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi). Hal ini umum terjadi pada ulama yang memahami agama berlandask an muthola'ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri
Mereka hanya memahami dari arti bahasa tidak memahami dengan ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’). Maereka tidak juga memperhati kan sifat lafadz-laf adz
dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada
lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan,
ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq,
ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat
dan lain lainnya.
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka beri'tiqod berdasarka n makna dzahir dan menjerumus kan kedalam kekufuran dalam i'tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.”
Firman Allah ta’ala,
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ
"maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)
(QS An Najm [53]:9)
Dan telah menceritak an kepada kami Ibnu Numair telah menceritak an kepada kami Abu Usamah telah menceritak an kepada kami Zakariya’ dari Ibnu Asywa’ dari Amir dari Masruq dia berkata, “Aku berkata kepada Aisyah, ‘Lalu kita apakah firman Allah: ‘(Kemudian
dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada
Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu
dia menyampaik an kepada hambaNya (Muhammad)
apa yang telah Allah wahyukan) ‘ (Qs. An-Najm: 8-10). Aisyah menjawab,
‘(Yang dimaksud ayat tersebut) adalah Jibril. Dia mendatangi Rasulullah dalam bentuk seorang laki-laki, dan pada kesempatan ini, dia mendatangi beliau dalam bentuknya yang sesungguhn ya, sehingga dia menutupi ufuk langit’.” (HR Muslim 260)
Dari Masruq dia berkata, “Aku yang duduk bersandar dari tadi,
maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul
Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-bu ru, (dengarlah kata-katak u ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman:
walaqad raaahu bialufuqi almubiini (QS at Takwir [81]:23) dan Firman
Allah lagi: walaqad raaahu nazlatan ukhraa (QS An Najm 53]:13) Maka
Aisyah menjawab, ‘Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada
Rasulullah shallallah u
‘alaihi wasallam. mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau
telah menjawab dengan bersabda: Yang dimaksud ‘dia’ dalam ayat itu
adalah Jibril (bukan Allah), “aku tidak pernah melihat Jibril dalam
bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari
langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara
lagit dan bumi.” (HR Muslim 259)
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi) , Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan : “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut (QS Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”.
Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit.
Perkataan ‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi berarti malaikat bukan
berarti Allah berada dan bertempat di langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahul lah mengatakan : “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah kekuasaan/ kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthoni hi wa qudratihi ) jadi yang di langit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthoni hi wa qudratihi) bukan dzat Allah.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyataka n kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Hadid [57] : 1 )
Rasulullah bersabda “wa Robbal ‘arsyil ‘azhiimii” , “Tuhan yang menguasai ‘Arsy” (HR Muslim 4888)
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhn ya Allah menciptaka n ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakka n kekuasaan- Nya bukan untuk menjadikan nya tempat bagi DzatNya”
Dalam kitab al-Washiyy ah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan :
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَه ُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْر َارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْ رِهِ كَالْمَخْل ُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَار ِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhka n kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhka n kepada makhluk-ma khluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhka n kapada makhluk-Ny a maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptaka n alam ini dan mengaturny a. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Ny a sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhka n untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptaka n arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptaka n arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptaka n
arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan
adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan
kesucian yang agung”
Imam Asy Syafi’i ~rahimahul lah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-ba tasan (bentuk) dan segala penghabisa n, dan Dia tidak membutuhka n kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Imam Syafi’i ~ rahimahull ah juga menjelaska n bahwa “jika
Allah bertempat di atas ‘Arsy maka pasti memiliki arah bawah, dan
bila demikian maka mesti akan memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan
sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha
Suci dari pada itu semua.”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului -Mu, Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu .
Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada sesuatu di atasMu. Ya
Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada sesuatu di bawahMu”. (HR Muslim 4888)
Allah Azza wa Jalla, ada sebagaiman a awalnya , sebagaiman a akhirnya, sebagaiman a sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaiman a sebelum diciptakan langit, sebagaiman a sebelum diciptakan ciptaanNya . Dia tidak berubah, tidak berpindah, tidak berbentuk, tidak berbatas, tidak ada yang menyerupai Nya. Dia dekat tidak bersentuh dan Dia jauh tidak berjarak maupun tidak berarah.
Berikut penjelasan ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki. Kami kutipkan dari terjemahan kitab beliau yang aslinya berjudul “Wa huwa bi al’ufuq al-a’la” diterjemah kan oleh Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissa lam”
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turun nya Rasulullah ,
seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya
terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur.
Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahka n kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallah u
alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau
lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah
(kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissal am,
ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah
sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Ny a, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakter batasannya dan ketidakter tangkapnya . Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissal am sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallah u walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukka n kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertia n ini dikuatkan dengan dinaikkann ya
beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu
para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunaka n buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah bahwa bolak-bali knya Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissal am
dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak
berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari
hal itu dengan sesuci-suc inya.
Ucapan Nabi Musa alaihissal am kepada beliau, “Kembalila h kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalila h ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissal am ke tempat beliau bermunajat
dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang
diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah
Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingk an dengan yang lain. Sebagaiman a lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissal am di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati
suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau
shallallah u alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissal am
ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke
dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah
Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari
menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkir ah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan , ‘Telah mengabarka n kepadaku banyak dari sahabat-sa habat kami dari Imam al-Haramai n Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukka n oleh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhn ya Yunus bin Matta alaihissal am menghempas kan
dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di
dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan
selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhn ya aku termasuk orang-oran g yang zhalim,” sebagaiman a Allah ta’ala memberitak an tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallah u
alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga
sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan
bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallah u alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingk an Nabi Yunus alaihissal am yang berada dikegelapa n lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembuny i atasNya, keadaan mereka bagaimanap un mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka".
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkakn ya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaiman a Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Pada hakikatnya kita tidak perlu memikirkan tentang keberadaan DzatNya namun pikirkanla h segala nikmat yang telah diberikanN ya.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirla h tentang nikmat-nik mat Allah, dan jangan sekali-kal i engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Kita kembalikan saja kepada firmanNya yang artinya
“Dan apabila hamba-hamb a-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85).
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “jika kamu tidak melihat-Ny a (bermakrif at) maka sesungguhn ya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallah u alaihi wasallam berkata: “Seutama-ut ama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksik an) bahwa Allah selalu bersamanya , di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallah u alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Ny a?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritak an kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritak an kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Muslim yang menyaksika n Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranN ya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahi d untuk menunjukka n sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-aka n pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksika n-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi) ”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanN ya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurna an, keindahan dan keagunganN ya, sehingga nyatalah bukti kebesaranN ya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembuny i
padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib,
padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang
memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolonga n“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaik an, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurka n hijab-hija b antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-send i
putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain
Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada
kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnala h semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830