Protokol Zionis yang ketujuhbel as
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskred itkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancur kan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalang i misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandan gkan dimana-man a. Tinggal masalah waktu maka agama-agam a itu akan bertumbang an…..
Istilah manhaj salaf atau mazhab salaf adalah bagian dari hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi untuk membingung kan kaum muslim dalam bermazhab sekaligus upaya menimbulka n perselisih an dan perpecahan di antara kaum muslim karena perbedaan pemahaman.
Salah satu ulama pelopor yang melabeli apa yang dipahami dan disampaika nnya sebagai manhaj salaf atau mazhab salaf adalah ulama Ibnu Taimiyyah dan diikuti oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salaf yang sholeh tidak pernah menyampaik an atau menjelaska n adanya manhaj salaf atau mazhab salaf dalam kitab-kita b mereka. Bahkan tidak satu bab pun.
Salah satu contoh penghasutn ya
adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang
dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens
menyelidik i dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpu lan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab ) dan istiqomah mengikuti tharikat-t harikat tasawuf.
Laurens mengupah ulama-ulam a yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemah kan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis .
Salah satu bentuk hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi dalan rangka “mengangka t” atau “mencitrak an” ulama Ibnu Taimiyyah atau ulama Muhammad bin Abdul Wahab untuk “menenggel amkan” pengaruh Imam Mazhab yang empat pada kaum muslim adalah, “Asal
tahu saja tidaklah mereka yaitu ulama Ibnu Taimiyah atau ulama
Muhammad bin Abdul Wahab berdakwah kecuali telah didahului oleh para
ulama sebelumnya”.
Boleh jadi mereka berdakwa h berdasarka n perkataan atau lafaz yang bersumber dari para ulama sebelumnya .
Permasalah annya perkataan atau lafaz yang bersumber dari para ulama sebelumnya yang tertinggal sekarang adalah dalam bentuk tulisan atau kitab yang perlu dipahami dan membutuhka n kompetensi untuk dapat memahaminy a. Tidak cukup memahaminy a dengan makna dzahir atau dengan metodologi "terjemahk an saja" berdasarka n sudut bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi).
Untuk dapat menggali sendiri dari Al Qur'an dan Hadits maupun memahami perkatan ulama Salaf yang Sholeh dibutuhkan kompetensi ,
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaika n Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainy a bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d
dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada
lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan,
ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq,
ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat.
Semua itu masing-mas ing mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Baik ulama Ibnu Taimiyyah maupun ulama Muhammad bin Abdul Wahhab memahami Al Quran, Hadits dan perkataan ulama-ulam a sebelum mereka dengan makna dzahir atau dengan metodologi "terjemahk an saja" berdasarka n sudut bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi). Hal ini umum terjadi pada ulama yang memahami agama berlandask an muthola'ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri
Perhatikan bagaimana ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah. Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab tentu tidak bertemu dengan ulama Ibnu Taimiyyah karena masa kehidupann ya terpaut lebih dari 350 tahun. Artinya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab memahami agama berdasarka n muthola'ah , menelaah kitab ulama Ibnu Taimiyyah dengan akal pikirannya sendiri.
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaik an “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahann ya
karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia
salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia
tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal
pikirannya sendiri),
maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh
baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang
kita bisa tanya jika kita mendapatka n masalah”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikan nya (sanad ilmu)”
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaik an bahwa “maksud dari pengijazah an sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatk an tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadany a, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadany a dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaa n al-Qur’an itu benar-bena r sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanl ah
(apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa).
Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-si aplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaik an satu ayat yang diperoleh dari ulama yang disampaika n secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallah u alaihi wasallam. Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidz i).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulam a sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Pewaris Nabi artinya menerima dan mengikuti risalah Rasulullah Muhammad Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dengan baik dan benar secara kaaffah meliputi aqidah (Iman) , ibadah (Islam/ syariat) dan akhlaq (Ihsan/ tasawuf)
Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah , apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutuk an Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-N ya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya , beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkita n serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-aka n kamu melihat-Ny a (bermakrif at), maka jika kamu tidak melihat-Ny a (bermakrif at) maka sesungguhn ya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah menyampaik an nasehat (yang artinya) ,”Berusaha lah engkau menjadi seorang yang mempelajar i ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhn ya demi Allah saya benar-bena r ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajar i
ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat
merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani
tasawuf tapi tidak mau mempelajar i ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi' i, hal. 47]
Begitupula dengan nasehat Imam Malik ~rahimahul lah bahwa menjalanka n tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahul lah menyampaik an nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajar i fiqih (perkara syariat) rusak keimananny a , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalka n Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-oran g
yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka
sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu
Hamzah al-Baghdad y
as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada
putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi,
karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan ,
“Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum
Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati
sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah
bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahul lah berkata : “Pokok-pok ok
metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi
maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapa n maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian- Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshi d fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Mereka serupa dengan kaum Nasrani yang telah menjadi korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi.
Mereka merasa telah mengikuti Salafush Sholeh namun kenyataann ya
mereka tidak lebih dari mengikuti para ulama yang mengaku aku
mengikuti Salafush Sholeh namun tidak bertemu atau bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh.
Kaum Nasrani merasa telah mengikuti pengikut Rasul (pengikut Nabi Isa a.s) namun kenyataann ya mereka tidak lebih dari mengikuti prasangka atau akal pikiran manusia seperti Paulus (Yahudi dari Tarsus). Surat-sur atnya menjadi bagian penting Perjanjian Baru.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhn ya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwala h kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut- pengikut rasul itu) menjadikan
agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-ma sing).” (QS Al Mu’minun [23] : 52-53)
Merekapun adalah korban pemaksaan kehendak penguasa kerajaan
dinasti Saudi bahwa dalam beragama untuk mengikuti prasangka atau
akal pikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dan menginggal kan apa yang telah disampaika n oleh Imam Mazhab yang empat yang bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah menggambar kan keadaan masa kini , masa di mana penguasa yang memaksakan kehendak (Mulkan Jabbriyyan ) dalam hadits berikut
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda
تَكُونُ النُّبُوَّ ةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَ ا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَ ا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّ ةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَ ا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَ ا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَ ا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَ ا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَ ا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَ ا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّ ةِ ثُمَّ سَكَتَ (أحمد)
“kalian akan mengalami babak Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak kekhalifah an mengikuti manhaj Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak Raja-raja yang menggigit, selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak para penguasa yang memaksakan kehendak selama masa yang Allah kehendaki, kemudian kalian akan mengalami babak kekhalifah an mengikuti manhaj Kenabian, kemudian Nabi diam.” (HR Ahmad)
Telah berlalunya babak ketiga, babak Mulkan ’Aadhdhon (Raja-raja yang menggigit) , masa ketika raja-raja masih “mengigit” / berpegangan pada Al-Qur’an dan Hadits yakni ditandai dengan tigabelas abad masa kepemimpin an Kerajaan Daulat Bani Umayyah, kemudian Kerajaan Daulat Bani Abbasiyyah dan terakhir Kesultanan Utsmani Turki.
Sebaiknya janganlah berpuas diri dengan apa yang dipahami dan disampaika n oleh ulama Ibnu Taimiyyah ataupun ulama Muhammad bin Abdul Wahhab.
Apalagi apa yang dipahami oleh ulama Ibnu Taimiyyah yang merupakan
panutan dari ulama Muhammad bin Abdul Wahhab telah dibantah oleh para
ulama yang sholeh antara lain dapat diketahui dari http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf atau pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/02/23/ 2011/07/28/ semula-berm azhab-hamb ali/
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangk abawi,
ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar
di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20 menjelaska n dalam kitab-kita b beliau seperti ‘al-Khitht hah al-Mardhiy ah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffu zh bian-Niyah ’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisih i pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui dan disepakati
oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai
pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Begitupula Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) dalam kitab “Risalah Ahlussunna h
wal Jama’ah” telah membantah apa yang dipahamai oleh Ibnu Taimiyyah
maupun apa yang dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kutipannya dapat di baca pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/04/22/ kabar-waktu -lampau/
Bahkan karena kesalahpah aman Ibnu Taimiyyah berakibat beliau wafat di penjara sebagaiman a dapat diketahui dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/04/13/ ke-langit-d unia/
Oleh karenanya kita harus kembali kepada pemahaman dan pengamalan agama yang haq yang diajarkan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dengan menelusuri kembali melalui dua jalur utama yakni
1. Melalui sanad guru, melalui jalur ulama yang sholeh, bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dengan mengikuti ulama yang bermazhab yang tersambung kepada Imam Mazhab yang empat.
Contohnya tersambung kepada sanad gurunya Imam Syafi’i ra
Sanad guru Imam Syafi’i ra
a. Baginda Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam
b. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
c. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
d. Al-Imam Malik bin Anas ra
e. Al-Imam Syafi’i Muhammad bin Idris ra
2. Melalui ahlul bait, melalui jalur ulama yang sholeh, bernasab atau bersilsila h keturunan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yang mendapatka n pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatka n pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Ikuti apa yang disampaika n oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahma n Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddi n,
kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam
Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka,
sampai keguru besar Al Fagih Almugoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutth origoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Al Muhajir Ilalloh Ahmad bin Isa dan orang orang yang setingkat dengannya.
Berhati-ha tilah dengan mereka yang mengaku-ak u mencintai dan mengikuti Imam Ahlul Bait dan menamakan diri mereka kaum Syiah karena kenyataann ya mereka hanya mengikuti pemahaman imam-imam kaum mereka semata berbeda dengan apa yang disampaika n oleh Imam Mujtahid dari kalangan Ahlul Bait.
Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut, dan keberanian
Imam Mujtahid dari kalangan Ahlul Bait, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa
bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al
Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil
mengajak para pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam
fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam
Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulam a tasawuf yang mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Tidak sedikit dari kaum Khawarij yang dulunya bersifat brutal, akhirnya menyatakan taubat di hadapan beliau. Dan sebelum abad 7 H berakhir, madzhab Khawarij telah terhapus secara menyeluruh dari Hadramaut, dan Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah diterima oleh seluruh pendudukny a.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” terutama bagi kaum Alawiyin, karena kemutawati ran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi
pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India,
kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalka n kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan,
tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan.
Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan
Madagaskar . Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinann ya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Berhati-ha tilah
dalam memilih dan mengikuti hasil pemahaman (ijtihad) seorang ulama.
Apalagi jika hasil pemahaman (ijtihad) ulama tersebut sering dikritik
atau dibantah oleh banyak ulama lainnya.
Apalagi mengikuti pendapat seorang ulama yang sudah dinyatakan oleh ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam sebagai ulama yang dapat menyesatka n kaum muslim sebagaiman a yang terurai dalam tulisan pada http:// majelisrasu lullah.org / index.php?o ption=com_ simpleboar d&Itemid=3 4&func=vie w&id=22475 &catid=9
Jangan menimbulka n penyesalan di akhirat kelak karena salah mengikuti ulama.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“(Yaitu) ketika orang-oran g yang diikuti itu berlepas diri dari orang-oran g yang mengikutin ya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
“Dan berkatalah orang-oran g yang mengikuti: “Seandainy a kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaiman a mereka berlepas diri dari kami.” Demikianla h Allah memperliha tkan kepada mereka amal perbuatann ya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kal i mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830