Dari tradisi keilmu-agam aan seperti itu sudah tentu logis kalau lalu muncul pandangan kemasyarak atan yang tidak bercorak "hitam-put ih". Perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkink an penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-bu ruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguha n dan ketulusan.
Hal ini sudah tentu ada implikasin ya sendiri kepada pandangan kenegaraan yang dianut warga NU yang masih belum kehilangan tradisi keilmu-aga maannya. Kewajiban hidup bermasyara kat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksisitens i negara meng-harus kan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan
dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan
tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah meng-harus kan adanya perubahan dalam sistem pemerintah an.
Konsekuens i pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-ma salah
utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan
demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan per-baikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruha n tradisi keilmuagam aan yang dianut NU telah memberikan legitimasi untuk itu, seperti terjadi dengan "fatwa perang jihad" yang dikeluarka n Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy'ari pada permulaan perang kemerdeka- an, yang mendukung bentuk negara baru Republik Indonesia.
Ketentuan yang sama itu juga yang membuat NU menolak kehadiran "Negara Islam Indonesia" yang didirikan oleh Kartosuwir yo, bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakan nya sebagai bughat(pem berontak) yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia menjadi waliyyul amri dharuri bissyaukah (pemegang pemerintah an sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan ulama yang didominir ulama NU.
Presiden Rl diterima sebagai pemegang pemerintah an, karena negara telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukann ya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak di-pilih oleh ulama yang berkompete n untuk itu (ahlul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan dimata hukum fiqh. Namun kekuasaann ya tetap harus efektif, karenanya ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaann ya itu, ia berwewenan g meng-angka t pejabat-pe jabat agama melalui pendelegas ian wewenang itu kepada menteri agama. Misalnya saja, penunjukan ketua pengadilan agama sebagai wali hakim dalam kasus-kasu s tidak adanya wali bagi gadis dalam pernikahan . Wali hakim (legal guardian) adalah keharusan dalam keadaan seperti itu, guna memperoleh keabsahan perkawinan yang diseleng-g arakan dan sudut pandang fiqh.
Pendekatan serba fiqh atas masalah-ma salah kenegaraan itulah yang membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan berorganis asi dewasa ini. Dalam pandangan fiqh asas Pancasila adalah salah satu dan sekian buah persyarata n bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyarata n keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya , selama ia tidak berfungsi mengganti- kan kedudukan agama dalam kehidupan organisasi yang bersangkut an. Islam sendiri dapat saja diletak-ka n dalam kedudukan yang berbeda-be da dalam kehidupan organisasi , dalam kurun waktu yang berlainan. Pada suatu saat ia dijadikan asas, di waktu lain dijadikan landasan keimanan (aqidah), karena masalahnya hanyalah sekadar pencapaian legitimasi dalam pandangan fiqh.
Karenanya, tuduhan oportunist ik dalam watak politik NU tidaklah tepat. NU seringkali mengeluark an keputusan yang secara sepintas lain tampak dibuat sembaranga n, yang memenuhi selera penguasa pada satu saat, yang sangat bersifat akomodatif terhadap kepentinga n pemerintah pada saat itu. Oportunism e NU itupun seringkali dijadikan kambing hitam bagi tidak konsistenn ya "perjuanga n Islam" di Indonesia, dan menjadi casus belli perbedaan tajam dalam strategi perjuangan yang dianut sebagai gerakan Islam di negeri ini. Tuduhan itu dikatakan tidak tepat, karena bagi NU pedomannya bukanlah "strategi perjuangan politik" atau "ideologi Islam" dalam artiannya yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqh.
Fiqh menentukan asas organisasi sebagai hanya salah satu persyarata n hidupnya, sedangkan "landasan keagamaan" dapat saja dirumuskan dibagian lain dari anggaran dasarnya, seperti dibuat Munas Alim Ulama NU di Situbondo yang meletakkan nya dalam Mukaddimah Anggaran Dasar NU yang akan diubah oleh Muktamar XXVII nanti. Ini memungkink an penerimaan asas Pancasila. Fiqh menentukan absahnya kekuasaan Presiden Rl sebagai pemegang pemerintah an, karena ia harus ditunduki dan dipatuhi, di hadapkan sebuah Negara Islam Indonesia sekalipun!
Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melaku-kan sebuah proses penyesuaia n dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintah an untuk melaksanak an wewenangny a. Yang jelas, pandangan seperti itu -bagaimana pun- juga akan sering berbentura n dengan pandangan yang mem-perlak ukan Islam sebagai ideologi kemasyarak atan, apalagi ideologi politik. Upaya menampilka n Islam sebagai 'jalan hidup alternatif ' yang membentuk sistem kemasyarak atan baru di luar yang telah ada, jelas sulit diterima oleh para ulama NU, kecuali jika telah menjadi bentuk kenegaraan yang memiliki wujud penuh dan mampu mempertaha nkan diri, seperti Iran, Libya dan Saudi Arabia dewasa ini.
Landasan penolakan sistem alternatif 'Islam' itu adalah keabsahan bentuk negara yang telah ada. Namun, itu tidak berarti jalannya pemerintah an juga lain terlepas sama sekali dari kendala keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksan aan pemerintah senantiasa disesuaika n kepada ketentuan- ketentuan fiqh, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintah an sendiri sebagai "hambatan" di kala melaksanak an wewenang mereka. Untuk kepentinga n penilaian apakah jalannya pemerintah an tidak bertentang an dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur berupa sejumlah kaidah fiqh, seperti "kebijaksa naan kepala pemerintah an harus mengikufi kesejahter aan rakyat" (tasharrufu l imam 'alarraiyy ah manutun bil mashlahah).
Bentuk formal pemerintah an dengan demikian fidaklah menjadi permasalah an bagi NU, selama masih diikuti pola perilaku formal negara yang tidak bertentang an dengan hukum fiqh. Kasus-kasu s penyimpang an dari "pola umum" perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintah an yang sudah ada. Sebagaiman a yang dikemukaka n Menteri Agama Munawir Syadzali dalam sebuah kesempatan , pemikiran para teoretis politik yang besar dalam Islam bukanlah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang telah ada. lbn Abi Rubai’, al-Ghazali , lbn Taimiyyah, lbn Khaldun dan al-Mawardi jelas-jela s menempuh perbaikan keadaan secara gradual, dengan mencoba mencarikan masukan dari fiqh untuk menyempuma kan bentuk-ben tuk negara yang telah ada. Hanyalah al-Farabi yang mencoba menyusun sebuah Utopia berjudul "Negara Utama" (Al-Madinah Al-Fadhila h). Kasus-kasu s penyimpang an haruslah ditangani secara kasuistik, bukannya dengan menolak kehadiran negara dan mengubah bentuk pemerintah annya.
Pola berpikir seperti itu jelas harus dikaitkan dengan proses pengambila n keputusan di lingkungan NU sendiri, yang mengutamak an konsensus dalam artiannya yang paling luas. Fiqh, yang dirumuskan oleh para ulama NU sebagai "pengetahu an tentang hukum-huku m agama yang ditarik dalil-dali l sumbernya" , memberikan peluang sebesar-be sarnya bagi semua pendapat untuk muncul dalam perdebatan mengenai sesuatu permasalah an. Spektrum pandangan yang begitu luas, dari yang menyetujuh i
hmgga kepada yang menolak sesuatu usul, kemudian akan mengendap menjadi
hanya dua atau tiga pendapat utama saja, masih dalam pola setuju atau
menolak. Namun, masing-mas ing memiliki alasannya sendiri yang kuat, sehingga tidak dapat demikian saja diabaikan. Dari posisi seperti itu, akhirnya dipertemuk an dalam sebuah sidang yang akan menformalk an pendapat akhir, seperti terjadi pada Munas Alim Ulama di Situbondo.
Dalam keadaan tidak dapat dicarikan pe-mecahan dan disepakati bersama, diambil keputusan untuk mengakui dua atau tiga pendapat utama sebagai pendapat yang sama-sama mengandung kebenaran. Dalam keadaan seperti itu, maka pendapat manapun yang digunakan oleh para warga NU tidak akan disalahkan oleh pihak yang berbeda pendapat. Kasus ini dapat dilihat dalam pendapat tentang DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royang) pada tahun 1960-an, dengan adanya dua pendapat yang saling bertentang an.
Pendapat pertama menganggap adalah we-wenang kepala negara untuk membekukan lembaga-le mbaga perwakilan , jika di nilainya keadaan mendesak dan dapat menjadi keadaan darurat (Al-haja yanzilu manzilatad dharurah). Jadi ada keperluan untuk membekukan lembaga perwakilan yang ada, dan dengan sendirinya diperlukan gantinya. Karena tidak mungkin diselengga rakan pemilihan umum, kepala negara menggunaka n wewenangny a untuk menyusun keanggotaa n lembaga perwakilan baru dari keanggotaa n lembaga perwakilan yang lama.
Pendapat kedua menganggap tidak sah pembubaran DPR hasil pemilihan umum 1955, karena itu berarti kepala negara menyerobot hak rakyat tanpa alasan yang dapat dipertangg ung jawabkan keabsahann ya. Jika DPR tidak sah pembubaran nya dengan sendirinya tidak dapat digantikan oleh DPR-GR. Dalam keadaan macet dan tidak dapat dipertemu- kan antra kedua pendapat itu, terbuka kemungkina n untuk menerima keanggotaa n DPR-GR bagi yang menyetujui pembentuka nnya, dan juga disahkan penolakan oleh mereka yang tidak menerima keabsahan pembentuka nnya.
Mekanisme "setuju untuk tidak bersetuju" (agree to disagree) itu menjamin adanya proses tolak-angs ur yang sangat fleksibel di lingkungan pengambila n keputusan dalam NU, sehingga dapat terjaga keutuhan organisasi yang senantiasa dipenuhi perbedaan pendapat itu! Walaupun ada juga kelemahan mekanisme pengambila n konsensus untuk setuju (dan juga untuk tidak setuju) seperti itu, seperti lamanya proses pengambila n keputusan dan tidak jelasnya pendapat organisasi
dalam suatu masalah; yang jelas ia berhasil menjamin keutuhan NU, tidak
sampai pecah menjadi dua seperti oganisasi lain. Demikian pula, dalam
hal yang di-sepakat i keputusan atasnya, lalu terjadi penerimaan yang tuntas atasnya oleh semua kalangan.
Sebuah kelemahan lain dari sistem pengambila n keputusan berdasarka n konsensus itu adalah relatif mudahnya dijaga status quo dan sulitnya dilakukan perubahan dalam tubuh NU.
Mekanisme "membenark an
dua pendapat" di atas belum tentu berarti mudahnya dilakukan percobaan
untuk mengubah keadaan. Sebuah cara yang digunakan untuk menembus status
quo itu adalah dengan cara "membudaya kan terobosan" . Mereka yang ingin melakukan perubahan, harus memulai-ny a di lingkungan sendiri, sudah tentu pula -dengan risiko ditanggung sendiri jika mengalami kegagalan. Jika telah dibuktikan
hasil positif dari upaya rintisan itu, barulah akan muncul pengakuan
(dan kemudian peniruan) dari kalangan warga NU yang lain, semuanya dalam
waktu yang relatif tidak terlalu lama.
Hal ini dapat dilihat dalam kasus madrasah nizamiah yang dirintis oleh K.H.A. Wahid Hasyim di Pesantren Tebuireng, Jombang, semasa hidup ayahnya, berupa sebuah sistem pendidikan
agama dengan kurikulum campuran pada dasawarsa 1930-an. Temyata dalam
waktu tidak sampai sepuluh tahun, upaya rintisan itu telah menjadi model
utama bagi ratusan madrasah lain yang telah melihat sendiri kualitas
tinggi dan para alumninya. Dengan "budaya terobosan" seperti itulah derajat toleransi terhadap inovasi di lingkungan NU temyata menjadi cukup besar.
DIKUTIP DARI KUMPULAN ARTIKEL GUS DUR