Sempal adalah kata kerja
dari bahasa Jawa. Artinya patah dan terpisahnya dahan dari batang pohon, atau
cabang dari dahan. Dengan bahasa Indonesia, sulit untuk menamai gerakan Islam
yang memisahkan diri dari batang tubuh umat seagama.
Kata ‘pecahan’, umpamanya,
mengandung pengertian sama besar antara yang memisahkan diri dan batang tubuh
umat. Karenanya, digunakan kata ‘sempalan’ untuk menunjuk kepada fenomena, yang
dalam bahasa Inggris disebut splinter groups.
Jumlahnya banyak, berukuran
kecil-kecil, dan ada kecenderungan untuk memecah diri terus menerus dalam sebuah
proses reaksi bersambung. Fenomena ini memunculkan diri dalam semakin banyaknya
kelompok yang keras dan militan di kalangan muslimin berusia muda
dimana-mana.
Di tahun sembilan belas
enam puluhan, Nasser dibuat kaget dengan terbongkarnya kelompok untuk merebut
kekuasaan di Mesir, untuk mengembalikan ‘pemerintahan Islam’ di bumi
Nil.
Ternyata anggota kelompok
itu masih muda-muda dalam usia, dan menjadi bagian dari elite negeri: seorang
ahli fisika inti di lembaga yang mengelola persiapan pembuatan sebuah reaktor
nuklir, seorang lagi perwira muda yang baru saja diangkat jadi perwira teladan,
seorang lagi pegawai tinggi sebuah kementrian dan seterusnya.
Cerita gerakan sempalan di
kalangan kaum muslimin muncul dari ketidakmampuan mencerna-kan dampak
modernisasi yang semakin lama semakin laju tetapi timpang jalannya. Modernisasi
yang menimbulkan ekses-eksesnya, termasuk ketidak-mampuannya memberikan jawaban
tepat atas masalah-masalah yang ditimbulkannya sendiri.
Anak-anak muda yang sangat
kecewa dengan buruknya ‘kenyataan’ dunia modern ini lalu mem-buang modernitas
mereka, membenahi diri dengan tuntas dalam kehidupan beragama mereka, dan
setelah itu dengan lantang menghardik orang lain yang seagama tetapi berbeda
penghayatan akan ajaran agama mereka. Hardikan yang sangat lantang, karena
dilontarkan dari keyakinan mem-bara akan benarnya sikap sendiri dan salahnya
sikap orang lain.
Kalau baru sampai pada
tingkat menghardik saja, belum sampai pada tingkat gerakan sempalan. Paling jauh
baru mencapai tingkat pemuda pemberang: pemberang kepada dunia, kepada
lingkungan sendiri yang terdekat, ataupun kepada batang tubuh umat.
Tingkat ‘sempal’
(splitntering
stage) baru
tercapai, bila keberangan itu ditujukan kepada diri sendiri: mengapakah harus
takut memikul beban sepenuh-nya dalam melakukan pembenahan keluar? Mengapakah
tidak berani menuntut pengorbanan terjauh dari diri sendiri untuk memperjuangkan
apa yang diyakini sebagai kebenaran?
Lebih jauh lagi, mengapa
masih bimbang untuk mempertahankan segala-galanya untuk sebuah ‘tindakan
terakhir’ guna membela kebenaran?
Tingkat ‘sempal’ itu
dicapai tatkala ada seseorang pemimpin yang berani melakukan koreksi total atas
dirinya sendiri dan diri anggota kelompoknya: penataan kembali kehidupan
kelompok secara menyeluruh. Ajaran agama dilaksanakan secara tidak pandang bulu,
tanpa melalui proses pencernakan terlebih dahulu, yaitu dalam bentuk penafsiran
oleh sang pemimpin. Dengan demikian, kebenaran Islam lalu dipersonifikasikan
kedalam diri sang pemimpin. Apa yang dibenarkan pemimpin menjadi kebenaran
Islam, dan tidak ada hak orang lain diluar untuk menyanggah sang
pemimpin.
Lahirlah struktur ‘formal’
yang sekaligus memberikan identitas diri kepada pengikut, dan memungkinkan sang
pemimpin untuk melakukan tindakan disipliner secara Intern atas diri mereka yang
dianggap masih belum mampu berjuang. Maka diberikanlah akolade tertinggi bagi
sang pemimpin, untuk melegitimisir kedudukannya sebagai pengarah perjuangan
gerakan, sebagai pengaman dari kemungkinan penyelewengan intern, dan sebagai
pelindung dari kemungkinan gangguan dari luar. Iman, amir, khalifah dan
lain-lain gelar lagi.
Kekuasaannya tunggal, tidak
mau berbagi tempat dengan orang lain. Kharisma yang dimiliki-nya mutlak, tidak
ada tempat bagi keraguan dalam dirinya. Dan visi yang dikemukakannya adalah
satu-satunya jendela penglihatan bagi para pengikutnya, tidak ada tempat bagi
pandangan lain.
Laa
dina illa bijama’atin, wala jama’ata lilla bi imaratin, wala imarata illa bi
amirin
(bi
imamin,
bi
khalifatin dan
seterusnya), demikianlah kredo yang memberikan legitimasi kepada kepemimpinan
seperti ini: tak ada agama tanpa masyarakat, tak ada masyarakat tanpa pimpinan,
tak ada pimpinan tanpa pemimpin (amir, iman, khalifah, dan
sebagainya).
Fungsi keimanan seperti
itu, di tambah mentalitas yang merasa senantiasa terancam, membawa kepada
keyakinan messianistik akan peranan sang pemimpin dalam kehidupan: dialah sang
penyelamat, ratu adil yang akan menghilangkan kebalauan, Imam Mahdi yang sudah
dijanjikan Allah.
Pemberian fungsi seperti
itu membawa keharusan kepada sang pemimpin untuk ‘menghasilkan’ sesuatu, dan
apakah cara lebih untuk itu selain kekerasan?
Ternyata gerakan sempalan
memang sulit diperkirakan dimana munculnya, bagaimana harus ditangani, dan
tindakan preventif apa yang dapat dilakukan untuk mencegah meluasnya angkatan
muda. Satu hal sudah jelas: ia tidak dapat ditangani secara gegabah, apalagi
diidentifikasi sebagai sesuatu yang berlingkup luas dan mengancam keselamatan
negara.
Gerakan sempalan dapat
melakukan hal-hal yang membahayakan, tetapi tetap dalam kerangka terisolasi satu
dari yang lain dan dalam lingkup kecil. Namanya saja sempalan, bagaimana sesuatu
yang sempal dapat digeneralisasi mewakili batang pohon?
Ya, gerakan sempalan
janganlah diterapkan pada batang tubuh umat. Nanti akan bertambah kekecewaan
dalam kelompok-kelompok kecil di kalangan umat itu dan dari kekecewaan itu akan
muncul lagi dorongan membuat gerakan sempalan baru.
Perlakukanlah batang tubuh
umat sebagai sesuatu yang wajar. Nanti akan tumbuh sikap-sikap wajar pula dalam
dialognya dengan modernisasi. Dan kalau sikap wajar bertambah banyak, akan lebih
sedikit kecenderungan bersempal-sempalan.
[ DIKUTIP DARI KUMPULAN
ARTIKEL GUS DUR oleh Hakam
elChudrie
].