Firman Allah ta’ala, waqaala alladziina kafaruu lilladziin a aamanuu law kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquul uuna haadzaa ifkun qadiimun,
“Dan orang-oran g kafir berkata kepada orang-oran g yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an ) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Telah jelas dalam ayat tersebut “law kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi” adalah perkataan orang-oran g kafir yang mengejek orang-oran g Islam dengan mengatakan : Kalau sekiranya Al-Qur’an ini benar tentu kami lebih dahulu beriman kepadanya daripada mereka orang-oran g miskin dan lemah itu seperti Bilal, ‘Ammar, Suhaib, Habbab radhiyalla hu anhum dan sebagainya .
Entah bagaimana kaum hasil pengajaran para ulama korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi meniru perkataan orang-oran g kafir tersebut menjadi “Lau Kaana Khairan Lasabaquun a ilaihi” yang diartikan sebagai “Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukann ya”
Dari susunan kata “Lau Kaana Khairan Lasabaquun a ilaihi” tak ada satupun yang dapat diartikan sebagai “para Sahabat”
Entah bagaimana pula perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquun a ilaihi” muncul dalam kitab tafsir Ibnu Katsir pada saat mentafsirk an (QS al Ahqaaf [46]:11 )
Berikut kutipan terjemahan nya
******
Sedangkan Ahlusunnah wal Jama’ah berpendapa t bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak ada dasarnya dari Sahabat Rasulullah adalah bid’ah, karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukann ya daripada kita, sebab mereka tidak pernah mengabaika n suatu kebaikanpu n kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanak annya
******
Kalau kita kaji kutipan atau paragraf tersebut tidak ada kaitannya dengan (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Belum ada pihak yang mengkaji kenapa paragraf tersebut bisa ada pada penafsiran (QS al Ahqaaf [46]:11 ). Ditengarai (diduga) ini adalah salah satu contoh hasutan dari kaum Zionis Yahudi untuk menimbulka n perselisih an di antara kaum muslim.
Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquun a ilaihi” ada pula dalam kitab tafsir Ibnu Katsir pada saat mentafsirk an firman Allah ta’ala
allaa taziru waaziratun wizra ukhraa
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain
wa-an laysa lil-insaan i illaa maa sa’aa
dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakan nya
(QS An-Najm [53] ayat 38 dan 39)
Tampak Ibnu Katsir ~rahimahul lah dengan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquun a ilaihi” khusus pada pendapat beliau bahwa para Sahabat tidak pernah melakukan “pengirima n pahala bacaan al-Qur’an“ . Beliau menuliskan yang artinya, “Dan
perbuatan itu juga tidak pernah dinukil dari para Sahabat. Sekiranya
hal itu merupakan suatu hal yang baik, niscaya mereka akan mendahuli
kita semua dalam mengamalka nnya”.
Ibnu Katsir tampak tidak menyatakan
pendapat bahwa seluruh hal yang baik hanyalah yang dilakukan oleh para
Sahabat atau semua yang tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat
pastilah perkara buruk.
Sungguh, segala perkara di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatk anNya (diwajibka nNya) selama tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits walaupun tidak pernah dilakukan / dicontohkan oleh Rasulullah maupun para Sahabat tetap suatu perkara yang boleh dilakukan oleh kaum muslim. Hukum perkaranya berkisar di antara mubah, makruh atau sunnah (mandub) dalam arti sesuatu perkara yang dikerjakan berpahala dan jika ditinggalk an tidak apa apa.
Contoh
Sholawat nariyah, bid’ah yang hukumnya sunnah, berpahala karena bersholawa t.
Upacara adat pernikahan , umumnya hukumnya mubah (boleh) berisikan perlambang atau nasehat bagi kedua (calon) mempelai. Kecuali adat pernikahan seperti saweran uang logam dan beras yang dilakukan oleh orang tua mempelai. Uang logamnya kemungkina n diambil para undangan namun berasnya berserakka n sehingga hukumnya menjadi makruh.
Namun andaikan ada adat pernikahan berupa pemberian sesaji maka hal ini bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits, hukumnya haram.
Begitupula kegiatan yang mulai marak diikuti orang yakni “pre wedding”, sesi foto calon pengantin untuk berbagai keperluan, seperti untuk menghias undangan, untuk foto yang dipasang di ruang resepsi, wajib dihindari perilaku yang bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits karena mereka belum resmi menjadi pasangan suami istri.
Jadi segala sikap, perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh kaum muslim yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam , baik atau buruknya tidak boleh berdasarka n akal pikiran atau pendapat manusia namun harus berdasarka n Al Qur’an dan Hadits.
Jika tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits maka boleh dilakukan, hukumnya berkisar mubah, makruh atau sunnah (mandub) dalam arti sesuatu perkara yang dikerjakan berpahala dan jika ditinggalk an tidak apa apa.
Jika bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits maka tidak boleh dilakukan, hukumnya haram.
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahul lah menyampaik an
قاَلَ الشّاَفِعِ ي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْ دَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah ) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataa n sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah )
dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang
terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala.
(Hasyiah Ianathuth- Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman)
dari kaum Zionis Yahudi menolak adanya pembagian bid’ah dholalah dan
bid’ah hasanah. Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptaka n jalan untuk memecahkan problem-pr oblem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi yang juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptaka n
perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak dapat
melakukan aktifitas yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarka n dengan jelas : “Sesungguhn ya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) bid’ah diniyah ( keagamaan ) 2) bid’ah duniawiyya h ( keduniaan ).”
Subhanalla h, mereka yang suka bermain-ma in ini membolehka n menciptaka n klasifikas i tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyya h, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-und ang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang ?
Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan
buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka pembagian bid’ah ke bid’ah
diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyya h yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ad a yang sebenarnya .
Mereka yang berpendapa t terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyya h tidak mampu menggunaka n ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan
ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat, – ini adalah
pendapat yang benar pada batasan yang dimaksud diniyyah– dan bid’ah
duniawiyya h tidak ada konsekuens i apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyya h itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulka n fitnah dan bencana.
Akhirnya mereka berpendapa t bid’ah duniawiyya h ada yang baik dan ada yang buruk sebagaiman a fakta yang terjadi, yang tidak dapat diingkari. Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatka n pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunaka n pendapat ulama-ulam a yang sholeh terdahulu bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah (bid’ah dholalah).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830