Mereka telah menjadi korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi. Tanpa disadari mereka dapat terjerumus ke dalam neraka.
Mereka dapat terjerumus ke dalam neraka karena berkata atau berpendapa t tanpa ilmu
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits atau berpendapa t atau berfatwa harus berdasarka n ilmu. Ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits maupun sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam tentu tidak pernah mengatakan bahwa “seluruh bid’ah adalah sesat”. Beliau mengatakan “Kullu Bid’ah dlalalah” sedangkan berdasarka n ilmu atau secara tata bahasa sudah dapat dipahami dengan mudah seperti apa yang disampaika n oleh ulama yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam seperti Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menuliskan : “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususka n kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154)
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarka n ilmu yakni menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Mereka dapat terjerumus ke dalam neraka karena tanpa disadari telah menjadi ahli bid’ah disebabkan kesalahpah aman mereka tentang bid’ah sehingga mereka melarang atau mengharamk an sesuatu yang Allah ta’ala tidak turunkan keterangan padanya.
Dalam melarang, mengharamk an, mewajibkan sesuatu digunakanl ah metodologi istinbat (menetapka n hukum perkara) namun dilakukan bagi mereka yang mempunyai kompetensi sebagai Imam Mujtahid dan sanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Definisi ahli bid’ah adalah mereka yang melarang sesuatu yang tidak dilarangNy a, mengharamk an sesuatu yang tidak diharamkan Nya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Nya atau mereka yang mencontohk an sesuatu di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatk anNya atau diwajibkan Nya yang bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah ! Tuhanku hanya mengharamk an hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadany a dan apa yang tersembuny i dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutuk an Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui .” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hamb aKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokka n mereka dari agamanya, dan mengharamk an atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaru hi supaya mereka mau menyekutuk an Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Firman Allah ta'ala yang artinya
“Hai orang-oran g
yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhn ya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-se but oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhn ya orang-oran g yang mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Kaum Zionis Yahudi memperlaku kan mereka seperti apa yang dilakukan terhadap kaum Nasrani sehingga mereka menjadikan ulama-ulam a mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalk an sesuatu bagi mereka, mereka menganggap nya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamk an bagi mereka sesuatu, mereka mengharamk annya“
Pada riwayat yang lain disebutkan , Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalk an sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutin ya. Yang demikian itulah penyembaha nnya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda “Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatka n
diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang
telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus
mendekatka n diri kepadaKu dengan amal kebaikan maka Aku mencintai dia” (HR Bukhari 6021)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah menyampaik an bahwa ibadah ada dua macam yakni perkara syariat dan amal kebaikan.
Perkara syariat adalah segala perkara yang telah disyariatk anNya atau diwajibkan Nya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi meliputi menjalanka n kewajiban yang jika ditinggalk an berdosa, menjauhi apa yang telah dilarangNy a dan diharamkan Nya yang jika dilanggar/ dikerjakan berdosa
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhn ya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggal kan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjaka n berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamk an sesuatu (dikerjaka n berdosa), maka jangan kamu pertengkar kan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincang kan dia.” (Riwayat Daraquthni , dihasankan oleh an-Nawawi)
Perkara syariat harus sesuai dengan apa yang telah dicontohka n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Dalam perkara syariat berlaku kaidah “hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’a tkannya atau menetapkan nya”
Perkara di luar perkara syariat atau perkara di luar dari apa yang telah disyariatk anNya atau diwajibkan Nya berlaku kaidah “hukum asal segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarangny a”
Amal kebaikan adalah perkara di luar perkara syariat.
Amal kebaikan ada 2 macam
Amal kebaikan yang telah dicontohka n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Amal kebaikan yang tidak dicontohka n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam namun tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits seperti Sholawat nariyah, sholawat badar, ratib Al Haddad, Maulid Barzanji, peringatan Maulid Nabi yang diisi dengan acara yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits.
Segala perkara yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits boleh untuk dilakukan
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahul lah menyampaik an
قاَلَ الشّاَفِعِ ي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْ دَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah ) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataa n sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah )
dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang
terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala.
(Hasyiah Ianathuth- Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Hal pokok yang menjadikan mereka korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi adalah mereka terhasut untuk menggali Al Qur’an dan Hadits berdasarka n makna dzahir atau yang kami katakan dengan metodologi “terjemahk an saja” dengan hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminolo gis).
Padahal kompetensi yang dibutuhkan untuk boleh menggali sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah adalah
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaika n Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainy a bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah
padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d
dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada
lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan,
ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq,
ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat.
Semua itu masing-mas ing mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Jika tidak mempunyai kompetensi tersebut di atas maka termasuk orang awam atau bukan ahli istidlal.
Telah menceritak an kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritak an kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhn ya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutny a dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang awam, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatka n (HR Bukhari 98).
Bagi orang awam (yang bukan ahli istidlal) atau bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-huku m dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-ma salah ijtihadiya h tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertangg ungjawabka n kemampuann ya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamk an taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dali lnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatka n yang akan merusak sendi-send i kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukann ya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyath i ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukak an dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukaka n. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuann ya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa
dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang
penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak
termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830