Sebenarnya perselisih an karena perbedaan pemahaman tentang bi’dah sudah dapat diakhiri.
Untuk menghindar i terjadinya perselisih an, hendaklah dalam memahami Al Qur'an dan Hadits atau berpendapa t atau berfatwa berdasarka n ilmu.
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Baik ilmu untuk memahami Al Qur'an dan Hadits maupun sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikan nya (sanad ilmu)”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaik an bahwa “maksud dari pengijazah an sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatk an tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadany a, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadany a dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaa n al-Qur’an itu benar-bena r sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Pada hakikatnya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam tentu tidak pernah mengatakan bahwa “seluruh bid’ah adalah sesat”. Beliau mengatakan “Kullu Bid’ah dlalalah” sedangkan berdasarka n ilmu atau secara tata bahasa sudah dapat dipahami dengan mudah seperti apa yang disampaika n oleh ulama yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam seperti Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menuliskan : “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususka n kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154)
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarka n ilmu yakni menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya "makna bid’ah lebih luas dari makna sesat" sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Jadi hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” adalah bersifat umum dan diperlukan hadits yang lain untuk menjelaska n apa yang dimaksud atau termasuk bid’ah (perkara baru) yang sesat seperti
Telah menceritak an kepada kami Ya’qub telah menceritak an kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallah u ‘anha berkata; Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahny a maka perkara itu tertolak“. Diriwayatk an pula oleh ‘Abdullah bin Ja’far Al Makhramiy dan ‘Abdul Wahid bin Abu ‘Aun dari Sa’ad bin Ibrahim (HR Bukhari 2499)
Apakah yang dimaksud perkara baru dalam urusan kami atau pada hadits yang lain disebut perkara baru dalam urusan agama ?
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Urusan kami atau urusan agama atau perkara syariat adalah segala perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla yang harus dipenuhi manusia sebagai syarat untuk menjadi hamba Allah yakni meliputi menjalanka n kewajibanN ya yang jika ditinggalk an berdosa dan menjauhi laranganNy a dan apa yang telah diharamkan Nya yang jika dilanggar/ dikerjakan berdosa
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhn ya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggal kan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjaka n berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamk an sesuatu (dikerjaka n berdosa), maka jangan kamu pertengkar kan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincang kan dia.” (Riwayat Daraquthni , dihasankan oleh an-Nawawi)
Perkara baru dalam urusan kami adalah
1. Mengada ada dalam perkara larangan dan pengharama n (perbuatan yang jika dilanggar / dikerjakan berdosa)
2. Mengada ada dalam perkara kewajiban (perbuatan yang jika ditinggalk an berdosa)
3, Mengada ada atau mencontohk an perbuatan yang bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits. Segala perbuatan yang bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits adalah berdosa
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam mencontohk an meninggalk an sholat tarawih berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakin an bahwa sholawat tarawih berjama’ah sepanjang bulan Ramadhan adalah kewajiban yang jika ditinggalk an berdosa.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam (tarawih berjam’ah) itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687).
Intinya segala perkara yang berhubunga n dengan dosa hanya ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla
Jadi jika ada yang membuat perkara baru atau mengada-ad a (bid’ah) yang kaitannya dengan dosa baik dosa karena ditinggalk an (perkara kewajiban) atau dosa karena dikerjakan / dilanggar (perkara larangan dan perkara pengharama n) atau dosa karena mengada-ad a atau mencontohk an perbuatan yang bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits adalah bid’ah dholalah, bid’ah yang menyekutuk an Alah.
Jika secara serampanga n menetapkan atau berfatwa ini dosa, itu dosa dengan akal pikirannya sendiri tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits maka dia telah menyekutuk an Allah dengan akal pikirannya sendiri.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah ! Tuhanku hanya mengharamk an hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadany a dan apa yang tersembuny i dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutuk an Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui .” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hamb aKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokka n mereka dari agamanya, dan mengharamk an atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaru hi supaya mereka mau menyekutuk an Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalk an sesuatu bagi mereka, mereka menganggap nya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamk an bagi mereka sesuatu, mereka mengharamk annya“
Pada riwayat yang lain disebutkan , Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalk an sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutin ya. Yang demikian itulah penyembaha nnya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Hai orang-oran g
yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhn ya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-se but oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhn ya orang-oran g yang mengada-ad akan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Kesimpulan nya bid’ah yang akan berakibat bertempat di neraka adalah bid’ah yang menyekutuk an Allah. Allah Azza wa Jalla menutup taubat ahli bid’ah karena menyekutuk an Allah hingga mereka meninggalk an bid’ahnya
Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah shallallah u alaihi wasallam pernah bersabda : “Sesungguhn ya Allah menutup taubat dari tiap-tiap orang dari ahli bid’ah sehingga ia meninggalk an bid’ahnya.” (H. R. Thabrani)
Sedangkan bid'ah (perkara baru) atau mencontohk an (meneladan i) perbuatan di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatk anNya atau di luar apa yang telah diwajibkan Nya selama tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits adalah bid'ah hasanah (mahmudah) atau sunnah hasanah (contoh/ teladan yang baik). Bagi siapa yang mencontohk an atau meneladani sunnah hasanah (contoh/ teladan/ perkara baru yang baik) maka ia akan mendapatka n pahalanya dan pahala orang-oran g yang mengamalka n contoh/ teladan/ perkara baru tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pah ala mereka sedikitpun .
Kebalikann ya sebagaiman a yang disampaika n dalam point 3 di atas, bid'ah (perkara baru) atau mencontohk an (meneladan i) perbuatan di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatk anNya atau di luar apa yang telah diwajibkan Nya dan bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits adalah bid'ah dholalah atau sunnah sayyiah (contoh/ teladan yang buruk). Bagi siapa yang mencontohk an atau meneladani sunnah sayyiah (contoh/ teladan/ perkara baru yang buruk) maka ia akan mendapatka n dosanya dan dosa orang-oran g yang mengamalka n contoh/ teladan/ perkara baru tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun .
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَ مِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِ مْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَ مِ
سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِه ِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang melakukan dalam Islam satu sunnah hasanah (contoh/ teladan/ perkara baru yang baik) maka ia mendapatka n pahalanya dan pahala orang-oran g yang mengamalka n sunnah (contoh/ teladan/ perkara baru) tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pah ala mereka sedikitpun . Dan siapa yang melakukan dalam Islam satu sunnah sayyiah (contoh/ teladan/ perkara baru yang buruk), maka ia mendapatka n dosanya dan dosa orang-oran g yang mengamalka n sunnah (contoh/ teladan/ perkara baru) tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun .” (Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidz i no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203)
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/ 90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah (contoh/ teladan/ perkara baru yang baik) dengan sayyiah (contoh/ teladan/ perkara baru yang buruk) adalah adanya kesesuaian dengan pokok-poko k syar’i atau tidak”.
Sunnah hasanah (contoh/ teladan/ perkara baru yang baik) adalah contoh/ teladan/ perkara baru yang tidak bertentang an dengan pokok-poko k syar’i (tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan As Sunnah)
Sunnah sayyiah (contoh/ teladan/ perkara baru yang buruk) adalah contoh/ teladan/ perkara baru yang bertentang an dengan pokok-poko k syar’i (bertentan gan dengan Al Qur’an dan As Sunnah).
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahul lah menyampaik an
قاَلَ الشّاَفِعِ ي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْ دَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah ) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataa n sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah )
dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang
terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala.
(Hasyiah Ianathuth- Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Sehingga kita dapat memahami apa yang disampaika n oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyalla hu ‘anhumaa atau perkataan salaf yang sholeh yang sejenis bahwa,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Artinya adalah
“sebagian besar perkara baru (bid’ah) adalah sesat walaupun manusia menganggap nya baik”
Jadi baik atau buruk suatu perkara baru tidak boleh berdasarka n anggapan manusia atau berdasarka n akal pikiran manusia namun berdasarka n Al Qur’an dan Hadits.
Jika tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits adalah contoh/ teladan/ perkara baru yang baik atau sunnah hasanah atau bid'ah hasanah (mahmudah)
Jika bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits adalah contoh/ teladan/ perkara baru yang buruk atau sunnah sayyiah atau bid'ah dholalah.
Begitupula para Imam Mazhab (Imam Mujtahid Mutlak) dalam beristinba t, menetapkan hukum perkara suatu ibadah kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah) menghindar i al-Maslaha h al-Mursala h atau al-Istisla h yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapny a, dengan berdasarka n pada kemaslahat an semata (yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Menurut Imam Syafi’i ra cara-cara penetapan hukum seperti itu sekali-kal i bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunaka nnya sama dengan menetapkan syari’at berdasarka n hawa nafsu atau berdasarka n pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlaha tan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamk an sesuatu tanpa dalil.
Jelaslah bahwa perkara yang harus sesuai dengan apa yang dicontohka n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam adalah perkara syariat atau perkara yang telah disyariatk anNya atau perkara yang telah diwajibkan Nya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi meliputi menjalanka n perkara kewajiban (jika ditinggalk an berdosa), menjauhi apa yang telah dilarangNy a (jika dilanggar/ dikerjakan berdosa) dan menjauhi apa yang telah diharamkan Nya (jika dilanggar/ dikerjakan berdosa). Allah ta'ala tidak lupa dan seluruhnya sudah disampaika n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatka n kamu dari surga dan menjauhkan mu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatk an dari surga” = perkara kewajiban (ditinggal kan berdosa)
“menjauhka n dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharama n (dikerjaka n berdosa)
Sedangkan segelintir ulama berpendapa t bahwa pengertian bid'ah menurut istilah adalah "suatu amalan yang dilakukan dengan maksud mendekatka n diri kepada Allah yang tidak ada sumbernya dari Al-Qur'an maupun Hadits” adalah sebuah kesalahpah aman karena yang harus ada sumbernya dari Al-Quran dan Hadits adalah perkara syariat atau segala perkara yang telah disyariatk anNya atau diwajibkan Nya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi menjalanka n perkara kewajiban yang jika ditinggalk an berdosa, menjauhi apa yang telah dilarangNy a dan apa yang telah diharamkan Nya yang jika dilanggar/ dikerjakan berdosa.
Sedangkan amalan yang ditujukan untuk mendekatka n diri kepada Allah atau amal kebaikan , boleh terjadi perkara baru selama tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits.
Contoh amal kebaikan yang tidak bertentang an
dengan Al Qur'an dan Hadits serta di luar perkara syariat adalah
Maulid Nabi, Sholawat Nariyah, Sholawat Badar, Barzanji, Qashidah
Burdah, Ratib Al Haddad dan lain lain
Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda “Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatka n
diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang
telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus
mendekatka n diri kepadaKu dengan amalan kebaikan maka Aku mencintai dia” (HR Bukhari 6021)
Bahkan kita diperintah kan untuk mencari jalan (washilah) untuk mendekatka n diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Hai orang-oran g yang beriman, bertakwala h kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatka n diri kepada-Nya , dan berjihadla h pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntun gan” (QS Al Maa’idah [5]: 35)
Syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzi li, ”Jika pendapat atau temuanmu bertentang an
dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal
yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan
menerima resiko dalam penemuanmu , sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah , kecuali setelah bersesuaia n dengan Al-Qur’an dan Hadits“
Ilham yang telah dihujamkan oleh Allah Azza wa Jalla kedalam jiwa (qalbu) setiap manusia sehingga selalu mengingat Allah (dzikrulla h) dengan memilih yang haq, yang tidak bertentang an denga n Al Qur’an dan Hadits
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“maka Allah mengilhamk an kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaann ya” (QS As Syams [91]:8 )
“Dan Kami telah menunjukka n kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10)
Dalam suatu riwayat. ”Qoola Aliyy bin Abi Thalib: “Qultu yaa Rasulullah ayyun thoriiqoti n aqrobu ilallahi?” Faqoola Rasulullah i: “dzikrullah i”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah , jalan/ metode(Thar iqot) apakah yang bisa mendekatka n diri kepada Allah? “Rasullula h menjawab; “dzikrullah”
Muslim yang selalu meyakini kehadiranN ya, selalu sadar dan mengingat Allah setiap bersikap dan berbuat adalah muslim yang menyaksika n Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh)
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahi d untuk menunjukka n sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-aka n pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksika n-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanN ya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurna an, keindahan dan keagunganN ya, sehingga nyatalah bukti kebesaranN ya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembuny i
padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib,
padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang
memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolonga n“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaik an, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurka n hijab-hija b antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-send i
putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain
Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada
kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnala h semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Kesimpulan nya:
Bid’ah dholalah adalah bid’ah dalam perkara syariat meliputi bid’ah dalam perkara kewajiban, larangan dan pengharama n serta bid’ah di luar perkara syariat yang bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits
Bid’ah Hasanah (mahmudah) adalah bid’ah di luar perkara syariat yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830