Telah menceritak an kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata, saya telah membacakan kepada Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Abdullah Al Agharr dan dari Abu Salamah bin Abdurrahma n dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallah u
'alaihi wasallam bersabda: "Rabb Tabaraka wa Ta'la turun ke langit
dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya
berfirman, 'Siapa yang
berdo'a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta
kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun
kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Pemahaman Ibnu Taimiyyah “Hadits yang disepakati keshahihan nya ini, merupakan dalil yang shahih dan gamblang, yang menyatakan
turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam,
ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Turunnya Allah Ta’ala
ini sesuai dengan kebesaran dan keagunganN ya. Turun merupakan salah satu sifat Fi’liyah. Dia turun ketika Dia menghendak i dan kapan saja Dia menghendak i. Arti turun telah diketahui, tetapi bagaimana keadaan turunNya itu tidak diketahui, mengimanin ya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainy a adalah bid’ah”. (Syarh al-Aqidah al-Wasithi yah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qathani y)
Ulama Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah ” menuliskan
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimiyyah dalam Ar Risalah Al ‘Arsyiyah berkata : “ Sesungguhn ya Arsy tidak kosong; karena dalil-dali l tentang bersemayam nya Allah di atas Arsy adalah muhkam (tidak memerlukan takwil karena kejelasan maknanya), dan hadits tentang turun-Nya Allah muhkam pula. Sedangkan sifat-sifa t Allah Suybhanahu Wa Ta’ala tidak bisa dikiaskan dengan sifat-sifa t makhluk-Ny a. Maka wajib bagi kita untuk menetapkan nash-nash tentang istiwa (bersemaya m) berdasarka n kedudukann ya yang muhkam, begitu pula tentang turunnya Allah. Kita katakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy, Allah juga turun ke langit dunia. Dia lebih mengetahui tentang bagaimana Dia bersemayam dan bagaimana Dia turun, sedangkan akal kita sangat terbats, sempit dan hina untuk mengetahui ilmu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Dari sini kemudian muncul permasalah an selanjutny a pada sebagian orang zaman sekarang yang memiliki pengetahua n bahwa bumi itu bulat dan matahari beredar mengelilin gi bumi. Mereka melemparka n
syubhat : bagaimana Allah turun di sepertiga malam terakhir sedangkan
waktu antara Negara itu berbeda- beda? Seperti di Saudi Arabia kemudian
berpindah ke Eropa dan negara-neg ara lainnya, apakah Allah akan sekali turun lebih dari sekali dalam satu malam?
Jawaban kami adalah : berimanlah anda terlebih dahulu bahwa Allah turun pada waktu yang telah ditentukan . Jika anda telah percaya maka tidak ada masalah setelah itu, jangan anda menanyakan “Bagaimana caranya?” tapi katakanlah
: jika waktu sepertiga malam terakhir ada di Saudi, maka Allah tetap
turun dan jika di Amerika sepertiga malam, maka Allah tetap turun juga.
Kemudian jika fajar telah tiba maka habislah waktu turunnya Allah
berdasarka n waktu setempat.
**** akhir kutipan ****
Imam Malik bin Anas ra menghadapi hadits ”Allah turun disetiap sepertiga malam”
adalah, yanzilu amrihi (turunnya perintah dan rahmat Allah) pada
setiap sepertiga malam adapun Allah Azza wa Jalla adalah tetap tidak
bergeser dan tidak berpindah, maha suci Allah yang tiada tuhan selainNya.
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, Habib Munzir menyampaik an
***** awal kutipan ****
Maksudnya bukan secara makna yang dhohir Allah itu ke langit
yang terdekat dengan bumi, karena justru hadits ini merupakan satu
dalil yang menjawab orang yang mengatakan bahwa Allah Swt itu ada di satu tempat atau ada di Arsy.
Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat,
semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir
semakin dekat Kasih Sayang Allah.
Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan
makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak.
“Allah laysa kamitslihi syai’un” (Allah tidak sama dengan segala sesuatu) (QS Assyura 11)
Allah Swt turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari.. ,
kalau malam dibagi 3, sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2
lebih, sampai sebelum adzan subuh itu sepertiga malam terakhir, waktu
terbaik untuk berdoa dan bertahajju d.
Disaat saat itu kebanyakan para kekasih lupa dengan kekasihnya .
Allah menanti para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi Yang
Maha Berkasih Sayang menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang Maha Abadi. Mengorbank an waktu istirahatn ya beberapa menit untuk menjadikan bukti cinta dan rindunya kepada Allah.
***** akhir kutipan *****
Kami, kaum muslim pada umumnya bukannya menolak sebagian sifat-sifa t Allah , namun kami menghindar i mengi’tiqo dkan dengan makna dzahir
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan
dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi
orang-oran g kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah
sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda (makhlukNy a) dan anggota-an ggota badan.”
Syeikh Al-Akhthal dalam “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” menuliskan bahwa mereka yang mengi’tiqo dkan Allah ta’ala mempunyai tangan tetapi tidak serupa dengan tangan makhlukNya atau Allah ta’ala turun sebagaiman a yang dikehendak iNya dan tidak serupa dengan turun makhlukNya , maka orang tersebut hukumnya “‘Aashin” atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki mengatakan “‘Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turun nya Rasulullah ,
seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya
terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur.
Na’udzu billah min dzalik. Naik dan turun itu hanya dinisbahka n kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallah u
alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau
lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah
(kedudukan sebagai seorang hamba). Ketahuilah bahwa bolak-bali knya Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissal am
dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak
berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah
dari hal itu dengan sesuci-suc inya. Ucapan Nabi Musa alaihissal am kepada beliau, “Kembalila h kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalila h ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissal am ke tempat beliau bermunajat
dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang
diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah
Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingk an dengan yang lain. Sebagaiman a lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissal am di bumi". (Wa huwa bi al’ufuq al-a’la diterjemah kan oleh Sahara publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissa lam)
Kesimpulan nya adalah Allah ta’ala tidak bertempat di suatu tempat dan tidak juga bertempat di mana mana. Maha suci Allah dari “di mana” dan “bagaimana”
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan yang maknanya: “Sesungguhn ya yang menciptaka n ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaa n tentang tempat), dan yang menciptaka n kayfa (sifat-sif at makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Imam al Qusyairi menyampaik an, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kre asi yang mampu menggambar i-Nya, atau menolak dengan perbuatan- Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai -Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahka n-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Allah Azza wa Jalla, ada sebagaiman a awalnya , sebagaiman a akhirnya, sebagaiman a sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaiman a sebelum diciptakan langit, sebagaiman a sebelum diciptakan ciptaanNya . Dia tidak berubah, tidak berpindah, tidak berbentuk, tidak berbatas, tidak ada yang menyerupai Nya. Dia dekat tidak bersentuh dan Dia jauh tidak berjarak maupun tidak berarah.
Imam Syafi’i ~rahimahul lah menjelaska n,
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل
خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف
السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhn ya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptaka n tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifa t-Nya yang Azali sebelum Dia menciptaka n tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah (berpindah ), baik pada Dzat maupun pada sifat-sifa t-Nya”
Dalam kitab al-Washiyy ah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan :
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَه ُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْر َارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْ رِهِ كَالْمَخْل ُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَار ِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhka n kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhka n kepada makhluk-ma khluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhka n kapada makhluk-Ny a maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptaka n alam ini dan mengaturny a. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Ny a sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhka n untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptaka n arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptaka n arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptaka n
arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan
adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan
kesucian yang agung”
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan :
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di
manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat,
Dia ada sebelum segala makhluk-Ny a
ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk
dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala
sesuatu”
Imam Muslim meriwayatk an dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda dalam doanya:
اللهم أنت الاول فليس قبلك شئ وأنت الآخر فليس بعدك شئ وأنت الظاهر
فليس فوقك شئ وأنت الباطن فليس دونك شئ اقض عنا الدين واغننا من الفقر .
“Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Maha Awal, maka tiada sesuatu sebelum-Mu . Engkaulah Dzat Yang Maha Akhir , maka tiada sesuatu setelah-Mu .
Engkau lah Dzat Yang Maha Dzahir maka tiada sesuatu di atas-Mu dan
Engkau lah Dzat yang Maha Bathin maka tiada sesuatu di bawah-Mu. Ya
Allah lunasilah hutangku dan kayakan aku dari kefakiran.” (HR Muslim,Sha hih Muslim,4/ 2084) atau (Syarah Muslim,17/ 36)
Imam Syafi’i ~ rahimahull ah juga menjelaska n bahwa “jika
Allah bertempat di atas ‘Arsy maka pasti memiliki arah bawah, dan bila
demikian maka mesti akan memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan
sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha
Suci dari pada itu semua.”
ال الشيخ ابن حجر الهيتمي ناقلا المسائل التي خالف فيها ابن
تيميه اجماع المسلمين ما نصه : وان العالم قديم بالنوع ولم يزل مع الله
مخلوقا دائما فجعله موجبا بالذات لا فاعلا بالاختيارت عالى
الله عن ذالك, وقوله بالجسمبة والجهة والانتقال و انه بقدر العرش لااصغر
ولا اكبر , تعالى الله عن هذا الافتراء الشنيع القبيخ والكفر البراح
الصريح. (الفتاوى الحديثية ص: ١١٦
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata dengan menukil permasalah an-permasa lahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakata n umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapa t) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandark an alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakin an adanya jisim pada Allah Swt, arah dan perpindaha n. Ia juga berkeyakin an
bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh
Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang
nyata “. (Al-Fatawa Al-Haditsi yyah : 116)
وقال ايضا ما نصه : واياك ان تصغي الى ما في كتب ابن تيمية
وتلميذه ابن القيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ الهه هواه واضله الله على علم
و ختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعدالله. و كيف
تجاوز هؤلاء الملحدون الحدود و تعدواالرسو م وخرقوا سياج الشربعة والحقيقة فظنوا بذالك انهم على هدى من ربهم وليسوا كذالك. (الفتاوى الحديثية ص:۲۰۳
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar) juga berkata “ Maka berhati-ha tilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyy ah dan selain keduanya dari orang-oran g yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatka nnya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangann ya. Maka siapakah yang mampu member petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan ?. Bagaimana orang-oran g sesat itu telah melampai batasan-ba tasan
syare’at dan aturan, dan mereka pun juga telah merobek pakaian
syare’at dan hakikat, mereka masih menyangka bahwa mereka di atas
petunjuk dari Tuhan mereka, padahal sungguh tidaklah demikian “.
(Al-Fatawa Al-Haditsi yyah : 203)
Sekarang marilah kita simak penuturan seorang ulama yang
sezaman dengan Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Syakir Al-Kutuby dalam salah
satu kitab tarikhnya juz 20 yang telah diabadikan
oleh seorang ulama besar dari kalangan Ahlus sunnah yang terkenal di
seluruh penjuru dunia yaitu Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Astqola ni dalam kitabnya “ Ad-Duroru Al-Kaamina h “ dan beliau juga penyarah kitab Shohih Bukhori yang dinamakan Fathu Al-Bari. ***** awal kutipan *****
Sidang Pertama : “Di tahun 705 di hari ke delapan bulan Rajab, Ibnu Taimiyyah disidang dalam satu majlis persidanga n
yang dihadiri oleh para penguasa dan para ulama ahli fiqih di hadapan
wakil sulthon. Maka Ibnu Taimiyyah ditanya tentang aqidahnya, lalu ia mengutarak an sedikit dari aqidahnya. Kemudian dihadirkan kitab aqidahnya Al-Wasithi yyah dan dibacakan dalam persidanga n, maka terjadilah pembahasan yang banyak dan masih ada sisa pembahasan yang ditunda untuk sidang berikutnya .
Dan di tahun 707 hari ke-6 bulan Rabi’ul Awwal hari kamis, Ibnu Taimiyyah menyatakan
taubatnya dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus
sunnah wal jama’ah dari kalangan empat madzhab, bahkan ia membuat
perjanjian kepada para
ulama dan hakim dengan tertulis dan tanda tangan untuk tidak kembali
ke ajaran sesatnya, namun setelah itu ia pun masih sering membuat
fatwa-fatw a nyeleneh dan mengkhiana ti surat perjanjian nya hingga akhirnya ia mondar-man dir masuk penjara dan wafat di penjara sebagaiman a nanti akan diutarakan ucapan dari para ulama.
Berikut ini pernyataan Ibnu taimiyyah tentang pertaubata nnya :
الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من
صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت، وليس هو
حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في قوله: ?
الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة الحاضرون
وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك إلا
الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا أعرف
كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما قال
الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي أو
لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو نسبة
ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من كل
ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير مكره.
كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع
وسبعمائة
“ Segala puji bagi Allah yang aku yakini bahwa di dalam
Al-Quran memiliki makna yang berdiri dengan Dzat Allah Swt yaitu sifat
dari sifat-sifa t Dzat
Allah Swt yang maha dahulu lagi maha azali dan al-Quran bukanlah
makhluq, bukan berupa huruf dan suara, bukan suatu keadaan bagi makhluk
sama sekali dan juga bukan berupa kertas dan tinta dan bukan yang
lainnya. Dan aku meyakini bahwa firman Allah Swt “ الرحمن على آلعرش
آستوى adalah apa yang telah dikatakan oleh para jama’ah (ulama) yang
hadir ini dan bukanlah istawa itu secara hakekat dan dhohirnya, dan aku pun tidak mengetahui arti dan maksud yang sesungguhn ya kecuali Allah Swt, bukan istawa secara hakekat dan dhohir seperti yang dinyatakan oleh jama’ah yang hadir ini. Semua yang bertentang an dengan akidah ini adalah batil. Dan semua apa yang ada dalam tulisanku dan ucapanku yang bertentang an dari semua itu adalah batil. Semua apa yang telah aku tulis dan ucapkan sebelumnya adalah suatu penyesatan kepada umat atau penisbatan sesuatu yang tidak layak bagi Allah Swt, maka aku berlepas diri dan menjauhkan diri dari semua itu. Aku bertaubat kepada Allah dari ajaran yang menyalahi- Nya. Dan semua yang aku dan aku ucapkan di kertas ini maka aku dengan suka rela tanpa adanya paksaan “ Telah menulisnya : (Ahmad Ibnu Taimiyyah) Kamis, 6-Rabiul Awwal-707 H.
Di atas surat pernyaan itu telah ditanda tangani di bagian atasnya oleh Ketua hakim, Badruddin bin jama’ah. Pernyataan ini telah disaksikan , diakui dan ditanda tangani oleh : – Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi’ i, beliau menyatakan : اعترف عندي بكل ما كتبه بخطه في التاريخ المذكور (Aku mengakui segala apa yang telah dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah ditanggal tersebut) – Abdul Ghoni bin Muhammad Al-Hanbali : اعترف بكل ما كتب بخطه (Aku mengakui apa yang telah dinyatakan nya) – Ahmad bin Rif’ah – Abdul Aziz An-Namrowi : أقر بذلك (Aku mengakuiny a) – Ali bin Miuhammad bin Khoththob Al-Baji Asy-Syafi’ I : أقر بذلك كله بتاريخه (Aku mengakui itu dengan tanggalnya ) – Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Husaini : جرى ذلك بحضوري في تاريخه (Ini terjadi di hadapanku dengan tanggalnya ) – Abdullah bin jama’ah (Aku mengakuiny a) – Muhammad bin Utsman Al-Barbaju bi : أقز بذلك وكتبه بحضوري (Aku mengakuiny a dan menulisnya dihadapank u).
Mereka semua adalah para ulama besar di masa itu salah satunya adalah syaikh Ibnu Rif’ah yang telah mengarang kitab Al-Matlabu Al-‘Aali “ syarah dari kitab Al-Wasith imam Ghozali sebanyak 40 jilid.
Namun faktanya Ibnu Taimiyah tidak lama melanggar perjanjian tersebut dan kembali lagi dengan ajaran-aja ran menyimpang nya. Sampai-sam pai dikatakan oleh seorang ulama :
لكن لم تمض مدة على ذلك حتى نقض ابن تيمية عهوده ومواثيقه كما هو عادة أئمة الضلال ورجع إلى عادته القديمة في الإضلال.
“ Akan tetapi tidak lama setelah itu Ibnu Taimiyyah melanggar perjanjian dan pernyataan nya itu sebegaiman a kebiasaan para imam sesat dan ia kembali pada kebiasaan lamanya di dalam menyesatka n umat “
Sidang kedua : Diadakan hari jum’ah hari ke-12 dari bulan Rajab. Ikut hadir saat itu seorang ulama besar Shofiyuddi n Al-Hindiy. Maka mulailah pembahasan , mereka mewakilkan kepada syaikh Kamaluddin Az-Zamalka ni dan akhirnya beliau memenangka n diskusi itu, beliau telah membungkam habis Ibnu Taimiyyah dalam persidanga n tersebut. Ibnu Taimiyyah merasa khawatir atas dirinya, maka ia member kesaksian pada orang-oran g yang hadir bahwa ia mengaku bermadzhab Syafi’I dan beraqidah dengan aqidah imam Syafi’i. Maka orang-oran g ridho dengannya dan mereka pun pulang.
Sidang ketiga : Sebelumnya Ibnu Taimiyyah mengaku bermadzhab Syafi’I, namun pada kenyataann ya ia masih membuat ulah dengan fatwa-fatw a yang aneh-aneh sehingga banyak mempengaru hi orang lain. Maka pada akhir bulan Rajab, para ulama ahli fiqih dan para qodhi berkumpul di satu persidanga n yang dihadiri wakil shulthon saat itu. Maka mereka semua saling membahas tentang permasalah an aqidah dan berjalanla h persidanga n sbgaiamana persidanga n
yang pertama. Setelah beberapa hari datanglah surat dari sulthon untuk
berangkat bersama seorang utusan dari Mesir dengan permintaan ketua qodhi Najmuddin.
Di antara isi surat tersebut berbunyi “ Kalian mengetahui apa yang terjadi di tahun 98 tentang aqidah Ibnu Taimiyyah “. Maka mereka bertanya kepada orang-oran g tentang apa yang terjadi pada Ibnu Taimiyyah. Maka orang-oran g mendatangk an aqidah Ibnu Taimiyyah kepada qodhi Jalaluddin Al-Quzwain i yang pernah dihadapkan kepada ketua qodhi imamuddin. Maka mereka membincang kan masalah ini kepada Raja supaya mengirim surat untuk masalah ini dan raja pun mnyetujuin ya. Kemudian setelah itu Raja memerintah kan syamsuddin Muhammad Al-Muhamad ar Ibnu untuk mendatangi Ibnu Taimiyyah dan ia pun berkata kepada Ibnu Taimiyyah “ Raja telah memerintah kanmu untuk pergi esok hari. Maka Ibnu Taimiyyah berangkat ditemani oleh dua Abdullah dan Abdurrahma n serta beberapa jama’ahnya .
Siding keempat : Maka pada hari ketujuh bulan Syawwal sampailah Ibnu Taimiyyah ke Mesir dan diadakan satu persidanga n berikutnya di benteng Kairo di hadapan para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat madzhab. Kemudian syaikh Syamsuddin bin Adnan Asy-Syafi’ I berbicara dan menyebutka n tentang beberapa fasal dari aqidah Ibnu Taimiyyah. Maka Ibnu Taimiyyah memulai pembicaraa n dengan pujian kepada Allah Swt dan berbicara dengan pembicaraa n yang mengarah pada nasehat bukan pengklarif ikasian. Maka dijawab “ Wahai syaikh, apa yang kau bicarakan kami telah mengetahui nya dan kami tidak ada hajat atas nasehatmu, kami telah menampilka n pertanyaan padamu maka jawablah ! “. Ibnu Taimiiyah hendak mengulangi pujian kepada Allah, tapi para ulama menyetopny a dan berkata “ Jawablah wahai syaikh “. Maka Ibnu Taimiyyah terdiam “. Dan para ulama mengulangi pertanyaan berulang-u lang kali tapi Ibnu Taimiyyah selalu berbeli-be lit dalam berbicara. Maka seorang qodhi yang bermadzhab Maliki memerintah kannya untuk memenjarak an Ibnu Taimiyyah di satu ruangan yang ada di benteng tersebut bersama dua saudaranya yang ikut bersamanya
itu. Begitu lamanya ia menetap di penjara dalam benteng tersebut
hingga ia wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H.
**** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830