PERTANYAAN
:
Assalamu'alaikum. bagaimana
sholatnya orang yang habis operasi, badannya masih mutanajjis ? Apa cukup dengan
sholat lihurmatil
waqti tanpa
thoharoh ? Syukron! [Gus
Luq].
JAWABAN
:
Wa'alaikumsalam. Shalat
orang yang habis operasi yang badannya masih mutanajjis menurut Syafi’iyyah
tidak sah karena ia selalu membawa najis atau bersentuhan dengan najis pada
dirinya kecuali bila mutanajis habis operasinya tersebut hanya sedikit maka
shalatnya sah dan tidak perlu diulang.
- Fath al-Mu’iin I/80
:
(
وثانيها ) أي ثاني شروط الصلاة ( طهارة بدن ) ومنه داخل الفم والأنف والعين (
وملبوس ) وغيره من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته ( ومكان ) يصلى فيه ( عن نجس )
غير معفو عنه فلا تصح الصلاة معه ولو ناسيا أو جاهلا بوجوده أو بكونه مبطلا لقوله
تعالى { وثيابك فطهر } ولخبر الشيخين
- Bughyaah al-Mustarsyidiin
I/180 :
(مسألة
: ك) : ابتلي بخروج دم كثير من لثته أو بجروح سائلة أو بواسير أو ناصور واستغرق جل
أوقاته ، لزمه التحفظ والحشو بوضع نحو قطنة على المحل ، فإن لم ينحبس الدم بذلك
لزمه ربطه إن لم يؤذه انحباس الدم ولو بنحو حرقان وكان حكمه حكم السلس ، لكن لا
يلزمه الوضوء لكل فرض
- Hasyiyah al-Bujairomi
alaa al-Khothiib IV/59 :
وَفِي
حَجّ : وَلَوْ غَرَزَ إبْرَةً مَثَلًا بِبَدَنِهِ أَوْ انْغَرَزَتْ فَغَابَتْ أَوْ
وَصَلَتْ لِدَمٍ قَلِيلٍ لَمْ يَضُرَّ أَوْ لِدَمٍ كَثِيرٍ أَوْ لِجَوْفٍ لَمْ
تَصِحَّ الصَّلَاةُ لِاتِّصَالِهَا بِنَجَسٍ ا هـ .
- Hasyiyah al-Jamal
II/384-385 :
وَعِبَارَةُ
الْعُبَابِ وَشَرْحِهِ بَعْدَ أَنْ ذَكَرَ مَا ذَكَرَهُ الْمَتْنُ بِقَوْلِهِ
فَيَجِبُ أَنْ تَغْتَسِلَ مُسْتَحَاضَةٌ إلَخْ نَصِّهَا ، وَالسَّلَسُ بَوْلًا أَوْ
غَيْرَهُ كَالْمَذْيِ وَالْوَدْيِ وَالرِّيحِ كَالِاسْتِحَاضَةِ فِي جَمِيعِ مَا
مَرَّ وَمِنْهُ أَنْ يَحْشُوَ ذَكَرَهُ بِقُطْنَةٍ ، فَإِنْ لَمْ يَنْقَطِعْ
عَصَبَهُ بِخِرْقَةٍ وَأَجْرَى الْجَلَالُ الْبُلْقِينِيُّ نَظِيرَ ذَلِكَ فِي
سَلَسِ الرِّيحِ ، فَإِنْ كَانَ مَنِيًّا وَقَلَّ مَا يَعِيشُ صَاحِبُهُ
فَاحْتِيَاطُهُ بِالْغُسْلِ مَعَ مَا مَرَّ لِكُلِّ فَرْضٍ وَذُو الْجُرْحِ
وَالدُّمَّلِ وَالنَّاسُورِ وَالرُّعَافِ السَّيَالَةِ كَالْمُسْتَحَاضَةِ فِي
وُجُوبِ غُسْلِ نَحْوِ الدَّمِ لِكُلِّ فَرْضٍ وَالشَّدِّ عَلَى مَحَلِّهِ
وَنَحْوِهِمَا ، انْتَهَتْ ( قَوْلُهُ : أَوْ مَذْيٍ ) وَكَذَا رِيحٌ وَغَائِطٌ
وَلَا يَجُوزُ لِلشَّخْصِ تَعْلِيقُ قَارُورَةٍ لِيُقَطِّرَ فِيهَا بَوْلَهُ وَهُوَ
فِي الصَّلَاةِ بَلْ تَبْطُلُ صَلَاتُهُ بِكَوْنِهِ حَامِلًا نَجَاسَةً غَيْرَ
مَعْفُوٍّ عَنْهَا فِي غَيْرِ مَعْدِنِهَا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَيُعْفَى عَنْ
قَلِيلِ سَلَسِ الْبَوْلِ فِي الثَّوْبِ وَالْعِصَابَةِ بِالنِّسْبَةِ لِتِلْكَ
الصَّلَاةِ خَاصَّةً فَلَوْ اسْتَمْسَكَ السَّلَسُ بِالْقُعُودِ دُونَ الْقِيَامِ
وَجَبَ أَنْ يُصَلِّيَ قَاعِدًا احْتِيَاطًا لِلطَّهَارَةِ وَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ
، فَإِنْ صَلَّى قَائِمًا لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ لِوُجُودِ النَّجَاسَةِ مَعَ
تَمَكُّنِهِ مِنْ اجْتِنَابِهَا وَمَنْ دَامَ خُرُوجُ مَنِيِّهِ لَزِمَهُ الْغُسْلُ
لِكُلِّ فَرْضٍ ا هـ بِرْمَاوِيٌّ .
SOLUSI
Oleh karena setiap orang
yang masih berakal dan baligh dalam kondisi apapun masih berkewajiban
menjalankan shalat, maka shalat orang yang dalam kondisi seperti pertanyaan di
atas diberikan beberapa solusi :
1.Orang tersebut menjalankan
Shalat Li
Hurmatil Waqti
dan wajib mengulang shalatnya saat keadaannya sudah normal (keterangannya baca
pada dokumen PISS (www.fb.com/notes/www.piss-ktb.com/371268576229290/)
2.Taqlid pada Imam Malik yang
membolehkan shalat dalam kondisi pada pertanyaan di atas dan mengesahkan shalat
meskipun dalam keadaan membawa najis (artinya harus talfiq pada madzhab
Malikiyyah).
- Bughyah al-Mustarsyidiin
I/162 :
وحاصل
ما ذكره الشيخ محمد بن خاتم في رسالته في صلاة المريض أن مذهب أبي حنيفة... وأما
مالك فمقتضى مذهبه وجوب الإيماء بالطرف أو بإجراء الأركان على القلب ، والمعتمد من
مذهبه أن طهارة الخبث من الثوب والبدن والمكان سنة ، فيعيد استحباباً من صلى عالماً
قادراً على إزالتها ، ومقابلة الوجوب مع العلم والقدرة ، وإلا فمستحب ما دام الوقت
فقط ، وأما طهارة الحدث فإن عجز عن استعمال الماء لخوف حدوث مرض أو زيادته أو تأخير
برء جاز التيمم ولا قضاء عليه ، وكذا لو عدم من يناوله الماء ولو بأجرة ، وإن عجز
عن الماء والصعيد لعدمهما أو عدم القدرة على استعمالهما بنفسه وغيره سقطت عنه
الصلاة ولا قضاء اهـ.
Kelegalan talfiq dalam
kondisi tertentu : Secara bahasa talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud
dengan talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama
dengan pendapat ulama lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang
membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. Muhammad Amin al-Kurdi
mengatakan:
(الخامس)
عدم التلفيق بأن لايلفق في قضية واحدة ابتداء ولادوامابين قولين يتولدمنهماحقيقة
لايقول بهاصاحبهما (تنويرالقلوب , 397)
“(syarat kelima dari
taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam
satu qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang
nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah
dikatakan oleh orang bberpendapat.” (Tanwir al-Qulub, 397). Jelasnya, talfiq
adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua
madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut :
a. Seseorang berwudlu
menurut madzhab Syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat)
kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan
langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh
wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena
menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’I dan Hanafi dalam masalah wudlu. Yang pada
akhirnya, kedua Imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu
merupakan pendapatnya. Sebab, Imam Syafi’I membatalkan wudlu seseorang yang
menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Hanafi tidak mengesahkan wudlu
seseorang yang hanya mengusap sebgaian kepala.b. Seseorang berwudlu dengan
mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudlu karena ikut madzhab
imam Syafi’i. lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang
mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut
tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudlu itu harus
dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudlu. Wudlu
ala Imam Syafi’I, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing
menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika
menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak
menganggap sah shalat yang dilakukan itu.Talfiq semacam itu dilarang
agama.
Sebagaimana yang disebutkan
dalam kitab I’anah al-Thalibin:
ويمتنع
التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة
(اعانة الطالبين , ج 1 ص 17)
“talfiq dalam satu masalah
itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut Imam
Syafi’I dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.”.
(I’anah al-Thalibin, juz 1, hal 17).
Sedangkan tujuan pelarangan
itu adalah agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah), tidak
memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan
timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama. Atas dasar ini maka sebenarnya
talfiq yang dimunculkan bukan untuk mengekang kebebasan umat Islam untuk memilih
madzhab. Bukan pula untuk melestarikan sikap pembelaan dan fanatisme terhadap
madzhab tertentu. Sebab talfiq ini dimunculkan dalam rangka menjaga kebebasan
bermadzhab agar tidak disalahpahami oleh sebagian orang.
Untuk menghindari adanya
talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan
memilih salah satu madzhab dari madzahib al-arba’ah yang relevan dengan kondisi
dan situasi Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat,
rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk persoalan sosial kemasyarakatan
mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa kondisi Indonesia
mempunyai cirri khas tersendiri. Tuntutan kemashlahatan yang ada berbeda dari
satu tempat dengan tempat lain.
Dengan demikian seseorang
tidak diperkenankan seseorang berpindah madzhab kecuali bila memenuhi beberapa
ketentuan :
1.Mengerti (mengetahui)
masalah yang bersangkutan menurut madzhab yang diikutinya
2.Bukan dalam masalah yang
termasuk dibatalkan oleh keputusan seorang Qadhi (Hakim Agama) artinya tidak
bertentangan dengan Nash (al-Quran dan Hadits), al-Ijmaa’, Kaidah-kaidah ataupun
Qiyas al-Jaly
3.Tidak mencari keringanan
dengan mengambil yang mudah-mudah dari setiap madzhab yang ada
4.Tidak mengacaukan antara
dua Qaul yang dapat menimbulkan kenyataan yang tidak dikatakan oleh keduanya
seperti pada keterangan diatas (sub b)
5.Tidak melaksanakan Qaul
seorang dalam satu masalah kemudian melaksanakan kebalikan Qaul tersebut
dalammasalah yang sama
(Bughyah al-Mustarsyidiin
Hal. 9, Sab’ah al-Kutub al-Fawaaid Hal. 51 dan Fath al-Mu’iin Hal. 138).
Wallaahu A'lamu Bis showaab. [Masaji
Antoro].
Link Diskusi :
www.fb.com/groups/piss.ktb/385157504840397/