KAJIAN FIQH WANITA BAGIAN
16 : Tata Cara Shalat Bagi Mustahadlat (wanita yang Istikahadoh) dan Beser
(selalu Hadats)
Istihadlat tidak sama
hukumnya dengan haid atau nifas. Istihadlat itu termasuk bagian hadas kecil yang
sifatnya terus-menerus seperti beser air seni atau beser air madzi. Maka
mustahadlat tetap di-wajibkan shalat fardlu dan puasa Ramadlan, dan tidaklah
diharamkan membaca al-Qur’an, bersetubuh dan lain-lain (Syarhu al-Minhaj pada
Ha-misy Hasyiyah al Jamal: 1/242).
Mustahadlat dan orang yang
beser itu terus-menerus mengeluarkan hadas dan najis, maka ketika akan
mendirikan shalat, ia hendaklah lebih dulu mensucikan kemaluannya lalu di sumbat
dengan kapuk atau kain sekiranya tidak sakit dan ketika tidak mengerjakan puasa
Ramadlan.
Apabila darahnya masih
terus mengalir keluar di permukaan sumbatan, maka ia diwajibkan membalut.
Apabila karena banyaknya darah, hingga tetap keluar ke permukaan pembalut, maka
dimaafkan. Dan apabila ia sedang mengerjakan puasa, hendaklah supaya membuat
pembalut saja, karena menyumbat itu menyebabkan batal puasanya (Minhajul Qawim:
30, dan Fathul Wahab pada Hamisy Hasyiyah Al-Jamal: 1/242).
Setelah dibalut, lalu wudlu
dengan niat sepaya diperkenankan mengerjakan shalat fardlu. Bukan niat karena
menghilangkan hadas atau niat bersuci dari hadas (Fathul Wahhab pada Hamisy
Hasyiyah Sulaiman al-Jamal:1/105).
Sejak mulai mensucikan
kemaluan hingga wudlu, wajib dilakukan setiap akan mengerjakan shalat fardlu dan
setelah masuk waktu shalat. Semua pekerjaan, mulai dari mensucikan kemaluan
hingga shalat far-dlu, wajib dilaksanakan dengan segera. Maka apabila sesudah
wudlu lalu berhenti lebih dulu, karena keperluan selain maslahatnya shalat,
seperti makan, minum dan lain-lain, maka ia diwajibkan kembali mensucikan
kemaluan dan seterusnya. Namun apabila berhentinya karena untuk kemaslahatan
shalat, seperti menutup aurat, menjawab muadzin, me-nunggu jamaah, menunggu
shalat Jum’at dan lain-lain, maka hal itu diperkenankan Syara’ (tidak perlu
kembali bersuci lagi).
Orang yang beser mani, ia
diwajibkan mandi setiap akan menger-jakan shalat fardlu dengan niat supaya
diperkenankan mengerjakan shalat fardlu. Tidak diperkenankan niat menghilangkan
hadas atau niat bersuci dari hadas.
Bagi orang yang hadasnya,
seumpama untuk shalat, bisa dengan duduk, lalu hadasnya bisa berhenti, maka ia
diwajibkan shalat dengan duduk. Nanti setelah sembuh tidak perlu mengqadla
shalatnya (Minhaj al-Qawim: 30).
PERTANYAAN : Bahwa wudlunya orang
Da’aimul Hadats, yaitu orang yang terus-menerus berhadas, seperti orang yang
beser dan mustahadlat, seluruh tubuhnya di syaratkan suci dari najis atau tidak?
Jawabnya : para ulama berbeda
pendapat. Yang pertama mensyaratkan seleruh tubuh harus suci dari najis. Yang
kedua, tidak mensyaratkan harus suci tubuhnya dari najis (Hasyiyah al-Jamal ala
Syarhi al-Minhaj: 1/242).
Peringatan
!
Bagi seorang yang
istihadlat dan orang beser, yang kebiasannya, pada akhir shalat ada berhentinya
yang cukup untuk wudlu dan shalat, maka di dalam mengerjakan shalat wajib
diakhirkan (Hasyiyah Al-Jamal ala Syarhi al-Minhaj: 1/245).
Bagi orang yang beser, sah
menjadi imam shalat, sekalipun, mak-mum tidak beser. Dan bagi orang istihadlat
yang selain mutahayyirat, juga sah menjadi imam shalat, walaupun si makmum tidak
istihadlat. Adapun orang istihadlat yang mutahayyirat tidak sah menjadi imam
shalat, sekalipun makmumnya sama-sama mustahadlat mutahayyirat (Mughnil Muhtaj:
1/241).
Perkara
Yang Diharamkan Bagi Orang Haid dan Nifas
Seorang wanita yang sedang
haid atau nifas, diharamkan menger-jakan 11 perkara, yaitu sebagai
berikut:
1.Mengerjakan shalat fardlu
maupun shalat sunnah,
2.Mengerjakan thawaf di
Baitullah Makkah, baik thawaf rukun, thawaf wajib atau thawaf sunnah.
3.Mengerjakan rukun-rukun
khutbah Jum’at
4.Menyentuh lembaran
al-Qur’an Apalagi kitab al-Qur’an
5.Membawa lembaran al-Qur’an.
Apalagi kitab al-Qur’an.
6.Membaca ayat al-Qur’an,
kecuali karena mengharap barakah, seperti membaca Bismillahirrahmaanirrahiim,
memulai pekerjaan yang baik, Alhamdulilahi Rabbil ‘Alamiin, karena bersyukur dan
Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’uun karena terkena musibah.
7.Berdiam diri di dalam
masjid, sekiranya dikhawatikan darahnya tertetes didalamnya.
8.Mundar mandir didalam
masjid, sekiranya dikahawatirkan darah-nya tertetes didalamnya.
9.Mengerjakan puasa Ramadlan,
tetapi diwajibkan qadla. Adapun shalat tidak diwajibkan qadla.
10.Meminta cerai kepada
suaminya, atau sebaliknya.
11.Melakukan Istimta’,
bersenang-senang suami istri dengan pertemuan kulit antara pusar sampai dengan
kedua lutut, baik bersyahwat atau tidak. Apalagi bersetubuh, meskipun
kemaluannya lelaki di bungkus dengan kain / kondom, hukumnya jelas haram dosa
besar.
Apabila haid atau nifas
sudah berhenti, tetapi belum mandi, maka larangan 11 perkara ini tetap berlaku,
kecuali puasa dan thalaq (Mahali serta Hasyiyah Al-Qalyubi: 1/100 dan Abyanal
Hawaij: 11/269-270).
Dikatakan oleh ulama
Fuqaha: bahwa suami yang menyetubuhi istrinya sebelum mandi, baik istrinya masih
dalam keadaan haid atau sudah berhenti akan mengakibatkan terkena penyakit lepra
(buduken: Jawa) terhadap anaknya (Hasyiyah Al-Qalyubi: 1/110).
Seseorang yang haid atau
nifas nanti setelah berhenti, diwajibkan mengqadla puasa Ramadlan yang
ditinggalkan, dan tidak wajib mengqa-dla shalat fardlu secara Ijma’ dalam
keduanya, karena kesukaran di dalam qadla shalat ank arena berulang-ulangnya
shalat. Tidak demi-kian halnya qadla puasa (Al-Mihajul Qawim serta Hasyiyah
Al-Turmu-si:1/548 dan Husnul Mathalib: 70).
Hukum-hukum yang berpautan
dengan haid, ada 20 perkara, 12 berupa hukum haram, yaitu:
1. Mengerjakan
shalat,
2. Melakukan sujud tilawah
(bacaan dalam al-Qur’an), sujud syukur,
3. Melakukan thawaf rukun,
wajib, atau sunnah,
4. Mengerjakan puasa wajib
maupun sunnah,
5. Melakukan I’tikaf di
dalam masjid,
6. Memasuki masjid sekira
kuatir akan tetesnya darah haid,
7. Membaca al-Qur.an.
8. Menyentuh
al-Qur’an.
9. Menulis al-Qur’an
menurut sebagian ulama,
Sembilan perkara ini yang
diharamkan bagi seorang wanita yang sedang haid. Adapun yang tiga selanjutnya,
diharamkan bagi lelaki suaminya, yaitu:
10. Melakukan
persetubuhan
11. Menceraikan istrinya
dalam keadaan haid
12. Melakukan istimta’,
atau besenang-senang dengan cara memper-mukan kulit antara pusar sampai dengan
lutut istrinya dengan selain bersetubuh.
Adapun delapan perkara yang
lain tidak berupa hukum haram ialah sebagai berikut:
1. Usia balig karena
haid
2. Kewajiban mandi, setelah
haidnya berhenti
3. Melaksanakan Iddat,
apabila cerai atau suaminya meninggal
4. Istibra’ atau menunggu
seorang wanita amat yang baru dimiliki
5. Bersihnya kandungan
bayi
6. Diterima ucapannya
apabila wanita itu sudah haid
7. Gugurnya kewajiban
shalat ketika keluar darah haid
8. Gugurnya thawaf wada’
ketika dalam keadaan haid.
(Hasyiyah Al-jamal ala
Syarhi Al-Minhaj: 1/227). Ri’ayatul Himmah: 1/152 153).
Peringatan!
Berhubungan dengan orang
yang mempunyai hadas besar, dibolehkan membaca zikir / do'a yang diambil dari
al-Qur’an, dengan tidak berniat membaca al-qur'an, seperti ketika makan atau
minum membaca lafadl
بسم
الله الرØمن الرØيم
“Dengan menyebut nama Allah
Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.
Ketika menerima nikmat dari
Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa lalu membaca lafad
الØمد
لله رب العالمين
“Segala puji bagi Allah
seru sekalian alam semesta”.
Ketika naik kendaraan
membaca bacaan al-Qur’an dengan harapan semoga selamat dengan lafad
سبØان
الـذى سخر لنـا هـذا ومـا كنالـه مقـرنــين, وإنـا إلى ربنـا لمنقـلبـون
“Maha Suci Dzat yang telah
menundukkan semua ini bagi kami sebelumnya tidak mampu mengasainya. Dan
sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami,. Sesungguhnya yang mewajibkan
kepadamu Alqur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat
kembali”.
Ketika mendapat musibah
atau cobaan sabar dan ridla dengan mengucapkan lafad:
إنـالله
وإنـا إليه راجعون
Sesungguhnya kami kepunyaan
Allah, dan sesungguhnya kepada Allah lah tempat kami kembali. (Al-Iqna’ pada
Hamisy Hasyiyah Al-Bujarami:1/315 dan Abyanal Hawaij: 11/269). [Oleh
Mbah
Jenggot].