Oleh Timur
Lenk
Dalil
'Aqli Allah tak menyerupai makhluk :
Jika Allah menyerupai
makhluk maka sesuatu yang boleh bagi makhluk (diantaranya adalah berubah dan
butuh yang lain) juga boleh bagi Allah , Jika Allah bersifat dengan sifat yang
boleh bagi makhluk maka Allah butuh yang lain dan itu mustahil karena sifat
butuh menandakan lemah, sifat lemah mustahil bagi Allah karena jika Allah
bersifat lemah maka Allah tak mampu mencipta, yang lemah tak mungkin jadi
Tuhan
Dalil
Naqli Allah tak menyerupai makhluk :
ليس
كمثله شيء
Tak ada sesuatu apapun yang
menyerupai Allah
فلا
تَضْرِبُوا للهِ الأَمْثَال
Maka janganlah kalian
membuat perumpamaan bagi Allah
Allah ada tanpa permulaan
dan tanpa akhiran
هو
الأوّل والاخر
Dia Yang Awwal dan Yang
Akhir
Yang dimaksud dari firman
Allah dalam QS. Al-Mulk: 16 adalah:
ءَأَمِنتُم
مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ (الملك)
Seluruh ayat-ayat
mutasyabihat dan hadits-hadits mutasyabihat yang zhahirnya seakan Allah berada
di langit, atau seakan berada di atas langit dengan jarak antara Allah dan
langit itu sendiri, maka teks-teks tersebut harus ditakwil; tidak boleh dipahami
secara zhahirnya. Di antaranya, firman Allah: ”A-amintum Man Fi as-Sama’” (QS.
al-Mulk: 16), bahwa yang dimaksud dengan “Man Fi as-Sama’” adalah para Malaikat.
Takwil ini sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh al-Iraqi dalam
penafsiran beliau terhadap hadits yang berbunyi:
ارْحَمُوْا
مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السّمَاء (رواه الترمذي)
Al-Hafizh al-Iraqi
menafsirkan hadits ini dengan hadits riwayat lainnya yang berasal dari jalur
sanad Abdullah ibn Amr ibn al-Ash, dari Rasulullah, bahwa Rasulullah bersabda:
الرّاحِمُوْنَ
يَرْحَمُهُمُ الرّحِيْمُ ارْحَمُوْا أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهْلُ
السّمَاءِ
Al-Hafizh al-Iraqi
menuliskan: “Diambil dalil dari riwayat hadits yang menyebutkan “Ahl as-Sama’”
(hadits kedua di atas) bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (yang
menyebutkan “Man Fi as-Sama’”) adalah para Malaikat” (Amali al-Iraqi, h. 77).
Apa yang dilakukan oleh
al-Hafzih al-Iraqi ini adalah sebaik-baiknya metode dalam memahami teks; yaitu
menafsirkan sebuh teks yang datang dalam syari’at (warid) dengan teks lainnya
yang juga warid, inilah yang disebut Tafsir al-Warib Bi al-Warid, atau dalam
istilah lain disebut at-Tafsir Bi al-Ma-tsur. Karena itu al-Hafizh al-Iraqi
sendiri berkata dalam Alfiah-nya:
وَخَيْرُ
مَا فَسَّرْتَهُ بالوَارِدِ كَالدُّخِّ بِالدُّخَانِ لاِبْنِ صَائِدِ
“Sebaik-baik cara engkau
menafsirkan teks yang warid adalah dengan menafsirkannya dengan teks yang warid
pula, seperti penafsiran kata al-Dukh dengan makna al-Dukhan, sebagaimana telah
dinyatakan oleh Ibn Sha’id”.
Dengan demikian riwayat
hadits ke dua ini menafsirkan makna firman Allah QS. al-Mulk: 16 tersebut di
atas. Maka makna “yang ada di langit (Man Fi as-Sama’)” adalah para Malaikat,
karena para Malaikat memiliki kekuasaan untuk menggulung bumi terhadap
orang-orang musyrik seperti yang dimaksud oleh ayat tersebut. Artinya, jika para
Malaikat tersebut diperintah oleh Allah untuk melakukan hal itu maka pastilah
mereka akan melakukannya. Demikian pula dalam pengertian ayat seterusnya; ”Am
Amintum Man Fi as-Sama...” (QS. al-Mulk: 17), yang dimaksud ayat ini adalah para
Malaikat Allah. Artinya, bahwa para Malaikat yang berada di langit tersebut
memiliki kekuasaan untuk mengirimkan angin keras yang dapat menghancurkan
orang-orang musyrik.
Demikian pula dengan sebuah
hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya,
bahwa Rasulullah bersabda:
وَالّذِيْ
نَفْسِي بيَدِه مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأتَهُ إلَى فِرَاشِهَا فَتأبَى
عَلَيْهِ إلاّ كَانَ الّذِيْ فِي السّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتّى يَرْضَى
عَنْهَا (رواه مسلم)
“Demi Allah yang jiwaku
berada di dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang laki-laki memanggil isterinya ke
tempat tidurnya --untuk melakukan hubungan badan-- kemudian perempuan tersebut
enggan menjawabnya, kecuali bahwa ”yang ada di langit” murka kepadanya hingga
suaminya tersebut meridlainya” (HR. Muslim).
Yang dimaksud dengan “Yang
ada di langit” dalam hadits ini adalah Malaikat Allah.
Penafsiran ini sesuai
dengan riwayat hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban dan
lainnya, di mana hadits ke dua ini lebih masyhur daripada hadits di atas, yaitu
hadits dengan redaksi: ”La’anatha al-Mala-ikah Hatta Tushbiha...”, dalam hadits
ini dengan jelas disebutkan bahwa perempuan tersebut dilaknat oleh para Malaikat
hingga datang subuh (Lihat Shahih Muslim, Kitab al-Nikah, Bab tentang keharaman
menolak seorang istri dari keinginan suami. Lihat pula Tartib Shahih Ibn Hibban,
j. 6, h. 187, Kitab al-Nikah, Bab hubungan suami istri).
Sedikitpun jangan pernah
anda berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit, atau bertempat di atas arsy,
seperti keyakinan kaum Wahhabiyyah. Yang benar "ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA
ARAH".