Oleh Masaji
Antoro
Seseorang yang memiliki
tanggungan Qadha Puasa Ramadhan baik yang ditinggalkan karena udzur atau pun
bukan wajib mengganti puasa tersebut dihari-hari yang diperbolehkan menjalankan
puasa.
HARI-HARI
YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJALANI PUASA
~ Hari Raya Idul Fitri dan
Idul Adha
~ Hari TASYRIQ (tanggal 11,
12 dan 13 Dzul Hijjah)
~ Hari-hari yang telah ia
tentukan untuk puasa NADZAR
~ Hari Syak (30 Sya'ban)
kecuali bagi orang yang sebelumnya telah membiasakan berpuasa semacam senin
kamis
YANG
DIPERBOLEHKAN BERBUKA PUASA (mokel-java-pent)
• Lanjut
Usia dan orang sakit
Berdasarkan ijma’ kaum
muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa,
baik pada bulan Ramadhan atau lainnya dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak
diwajibkan untuk mengqadha’nya melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan
pada orang-orang miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Baqarah 184.
Menurut Ibnu Abbas, ayat ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia
yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu
orang miskin tiap satu hari.
Ketentuan ini juga berlaku
bagi orang sakit yang tidak diharap lagi kesembuhannya, berdasar firman Allah
“..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu
kesempitan.” [QS. Al-Hajj 78]. Dan bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh
maka wajib mengqadha’ tanpa membayar fidyah.
• Lapar
dan dahaga yang tak tertahankan lagi
Seseorang yang tertimpa
lapar atau dahaga yang tak tertahankan lagi, sekiranya jika ia berpuasa akan
menemui kepayahan luar biasa, maka ia boleh membatalkan puasa dan wajib
mengqadha’nya. Bahkan ia wajib membatalkan puasanya jika menduga akan menemui
madharrat sehingga merusak mekanisme (syaraf) tubuh. Firman Allah: “…dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan. [QS. Al Baqarah
195]
• Dalam
keadaan dipaksa
Mayoritas ulama (berbeda
dari Syafi’iyah) berpendapat bahwa seseorang yang dipaksa/diperkosa boleh
membatalkan puasanya dan ia wajib mengqadha’nya. Dan jika ada seorang perempuan
di gauli secara paksa atau dalam keadaan tidur, ia (si perempuan) wajib
mengqadha’nya puasanya.
Ketentuan-ketentuan lain
:
1. Pekerja berat Imam Abu
Bakar Al-Ajiri mengatakan bahwa jika ia mengkhawatirkan kondisinya karena
pekerjaan berat yang ia lakukan maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib
mengqadha’nya. Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka tetap wajib
berpuasa dan jika ternyata ditengah hari dia tidak mampu lagi melanjutkan
puasanya, barulah ia membatalkannya dan wajib mengqadha’ nya. Sebagaimana firman
Allah “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, karena sesungguhnya Allah Maha
Peenyayang kepadamu.” [Surat Annisa 29]
2. Penyelamat seseorang
yang tenggelam Ulama Hanbali mengatakan bahwa ia boleh berbuka dan tidak wajib
membayar fidyah jika tidak mampu menahan masuknya air, jika ia mampu menahannya
maka ia tidak diperbolehkan berbuka.
• Wanita
hamil dan menyusui
Semua Ulama sepakat tentang
adanya rukhsah (keringanan) bolehnya wanita hamil dan menyusui untuk tidak
berpuasa dibulan Ramadhan, namun mereka berbeda pendapat mengenai cara mengganti
puasanya. Berikut adalah pendapat-pendapat yang ada :
a. Versi
Imam Hanafi
Wanita hamil atau menyusui
yang tidak berpuasa dibulan Ramadhan (baik karena menghawatirkan dirinya sendiri
atau bayinya atau bahkan keduanya) kewajibannya hanya meng-Qodho puasa yang
mereka tinggalkan tersebut tanpa harus membayar Fidyah (tebusan), Tendensi
Beliau Hadits Anas bin Malik al-Ka’bi menuturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda
: “Sesungguhnya Allah telah menggugurkan puasa dan separoh sholat dari musafir,
dan menggugurkan puasa saja dari wanita hamil dan menyusui.”(HR. Imam Ahmad,
4/374; at-Tirmidzi, 3/94; an-Nasâ’i, 4/190). Pendapat Imam Auza’i, Zuhri dan At
tsauri dalam masalah ini sama dengan pendapat Imam Hanafi.
b. Versi
Imam Maliki
Wanita hamil yang tidak
berpuasa dibulan Ramadhan kewajibannya hanya meng-Qodho puasa yang mereka
tinggalkan tersebut tanpa harus membayar Fidyah, alasannya karena wanita hamil
disamakan dengan orang sakit. Tendensi ketetapan hukum ini adalah firman Allah
swt
“Maka barang siapa di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain” (QS. Albaqaarah Ayat 184)
Sedangkan Wanita menyusui
yang tidak berpuasa dibulan Ramadhan kewajibannya meng-Qodho puasa yang mereka
tinggalkan tersebut serta harus membayar Fidyah berdasarkan firman Allah swt :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS.
Albaqaarah Ayat 184). Yang dimaksud dalam ayat tersebut menurut Imam Malik
adalah Wanita menyusui dan orang tua renta.
c. Versi
Imam Syafi’I dan Imam Hambali
Wanita hamil atau menyusui
yang tidak berpuasa dibulan Ramadhan wajib meng-Qodho puasa yang mereka
tinggalkan tersebut tanpa harus membayar Fidyah dengan catatan apabila faktornya
karena menghawatirkan terhadap dirinya sendiri, atau menghawatirkan terhadap
dirinya sendiri dan anaknya, Tendensi ketentuan ini adalah firman Allah
swt.
“Maka barang siapa di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain” (QS. Albaqaarah Ayat 184)
Imam Syafi’I menyamakan
wanita hamil atau menyusui dengan orang sakit sedang orang sakit pada ayat
diatas (saat tidak berpuasa) tidak diwajibkan membayar fidyah.
Jika faktor wanita hamil
atau menyusui yang tidak berpuasa murni karena menghawatirkan anak yang ia
kandung atau ia susui maka dia wajib meng-Qodho puasa yang mereka tinggalkan
tersebut sekaligus membayar Fidyah hal ini karena berdasarkan Hadits Nabi yang
diriwayatkan Abu Daud ra dan Imam baehaqi : “Wanita hamil dan menyusui, jika
takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang
miskin.” ( HR. Abu Dawud)
Dan berdasarkan perkataan
Ibnu ‘Umar ra. ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan
anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud
gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (HR. al-Baihaqi dalam Sunan dari
jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih). Jika dikonversikan dalam bentuk liter satu
mud adalah 0,6875 liter atau 687,5 mililiter berupa makanan pokok.
QADHA
PUASA YANG TERTUNDA
Ada beberapa perbedaan
pendapat yang berkembang seputar tanggungan puasanya seseorang yang belum
diqadha hingga datangnya bulan ramadhan berikutnya,
• Versi
Imam Hanafi
Mengqadha sesuai berapa
hari puasa yang ditinggalkan (baik menunda qadha'nya karena udzur/tidak).
Berdasarkan dhahirnya Firman Allah : “Maka barang siapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Albaqaarah
Ayat 184).
• Versi
Imam Syafi’I, Maliki dan Imam Hambali
Mengqadha sesuai berapa
hari puasa yang ditinggalkan ditambah membayar Fidyah bila menunda qadhanya
karena tanpa adanya udzur berdasarkan sabda Rasulullah saw : "Barangsiapa yang
memutuskan puasa dibulan ramadhan dan tidak mengqadha'nya sampai datang bulan
ramadhan berikutnya maka dia wajib berpuasa untuk hari itu, kemudian baru puasa
qadha dan memberi makanan setiap hari terhadap orang miskin (HR Baehaqi). Namun
pijakan Imam syafi'i dalam wajibnya mengqadha ditambah fidyah dalam masalah ini
bukan berpijak pada hadits dhaif ini melainkan berdasarkan ijma ulama.
• Versi
Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Sa'id bin Zubair
Tanggungan qadha puasanya
berubah menjadi membayar fidyah bukan qadha puasa lagi berdasarkan Hadits Nabi :
"Apabila tanggungan qadha puasa masih tetap (belum dipenuhi) hingga datangnya
bulan puasa berikutnya maka dia wajib membayar kafarat (HR Baehaqi). [ Dinukil
dari Kitab Madzahib Al-Arba'ah 1/902-905 ].
CARA
MENGQADHA PUASA YANG TELAH LUPA
Wajib mengqadhai puasanya
di selain hari-hari yang ia yakini telah dikerjakan puasanya, terhitung sejak ia
mulai baligh. Niat melakukan qadha puasa ramadhannya dengan tanpa ditentukan
waktunya (hari / tahunnya)
وعبارة
الزواجر الحادي عشر أي من شروط التوبة التدارك فيما إذا كانت المعصية بترك عبادة
ففي ترك نحو الصلاة والصوم تتوقف صحة توبته على قضائها لوجوبها عليه فورا وفسقه
بتركه كما مر فإن لم يعرف مقدار ما عليه من الصلوات مثلا قال الغزالي تحرى وقضى ما
تحقق أنه تركه من حين بلوغه
Redaksi dalam kitab
az-Zawaajir : Yang no. 11 (dari syarat-syaratnya taubat) adalah menyusul dan
membenarkan kesalahan/maksiat yang telah ia perbuat akibat meninggalkan ibadah
dimasa silam, dalam meninggalkan semacam shalat dan puasa misalnya, untuk dapat
mengabsahkan taubatnya harus diqadha terlebih dahulu karena mengqadhanya
diwajibkan sesegera mungkin dan dihukumi fasik bila ditinggalkan seperti
keterangan yang telah lewat.
Bila tidak diketahui jumlah
yang wajib ia qadha seperti dalam kasus shalat (juga puasa) menurut al-Ghazali
wajib baginya meneliti dan mengqadha yang telah nyata ia tinggalkan mulai masa
balighnya. [ I’aanah at-Thoolibiin IV/294, Is’aad ar-Rofiiq Hal. 143
].
- Hawaasyi as-Syarwaani
III/396 :
ولو
علم أنه صام بعض الليالي وبعض الأيام ولم يعلم مقدار الأيام التي صامها فظاهر أنه
يأخذ باليقين فما تيقنه من صوم الأيام أجزأه وقضى ما زاد عليه سم
Wallaahu A'lamu Bis
Showaab.