Oleh Timur
Lenk
عقيدتنا
أن الله قديم أزليٌّ، لا يُشْبِهُ شيئا ولا يشبهه شىء، ليس له جهة ولا مكان، ولا
يجري عليه وقتٌ ولا زمان، ولا يقال له أين، كان ولا مكان، كوَّن المكان، وهو الآن
على ما عليه كان، هذا مذهب أهل السنة
Aqidah kita adalah
sesungguhnya Allah maha dahulu tanpa permulaan (azali), Allah tak menyerupai
sesuatu dan tak ada sesuatu yang menyerupai Allah, tak ada bagi Allah tempat
maupun arah, tak berlaku bagi Allah waktu dan zaman, tidak dikatakan bagi Allah
"dimana" , Allah ada tanpa tempat, Allah yang menciptakan tempat, dan sekarang
Allah masih seperti dahulu tanpa bertempat , Allah ada tanpa berubah, inilah
madzhab Ahlussunnah.
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله وصلى الله على رسول الله وسلم وبعد
قال
الله تعالى : (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا) (سورة مريم : 65)
“Engkau tidaklah menemukan
yang serupa dengan-Nya (Allah)”. (QS. Maryam: 65). Sesungguhnya keyakinan bahwa
Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang
yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah;
kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah (golongan yang
selamat).
Dalil atas keyakinan
tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah:
(
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ) (سورة الشورى: 11)
“Dia (Allah) tidak
menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang
menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang
paling jelas dalam al-Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak
menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah)
terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi
menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai
batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang
dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jism). Benda yang terakhir ini terbagi
menjadi dua macam;
1. Benda Lathif; benda yang
tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan
sebagainya.
2. Benda Katsif; benda yang
dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain
sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda
adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah,
duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa
Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard,
juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan
apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil
bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat
dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian
berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu
yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya
dalam dimensi tersebut.
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ: "كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ" (رواه البخاري
والبيهقي وابن الجارود)
Rasulullah Shallallahu
'Alayhi Wa Sallam bersabda: “Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum
ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn
al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa
Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya)
bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'arsy, langit,
manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum
terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia
tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah
adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Maka sebagaimana dapat
diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya
tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah
setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya
Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib -semoga
Allah meridlainya-:
"كَانَ
اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ"
"Allah ada (pada azal) dan
belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap
seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur
al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Al-Imam al-Bayhaqi (w 458
H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata:
"Sebagian sahabat kami
dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah
shalllallahu 'alayhi wa sallam:
قالَ
رَسُوْلُ الله: "أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىءٌ وَأنْتَ الْبَاطِنُ
فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىءٌ" (رَوَاهُ مُسلم وَغيـرُه)
"Engkau Ya Allah azh-Zhahir
(yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu apapun di
atas-Mu, dan Engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu
apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di
atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa
tempat".
Al-Imam as-Sajjad Zain
al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H)
berkata:
"أنْتَ
اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ" (رواه الحافظ الزبيدي)
"Engkaulah ya Allah yang
tidak diliputi oleh tempat". (Diriwayatkan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf
as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil
mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan
Rasulullah).
Adapun ketika seseorang
menghadapkan kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak
menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah
kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana
apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka'bah, hal ini tidak
berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka'bah adalah kiblat
shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal
Jama'ah seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam kitabnya al-Ghun-yah,
al-Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi
(w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al-Imam Taqiyyuddin as-Subki (w
756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi.
Al-Imam Abu Ja'far
ath-Thahawi -Semoga Allah meridlainya- (w 321 H) berkata:
"تَعَالَـى
(يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ
وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ
الْمُبْتَدَعَاتِ"
"Maha suci Allah dari
batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama
sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan
dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah,
hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah
penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak seperti
makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut".
Perkataan al-Imam Abu
Ja'far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama Salaf
(orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari
perkataan tersebut bahwasannya bukanlah maksud dari Mi'raj bahwa Allah berada di
arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya.
Melainkan maksud Mi'raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan
kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al
Qur'an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak boleh
dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di
mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua
arah penjuru. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -Semoga Allah
meridlainya- berkata:
"إنَّ
اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ " (رواه البيهقي في الأسماء والصفات)
"Sesungguhnya Allah ada
tanpa tempat" (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat).
Al-Imam al-Asy’ari juga berkata: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu
tempat atau di semua tempat".
Konsensus
Para Sahabat dan Imam : “Allah Ada Tanpa Tempat”
Berikut ini adalah
pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta
ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari
menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak
mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lebar
halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah
kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang
menyalahinya.
1. Al-Imam ‘Ali ibn Abi
Thalib (w 40 H) berkata:
كَانَ
اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ
“Allah ada tanpa permulaan
dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap
sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh
al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
Beliau juga
berkata:
إنّ
اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا
لِذَاتِهِ
“Sesungguhnya Allah
menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan
kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh
al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
2. Seorang tabi’in yang
agung, Al-Imam Zainal-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94
H) berkata:
أنْتَ
اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ
“Engkau wahai Allah yang
tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam
Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380). Juga
berkata:
أنْتَ
اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا
“Engkau wahai Allah yang
maha suci dari segala bentuk dan ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla
az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h.
380).
3. Al-Imam Ja’far as-Shadiq
ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H)
berkata:
مَنْ
زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ
لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ
مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا (أىْ
مَخْلُوْقًا)
“Barang siapa berkeyakinan
bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu
maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu
maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia
terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-”
(Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h.
6).
4. Al-Imam al-Mujtahid Abu
Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka,
perintis madzhab Hanafi, berkata:
وَاللهُ
تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ
بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.
“Allah ta’ala di akhirat
kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga
dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya,
bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan
Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga,
tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)”
(Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali
al-Qari, h. 136-137). Juga berkata :
قُلْتُ:
أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ
مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن
وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah
engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa
permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada
tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu
apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath karya
Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid
al-Kautsari, h. 20). Juga berkata :
وَنُقِرّ
بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ
يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ
وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ
عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ
مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ
الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Dan kita mengimani adanya
ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an-
dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut da tidak
bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan
lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada
sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan
berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk
dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di
manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat
al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad
Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam
Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Perkataan Imam Abu Hanifah
ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum
Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyyah
sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada
mereka: Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat
dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah
seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari
para ulama tabi’in, dan para ulama tabi’in tersebut telah mengambil pelajaran
dari para sahabat Rasulullah.
Adapun ungkapan Imam Abu
Hanifah yang menyebutkan bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata “Aku
tidak mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi !?”, demikian pula
beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu
arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”, hal ini karena kedua ungkapan
tersebut menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu
Hanifah mengkafirkan orang yang mengatakan demikian. Karena setiap yang
membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga
baharu. Maksud ungkapan Imam Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang
disalahpahami sebagian golongan.