KENAPA KITA HARUS BERMADZHAB DAN TAQLID PADA ULAMA
Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari
kata zahaba - yazhabu - zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim
zaman dari akar kata tersebut.
Sedangkan secara istilah, mazhab
adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari
kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudnya di sini
adalah mazhab fiqih.
Adapula yang memberikan pengertian mazhab
fiqih adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang
ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang
menghantarkanny a memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.
Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah serta
orang-orang yang sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang-orang
yang bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram.
Mereka juga mengkategorikan pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan madzhab-madzhab
lain yang berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan ta’addud
asy-syari’ah (syariat yang berbilangan) yang terlarang dalam agama.
(Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf
Ummah. )
Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa
madzhab empat adalah bid'ah yang di munculkan dalam agama dan hasil
pemikiran madzhab bukan termasuk dari bagian agama. Bahkan ada juga yang
mengatakan dengan lebih ekstrim bahwa kitab para imam-imam (kitab
salaf) adalah kitab yang menjadi tembok penghalang kuat untuk memahami
al-Qur'an maupun Sunnah dan menjadikan penyebab mundur dan bodohnya
umat.
Namun yang aneh dan lucu, justru mereka kerap kali mengutip pendapat-pendap at
ulama yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah,
al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Syah
Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh
Ibnu Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu
Khuzaimah, as-Suyuthi, al-Khathib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah,
Ibnu Qayyim, Ibnu Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka
berkeyakinan bahwa ulama-ulama di atas adalah orang yang salah memilih
jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya .
Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani dengan ulama-ulama di
atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia mengharamkan
taqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga akan masuk neraka karena
melakukan dosa bertaqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga bodoh tentang
al-Qur'an dan Sunnah Rasulallah menurut mereka? Sebuah pertanyaan yang
tidak butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan
fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik yang
berlebihan.
Jika di amati dengan seksama, orang-orang yang
menolak taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits
dari Shahih al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa
haditsnya shahih karena telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits
terkenal yaitu al-Bukhari dan Muslim. Bukankah hal tersebut juga bagian
dari bertaqlid dalam bidang hadits? Bukankah juga, al-Bukhari adalah
salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafi'i)? Kenapa mereka ingkar
sebagian dan percaya sebagian? Lalu ketika mereka mengikuti pemikiran
Nashiruddin al-Albani, al-Utsaimin, Ibnu baz dan lain-lain dengan sangat
fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa?
Menurut orang-orang
yang anti taqlid bahwa orang Islam harus berijtihad dan mengambil hukum
langsung dari al-Qur'an dan Sunnah tanpa bertaqlid sama sekali kepada
siapapun. Pemahaman seperti ini muncul akibat dari kebodohan mereka
memahami dalil al-Qur'an dan Sunnah serta lupa dengan sejarah Islam
terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga tidak pernah berfikir bahwa
mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan menghancurkan agama
dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk memahami
hukum dengan ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi
kriteria mujtahid).
Yang sangat lucu di zaman sekarang,
terutama di Indonesia, banyak orang yang membaca dan mengetahui isi
al-Qur'an dan Hadits hanya dari terjemah-terjem ah,
lalu mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama (mujtahid) dan
ulama-ulama salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka semua
sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon yang
tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka.
Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi seorang mujtahid
(punya kapasitas memahami hukum dari teks al-Qur'an maupun Hadits secara
langsung) harus memenuhi kriteria berikut: handal dibidang satu persatu
(mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak
(sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf
dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma'na-ma'na huruf istifham (kata
tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al-Qur'an, asbab
nuzul (latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau
lafazh al-Qur'an yang dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih,
umum dan khusus, muthlak dan muqayyad, fahwa al-Khithab, khithab
at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga
handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah
hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir terhadap
bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriter ia di atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.
Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang ijtihad telah
tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai hari
kiyamat. Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu
masuk derajat mujtahid seperti asy-Syafi'i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad
bin Hanbal dan lain-lain. Adakah doktor-doktor syari'at zaman sekarang
yang dapat di sejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti
Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di
sejajar dengan mereka, lalu kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri
berijtihad?
ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar:
1. Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43:
فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”
Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi
orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti)
orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat
tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang
yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali hukum]) untuk
mengikuti orang alim yang mujtahid.
senada dengan ayat diatas didalam Qur`an surat At-Taubah ayat 122;
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( 122)
2. Ijma’
Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahab at
Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semua
adalah ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dan
sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tapi mereka ada yang
memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit dibandingkan
dengan jumlah semua sahabat. Di antaranya juga ada mustafti atau
muqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath)
dan shahabat golongan ini jumlahnya sangat banyak.
Setiap shahabat
yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin
Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar dan lain-lain saat
memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.
3. Dalil akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah,
pilihannya hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan berijtihad sendiri
sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti
pendapat mujtahid.
Jika memilih yang awal, maka itu sangat
tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari,
berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya
dan mempelajari perangkat-peran gkat
ijtihad yang akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan profesi
ma’isyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak. Maka
tidak salah kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu kitabnya dengan
“Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling berbahaya yang dapat
menghancurkan agama”.
Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid. (Allamadzhabiya h hlm. 70-73, Takhrij Ahadits al-Luma’ hlm. 348. )
Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah:
1. Wajib bagi orang yang tidak mampu ber-istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits.
2. Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat,
sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yang
memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah,
Malik, asy-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud
azh-Zhahiri dan lain-lain.
Lalu menjawab perkataan empat imam
madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah
sebagaimana yang diterangkan ulama-ulama, bahwa larangan tersebut
ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad dari Al-Qur’an dan
Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib
bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. (Al-Mizan
al-Kubra 1/62. )
Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam
al-Ahkam yang mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksudkan menurut
beliau adalah untuk orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan
al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Balighah
[1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang menukil pendapat Ibnu Hazm
tentang keharaman taqlid. ( Al-la Madzhabiyyah hlm. 133 dan ‘Iqdul Jid
fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hlm. 22. )
Dalam keyakinan
orang-orang yang bermadzhab, antara taqlid dan ittiba’ (mengikuti
pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa atau
istilah yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang yang anti taqlid,
meyakini adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga jika
mereka mengikuti pendapat ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain maka menurut mereka, itu
adalah bagian dari ittiba’ dan bukan taqlid. Karena menurut pehaman
mereka, taqlid adalah mengikuti imam madzhab yang akan selalu diikuti,
meski imam madzhab tersebut salah atau bisa di sebut taqlid buta.
Sedangkan ittiba’ tidaklah demikian. Sebuah statemen dangkal dan tidak
berdasar sama sekali.
Mengenai masalah perbedaan dua kata diatas,
pernah terjadi dialog antara Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dengan
seseorang tamu yang datang kepada belaiau. Tamu tersebut berkeyakinan
seperti di atas bahwa ada perbedaan antara taqlid dan ittiba’. Kemudian
Dr. al-Buthi menantang tamu tersebut untuk membuktikan apa perbedaan
antara dua kata tersebut, apakah secara bahasa atau ishtilah dengan di
persilahkan mengambil referensi dari kitab lughat ata kamus bahasa Arab.
Namun, tamu tersebut tidak mampu membuktikan pernyataannya tersebut.
Sama seperti apa yang di lakukan oleh Dr. Al-Buthi, kami juga menantang
orang-orang yang mengharamkan taqlid lalu mereka juga mengambil
pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan
lain-lain dalam tulisan dan pidato-pidato mereka, apakah hal itu
termasuk taqlid atau ittiba'? Jika mereka mengatakan bukan taqlid, maka
klaim tersebut perlu di buktikan secara ilmiyyah bukan asal bicara untuk
membodohi umat.
Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyy ah, sebuah karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti-madzhab dengan argumen-arguman
yang kuat. Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan yang
terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Muhammad Said Ramadhan
al-Buthi.
Sekilas tentang 4 Mazhab
1. Mazhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah: Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Diahirka n
pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada
tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih
dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah An Nu’man.
Abu Hanifah adalah
seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar
kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak
belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’
Maula Ibnu Umar.
Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpul an pendapat-pendap at yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendap at
yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan
pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah
hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak (Ahlu Ra’yi).
Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.
Dasar-dasar Mazhab Hanafi
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok,
yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas,
Al-Istihsan, Ijma’ dan Uruf.
Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
a. Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
b. Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
c. Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
d. Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari (….-204 H).
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke
negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi
merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.
Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendap at yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.
Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu
Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam
kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam
Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.
Imam
Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya
ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula
Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri.
Adapun yang menjadi gurunya
dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam
(tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
Dasar-dasar Mazhab Maliki
Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok (dasar) yaitu:
• Nashshul Kitab
• Dzaahirul Kitab (umum)
• Dalilul Kitab (mafhum mukhalafah)
• Mafhum muwafaqah
• Tanbihul Kitab, terhadap illat
• Nash-nash Sunnah
• Dzahirus Sunnah
• Dalilus Sunnah
• Mafhum Sunnah
• Tanbihus Sunnah
• Ijma’
• Qiyas
• Amalu Ahlil Madinah
• Qaul Shahabi
• Istihsan
• Muraa’atul Khilaaf
• Saddud Dzaraa’i.
Sahabat-sahabat Imam Maliki dan Pengembangan Mazhabnya
Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah dan belajar pada Imam Malik ialah:
1. Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim.
2. Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim al-Utaqy.
3. Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi.
4. Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam.
5. Asbagh bin Farj al-Umawi.
6. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam.
7. Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad al-Iskandari.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah:
1. Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al-Qurthubi.
2. Isa bin Dinar al-Andalusi.
3. Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi.
4. Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami.
5. Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
6. Asad bin Furat.
7. Abdus Salam bin Said At Tanukhi.
Sedang Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Abdul Walid al-Baji
2. Abdul Hasan Al-Lakhami
3. Ibnu Rusyd Al-Kabir
4. Ibnu Rusyd Al-Hafiz
5. Ibnu ‘Arabi
6. Ibnul Qasim bin Jizzi
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki.
Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat
ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.
3.Mazhab Syafi’i.
Mazhab ini dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang
keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Beliau lahir di
Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu
Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama.
Guru Imam Syafi’i yang
pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i
sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal
Al-Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir; kemudian beliau
mempelajari hadits dan fiqh.
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam;
berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul
Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidupdi Irak. Dan yang kedua
ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di
Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan
Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu
Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh
yang menjadi induk dari mazhabnya ialah: Al-Um.
Dasar-dasar Mazhab Syafi’i:
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum sysra’ adalah:
1. Al-Kitab.
2. Sunnah Mutawatirah.
3. Al-Ijma’.
4. Khabar Ahad.
5. Al-Qiyas.
6. Al-Istishab.
Ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi'i, antara lain :
* Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari
* Imam Bukhari
* Imam Muslim
* Imam Nasa'i
* Imam Baihaqi
* Imam Turmudzi
* Imam Ibnu Majah
* Imam Tabari
* Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
* Imam Abu Daud
* Imam Nawawi
* Imam as-Suyuti
* Imam Ibnu Katsir
* Imam adz-Dzahabi
* Imam al-Hakim
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di : Libia,
Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan,
Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India,
Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.
4. Mazhab Hambali.
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin
Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan
wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak
berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara
lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun
sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Dasar-dasar Mazhabnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:
1. Nash Al-Qur-an atau nash hadits.
2. Fatwa sebagian Sahabat.
3. Pendapat sebagian Sahabat.
4. Hadits Mursal atau Hadits Doif.
5. Qiyas.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.
Pengembang-peng embang Mazhabnya
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1. Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama
Al-Atsram; dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
2. Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al-Marwazi yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil Hadis.
3. Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi
dan termasuk ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil
Fiqhi.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab Hambali, di antaranya:
1. Muwaquddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi yang mengarang kitab Al-Mughni.
2. Syamsuddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
3. Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
4. Ibnul Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
Daerah yang Menganut Mazhab Hambali.
Awal perkembangannya ,
mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang
sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa
pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi.
Dan masa sekarang ini
menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut
terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
والله أعلم بالصواب
Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita. —