Bulan Ramadhan Insya Alloh akan ada kajian kitab Hikam.
siapakah pengarang kitab Hikam?mari kita baca biografi beliau
Kelahiran dan keluarganya
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah
Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Athoillah
al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa
Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah
Kahlan yang berujung pada Bani Yastrib bin Qohton, bangsa Arab yang
terkenal dengan Arab al-Aribah. Kota Iskandariah merupakan kota
kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan
kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun
kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan
menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia
dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah -sebagaimana
diceritakan Ibnu Athoillah dalam kitabnya Lathoiful Minan Ayahku
bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan
al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah, kalian
telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui
jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan
dinding.
Keluarga Ibnu Athoillah adalah keluarga yang terdidik
dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang
ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama
tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar
al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Athoillah memang salah satu
kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh
banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa
arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para
Auliya’Sholihin .
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Athoillah tumbuh sebagai
seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya
terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya
secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu Athoillah menceritakan dalam kitabnya Lathoiful minan Bahwa
kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka
sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Athoillah yaitu
Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih
Iskandariah (Ibnu Athoillah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan
ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang
kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy
tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan
mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan
dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak,, aku
mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak
musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek
yang alim fiqih (kakek Ibnu Athoillah) demi orang yang alim fiqih ini.
Pada akhirnya Ibn Atho’illah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi
besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni
fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku
biografi menyebutkan riwayat hidup Athoillah menjadi tiga masa :
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu
agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para
alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh
pemikiran-pemik iran kakeknya
yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu
fiqih, dalam hal ini Ibnu Athoillah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk
orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi
murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli
dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang
besar, sementara dzahir syariat menentangnya.
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu
kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan
gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan
kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’
tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati.
Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini. Ada cerita
menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn
Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya
dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu
yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama
aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya,
melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya.
Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau
tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa
sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah
syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas
semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini
mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia
telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”. Maka
demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin
tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia
punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan
masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk
sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani
memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang
guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku
menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk
meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang
terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous
aku mempunyai kawan namanya IbnuNaasyi. Dulu dia adalah pengajar di Qous
dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah
kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku, apakah sebaiknya
aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”.
Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu
tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah
padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk
diriku beliau berkata: Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin.
Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah
ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar
uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa
mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus
angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja
melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan
oleh Allah”.
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak
kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan
kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini
adalah masa kematangan dan kesempurnaan IbnuAthoillah dalam ilmu fiqih
dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah
menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir
dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu
mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang
sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia
memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju
rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan
pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Athoillah,
ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi
orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya
seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya
cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada
dalam rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu Athoillah
sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi
penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban
di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke
Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar. Ibnu Hajar
berkata: “Ibnu Athoillah berceramah di Azhar dengan tema yang
menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkat an orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat
dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau
pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada
diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Athoillah adalah orang yang
sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang
banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai
pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli
tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah
di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi
seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah
Tajuddin al-Subki, pengarang kitab Tobaqoh al-syafiiyyah al-Kubro.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan
sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu,
mantiq, falsafah sampai khitobah.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan:
SyaikhKamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca
Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang
celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur
Ibn Athoillahdengan keras:
“Wahai Kamal tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan
karomah agung seperti iniIbnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat
dengan IbnuAthoillah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah
pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau
berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillahsedang
thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di
Masa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah
sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak
mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban
mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini
bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab :
“Tuanku saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah
ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja
Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya.
Ibn Atho’illah wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun
tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus
beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun
demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad
mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan
sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman
al-Qorrofah al-Kubro. —