Masalah Qunut pada sholat
shubuh termasuk persoalan-persoalan fiqih cabang yang tidak sepatutnya
menjadikan kaum muslim terpecah belah dan saling bermusuhan karenanya. Dalam
menjelaskan masalah ini, para ahli fiqih berbeda pendapat tentangnya.
Para ulama madzhab Syafi’i
dan madzhab Maliki Sunnah. Sementara, para ulama madzhab Hanafi dan Madzhab
Hambali berpendapat tidak ada qunut pada shalat subuh.
Imam Nawawi berkata,
“Kketahuilah bahwa qunut pada shalat subuh itu disyariatkan menurut madzhab
kami. Hukumnya sunnah muakkad, karena hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin
Malik Ra,
مَا
زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ
صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah Saw senantiasa
melakukan qunut pada shalat subuh sampai Beliau meninggalkan dunia”
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad,
vol. III, hal 162; Abdurrazaq, Mushannaf Abdurrazzaq, vol. III, hlm. 110;
Daraquthni, Sunan Daruquthni, vol. II, hlm. 39; dan disebutkan oleh Al-Haitsani
di dalam Majma’ Al-Zawaid, vol. II, hlm. 139; serta Hakim di dalam Al-arba’in,
dan dia berkata, “Hadits shahih; para periwatnya seluruhnya adalah orang-orang
yang tsiqah.”)
Mereka berkata seandainya
meninggalkannya, shalatnya tidak batal. Akan tetapi, ia harus melakukan sujud
sahwi, baik ia meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa.”
Berkenaan dengan hukum
qunut shalat subuh, banyak perkataan-perkataan dan bentuk-bentuk qunut yang
dikutip dari sebagian sahabat dan kalangan tabi’in. Di antaranya adalah pendapat
Ali bin Ziyad uang menyatakan wajib melakukan qunut pada shalat subuh. Jadi
apabila dia meninggalkannya, shalatnya batal.
Dan boleh dilakukan sebelum
ruku’ atau sesudahnya pada roka’at kedua. Akan tetapi, yang disunnahkan dan
lebih utama adalah melakukannya sebelum ruku’ setelah selesai membaca ayat,
tanpa bertakbir sebelumnya. Hal itu, karena padanya terkandung unsur toleransi
kepada orang yang masbuq. Tidak dibedakan antaranya dengan dua rukun shalat
(yang ditandai dengan takbir). Dan qunut telah menjadi ketetapan yang diamalkan
pada zaman Umar Ra dengan kehadiran para sahabat.
Qadhi Abdul Wahhab
al-Baghdadi berkata, “Diriwayatkan dari Abu Raja Al-Atharidi bahwa dia berkata,
“Pada awalnya qunut itu dilakukan setelah ruku’. Lalu Umar menjadikannya sebelum
ruku’ agar orang yang mengejar shalat (jama’ah) bisa mendapatnkannya. Dan
diriwayatkan bahwa golongan Muhajirin dan Anshar meminta hal itu kepada Utsman.
Dia pun menjadikannya sebelum ruku’ karena didalam hal itu terdapat faidah yang
tidak didapatkan apabila dilakukan sesudahnya, yaitu yang tidak didapatkan
apabila dilakukan sesudahnya, yaitu posisi berdiri yang lama sehingga orang yang
terlambat datang bisa mendapatkan raka’at. Maka sebelum ruku’ lebih utama dengan
alasan itu, terlebih lagi pada shalat subuh.
Menjadi rajih dan kuat
pendapat Madzhab Syafi’i mengenai qunut karena kuatnya dalil-dalil mereka
sebagai berikut:
• Hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah Ra, dia berkata, “Rasulullah Saw apabila mengangkat kepalanya
dari ruku’ pada saat shalat subuh di raka’at yang kedua, beliau pun berdo’a
dengan do’a ini: “Ya Allah, tunjukilah aku di dalam golongan orang-orang yang
Engkau beri petunjuk....(hingga akhir).” Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan
ungkapan, “Maka, bagi-Mu pujian atas apa yang Engkau tetapkan.” Dan, Thabrani
menambahkan, “Dan tidak mulia orang yang menentang-Mu.”
HR. Hakim, Al-Mustadrak,
vol. IV, hlm. 298; Baihaqi, Al-Sunan Ash-Shugra vol. I, hlm. 276; Thabrani,
Al-Mu’jam Al-Awsath, vol. VII, hlm. 232; dan disebutkan oleh Ash-Sha’ani, Subul
Al-Salam, vol. I, hlm. 186-187
• Hadits Anas bin Kalik Ra
bahwa, “Rasulullah Saw senantiasa melakukan qunut pada sahalat subuh sampai
beliau meninggalkan dunia.” ¹ Dan Annas ditanya, “Apakah Rasulullah Saw
melakukan qunut pada shalat subuh?” Dia menjawab, “Benar.” Ditanyakan lagi
kepadanya, “Apakah sebelum ruku’ atau setelah ruku’?” Dia menjawab, “Setelah
ruku’.” ²... Lihat Selengkapnya
¹ HR. Ahmad, Musnad Ahmad,
vol. III, hlm. 162; Abdurrazzaq, Mushannaf Abdurrazzaq, vol. III, hlm. 110;
Daraquthni, Sunan Daraquthni, vol. II, hlm. 39; dan disebutkan oleh Al-Haitsami
di dalam Majma’ Az-Zawaid vol. II, hlm. 139; serta Hakim di dalam Al-Arba’in,
dan dia berkata, “Hadits Shahih; para periwayatnya seluruhnya adalah orang-orang
yang Tsiqah.”
² HR. Muslim, Shahih
Muslim, vol. !, hlm. 486; dan Abu Daud, Sunan Abu Daud, vol. II, hlm.
68
• Hadits yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah Ra; dia berkata: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling
dekat diantara kalian dalam shalat dengan Rasulullah Saw”. Dan Abu Hurairah
melakukan qunut pada raka’at terakhir shalat subuh setelah dia mengucapkan
sami‘allahu liman hamidah, berdoa bagi orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan, dan melaknat orang-orang kafir.
HR. Baihaqi, As-Sunan
Ash-Shugra, vol. I, hlm. 277, cet. Maktabah Al-Dar
• Dari Abdullah bin Abbas
Ra, dia berkata, “Rasulullah Saw mengajarkan kepada kami doa yang kami panjatkan
didalam qunut pada shalat subuh:
“Ya Allah berilah petunjuk
kepada kami di dalam golongan orang yang Engkau berikan petunjuk; sehatkan kami
dalam kelompok orang yang Engkau beri kesehatan; peliharalah kami dalam golongan
orang yang Engkau pelihara; limpahkan berkah bagi kami pada apa yang Engkau
berikan; dan lindungilah kami pada apa yang Engkau memutuskan dan tidak
diputuskan atas-Mu; tidak menjadi hina orang yang membela-Mu; Mahasuci Engkau,
Tuhan kami, dan Mahatinggi.”
HR. Baihaqi, As-Sunan
Al-Kubra, vol. II, hlm. 210, cet. Maktabah Al-Baz
• Dan pada hadits,
“Rasulullah Saw apabila mengangkat kepalanya dari raka’at yang kedua, Beliau pun
mengangkat kedua tangan dan berdoa dengan do’a ini: Ya Allah, tunjukilah aku di
dalam golongan orang-orang yang Engkau beri petunjuk.” Didalam riwayat lain,
“Bahwa apabila Beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh di
raka’at yang terakhir, Beliau melakukan qunut.”
Imam Syuyuthi, al-Jami’
al-Shaghir, vol. I, hlm. 157, cet. Thair al-Ilmi. Syaikh al-Albani berkata,
“Hadits shahih.” Lihat, Al-Albani, Shahih al-Jami’, 4730.
Adapun lafaz doa qunut,
maka yang dipilih adalah apa yang diriwayatkan dari Hasan bin Ali Ra, dia
berkata, “Rasulullah Saw mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku ucapkan
pada shalat witir,
“Allahummah
dina fiman hadait, Wa afina fiman afait, Wa tawal lana fiman tawal lait, Wawaba
riklana fi ma a’tait, Waqina syar rama qadait, innaka taqdi wala yukda alaik,
inna hu laa yazillu man walait, Taba rakta rabbana wata alait.”
“Ya Allah berilah petunjuk
kepada kami di dalam golongan orang yang Engkau berikan petunjuk; sehatkan kami
dalam kelompok orang yang Engkau beri kesehatan; peliharalah kami dalam golongan
orang yang Engkau pelihara; limpahkan berkah bagi kami pada apa yang Engkau
berikan; dan lindungilah kami pada apa yang Engkau memutuskan dan tidak
diputuskan atas-Mu; tidak menjadi hina orang yang membela-Mu; Mahasuci Engkau,
Tuhan kami, dan Mahatinggi.”...
Para ulama menambahkan
padanya, “Wala yaizzu man adait”. “Dan tidak mulai orang-orang yang
menentang-Mu,”
Serta : “Falakal hamdu ala
maa qadait astaghfirka wa atuubu ilaik”. “Maka, bagi-Mu pujian atas apa yang
Engkau tetapkan; aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat
kepada-Mu”.
Sebelum : “Taba rakta
rabbana wata alait.”. “Mahasuci Engkau, Tuhan kami, dan Mahatinggi.”
Dalam Raudlah Ath-Thalibin,
Imam Nawawi berkata, ”Para sahabat kami (ulama madzhab) berkata, “Tidak mengapa
dengan tambahan ini.” Abu Hamid, al-Bandaniji, dan lain-lain berkata dalam
Nihayat Al-Muhtaj, vol. I, hlm. 503 mengatakan, “Sunnah.”. Dan disunnahkan agar
dia mengucapkan setelah doa tersebut, “ Ya Allah, limpahkan shalawat kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad, serta salam sejahtera”. Dan itu menurut pendapat
yang shahih dan Masyhur.
Berdasarkan keterangan yang
telah dikemukakan, bahwa pendapat Madzhab Syafi’i kuat dan rajih, yaitu qunut di
dalam shalat subuh itu sunnah; disunnahkan bagi orang yang meninggalkannya agar
melakukan sujud sahwi untuk menggantikannya. Akan tetapi, tidak batal shalat
dengan meninggalkannya. Dan Allah Swt Maha Tinggi lagi Maha
Mengetahui.
(dikutip dari : Al-Bayan
Al-Qawim li Tashih Ba’dhi Al-Mufahim, Syekh Ali Jum’ah, Mufti Mesir).
TAMBAHAN :
Katanya tentang hadist
bahwa rasulullah saw. meninggalkan doa qunut itu maksudnya bukan qunutnya
melainkan hanya sebagian doanya yang ada pada qunut nazilahnya (tentang laknat
atas suatu kaum) ?
Ya,mungkin yang maksud
:
PERTAMA : Hadits shahih
riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas :
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى
أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ
“Rasulallah melakukan qunut
selama sebulan , mendoakan jelek kepada satu kelompok (salah satu kabilah dari
Bani Sulaim) kemudian tidak melakukan qunut lagi.”
Maksud hadits tersebut
adalah Rasulallah tidak lagi melakukan qunut atau doa untuk orang kafir dan
melaknatnya, bukan meninggalkan semua qunut, yang artinya Rasulallah masih tetap
melakukan qunut biasa. Ta’wil ini dilakukan untuk mengumpulkan hadist di atas
dengan hadits riwayat Anas bahwa “Rasulallah selalu melakukan qunut Shubuh
sampai beliau wafat” yang juga shahih secara jelas, maka wajib adanya jam‘u
dalilain (pengumpulan dua dalil). Penta’wilan ini dikuatkan riwayat al-Baihaqi
dari Abdurrahman bin Mahdi, dia mengatakan: “Rasulallah meninggalkan doa
laknat.”
Lebih jelas lagi, sebagai
penguat ta’wil di atas adalah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah
melakukan qunut setelah rukuk dalam shalatnya selama sebulan, mendoakan
seseorang kemudian tidak melakukan doa lagi.
كَانَ
إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ
الرُّكُوعِ
“Rasulallah ketika akan
mendoakan jelek kepada seseorang atau mendoakan baik untuk seseorang, maka
beliau akan qunut (berdoa) setelah rukuk.’”
KEDUA : Hadits riwayat dari
Anas dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah.
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنَتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا
الْقَوْمَ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ
“Rasulallah tidak melakukan
qunut kecuali apabila berdoa kebaikan untuk kaum atau mendoakan jelek pada suatu
kaum.”
Dengan hadits riwayat Ibnu
Khuzaimah dai Anas di atas, beberapa orang yang anti qunut Shubuh mendakwakan
bahwasannya hadits tentang qunut Shubuh bertentangan dengan hadits tersebut.
Pernyataan tersebut tidak benar, karena hadits tersebut berbicara tentang qunut
nazilah , bukan qunut Shubuh. Lantaran kata “yaqnutu” pada hadits tersebut
bermakna doa bukan bermakna qunut. Andai hadits tersebut berkaitan dengan qunut
Shubuh, tentu hadits ini menjadi dalil bagi Madzhab Hanafi dan Abu Yusuf tentang
tidak bolehnya melakukan qunut Shubuh, padahal dalil madzhab Hanafi dan Abu
Yusuf yang tidak mensyariatkan qunut Shubuh bukan berdasar hadits di atas.
Madzhab Hanafi, madzhab
Ahmad bin Hanbal dan Abu Yusuf mengambil dalil tentang tidak bolehnya
mengamalkan qunut Shubuh dengan hadits riwayat at-Tirmidzi dan lain-lain dari
Sa’ad bin Thariq berikut:
يَا
أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ أفَكَانُوا يَقْنُتُونَ
فِي الْفَجْرِ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ
“Wahai ayahku, engkau
shalat di belakang Rasulallah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, apakah mereka
semua melakukan qunut dalam shalat fajar ? Wahai anakku, itu adalah sesuatu yang
baru.”
Menanggapi hadits ini, para
ulama yang menetapkan qunut Shubuh memberikan jawaban bahwa ucapan Thariq
al-Asyja’i tersebut adalah dalam kapasitas ijtihad shahabat karena tidak
dinisbatkan sama sekali (marfu’) pada Rasulullah.