Oleh : Mbah
Jenggot
Bid’ah adalah perkara
teramat buruk dalam agama, yang Rasul telah mewanti- wanti kita jangan sampai
terjerumus ke dalamnya. Demikian pula para ulama’ al waritsatul anbiya,
sepanjang usia umat ini, terus mengingatkan dan membentengi umat dari bid’ah
yang amat tercela. Dan seharusnya masalah penting ini wajib untuk selalu
disampaikan dan diingatkan ketenah-tengah umat, mengingat besarnya bahaya
bid''ah dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Namun masalahnya menjadi
lain sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum muslimin – yang mereka
terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah melayangkan bid’ah kepada
saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit ulama’ –ulama’ yang mereka
hujat sebagai pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai pemancang bid’ah
ditengah-tengah umat. Hal ini terkadang hanya karena perbedaan amaliyah dan
pendapat fiqiyah. Atau disebabkan cara pendefinisian yang berbeda tentang apa
itu bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir begitu
saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja. Sebab yang namanya ulama itu
bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian, ketelitian serta
kematangan pemahaman akan masalah bid''ah dan pengertiannya ini menjadi krusial.
Lain halnya bila sebuah
masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama baik salaf
maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman Roy, Aliran nyeleneh Ahmad
Musadiq, acara melarung kerbau kelaut untuk buang sial, atau ajaran Lia
Aminuddin dan sebagainya, maka setiap kita harus lantang dalam menyampaikan ini
ke umat, agar mereka terbentengi dari bid’ah yang merupakan perbuatan yang
sangat tercela. Namun, jika suatu masalah dirumuskan berbeda oleh para ulama’
yang satu berkata A sedangkan yang lain berkata B, alangkah tidak bijaknya bila
kita saling menuding dan saling lempar kata bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan
musibah yang lebih besar kita timbulkan sebab pertikaian ini. Kita menjadi
pencaci, pembenci dan pengumpat kepada orang-orang yang justru Allah dan
Rasul-Nya memerintahkan kita untuk memuliakan mereka. Kita demikian mudah
menistakan segolongan kaum muslimin bahkan ulama’-ulama’ hanya karena mereka
berbeda definisi dalam masalah bid’ah.
Sehingga melalui tulisan
ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang masalah penting ini, agar jangan
mudah seseorang melontarkan kata bid’ah kepada saudaranya. Sebenarnya, masalah
ini telah diterangkan oleh ulama salaf dan khalaf sepanjang perjalanan usia umat
ini. Semoga Allah memudahkan kita menerima kebenaran, ditumbuhkan rasa kasih
sayang diantara kita, dan kita semoga Allah mengumpulkan kita dengan Nabi SAW di
syurga-Nya kelak. Amin.
PENGERTIAN
BID’AH
Arti
Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya ;
Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih
dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau mubdi’“[1]
Dalam al-Qur’an, langit dan
bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih
dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ
السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit
dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti
Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah
dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah melalui proses
penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak
pendapat-pendapat ulama berikut.
1.Ibnu Hajar al-Asqalani.
Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat"
adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus
maupun umum."[2]
2.Ibnu Taimiyyah. Beliau
berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa
dalil syar'i.[3]
3.Muhammad Rasyid Ridha.
Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran
Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]
Penjelasan
Definisi
Dari beberapa contoh
definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bid’ah
secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i.
Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas-
antara perkara agama dan perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan,
kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas.
Jika dikatakan bahwa Bid’ah
(perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul
pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak
termasuk Bid’ah yang tercela ?
Jika kita menggunakan
logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba kita perhatikan
baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat,
maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita
ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan
lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan
berikut.
- Dinamakan apa Bid’ah yang
sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak
sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai
syariat itu ?
Untuk menjawabnya, kita
lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.
MACAM-MACAM
BID’AH
Setelah nyata bagi kita,
bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan kita memilah-milah bid’ah, maka
sekarang kita simak perkataan Salafus-halih yang memberikan keterangan tentang
hal tersebut.
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ
السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah
yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah
bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah
tercela.”[5]
Atau penjelasan beliau
dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib
Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ
ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ
اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ
يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
‘Perkara-perkara baru itu
ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an,
Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara
baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang
disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Dari penjelasan Imam
Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan
syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut
Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut
Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji.
Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk
(sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik
(Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana
Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu
sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang
sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang
pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan.
Begitu seterusnya.
Jika kita masih mau
meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan
al-Imam an-Nawawi sebagai berikut : “Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu
yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at,
Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka
jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal
yang dianggap baik menurut syari’at maka iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika
perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka iapun
menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan
terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang
lima”.[6]
Al-Imam an-Nawawi juga
membagi bid’ah menjadi lima macam :
1.Wajib. Contohnya, antara
lain, mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran,
penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis
ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah
mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis
agar dimengerti maknanya dan lain-lain.
2.Mandub (disukai).
Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an
dalam program CD dan lain-lain.
3.Haram (sesat). Contoh, Naik
haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai
selatan, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran
Nabi Isa) dan lain-lain.
4.Makruh. Contoh, berwudhu’
dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5.Mubah. Contohnya sangat
banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum
agama.
Demikianlah arti
pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar
bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu
imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[7]
Coba perhatikan, kedua
ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah menjadi beberapa klarifikasi. Jika
kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya menemukan dua hal; perintah
dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau mungkin
sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar
makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila dipandang
dengan cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan
an-Nawawi.
Dengan demikian, kami rasa
tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah
Hasanah adalah termasuk golongan ahli Bid’ah Dhalalah.
Bid’ah Dhalalah
bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi
dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin. Rasulullah SAW telah memberitahukan
bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan
pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah
membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan
Bid’ah Hasanah.
Bila kita menafikan
(meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan
mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama
Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukan keduanya.
Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para Sahabat Nabi
dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW justru pernah
melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an.
Kitab Hadits, seperti
Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul pada zaman Tabi’in.
Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits, namun mereka tetap
membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan bercampurnya ayat al-Qur’an dan
Hadits pada akhirnya mudah dihindari dengan hadirnya peralatan tulis yang
semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat
Hadits Nabi.
Demikian pula Ilmu
Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah Bid’ah yang
tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah
Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan menjaga dan memahami
al-Qur’an dan Hadits.
Demikian pula Taraddhi
(ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah meridhainya’) untuk sahabat
Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh
Sahabat. Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh
Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak memerintahkan Taraddhi untuk sahabat
Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan
mereka pada para Sahabat Nabi.
Demikian pula dengan
Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada hand phone.
Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua adalah Bid’ah, namun
Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat untuk kaum muslimin. Tidak
seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita tarik mundur
kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak dibukukan, apa
kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran masih bertebaran di
tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat RA yang hanya sebagian
dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi al-Quran, karena semua orang
akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan riwayatnya sendiri.
Demikian pula dengan
Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan membukukannya
karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula ilmu Mushthalah
Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah Hadits,
karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih.
Rasulullah SAW tahu bahwa
dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan, makanya beliau menganjurkan Sunnah
Hasanah (inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru terkadang juga
menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah
Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah berijtihad dalam urusan agama dan
masalah bid’ah.
PENJELASAN
HADITS-HADITS TENTANG BID’AH
Ketika sebagian orang
menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu
berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i,
Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah
Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan
al-Qur’an dan Hadits.
Penah terjadi dialog
menarik. Berikut kami kutip dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk
wakil kami.
A : Kami tidak menjelaskan
pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf
juga.
B : Ulama’ salaf yang mana
yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu
Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas
dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih
perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang
dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari
Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan
adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru
seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan
Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman
Nabi?
A : Itu bukan
bid’ah
B : Lantas di sebut apa?
Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari
agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan
ketinggalan zaman.
A : (Diam).. Baiklah,
tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda
jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah
Dunia.
B : Nah, memang seharusnya
demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani
dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia
kalian.”
B : Hadits tersebut bukan
hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut,
namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi
‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan
Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita
berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama
Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda:
Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di
zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa
As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting-
kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda
mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
A : Terdiam tidak
menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin
ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar
dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya.
Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana
lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda
saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat
ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan
ulama Anda sendiri.
Orang yang gemar
melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah
memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada
satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan
tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan
mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita
kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala
perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang
melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah
dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang
tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti
itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai
perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk
melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap
hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar,
syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau
melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas
adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun
akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak
melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak
dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan
hukum) yang keliru.
Karena tidak-melakukan-nya
Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk
‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan
sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah mereka yang
menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah
Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa
merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar berkata:
“Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu
dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang
mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang
diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”
Ketika kita mengemukakan
pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih
utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa
pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan
berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah
bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah, mari kita telaah
Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka
berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat
dengan akal atau hawa nafsu.
HADITS
PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW
bersabda:
كُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan
(muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan
Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam
Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah
kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan
dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu
saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah
juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا
فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً
ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ
اللهِ
“Dan kami jadikan di hati
mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang
mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu)
kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri
Azmatkhan : Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai
Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut
sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk
membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam
mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan
Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut
Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari
kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud
adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:
1.Pertama, Rahbaniyah disebut
dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa
kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang
keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan
memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu
justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah
berikan pada Hawariyun.
2.Kedua, Allah SWT berkata
“Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang,
melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa
Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau
dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak
bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka
berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian
meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka
untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan
upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata:
Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang
yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia
merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ
النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat :
2)
Mereka menyalahkan orang
yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih
mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan
termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang
meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah
(Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta
sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan
sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan
oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan
Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan
pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu.
Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya
mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia
Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah
pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja
bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat
“Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh
berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa
kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi
tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Di antaranya:
1. Allah SWT
berfirman:
فَلَمَّا
نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى
إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka
melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan
pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira
dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am :
44)
Meskipun Allah SWT
menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap
ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak
pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala
sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا
السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ
أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ
غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah
milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu,
karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan
paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT
mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada
pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam
ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja
membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman
:
تُدَمِّرُ
كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ
كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala
sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan
lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi
Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT
menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya,
yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur. Allah berfirman
:
إِنِّيْ
وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ
عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23).
Meskipun Allah SWT
menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya,
karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun
kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas
membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti
“semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab
dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal
asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin”
dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan
dalil-dalil yang jelas.
Selain itu, banyak pula
ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun
sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam
penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku
dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan
kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish
(membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak
contoh-contoh berikut ini.
1. Allah
berfirman:
مَنْ
كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang
menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS.
Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat
diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan
itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan
itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan
yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut
ini:
وَللهِ
الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ
لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu
hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi
orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8).
Ternyata ayat ini
menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang
mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda.
Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut
milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita
tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca
ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul
serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan
demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ
وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا
وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan
apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam,
kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini menyatakan bahwa
orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau
ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan
dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka
disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang
oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan
mereka.
3. Rasulullah SAW.
bersabda:
“Orang yang menunaikan
shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk
neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa
orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini
dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan
dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur,
maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya biji hitam
ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali
mati”[10].
Para mufassirin telah
menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada
sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit”
(bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat
yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
HADITS
KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda
:
مَنْ
أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat
perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka
ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna
Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan
setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada
kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna
dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut
ini:
1. “Barang siapa yang
membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber
darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang
membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia
tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan
berkata : “Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas
akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu
masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak
bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita
juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk
memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik
Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap
tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi
katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber
dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang
dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang
bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud
dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari
syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat
malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu
diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan
orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama
itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal
baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak
bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini
diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya
menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif
(memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan
menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak
sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para
sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya
berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang
bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab
syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum
pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau
mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan
tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf.
Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya
pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran
asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya.
Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan
karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang
harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang
ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya
sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan
tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah
kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan
ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya
hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]
Agar lebih jelas lagi, mari
kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber agama atau dalil baik umum maupun
khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama
berikut ini.
Amalan
Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU (Tidak Ada Di
Zaman Nabi ) DAN SUMBERNYA *
1.Mengumpulkan Al-Qur’an
dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum muslimin maka
Allah akan memudahkan urusannya.”
2.Memberi titik dan harakat
pada mush-haf Al-Qur’an
3.Membaca doa-doa bervariasi
dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina) Hadits
“Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka
perbanyaklah doa.”
4.Menyusun Ilmu fiqih dalam
sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa
setempat
5.Hadits, “berkatalah kepada
seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
6.Mengumpulkan muslimin pada
suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb. Jelas banyak
dalilnya.
7.Membuat Al-Qur’an dalam
bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah
akan memudahkan urusannya.”
8.Memberi gelar pada tokoh
agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb. Perintah agama untuk
memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang disukai
*Diantaranya
saja
Amalan
Baru Yang Tidak Memiliki Dalil Atau Bertentangan Dengan Syari’at
1.Melakukan shalat karena
adanya bulan purnama. Tidak ada sumbernya
2.Adzan dan Iqamat ketika
akan mandi, makan dll. Tidak ada sumbernya
3.Shalat dengan mengangkat
kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
4.Shalat dengan berbahasa
selain bahasa arab. Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits
shalat.
HADITS
KETIGA
Rasulullah SAW
bersabda:
وَمَنِ
ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ
مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan barangsiapa
mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya,
maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut
mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi).
Dalam Hadits diatas
terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan
‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu
gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi
arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian.
Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda
ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini,
mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا
اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh
Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka
berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat
diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh
Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang
dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ
لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak
pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW
yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا
أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ
شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu
melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan
sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits
ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا
لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu
tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang
semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan
(muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru
dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak
pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang
menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para
sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat
ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian
dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta
prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at
Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai
dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja,
melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya.
Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah
digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang
mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau
ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari,
padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup
-tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa
pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah
yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah,
sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
________________
[1] “Al-Munjid fil Lughah
wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani,
Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath
al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX:
60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani,
Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani,
Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala
Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih
Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri
Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari
'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali Badri
Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah